Monday, March 19, 2012

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya

 Amin Mudzakkir
Artikel ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008
Ekspresi politik Muslim dalam panggung politik Indonesia menemukan ruang revitalisasi pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi ekspresi politik Muslim di Indonesia pada masa itu merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik. Bagaimanapun, sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak.[1] Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.[2] Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik.
            Jika dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an terpaksa menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi  mewarisi suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik. Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim, seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu.[3] 
            Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari diskursus politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks.[4] Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai diskursus ‘Islam rezimis’.[5] Diskursus ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini  membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian.

Negara dan Perseteruan Politik Identitas Pasca Soeharto
Apa yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal.  Ketika Soeharto akhirnya jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik…”[6]
            Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar.[7] Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik.
            Diskursus politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.[8] Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.[9] Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘syariat Islam’  jika ingin menggunakan istilah yang lebih lunak—tetap dilakukan dalam kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu, aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara modern.

‘Perda Syariat’ dan Eksistensi Ahmadiyah
Yang menarik dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi. Dengan kata lain, perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam—selanjutnya ditulis ‘perda syariat’—yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto yang paling sering mendapat sorotan.  Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab. Diskursus yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan yang diberikan sistem politik pasca Soeharto. Pada sisi lain, persoalan ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang sedang menghadapi modernitas.[10] Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada selama ini dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik.
            Sebenarnya, kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[11] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Kaum minoritas—non-Muslim, perempuan, dan Ahmadiyah—adalah targeted group dari perda syariat ini. Secara hukum mereka diminoritisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan banyak haknya sebagai warga negara. Khusus dalam isu Ahmadiyah, beberapa daerah bahkan telah menerbitkan peraturan yang secara khusus melarang aktivitas keorganisasian mereka, jauh hari sebelum pemerintah pusat melakukan hal yang sama.
            Fenomena perda syariat dan minoritisasi kaum minoritas menunjukan diskursus politik Muslim Indonesia pasca Soeharto penuh dengan ambiguitas. Meski sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural dan dilandasi oleh sebuah ideologi resmi negara yang menjamin pluralisme, banyak aktor politik Muslim memaknai kenyataan itu dengan cara lain. Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya. Mereka, misalnya, sering menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik. Dengan menggunakan terma-terma demokrasi pula mereka memandang kehadiran kelompok minoritas sebagai sesuatu yang menyempal dan oleh karena itu harus diekslusikan. Ini terjadi dalam kasus peminoritisasian terhadap Ahmadiyah di Indonesia pasca Soeharto. Dengan menggunakan segala mekanisme formal yang tersedia, banyak elit Muslim dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah menekan negara untuk melarang eksistensi Ahmadiyah di Indonesia.[12] Rupanya tekanan mereka bekerja efektif, sehingga negara—melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung—akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 9 Juni 2008 untuk melarang aktivitas Ahamdiyah di Indonesia.[13]  Argumentasi yang digunakan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah ini didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 yang berisi larangan menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan terhadap penafsiran suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaaan dari agama-agama itu tetapi menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berdasarkan argumentasi itu, negara memandang Ahmadiyah sebagai bukan Islam dan karenanya tidak berhak mengaku Islam. Mereka dibolehkan berkeyakinan seperti sekarang dengan syarat tidak menggunakan atribut agama Islam. Ini sungguh mengherankan kalau mengingat kehadiran Ahmadiyah yang telah ada di Indonesia sejak 1925 dan sepanjang itu pula mereka memperoleh hak untuk berkembang.
           
Politik Muslim dan Ahmadiyah di Cianjur
  1. Politik Muslim Sebagai Politik Elit
Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menyediakan akses dankesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Di tingkat permukaan, mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol  Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, hasil akhir dari kehadiran elit Muslim dengan simbol-simbol Islam dalam politik ini seringkali bersifat non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahannya dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal yang harus dilewati oleh siapapun yang hendak memperjuangkan kepentingannya. Dilihat dari sisi ini, sebuah sistem demokrasi yang prosedural terlihat telah eksis. Masalahnya, apakah hal itu telah cukup? 
            Pengalaman Cianjur menunjukan bahwa ekspresi politik Muslim secara umum merupakan bagian dari agenda politik elit. Kita akan melihat bagaimana Wasidi Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan ummat terhadap simbol-simbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya akan ditulis Wasidi—adalah satu-satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih menjadi bupati.[14] Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2006. Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21 suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain.[15]
Setelah terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.[16] Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah).
Belum cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp. 400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan dalam program Gerbang Marhamah.
Masalahnya, Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Untuk itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah.  Selain itu, Wasidi mengumumkan juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006, sekutu-sekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka.[17] Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.
Sementara itu, Pilkada Cianjur 2006 diikuti oleh empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung oleh PPP.[18]
Akan tetapi, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya harus menerima kekalahan dirinya. Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara.
Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah. Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya. Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan.
Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an.

