Ditulis oleh Rizal Pangabean | |
Selasa, 01 Januari 2008 00:00 | |
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Madina No. 1, Tahun 1, Januari 2008)
|
Mayoritas penduduk Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten
Kuningan, adalah warga Ahmadi, dipimpin lurah yang juga Ahmadi. Mereka
tinggal di sana sejak tahun 1950-an. Sejak itu, mereka hidup
berdampingan dengan penduduk bukan Ahmadi. Mereka belum tentu saling
mencintai. Tetapi, tidak ada benturan dan kekerasan di antara mereka.
Sejak 2002, ketegangan mulai muncul di Manislor. Serupa konflik
sosial lainnya, ketidakselarasan berawal dari kehidupan sosial, ekonomi,
dan pendidikan kedua komunitas – Ahmadi dan bukan. Tetapi, serupa
banyak konflik sosial lainnya, ketidakselarasan ini kemudian terkait
dengan, atau mencerminkan, perbedaan keyakinan keagamaan antara
kalangan Ahmadiyah di satu pihak dan yang bukan Ahmadiyah di pihak lain.
Polarisasi menjadi tegas dan mencolok.
Seharusnya,
sejak awal penanganan konflik sosial-keagamaan di Manislor harus
dilakukan dengan mempertimbangkan bagaimana ketidakselarasan
antarkelompok terbentuk melalui proses yang lama. Proses pembentukan
konflik tersebut pada dasarnya dilatari faktor-faktor setempat. Namun,
pihak-pihak yang bertikai di Manislor gagal menyelesaikan pertikaian
mereka, sehingga konflik mengalami peningkatan.
Eskalasi
konflik tampak dari peningkatan jumlah aktor, masalah, dan lingkup
geografisnya. Selain pemerintah daerah, pemerintah pusat mulai menyoroti
konflik Manislor – mulai dari departemen agama sampai presiden.
Berbagai lembaga masyarakat yang berkepentingan dengan agama, hak asasi
manusia, penegakan kontitusi, dan lain-lain mulai angkat bicara.
Demikian pula, masalah yang menimpa warga Ahmadiyah di Manislor mulai
dibicarakan dalam konteks yang lebih luas – terkait dengan masalah
Ahmadiyah di tempat lain di Jawa Barat dan di Nusa Tenggara Barat.
Boleh
jadi, eskalasi konflik Manislor ada hikmahnya. Kalau tidak, hikmah
tersebut harus diperjuangkan. Sebab, penanganan konflik Manislor –
selain kegagalan mencegah konflik terbuka sejak awal yang disebutkan di
atas, mencerminkan beberapa ciri khas penanganan konflik sektarian di
dalam demokrasi Indonesia yang tengah tumbuh. Ciri tersebut adalah
negara yang gagal memberikan proteksi, polisi yang tidak kompeten, dan
otoritas keagamaan Islam yang melakukan provokasi yang tidak
bertanggungjawab. Ketiga ciri ini tidak bermanfaat bagi pelembagaan
demokrasi di Indonesia.
Seperti diungkapkan dengan gamblang oleh kaidah lama ilmu politik, protego ergo obligo
– aku dilindungi negara, karenanya aku tunduk. Dengan kata lain,
kedaulatan negara tampak dari kesungguhan dan keberhasilannya memberikan
perlindungan kepada seluruh warganegara. Memang, penyediaan lapangan
pekerjaan, pangan, kesehatan, pendidikan, dan perumahan adalah unsur
penting layanan negara sebagai bentuk perlindungan tersebut.
Akan
tetapi, perlindungan ini juga mencakup proteksi negara terhadap
perbedaan agama dan sekte. Negara berjanji akan memelihara ketenteraman
dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, termasuk
meningkatkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan
saling percaya di antara warga masyarakat yang berbeda keyakinan dan
agama. Ini alasan lain mengapa negara diperlukan, dan menjadi alasan dan
prasyarat bagi ketundukan warga terhadap negaranya. Tanpanya, maka
kedaulatan negara layak dipertanyakan.
Manislor
adalah contohnya. Pada tahun 2002, Pemda Kuningan mengeluarkan SKB
pelarangan ajaran Ahmadiyah – ditandatangani Bupati, Ketua DPRD, Kepala
Kejaksaan Negeri, Komandan Kodim, Kapolres, dan Kepala kantor Depag
setempat. Ketua MUI Kuningan, dan organisasi sosial keagamaan seperti
NU dan Muhammadiyah juga ikut serta dalam kolusi kekuasaan ini.
