Amin Mudzakkir
Jatuhnya
kekuasaan Orde Baru pada 1998 telah mengubah relasi-relasi kekuasaan
dalam kancah politik Indonesia. Salah satu penanda dari perubahan
tersebut adalah terbukanya ruang publik bagi aspirasi warga negara yang
ingin menunjukan identitas politiknya berdasarkan alasan-alasan
primordial. Selama masa Orde Baru, identitas primordial adalah isu yang
dibungkus rapi dalam sebuah kategori bernama SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan). Kategori tersebut dikontrol oleh aparat negara agar
tidak mengancam otoritas kekuasaan politik yang sedang berkuasa.
Wacana tentang identitas primordial di luar batas-batas yang telah
dtentukan oleh negara akan segera dicurigai sebagai ancaman terhadap
stabilitas.
Akan
tetapi, kategori bernama SARA tersebut sekarang bagaikan kotak pandora
yang terbuka. Fragmentasi kekuatan-kekuatan politik pasca Orde baru
sebagian besar justru didasarkan pada alasan-alasan identitas
primordial. Dalam konteks ini, Islam muncul sebagai referensi identitas
bagi pembentukan relasi-relasi kekuasaan yang baru. Sekarang wacana
tentang keterlibatan Islam dalam ruang publik Indoneia telah meluas,
tidak hanya pada tingkat gagasan, tetapi juga pada tingkat aksi. Selain
itu, karena adanya kebijakan desentralisasi yang pada masa-masa awal
ditandai dengan keluarnya UU No. 22 dan 25/1999, perubahan relasi-relasi
kekuasaan yang melibatkan Islam sebagai sebuah kategori identitas tidak
hanya berlangsung di pusat, tetapi justru lebih semarak di daerah.
Contoh
paling jelas dari perubahan tersebut adalah munculnya fenomena perda
(peraturan daerah) yang berbasis syariah. Selain diwarnai dengan
perdebatan pada tingkat gagasan tentang apa yang dimaksud dengan perda
syariah, isu tersebut pada praktik yang lebih luas telah menuai
kontroversi. Bagi para pendukungnya, perda syariah dipandang sebagai
solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat yang dipandang
sedang berada dalam krisis. Sementara bagi para pengkritiknya, perda
syariah adalah bentuk dari komodifikasi agama dalam kancah politik.
Kalangan yang disebut terakhir berargumentasi dengan menunjukan beberapa
konvergensi, baik dalam pengertian waktu maupun pola-pola
kecenderungan, antara wacana perda syariah dan momen-momen yang
melibatkan kepentingan politik, misalnya pilkada (pemilihan kepala
daerah langsung).
Pada
sisi lain, kaum minoritas keagamaan adalah kelompok yang sering
terpinggirkan dari arus besar perubahan relasi-relasi kekuasaan pasca
Orde Baru. Mengikuti argumentasi sebelumnya, kondisi ini tidak hanya
terjadi di pusat, tetapi justru lebih semarak di daerah. Hal ini terkait
juga dengan kebijakan desentralisasi dan fenomena perda berbasis
syariah di beberapa daerah. Contoh menarik bisa dilihat di Cianjur.
Daerah ini pernah menjadi buah bibir dalam perbincangan publik karena
adanya usaha Bupati Cianjur pada 2001 untuk mempraktikkan apa yang
disebut ‘Gerbang Marhamah’ (gerakan pembangunan masyarakat berakhlakul
karimah). Oleh sebagian orang, usaha bupati tersebut dipandang sebagai
bagian dari perda yang berbasis syariah. Di tempat lain, para
pendukungnya menolak pandangan tersebut. Di antara dua pandangan
tersebut, kaum minoritas keagamaan di Cianjur merasa bahwa praktik
Gerbang Marhamah berdampak negatif terhadap keberadaan mereka.
