Amin Mudzakkir
Artikel ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008
Ekspresi
politik Muslim dalam panggung politik Indonesia menemukan ruang
revitalisasi pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari,
setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi
ekspresi politik Muslim di Indonesia pada masa itu merupakan konsekuensi
dari dinamika politik domestik. Bagaimanapun, sulit untuk disangkal
bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika
itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah
kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari
bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa
dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang
terkotak-kotak.[1]
Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang
bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang
meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan
demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter
sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.[2]
Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah
yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok
Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai
variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam
politik.
Jika
dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi
politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi
kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa
awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak
politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an
terpaksa menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan
segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang
sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin
tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan
militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam
terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto
menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh
karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi
inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami
revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit
dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara
sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah
hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi mewarisi
suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik.
Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak
pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim,
seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan
ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun
demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang
melahirkan dan menyokong penafsiran itu.[3]
Oleh
karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya
berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari diskursus politik
identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan
atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah
sistem yang kompleks.[4]
Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan
dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan
persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya
menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai diskursus ‘Islam
rezimis’.[5]
Diskursus ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai
seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya
yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan
berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus
kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus
lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian
mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke
dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini membuat
kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok
yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok
Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan
identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas
simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang
mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian.
Negara dan Perseteruan Politik Identitas Pasca Soeharto
Apa
yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik
identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam
sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang
bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada
saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum
agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama
Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh
kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga
negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal. Ketika
Soeharto akhirnya jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak
menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu
mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu
keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem
transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara
otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju
demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan
berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang
lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan
Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran
kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan
alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi
masalah pelembagaan kekuatan politik…”[6]
Perseteruan
politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik
komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama
menempati porsi terbesar.[7]
Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya
melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca
pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang
berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu
ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus
demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu
menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan
memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara
wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik
interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif.
Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah
itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis
membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi
ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua
wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik.
Diskursus politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.[8]
Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di
kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam
politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang
hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan
sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap
eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti
Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu
sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.[9] Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘syariat Islam’ jika
ingin menggunakan istilah yang lebih lunak—tetap dilakukan dalam
kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu,
aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti
protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda
lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara
modern.
‘Perda Syariat’ dan Eksistensi Ahmadiyah
Yang
menarik dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto
adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke
daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi. Dengan
kata lain, perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami
lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk
mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut
terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah.
Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat
Islam—selanjutnya ditulis ‘perda syariat’—yang merupakan ekspresi
politik Muslim Indonesia pasca Soeharto yang paling sering mendapat
sorotan. Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang
melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang
harus dijawab. Diskursus yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya
berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas,
persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan
yang diberikan sistem politik pasca Soeharto. Pada sisi lain, persoalan
ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang
sedang menghadapi modernitas.[10]
Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan
berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat
yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada selama ini
dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera
diganti dengan produk baru yang lebih otentik.
Sebenarnya, kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[11]
Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem
karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran
perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri
di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Kaum
minoritas—non-Muslim, perempuan, dan Ahmadiyah—adalah targeted group
dari perda syariat ini. Secara hukum mereka diminoritisasikan
sedemikian rupa sehingga kehilangan banyak haknya sebagai warga negara.
Khusus dalam isu Ahmadiyah, beberapa daerah bahkan telah menerbitkan
peraturan yang secara khusus melarang aktivitas keorganisasian mereka,
jauh hari sebelum pemerintah pusat melakukan hal yang sama.
Fenomena
perda syariat dan minoritisasi kaum minoritas menunjukan diskursus
politik Muslim Indonesia pasca Soeharto penuh dengan ambiguitas. Meski
sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural dan dilandasi
oleh sebuah ideologi resmi negara yang menjamin pluralisme, banyak
aktor politik Muslim memaknai kenyataan itu dengan cara lain. Berangkat
dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar
adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang
paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang
menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma
politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya. Mereka, misalnya,
sering menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka
dalam politik. Dengan menggunakan terma-terma demokrasi pula mereka
memandang kehadiran kelompok minoritas sebagai sesuatu yang menyempal
dan oleh karena itu harus diekslusikan. Ini terjadi dalam kasus
peminoritisasian terhadap Ahmadiyah di Indonesia pasca Soeharto. Dengan
menggunakan segala mekanisme formal yang tersedia, banyak elit Muslim
dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah menekan negara untuk melarang
eksistensi Ahmadiyah di Indonesia.[12]
Rupanya tekanan mereka bekerja efektif, sehingga negara—melalui Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung—akhirnya mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 9 Juni 2008 untuk melarang
aktivitas Ahamdiyah di Indonesia.[13] Argumentasi
yang digunakan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah ini didasarkan pada
UU No.1/PNPS/1965 yang berisi larangan menceritakan, menganjurkan, atau
mengusahakan dukungan terhadap penafsiran suatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan
keagamaaan dari agama-agama itu tetapi menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu. Berdasarkan argumentasi itu, negara memandang
Ahmadiyah sebagai bukan Islam dan karenanya tidak berhak mengaku Islam.