  1. Absennya Partisipasi Publik
Absennya partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir, Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri, terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan. Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. [19]
Beberapa kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan warga.  Seorang ketua organisasi masyarakat, misalnya, menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. [20] Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam  Instruksi Bupati No.2/2007, misalnya, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi.  

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Selain bersifat elitis, ekspresi politik Muslim di Cianjur juga berdampak pada peminoritisasian Ahmadiyah. Sejak digulirkannya Gerbang Marhamah, berbagai ekspresi kelompok yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma Islam dibatasi ruang geraknya. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap ‘tidak Islami’, seperti atraksi kuda kosong, dilarang dipertunjukan di muka umum, karena dianggap perbuatan ‘syirik’. Tekanan serupa ditujukan kepada komunitas-komunitas non-Muslim. Sebuah tempat peribadatan ummat Katholik di Lembah Karmel, Cianjur Selatan, diberi surat peringatan agar membatasi aktivitasnya karena dianggap sebagai sarang Kristenisasi. Tekanan yang lebih besar jelas ditujukan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Beberapa hari setelah terjadi peristiwa penyerangan terhadap komunitas-komunitas Ahmadiyah di wilayah Cianjur Tengah, Wasidi beserta Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan Kepala Departemen Agama Cianjur mengeluarkan SKB No. 21/2005 yang berisi larangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur.[21]
Peristiwa penyerangan terhadap beberapa komunitas Ahmadiyahnya sendiri terjadi pada tanggal 19 September 2005.[22] Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Campaka dan Kecamatan Cibeber. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[23]
Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah, namun pada saat yang sama Garis pun menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[24]  

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Tasikmalaya
1.      Kemenangan partai politik Islam
Seperti di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur menggunakan kendaraan politik lama—maksudnya Golkar—dalam menggapai agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.[25] Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya, Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik.  Apalagi setelah terpilih mejadi Bupati Tasikmalaya pada 2001, peran Tatang semakin dominan bahkan hingga sekarang.
            Kontroversi pertama dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya disukursus yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri [26]
Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003  451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’.

  1. Perseteruan Elit Keagamaan Muslim
Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah  yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.[27]. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi diskursus publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’. [28]
Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.[29] Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam diskursus politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI, dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasi-organisasi yang lebih taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada informasi yang menyebut mereka melakukan  premanisme terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.[30]

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Kehadiran renstra yang mencantumkan di dalamnya sebuah visi bahwa Tasikmalaya adalah kota ‘religius/Islami’ mempunyai makna penting dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Visi tesebut adalah bahasa simbolis yang mampu memobilisasi massa untuk mengikuti arah yang telah diimajinasikan aktor pendukungnya. Dalam konteks Indonesia pasca Soeharto, aktor itu adalah negara. Alih-alih memerankan fungsi mediasi bagi perbedaan afiliasi politik identitas warga negaranya, negara di tingkat lokal di Indonesia pasca Soeharto justeru terjebak ke dalam sektarianisme yang menjadikan dirinya hanya sekedar instrumen sebuah kelompok untuk mendominasi kelompok lain. Tanpa harus mengerahkan analisis Marxis yang canggih, fakta untuk melihat sektarianisme negara dapat ditemukan dengan mudah dalam kasus pelarangan aktivitas Ahmadiyah.  Di Tasikmalaya, sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi pelarangan aktivitas Ahmadiyah telah ditandatangai oleh Walikota Tasikmalaya, Bupati Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Kapolresta Tasikmalaya, dan Kapolres Tasikmalaya pada tahun 2005. Belum cukup dengan itu, SKB dengan isi yang hampir sama dikeluarkan kembali oleh Walikota Tasikmalaya, Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Dandim 0612 Tasikmalaya dan Kapolresta Tasikmalaya pada tahun 2007.    
            Beberapa peristiwa kekerasan yang sifatnya fisikal telah beberapa kali menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya. Peristiwa pertama terjadi pada pada tanggal 5 April 2003. Pada hari itu sebuah masjid Ahmadiyah di Tolenjeng, Sukaratu, Tasikmalaya diserang sekelompok orang. Pihak Ahmadiyah meyakini serangan itu dipicu provokasi seorang mantan mubalig Ahmadiyah yang bernama Ahmad Hariyandi pada sebuah acara pengajian di Cisayong beberapa waktu sebelumnya. Pihak Ahmadiyah mencoba menyelesaikan persoalan akibat kasus penyerangan itu melalui memilih jalur hukum tetapi tidak membuahkan hasil yang jelas. Persitiwa Tolenjeng tersebut terlihat ditutupi agar citra mengenai Tasikmalaya yang baik tetap terjaga. Beberapa kelompok swadaya masyarakat, seperti Pusaka yang dipimpin Musdah Mulia, sempat melakukan advokasi persoalan tersebut agar diselesaikan secara hukum, tetapi pihak aparat hukum tidak menanggapinya secara serius. Kasus penyerangan masjid itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan secara tuntas.
            Peristiwa kedua terjadi masih pada bulan Juni 2003. Ceritanya dimulai dengan adanya permintaan untuk memindahkan lokasi Panti Asuhan ”Hasanah Kautsar” di Cicariang, Kawalu, Tasikmalaya. Keberadaan panti yang menampung sekitar 40-an anak tersebut diprotes oleh warga sekitarnya karena dianggap sebagai tempat penyebaran Ahmadiyah di tengah masyarakat Cicariang. Akhirnya, pihak pengelola mengalah dengan memindahkan panti ke sebuah gedung milik Ahmadiyah di Nagarawangi, Tasikmalaya. Akan tetapi, setelah panti itu pindah ke Nagarawangi, protes terhadap keberadaan Ahmadiyah terus berlanjut.  Dalam sebuah pertemuan dengan aparat pemerintahan di lingkungan Kecamatan Kawalu, MUI Kota Tasikmalaya berkesimpulan bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Cicariang adalah ekslusif, agresif, ekspansif, dan meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, MUI meminta agar kegiatan Ahmadiyah di Cicariang dihentikan untuk selamanya.
            Peristiwa ketiga terjadi pada 19 Juni 2007. Meski ujungnya tetap pengrusakan masjid, peristiwa ketiga mempunyai latar belakang dan lingkup persoalan yang lebih luas. Sekitar dua bulan sebelum peristiwa tersebut terjadi, pengurus Ahmadiyah Tasikmalaya menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda). Seperti biasanya, acara Mukerda dihadiri oleh berbagai utusan Ahmadiyah dari beberapa kota di sekitar Tasikmalaya. Menurut pihak Ahmadiyah, mereka telah memberi tahu acara tersebut kepada aparat kepolisian untuk urusan perizinan, bahkan mereka juga telah mengundang beberapa tokoh keagamaan di Tasikmalaya. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai cabang Ahmadiyah di Jawa Barat itu akhirnya berlangsung dengan lancar.
            Persoalan meletus dua bulan kemudian. Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan orang yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam), Laskar Taliban, dan Gerak (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi) mendatangi Masjid Mahmud di Singaparna dan merusak beberapa bagian dari masjid tersebut. Aparat kepolisian bekerja dengan cukup baik ketika itu, sehingga aksi pengrusakan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Akan tetapi, beberapa hari setelahnya, aksi-aksi penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah kembali berlangsung. Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya ikut secara terbuka dalam aksi-aksi itu.  