Kaum
minoritas keagamaan di Cianjur yang merasa mendapatkan perlakuan
diskriminatif pasca ‘Gerbang Marhamah’ adalah anggota Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI)—untuk selanjutnya disebut kaum Ahmadi. Perlakuan
diskriminatif tersebut datang dari kaum mayoritas keagamaan yang menolak
keberadaan mereka. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Cianjur, tetapi
juga di beberapa tempat lain di Indonesia. Hal ini, salah satunya,
terkait dengan adanya keputusan Munas MUI No. 05/Kep/Munas/MUI/1980 yang
dikuatkan dengan keputusan MUI No.11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang
sesatnya aliran Ahmadiyah Qadiyan. Akan tetapi, dalam konteks yang lebih
luas, sebuah fatwa hanya akan bekerja dalam sebuah
situasi yang mendukung kepentingan dari fatwa tersebut. Tulisan ini akan
menunjukan situasi yang membuat fatwa-fatwa keagamaan bekerja, salah
satunya adalah momen-momen politik lokal yang menjadi ajang perebutan
kontrol terhadap sumberdaya ekonomi politik dalam sebuah masa transisi
politik Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru di Tingkat Lokal
Dinamika
Islam politik adalah bagian dari menguatnya sentimen politik identitas
dalam konteks transisi politik Indonesia pasca Orde Baru. Pada tingkat
lokal, dinamika tersebut terlihat dengan jelas dalam
pertarungan kepemimpinan elit politik. Di Cianjur, setelah berakhirnya
masa jabatan Harkat Handiamihardja pada 2001, Wasidi Swastomo tampil
sebagai bupati yang baru. Masih pada tahun yang sama, Wasidi dengan
segera mengkampanyekan apa yang disebut Gerbang Marhamah (gerakan
pembangunan masyarakat berakhlakul karimah). Dalam sebuah konteks
transisi politik Indonesia pasca Orde Baru yang membingungkan, kebutuhan
akan sebuah kepastian identitas yang sifatnya moral tampak menemukan
tempatnya. Begitulah Gerbang Marhamah yang seiring waktu semakin
menemukan tempatnya di tengah kehidupan masyarakat. Contohnya terlihat
dalam acara Ikrar Bersama Umat Islam Kabupaten Cianjur pada tanggal 1
Muharram 1422 H/ 26 Maret 2001. Acara tersebut berisi dukungan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Cianjur terhadap Gerbang Marhamah. Akhirnya,
gagasan tersebut disepakati sebagai renstra (rencana strategis) yang
dijadikan pedoman resmi bagi pemerintah kabupaten Cianjur dalam
penegakan aturan-aturan sosial kemasyarakatan yang ‘Islami’ di Cianjur.
Sebelum itu, Wasidi bahkan telah membentuk Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Islam (LPPI) melalui SK Bupati Cianjur No. 34/2001. Lembaga
ini mempunyai kewenangan penuh untuk menerjemahkan gagasan Gerbang
Marhamah ke dalam seperangkat aturan teknis yang akan dijadikan acuan
bagi pemda dan kalangan DPRD dalam proses legislasi. Meski demikian,
para penganjur gagasan ini mengatakan bahwa Gerbang Marhamah sama sekali
tidak mempunyai agenda untuk menjadikan Islam sebagai sumber hukum yang
resmi. Mereka tetap berpandangan bahwa gagasan ini hanya ingin
membenahi akhlak masyarakat Cianjur yang telah tercemari
pengaruh-pengaruh dari luar yang merusak (Turmudzi, 2003).
Tanggapan
masyarakat Cianjur terhadap Gerbang Marhamah sangat kompleks,
tergantung pada pengaruh yang ditimbulkan dari, atau keterlibatan dalam,
pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap keberadaan kelompok
masing-masing. Akan tetapi, sebagian besar tanggapan tersebut terkait
dengan figur Wasidi sendiri. Dengan kata lain, kebijakan Gerbang
Marhamah sebenarnya telah mengalami personifikasi pada seorang figur
yang bernama Wasidi. Hal ini bisa terlihat dari beberapa kebijakan yang
secara jelas merepresentasikan kepentingan Wasidi secara pribadi. Contoh
yang paling kontroversial adalah pelarangan terhadap pertunjukan kuda
kosong dan ziarah kubur ke makam leluhur di Cikundul, sebuah daerah di
Cianjur. Pemda secara kelembagaan tidak pernah memberi penjelasan
mengenai alasan pelarangan tersebut. Menanggapi isu ini, seorang tokoh
seniman Cianjur berpendapat bahwa hal tersebut sepenuhnya merupakan
otoritas Wasidi. Tokoh seniman tersebut lebih lanjut menceritakan
afiliasi keagamaan Wasidi. Menurutnya, sebagian besar gagasan keagamaan
Wasidi dipengaruhi gurunya, Kyai Dadun Kohar, seorang tokoh Persis
(Persatuan Islam) di Sukabumi. Kyai Dadun Kohar dikenal sebagai seorang
yang keras menolak praktik-praktik tradisi, seperti ziarah kubur dan
ritual kuda kosong, yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat Islam.