Mereka dibolehkan berkeyakinan seperti sekarang dengan syarat tidak
menggunakan atribut agama Islam. Ini sungguh mengherankan kalau
mengingat kehadiran Ahmadiyah yang telah ada di Indonesia sejak 1925 dan
sepanjang itu pula mereka memperoleh hak untuk berkembang.
Politik Muslim dan Ahmadiyah di Cianjur
- Politik Muslim Sebagai Politik Elit
Transisi
politik Indonesia pasca Soeharto telah menyediakan akses dankesempatan
bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka
dalam politik. Di tingkat permukaan, mereka sekarang mempunyai kebebasan
untuk mengungkapkan simbol-simbol Islam. Meskipun
berangkat dari alasan keagamaan, hasil akhir dari kehadiran elit Muslim
dengan simbol-simbol Islam dalam politik ini seringkali bersifat
non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan
sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan
yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal.
Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan,
mereka menawarkan alternatif pemecahannya dengan pemberlakuan ‘syariat
Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang
bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka
menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem
‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus
diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat
secara aktif dalam mekanisme politik formal yang harus dilewati oleh
siapapun yang hendak memperjuangkan kepentingannya. Dilihat dari sisi
ini, sebuah sistem demokrasi yang prosedural terlihat telah eksis.
Masalahnya, apakah hal itu telah cukup?
Pengalaman
Cianjur menunjukan bahwa ekspresi politik Muslim secara umum merupakan
bagian dari agenda politik elit. Kita akan melihat bagaimana Wasidi
Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan
ummat terhadap simbol-simbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama
dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita
dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian
calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya
akan ditulis Wasidi—adalah satu-satunya calon yang secara terbuka
menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih
menjadi bupati.[14]
Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang
sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur
2001-2006. Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival
terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21
suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain.[15]
Setelah
terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera
memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan
mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat
Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah
sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur
No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI)
yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’
di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis
politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena
dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.[16]
Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001
yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah.
Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah
terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2)
Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap
rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di
unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan
lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi
contoh keteladanan (uswatun hasanah).
Belum
cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah
(PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat
berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke
berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit,
kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut
dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat
desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran
khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp.
400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi
dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at
keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan
dalam program Gerbang Marhamah.
Masalahnya,
Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang
kuat. Untuk itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah
dijadikan peraturan daerah. Selain itu, Wasidi mengumumkan
juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada
tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan
syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur
sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan
Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan
sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu
politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi
tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006,
sekutu-sekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan
memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang
sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam
kontrol mereka.[17]
Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada
Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI,
Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup
dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan
Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat
Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat
Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah
berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.
Sementara
itu, Pilkada Cianjur 2006 diikuti oleh empat pasang calon, yaitu
pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar,
PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD
Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang
Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan
Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai
Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin
Suastini yang diusung oleh PPP.[18]
Akan
tetapi, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan
didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya
harus menerima kekalahan dirinya. Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang
Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi
Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi
Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin
Suastini dengan 67.936 suara.
Kekalahan
Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok
Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah
peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja
terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah.
Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD
periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya.
Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda
No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang
diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan,
politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan
budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan.
Menyusul
penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar
Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan
perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua,
Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan
misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus
al-Qur’an.
- Absennya Partisipasi Publik
Absennya
partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam
keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir,
Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit
daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim
pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran
kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses
pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah
panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan
Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat
di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri,
terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis
hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD
dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum
bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan
perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam
kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila
dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa
azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan
bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan
kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan.
Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik
keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah
menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah
tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas
dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. [19]
Beberapa
kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda
Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan warga. Seorang
ketua organisasi masyarakat, misalnya, menilai materi dalam Perda
Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu
sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda
tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. [20]
Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca
penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan
tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam Instruksi Bupati
No.2/2007, misalnya, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di
lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa
pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi
tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi.
- Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Selain
bersifat elitis, ekspresi politik Muslim di Cianjur juga berdampak pada
peminoritisasian Ahmadiyah. Sejak digulirkannya Gerbang Marhamah,
berbagai ekspresi kelompok yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma Islam
dibatasi ruang geraknya. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap
‘tidak Islami’, seperti atraksi kuda kosong, dilarang dipertunjukan di
muka umum, karena dianggap perbuatan ‘syirik’. Tekanan serupa ditujukan
kepada komunitas-komunitas non-Muslim. Sebuah tempat peribadatan ummat
Katholik di Lembah Karmel, Cianjur Selatan, diberi surat peringatan agar
membatasi aktivitasnya karena dianggap sebagai sarang Kristenisasi.
Tekanan yang lebih besar jelas ditujukan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI). Beberapa hari setelah terjadi peristiwa penyerangan
terhadap komunitas-komunitas Ahmadiyah di wilayah Cianjur Tengah, Wasidi
beserta Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan Kepala Departemen Agama
Cianjur mengeluarkan SKB No. 21/2005 yang berisi larangan kegiatan
Ahmadiyah di Cianjur.[21]
Peristiwa penyerangan terhadap beberapa komunitas Ahmadiyahnya sendiri terjadi pada tanggal 19 September 2005.[22]
Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan
orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan
Campaka dan Kecamatan Cibeber. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33
rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil
dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari
mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, terlambat dalam
bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu
dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah
sedang melakukan penjarahan. 12 orang dari mereka diajukan ke meja
hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima
hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam
bulan.[23]
Sementara
itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah
berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap
peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis
Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka
menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti
bersalah, namun pada saat yang sama Garis pun menyalahkan pemerintah dan
MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat
dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah
menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang
Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar
untuk bertindak anarkis.[24]
Politik Muslim dan Ahmadiyah di Tasikmalaya
1. Kemenangan partai politik Islam
Seperti
di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan
kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru
kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur
menggunakan kendaraan politik lama—maksudnya Golkar—dalam menggapai
agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam
sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka
memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan
bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum
pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.[25]
Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya
ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi diskursus politik
Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya,
Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk
mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik. Apalagi setelah terpilih mejadi Bupati Tasikmalaya pada 2001, peran Tatang semakin dominan bahkan hingga sekarang.
Kontroversi
pertama dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto
adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus
segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap
pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan
pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari
partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat
Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari
partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka
menyadari adanya disukursus yang dominan yang menempatkan visi syariat
dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika
tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera
dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam.
Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang
mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan
politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak
politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena
khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik
mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan
untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam
renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah
kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan
tradisi santri [26]
Renstra
Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan
dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi
bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya
“yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta
mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada
tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang
religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim,
mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan
kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan
Bupati Tasikmalaya No. 13/2003 451/Se/04/Sos/2001 tentang
persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam
perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten
sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi
renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi
Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami
sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang
agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut
di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai
‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah
dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’.
- Perseteruan Elit Keagamaan Muslim
Salah
satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di
Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya
adalah para juru dakwah yang laris. Pada awal tahun
2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir
di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung
kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap
perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi
sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai
atau ajengan lama.[27].
Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar
untuk mempengaruhi diskursus publik dalam waktu yang relatif singkat,
baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai
atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik
terhadap gerakan ‘reformasi’. [28]
Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.[29]
Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa
kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan
peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan
memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan
kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam
Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan
tempat kuat dalam diskursus politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat
di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin
organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI,
dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasi-organisasi yang lebih
taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity
of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian
terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada
informasi yang menyebut mereka melakukan premanisme
terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa
simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami
sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.[30]
- Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Kehadiran
renstra yang mencantumkan di dalamnya sebuah visi bahwa Tasikmalaya
adalah kota ‘religius/Islami’ mempunyai makna penting dalam diskursus
politik Muslim di Tasikmalaya. Visi tesebut adalah bahasa simbolis yang
mampu memobilisasi massa untuk mengikuti arah yang telah diimajinasikan
aktor pendukungnya. Dalam konteks Indonesia pasca Soeharto, aktor itu
adalah negara. Alih-alih memerankan fungsi mediasi bagi perbedaan
afiliasi politik identitas warga negaranya, negara di tingkat lokal di
Indonesia pasca Soeharto justeru terjebak ke dalam sektarianisme yang
menjadikan dirinya hanya sekedar instrumen sebuah kelompok untuk
mendominasi kelompok lain. Tanpa harus mengerahkan analisis Marxis yang
canggih, fakta untuk melihat sektarianisme negara dapat ditemukan dengan
mudah dalam kasus pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Di
Tasikmalaya, sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi pelarangan
aktivitas Ahmadiyah telah ditandatangai oleh Walikota Tasikmalaya,
Bupati Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Kapolresta Tasikmalaya, dan
Kapolres Tasikmalaya pada tahun 2005. Belum cukup dengan itu, SKB dengan
isi yang hampir sama dikeluarkan kembali oleh Walikota Tasikmalaya,
Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Dandim 0612 Tasikmalaya
dan Kapolresta Tasikmalaya pada tahun 2007.