Tidak
puas dengan SKB pertama, SKB kedua muncul pada tahun 2005, yang
melarang kegiatan ajarah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. SKB
ditandatangani Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala kantor Departemen
Agama, dan Sekretaris Daerah. Kedua SKB ini boleh jadi batal secara
hukum. Departemen Dalam Negeri, melalui Dirjen Kesatuan Bangsa, sudah
meminta supaya SKB ditinjau kembali karena bukan produk hukum.
Tetapi,
itu tidaklah relevan. Dengan modal dua SKB, pihak anti-Ahmadiyah telah
dapat melakukan apa yang mereka inginkan, tanpa kuatir ditangkap apalagi
diadili dan dijebloskan ke penjara. Mereka menyegel masjid dan mushala,
merusak hak milik, dan melecehkan warga Ahmadiyah. Selain itu, mereka
juga menuntut supaya pemda tidak memberikan KTP kepada warga Ahmadiyah
dan tidak menikahkan mereka. Kalau mau naik haji, penganut Ahmadiyah
harus bertolak dari luar Kuningan.
Kerjasama dan
pembagian tugas antara pemerintah dan kelompok anti-Ahmadiyah juga
ditopang dari pusat. Menteri Agama mengatakan Ahmadiyah sesat dan
menyesatkan, dan departemennya, pada 1984, menerbitkan edaran yang
melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya di Indonesia. MUI pusat sudah
sejak 1980 mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiah adalah non-Muslim. Tahun
2005, fatwa tersebut diperbaharui lagi, dan diulang-ulang penyampaiannya
kepada publik.
Jika pemerintah, kejaksaan, Polri,
atau kelompok anti-Ahmadiyah meminta fatwa MUI tentang Ahmadiyah,
jawabannya sudah jelas. Ini sama jelasnya dengan meminta petuah dari
penggemar buah durian mengenai apakah durian itu enak rasanya atau
tidak.
Wakil Presiden memang meminta supaya polisi
menindak tegas pelaku kejahatan terhadap warga Ahmadiyah di Manislor.
Bagus. Tetapi, ia lupa bahwa demonstran dan perusuh merasa melaksanakan
perintah agama dan negara – perasaan yang tidak sepenuhnya keliru. Tidak
heran, kali ini, seperti dalam kasus serangan kepada Ahmadiyah
sebelumnya, atau dalam kasus penutupan paksa tempat ibadah umat
Kristiani, permintaan Wapres supaya Polri bertindak tegas tidak memiliki
kredibilitas.
Kegagalan Polri melindungi warga
Ahmadi dan hak milik mereka di Manislor bukan kabar baru. Satuan Dalmas
dan Brimob yang diturunkan dalam konflik di bulan Desember tidak kuat
menahan penyerbu. Dalam insiden-insiden konflik Manislor sebelumnya,
seperti tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005, polisi juga tidak berdaya.
Jangan lupa, Kepala mereka ikut menandatangani SKB yang pertama, sebagai
bagian pemda.
Sebagai penanggungjawab utama
keagaman dalam negeri, Polri memang memiliki banyak kelemahan dan
keterbatasan. Karena ingin menghindari benturan warga dengan polisi, dan
dengan alasan menghindari masalah yang lebih besar, polisi di Manislor
mengabaikan tugasnya sebagai penegak hukum, pelindung dan pengayom
masyarakat – tanpa pandang bulu dan afiliasi keagamaan.
Dalam
menangani konflik sektarian, Polisi seringkali, dan mungkin tanpa
disadari, justru membantu salah satu pihak yang berkonflik mencapai
tujuan mereka. Di Manislor pimpinan polisi ikut menandatangani SKB yang
melarang Ahmadiyah dan anggotanya tunduk kepada tekanan massa. Di
Mataram, Lombok, polisi mentransfer pengikut Ahmadiyah dari rumah-rumah
mereka ke tempat pengungsian dan membiarkan mereka di sana sejak awal
2006 sampai entah kapan.
Jadi, polisi tidak tahu
bagaimana bersikap dan bertindak ketika masyarakat tempatnya berada
dilanda polarisasi keagamaan yang serius yang bersumber dari
partikularisme keagamaan. Polri memang dapat berperan sebagai aparat
keamanan dalam sistem lama pada masa Orde Baru. Akan tetapi, dalam
kehidupan demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia, polisi masih perlu
mengembangkan profesi mereka sehingga kompeten mengelola konflik
sektarian.
[Penulis adalah lulusan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada]
Retrieved from: http://www.madina-online.net/index.php/wacana/perspektif/272
No comments:
Post a Comment