Di kalangan Persis sendiri, Kyai Dadun dianggap terlalu keras dalam
perpendapat, sehingga tidak memcerminkan pandangan umum Persis
(Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006)
Terkait
dengan afiliasi keagamaan Wasidi, yang menarik untuk dilihat adalah
kenyataan bahwa dukungan politik terhadap dirinya justru datang dari
beberapa tokoh ulama NU terkemuka di Cianjur, padahal NU dikenal sebagai
organisasi Islam yang teguh memelihara tradisi. Salah satu tokoh
tersebut adalah KH. R. Abdul Halim. Selain dikenal sebagai tokoh sepuh
NU dan pengasuh salah satu pondok pesantren paling berpengaruh di
Cianjur, KH R Abdul Halim adalah Ketua Umum MUI Cianjur selama kurang
lebih 25 tahun terakhir ini. Selama masa kepemimpinan Wasidi, dia selalu
memerankan diri sebagai pendukung kebijakan pemerintah. Dia sangat concern
dengan Gerbang Marhamah, karena selain alasan yang sifatnya normatif,
praktik Gerbang Marhamah pada kenyataannya memberi kontribusi ekonomis
bagi MUI. Selain KH. R. Abdul Halim ada juga figur KH
Abdul Qadir Razy. Dia adalah salah seorang Rais Syuriah NU Cabang
Cianjur dan anggota DPRD dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Menjelang
masa kampanye Pilkada Cianjur 2006, KH Abdul Razi dan KH R Abdul Halim
adalah sebagian dari juru kampanye untuk Wasidi yang paling bersemangat.
Dukungan politik beberapa kyai NU terhadap kepemimpinan Wasidi ternyata tidak mengikuti pemahaman mainstream yang memetakan organisasi-organisasi Islam ke dalam kategori tradisionalis vis-a-vis
modernis (Noer, 1996; Alfian, 1989; Federspiel, 1996, 2004). Perubahan
relasi-relasi kekuasaan telah membuat kategori tersebut hanya berlaku
pada sebuah konteks tertentu, tetapi tidak berlaku untuk konteks yang
lain. Terutama dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, pilihan-pilihan
politik seringkali didasarkan oleh kepentingan-kepentingan yang sama
sekali tidak terkait dengan latar ideologis. Akan tetapi,
pilihan-pilihan politik yang muncul bukan berarti hanya didasarkan pada
alasan-alasan pragmatis belaka, sebab kenyataannya pilihan-pilihan
politik merupakan praktik diskursif yang melekat pada interpretasi terus
menerus terhadap konsepsi ideologi dalam sebuah rentang sejarah yang
terus berubah. Tradisi politik NU dalam sejarah politik Indonesia sering
dipahami dengan kerangka berpikir tersebut, sehingga apa yang terjadi
di Cianjur dan mungkin juga di kota-kota lain bukan sesuatu yang terlalu
mengejutkan. Inilah yang oleh Greg Fealy (2003) sebagai ‘ijtihad
politik ulama’ yang bisa menjelaskan sejarah keterlibatan ulama NU dalam
politik Indonesia.