Beberapa
peristiwa kekerasan yang sifatnya fisikal telah beberapa kali menimpa
anggota Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya. Peristiwa pertama terjadi pada
pada tanggal 5 April 2003. Pada hari itu sebuah masjid Ahmadiyah di
Tolenjeng, Sukaratu, Tasikmalaya diserang sekelompok orang. Pihak
Ahmadiyah meyakini serangan itu dipicu provokasi seorang mantan mubalig
Ahmadiyah yang bernama Ahmad Hariyandi pada sebuah acara pengajian di
Cisayong beberapa waktu sebelumnya. Pihak Ahmadiyah mencoba
menyelesaikan persoalan akibat kasus penyerangan itu melalui memilih
jalur hukum tetapi tidak membuahkan hasil yang jelas. Persitiwa
Tolenjeng tersebut terlihat ditutupi agar citra mengenai Tasikmalaya
yang baik tetap terjaga. Beberapa kelompok swadaya masyarakat, seperti
Pusaka yang dipimpin Musdah Mulia, sempat melakukan advokasi persoalan
tersebut agar diselesaikan secara hukum, tetapi pihak aparat hukum tidak
menanggapinya secara serius. Kasus penyerangan masjid itu sampai
sekarang tidak pernah terselesaikan secara tuntas.
Peristiwa
kedua terjadi masih pada bulan Juni 2003. Ceritanya dimulai dengan
adanya permintaan untuk memindahkan lokasi Panti Asuhan ”Hasanah
Kautsar” di Cicariang, Kawalu, Tasikmalaya. Keberadaan panti yang
menampung sekitar 40-an anak tersebut diprotes oleh warga sekitarnya
karena dianggap sebagai tempat penyebaran Ahmadiyah di tengah masyarakat
Cicariang. Akhirnya, pihak pengelola mengalah dengan memindahkan panti
ke sebuah gedung milik Ahmadiyah di Nagarawangi, Tasikmalaya. Akan
tetapi, setelah panti itu pindah ke Nagarawangi, protes terhadap
keberadaan Ahmadiyah terus berlanjut. Dalam sebuah
pertemuan dengan aparat pemerintahan di lingkungan Kecamatan Kawalu, MUI
Kota Tasikmalaya berkesimpulan bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah di
Cicariang adalah ekslusif, agresif, ekspansif, dan meresahkan
masyarakat. Oleh karena itu, MUI meminta agar kegiatan Ahmadiyah di
Cicariang dihentikan untuk selamanya.
Peristiwa
ketiga terjadi pada 19 Juni 2007. Meski ujungnya tetap pengrusakan
masjid, peristiwa ketiga mempunyai latar belakang dan lingkup persoalan
yang lebih luas. Sekitar dua bulan sebelum peristiwa tersebut terjadi,
pengurus Ahmadiyah Tasikmalaya menyelenggarakan sebuah acara bertajuk
Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda). Seperti biasanya, acara Mukerda
dihadiri oleh berbagai utusan Ahmadiyah dari beberapa kota di sekitar
Tasikmalaya. Menurut pihak Ahmadiyah, mereka telah memberi tahu acara
tersebut kepada aparat kepolisian untuk urusan perizinan, bahkan mereka
juga telah mengundang beberapa tokoh keagamaan di Tasikmalaya. Acara
yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai cabang Ahmadiyah di Jawa
Barat itu akhirnya berlangsung dengan lancar.
Persoalan
meletus dua bulan kemudian. Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan orang
yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam), Laskar Taliban, dan
Gerak (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi) mendatangi Masjid Mahmud di
Singaparna dan merusak beberapa bagian dari masjid tersebut. Aparat
kepolisian bekerja dengan cukup baik ketika itu, sehingga aksi
pengrusakan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Akan tetapi, beberapa hari
setelahnya, aksi-aksi penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah kembali
berlangsung. Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya ikut secara terbuka
dalam aksi-aksi itu.