Relasi
antara alasan-alasan ideologi dan alasan-alasan praktis bertemu dalam
momen pilkada. Dari sisi aktor, pilkada adalah representasi dari
pertarungan kepemimpinan elit dalam memperebutkan kontrol terhadap
sumberdaya ekonomi politik. Hal ini menjadi fakto penting dalam usaha
untuk memobilisasi pengaruh pada tingkat akar rumput. Khusus untuk
Cianjur, pilkada adalah momen untuk melihat sampai sejauh mana praktik
Gerbang Marhamah masih mendapat tempat dalam kehidupan politik
masyarakat Cianjur. Dalam konteks ini pula, diskusi mengenai kekerasan
terhadap kaum Ahmadi dapat dipahami. Terlepas dari siapa yang
mengkomodifikasi isu Ahmadiyah ke dalam ajang pertarungan politik, yang
jelas beberapa perstiwa kekerasan yang menimpa kaum Ahmadi di Cianjur
ternyata berkonvergensi dengan momen pilkada. Konvergensi itu tidak
hanya menyangkut soal waktu, tetapi juga menyangkut wacana Islam politik
yang menjadi latar situasi dari momen politik tersebut.
Kekerasan terhadap Kaum Ahmadi
Dinamika
Islam politik tidak bisa dipisahkan dari kepentingan-kepentingan elit
yang mendominasi wacana tersebut. Di Cianjur, peran Wasidi yang didukung
oleh sebagian kalangan tokoh kyai tertentu sangat mempengaruhi
bagaimana ‘Islam’ didefinisikan dalam kehidupan politik. Secara konkrit
definisi tersebut direpresentasikan dalam bentuk kebijakan Gerbang
Marhamah. Pada saat yang sama, dinamika Islam di tingkat yang lebih luas
sedang berubah seiring dengan perubahan-perubahan politik pasca
jatuhnya rezim Orde Baru. Salah satu contohnya adalah peningkatan
pengaruh lembaga-lembaga otoritas resmi keagamaan dalam
kebijakan-kebijakan negara dan opini-opini publik. Terkait dengan isu
Ahmadiyah, fatwa MUI No.11/MUNAS VII/MUI/15/2005 ternyata berpengaruh
luas terhadap kelompok minoritas keagamaan itu. Fatwa yang berisi
kesesatan Ahmadiyah ditanggapi publik seolah seperti hukum positif. Hal
ini merupakan salah satu fenomena Orde Baru, yaitu kaburnya batas-batas
antara ruang privat dan ruang publik.
Kenyataan
normatif bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila
kehilangan legitimasinya di tengah meningkatnya ketidapercayaan publik
terhadap aparat negara pasca Orde Baru. Secara konstitusional, misalnya,
negara berkewajiban melindungi warga negara untuk beribadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam pengertian ini, kaum
Ahmadi jelas mempunyai hak dilindungi oleh negara dari ancaman kalangan
yang menolak keberadaan mereka. Akan tetapi kenyataan berbicara lain.
Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah ditanggapi dengan tuntutan
sebagian ummat Islam Indonesia untuk melarang kegiatan Ahmadiyah.
Tuntutan tersebut pada akhirnya berbuah kekerasan. Kaum Ahmadi di
beberapa kota diteror, bahkan di Cianjur fasilitas ibadah dan
rumah-rumah mereka dibakar dan dihancurkan.
Kekerasan
yang menimpa kaum Ahmadi di Cianjur terjadi pada hari Senin malam
tanggal 19 September 2005. Kebetulan pada malam yang sama, sebagian
ummat Islam sedang memperingati malam nisfu Sya’ban. Persitiwa
tersebut terjadi sekitar pukul 19.30. Ratusan orang yang anonim
menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kecamatan
Cempaka dan Cibeber. Kempat cabang tersebut adalah Panyairan, Cicakra,
Negalsari, dan Ciparay. Sejumlah mesjid, madrasah, dan beberapa rumah
serta properti pribadi kaum Ahmadi menjadi sasaran dari penyerangan
tersebut. Total kerugian ditaksir lebih dari Rp 100 juta. Polisi,
seperti biasanya, datang terlambat dalam bertindak. Meski demikian,
peristiwa tersebut akhirnya dapat diatasi. Puluhan orang diamankan
karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 Orang dari
mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing
diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda. Yang paling lama di
antara mereka harus mendekam di penjara selama enam bulan (Pikiran Rakyat, 22 September 2006)
Sepuluh
hari setelah terjadinya peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap
kaum Ahmadi, Wasidi mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) yang
berisi pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur. Menurut
Wasidi, SKB tersebut dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari MUI,
Kodim 0608, DPRD, serta 40 organisasi massa Islam se-Cianjur. Wasidi
lebih lanjut mengatakan bahwa SKB tersebut dikeluarkan sebagai usaha
untuk menghindari terulangnya peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat
Ahmadiyah. Menurutnya, pelarangan kegiatan diharapkan akan dapat
meminimalisasi konflik yang mungkin akan terulang di kemudian hari (Kompas, 26 September 2006).
Keluarnya
SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur tentu saja mengundang
tanggapan beragam. Pada satu sisi, kaum Ahmadi sendiri memandang SKB
tersebut sebagai hak bupati. Pada sisi lain, mereka tidak hirau dengan
SKB tersebut karena merasa keberadaan mereka sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan dilindungi oleh perangkat hukum yang lebih tinggi
statusnya, yaitu SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13
Maret 1953 yang dikuatkan SK. Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik
No. 75//D.I./VI/2003. Di tempat lain, MM Billah, seorang anggota Komnas
HAM yang menangani kasus kekerasan Ahmadiyah di Cianjur, menegaskan
kewajiban aparat negara dalam melindungi warga negara. Selain karena
alasan kemanusiaan, konstitusi dan berbagai perangkat hukum di Indonesia
telah menjamin kebebasan warga negara dalam menjalankan agama dan
kepercayaannya masing-masing (Kompas, 26 September 2005)
Setelah
keluarnya SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur, keterlibatan
Wasidi dalam isu Ahmadiyah menjadi hampir tidak bisa diabaikan. Pada
saat yang sama, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk maju
kembali dalam Pilkada Cianjur 2006. Gerbang Marhamah kembali menjadi isu
yang dikomodifikasi. Para pendukungnya memandang Wasidi telah berhasil
membawa Cianjur menjadi lebih ‘Islami’, terlepas dari segala kekurangan
yang masih ada. Dalam konteks ini, kaum Ahmadi dianggap sebagai sesuatu
‘yang lain’, yang mengganggu agenda besar ‘Islamisasi’ di Cianjur.
Sebagaimana dikatakan oleh KH R Abdul Halim dan KH Abdul Qadir Razy,
Ahmadiyah adalah ‘sesat dan menyesatkan’. Fatwa untuk hal tersebut telah
ditegaskan, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Rabithah ‘Alam Islami
yang berpusat di Jeddah dan oleh pemerintah Pakistan sendiri sebagai
tempat kelahiran Ahmadiyah. Sebagai Ketua Umum MUI Cianjur, KH R Abdul
Halim merasa berkewajiban untuk menjalankan fatwa MUI Pusatyang telah
mengeluarkan dua kali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah (Republika,
22 September 2005). Baginya, pilihan bagi kaum Ahmadi hanya dua, yaitu
kembali kepada Islam atau secara tegas mengatakan bukan bagian dari
Islam. Pilihan yang kedua menimpa Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Di sana
mereka secara legal dikategorikan sebagai ‘minoritas non-Muslim’
(Wawancara dengan KH R Abdul Halim, 15 September 2006).
Sementara
proses hukum terhadap kasus penyerangan terhadap kaum Ahmadi
berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap
peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Garis (Gerakan
Reformis Islam). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka
menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti
bersalah. Akan tetapi, pada saat yang sama, Garis menyalahkan pemerintah
dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat
dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tersebut menyatakan bahwa Ahmadiyah
telah menyimpang dari ajaran Islam sehingga patut untuk diingatkan.
Selain itu, kaum Ahmadi dianggap ekslusif sehingga memancing masyarakat
sekitar untuk bertindak anarkis (Media Indonesia, 22 September 2006; Republika, 23 September 2006).