Penutup
Transisi
politik Indonesia pasca Soeharto telah menghasilkan banyak perubahan
dengan cakupan yang tidak pernah terkirakan sebelumnya. Perseteruan
politik identitas yang pada masa Orde Baru dibungkam sedemikian rupa
sekarang menemukan ruang ekspresinya. Masalahnya, sebuah sistem yang
mampu memediasi pertarungan tersebut terlihat belum siap dan bahkan
sampai batas tertentu dapat dikatakan tidak ada. Dalam terma politik
modern, sistem yang dimaksud adalah negara. Dalam kasus Indonesia,
jatuhnya rezim Soeharto seolah menjadi penanda senjakala eksistensi
negara. Berbagai konflik komunal pecah tanpa ada kekuatan yang mampu
meredamnya. Semua orang sekarang tampak berlaga dalam sebuah arena yang
wasitnya entah siapa.
Diskursus
politik Muslim kontemporer dimanapun merupakan refleksi dari perjalanan
politik sebuah negara. Meski menggunakan bahasa simbolis yang berasal
dari teks normatif keagamaan, dan untuk sebagian dikesankan sangat
tradisional, mekanisme untuk mencapai tujuan akhir dari teks normatif
tersebut tetaplah berupa sistem atau struktur yang disediakan dunia
modern. Kelompok-kelompok Muslim di Indonesia pasca Soeharto yang hendak
memperjuangkan ideologinya, apapun itu, menyadari hal itu sepenuhnya.
Oleh karena itu, mereka pun ikut pemilu dan berbagai ajang kontestasi
politik lainnnya. Jika dilihat dengan perspektif ini, ekspresi politik
Muslim Indonesia pasca Soeharto, dengan berbagai macam variasinya,
sesungguhnya telah menjadi bagian dari arus perubahan politik yang
bernama demokratisasi.
Akan
tetapi, demokrasi bukan hanya soal bagaimana menjalankan sebuah
prosedur yang formal. Demokrasi, bagaimanapun, mempunyai nilai-nilai.
Dalam konteks ini, Indonesia pasca Soeharto sedang menghadapi problem
yang sangat serius. Beberapa kelompok warga negara sekarang menemukan
diri mereka kehilangan hak eksistensialnya di negeri ini. Mereka
dilarang berkeyakinan. Tempat ibadah mereka diserang. Kondisi inilah
yang sekarang sedang dihadapi oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Tulisan ini menilai bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus Ahmadiyah
adalah ketidakhadiran—atau kegagalan—negara sebagai pengayom dan
penjamin eksistensi semua warga negaranya. Negara lemah, Ahmadiyah
resah.
(Artikel
ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,,
“Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika
Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008)
[1] Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm. 2.
[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997)
[3] Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.
[4] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88.
[5] Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44.
[6] Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.
[7] Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007)
[8] Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157.
[9] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1
[10] Roy, op. cit., hlm
[11]
Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan
Syamu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.
[12] Secara normatif mereka merujuk
fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa mengenai
sesatnya Ahmadiyah telah dua kali dikeluarkan MUI pada : (1) Musyawarah
Nasional II Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11-17 Rajab 1400
H/26 Mei-1 Juni 1980; dan (2) Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22
Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. Kedua
fatwa MUI ini sebelumnya tidak pernah menentukan kebijakan negara.
Pengaruhnya hanya bersifat moral dan jangkauannya hanya terbatas pada
komunitas Islam tertentu saja
[13]
Isi SKB tersebut berisi enam (6) butir: (1) Memberi peringatan dan
memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan,
menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS
1965 tentang pencegahan penodaan agam; (2) Memberi peringatan dan
memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan
yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti
pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan
dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak
mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan
perundangan; (4) Memberi peringatan dan memerintahkan
semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan
tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5)
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak
mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai
perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah
agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
[14]
Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di
Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan
menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007).
[15] Komposisi
anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi,
PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU
1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi.
[16] Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91.
[17] Secara
kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen
dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan
Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur.
[18] Komposisi
anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi,
PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2
kursi
[19] Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur
[20] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur
[21] Wasidi berpendat bahwa tujuan SKB tersebut justeru untuk meminimalisir konflik yang akan merugikan Ahmadiyah. Dikutip dalam Media Indonesia, 22 September 2005, dan Republika, 23 September 2005
[22]
Analisis yang lebih detail mengenai peristiwa ini, lihat Amin
Mudzakkir, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan” dalam Mashudi
Noorsalim, M. Nurkhoiron, dan Ridwan al-Makassary, Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan interseksi, 2007)
[23] Pikiran Rakyat, 22 September 2006
[24] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005
[25] PPP
meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar
yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7
kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi.
[26] Wawancara dengan Ade Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya.
[27] Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya
[28] Biasanya, kelompok
kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU),
sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan
baru di perkotaan
[29]
Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam
PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim
tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai
jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati.
[30] Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008.
Retrieved from: http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/24/politik-muslim-dan-ahmadiyah-di-indonesia-pasca-soeharto/
No comments:
Post a Comment