Kedekatan
H Chep Gunawan dengan Abu Bakar Baasyir merupakan satu petunjuk yang
bisa menempatkan kasus penyerangan Ahmadiyah di Cianjur ke dalam konteks
yang lebih luas. Akan tetapi, bukan semata kedekatan pribadi yang
menjadi perhatian di sini, melainkan kedekatan ideologis yang justru
menjadi dasar dari apa yang disebut Martin van Brunessen (1999) sebagai
konvergensi dari perkembangan Islam di Indonesia dengan apa yang terjadi
di tingkat global. Latar ideologis yang mendasari aksi-aksi kekerasan
terhadap Ahmadiyah berakar dari radikalisasi pemahaman keagamaan yang
merupakan fenomena umum di banyak negara-negara muslim. Di Indonesia,
radikalisasi tersebut menemukan tempatnya di tengah transisi politik
yang mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru. Apalagi setelah peristiwa
WTC/11 September 2001, radikaliasi di kalangan sebagian muslim
benar-benar dieksploitasi oleh media dengan bentuk-bentuk representasi
yang tidak seimbang. Akibatnya, fenomena kekerasaan menjadi penanda yang
melekat dalam dinamika Islam politik.
Di
sisi lain, menghadapi kekerasan yang menimpa kaumnya, pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cianjur menyerahkan segala sesuatunya pada
aturan hukum yang berlaku. Secara normatif, mereka menganggap apa yang
menimpa dirinya sebagai ujian dari Allah. Mereka merasa yakin terhadap
balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat aniaya terhadap
sesamanya. Secara hukum, pengurus JAI menunjuk pengacara dari Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Cianjur sebagai kuasa yang akan mendampingi mereka
dalam proses peradilan. Pada tingkat akar rumput, beberapa tokoh Ahmadi
mengatakan telah memaafkan orang-orang yang mengaku ikut-ikutan dalam
peristiwa penyerangan terhadap kaum Ahmadi. Seorang tokoh Ahmadi menilai
bahwa penyebab dari kekerasan yang menimpa kaum Ahmadi sebagian besar
berasal dari kekuatan-kekuatan luar. Dia tidak mengerti bagaimana
kekuatan-kekuatan luar itu bekerja, tetapi pastilah kekuatan-kekuatan
tersebut melibatkan kepentingan-kepentingan tertentu (Wawancara dengan
Ahmad Mulyadi, 16 September 2006)
Sementara
rekonsiliasi pada tingkatan kultural berlangsung, isu tentang Ahmadiyah
ternyata surut dari perbincangan publik seiring kekalahan Wasidi dalam
Pilkada Cianjur 2006. Kekalahannya yang cukup dramatis dari Tjetjep
Muchtar Soleh seolah menutup peran Wasidi dalam permasalahan Ahmadiyah
di Cianjur. Bersamaaan dengan itu, Gerbang Marhamah seolah kehilangan
tempat di tengah masyarakat yang terkejut dengan beredarnya VCD porno
yang melibatkan guru dan beberapa murid SMAN 2 Cianjur. Kasus ini sempat
menjadi isu dalam media nasional (Gatra, No.3, 28 November
2005). Akibatnya, representasi Cianjur sebagai kota Gerbang Marhamah
dipertaruhkan. Di sisi lain, kalangan seniman kemudian merasa bernafas
lega. Segera setelah kekalahan Wasidi yang dramatis, kesenian kuda
kosong kembali diperbolehkan untuk dipertunjukan. Seorang tokoh seniman berkata,
‘Inilah akibat dari orang yang tidak menghargai tradisi dan kebebasan
beragama, dia pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kedua hal
tersebut adalah keniscayaan dalam masyarakat Cianjur, dan juga
Indonesia, yang plural.’(Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September
2006).
Kesimpulan
Dinamika
Islam politik dan pengaruhnya terhadap keberadaan kaum Ahmadi di
Cianjur merupakan fenomena Indonesia pasca Orde Baru yang sedang
berubah. Politik identitas kembali dikontestasikan dalam jumlah dan
cakupan yang tidak terkirakan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang
relasi agama dan negara kembali menjadi isu publik. Beberapa kalangan
bahkan mencoba membangkitkan kembali wacana lama tentang Piagam Jakarta.
Sementara itu, kondisi ekonomi riil yang tak kunjung membaik telah
menurunkan harapan sebagian orang terhadap janji-janji perubahaan yang
diusung oleh gerakan ‘reformasi’. Dalam konteks ini, keberbedaan (difference) dipandang sebagai sesuatu yang mengancam. Apa yang berbeda dari mainstream dipandang harus dibungkam.
Pada
tingkat akar rumput, transisi politik Indonesia pasca Orde Baru
ternyata harus dibayar mahal dengan konflik-konflik horizontal yang
sering berujung pada kekerasan. Tulisan ini telah menjelaskan bagaimana
kaum Ahmadi di Cianjur harus menghadapi perubahan pasca Orde Baru dengan
pandangan yang suram. Keberadaan mereka ditolak oleh sebagian ummat
Islam dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Akar dari penolakan
terhadap keberadaan kaum Ahmadi bersifat kompleks, tidak hanya karena
perbedaan pemahaman keagamaan, tetapi juga kepentingan-kepentingan dalam
perubahan relasi-relasi kekuasan. Dalam kondisi transisi politik pasca
Orde Baru seperti ini, sering muncul apa yang oleh Robert R. Hefner
(2001) disebut sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang bergerak di
antara negara dan masyarakat. Mereka memanfaatkan momen-momen politik
untuk kepentingan tertentu. Kelompok-kolompok ini masuk ke dalam
konflik-konflik horizontal, berperan secara ambigu sebagai protagonis
atau antagonis, atau dua-duanya sekaligus. Mereka sering menggunakan isu
agama dan politik identitas sebagai komoditas.
Terakhir,
tulisan ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang wacana
Orde Baru. Lebih dari periode kekuasaan politik sebelumnya, Orde Baru
telah mewariskan sejumlah problem kebudayaan yang jejaknya masih krusial
sampai sekarang. Dalam kaitan ini, Robert Hefner (2001) berpendapat
bahwa pluralisme yang menjadi fakta di Indonesia harus dipahami dalam
konteks multikultural. Perbedaan paham keagamaan dalam Islam dan juga
agama-agama lain harus ditempatkan dalam sebuah konsensus
kewarganegaraan (citizenship). Selama masa Orde Baru, relasi
antar kelompok, bahkan definisi-diri tentang kelompok tersebut, sebagian
besar disusun dalam rangka proyek politik kekuasaan. Oleh karena itu,
ketika penopang dari wacana tersebut telah berubah, masyarakat Indonesia
tampak kebingungan untuk merumuskan identitas dirinya.[]
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel
Alfian, 1989, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Turmudzi, Endang, “Gerbang Marhamah: Langkah Penerapan Syariat Islam di Cianjur,” dalam Pengaruh
Modernitas Terhadap Sikap Keberagaman Masyarakat: Penerapan dan
Diskursus Politik Syariat Islam (Studi Kasus di Cianjur, Sulawesi
Selatan, dan Jombang) (Ed. Endang Turmudzi, Asfar Marzuki, dan Marzani Anwar), Jakarta: PMB-LIPI
Fealy, Greg, 2003, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, LKiS, Yogyakarta,
Federspiel, Howard, 1996, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
——-, 2004, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, Jakarta: Serambi
Hefner, Robert R, 2001a, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI dan TAF
——-, 2001b, “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia,” dalam Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia (Ed. Robert R. Hefner), Honolulu: University of Hawai’i Press
Noer, Deliar, 1996, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan, Jakarta: LP3ES
van Bruinessen, Martin, ”Global and Local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto), Vol. 37, No. 2 (1999)
Koran dan Majalah
Gatra, No. 3/28 November 2005
Kompas, 26 September 2006
Media Indonesia, 22 September 2005
Media Indonesia, 26 September 2005
Pikiran Rakyat, 22 September 2006
Republika, 22 September 2005
Republika, 23 September 2005
Republika, 14 Nopember 2005
Wawancara
Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.
Wawancara dengan Ahmad Mulyadi, 16 September 2006, di Cianjur
Wawancara dengan KH R Abdul Halim, 15 September 2006, di Cianjur
Retrieved from: http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/21/dinamika-islam-politik-pasca-orde-barudan-jemaat-ahmadiyah-indonesia-jai-di-cianjur-jawa-barat/
No comments:
Post a Comment