Penutup
Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menghasilkan banyak perubahan dengan cakupan yang tidak pernah terkirakan sebelumnya. Perseteruan politik identitas yang pada masa Orde Baru dibungkam sedemikian rupa sekarang menemukan ruang ekspresinya. Masalahnya, sebuah sistem yang mampu memediasi pertarungan tersebut terlihat belum siap dan bahkan sampai batas tertentu dapat dikatakan tidak ada. Dalam terma politik modern, sistem yang dimaksud adalah negara. Dalam kasus Indonesia, jatuhnya rezim Soeharto seolah menjadi penanda senjakala eksistensi negara. Berbagai konflik komunal pecah tanpa ada kekuatan yang mampu meredamnya. Semua orang sekarang tampak berlaga dalam sebuah arena yang wasitnya entah siapa.
            Diskursus politik Muslim kontemporer dimanapun merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara. Meski menggunakan bahasa simbolis yang berasal dari teks normatif keagamaan, dan untuk sebagian dikesankan sangat tradisional, mekanisme untuk mencapai tujuan akhir dari teks normatif tersebut tetaplah berupa sistem atau struktur yang disediakan dunia modern. Kelompok-kelompok Muslim di Indonesia pasca Soeharto yang hendak memperjuangkan ideologinya, apapun itu, menyadari hal itu sepenuhnya. Oleh karena itu, mereka pun ikut pemilu dan berbagai ajang kontestasi politik lainnnya. Jika dilihat dengan perspektif ini, ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto, dengan berbagai macam variasinya, sesungguhnya telah menjadi bagian dari arus perubahan politik yang bernama demokratisasi.    
            Akan tetapi, demokrasi bukan hanya soal bagaimana menjalankan sebuah prosedur yang formal. Demokrasi, bagaimanapun, mempunyai nilai-nilai. Dalam konteks ini, Indonesia pasca Soeharto sedang menghadapi problem yang sangat serius. Beberapa kelompok warga negara sekarang menemukan diri mereka kehilangan hak eksistensialnya di negeri ini. Mereka dilarang berkeyakinan. Tempat ibadah mereka diserang. Kondisi inilah yang sekarang sedang dihadapi oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Tulisan ini menilai bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus Ahmadiyah adalah ketidakhadiran—atau kegagalan—negara sebagai pengayom dan penjamin eksistensi semua warga negaranya. Negara lemah, Ahmadiyah resah.    

(Artikel ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008)    



[1] Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm. 2.
[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997)
[3] Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.
[4] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88.
[5] Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44.
[6] Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.
[7] Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007)
[8] Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157.
[9] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1
[10] Roy, op. cit., hlm
[11] Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.
[12] Secara normatif mereka merujuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa mengenai sesatnya Ahmadiyah telah dua kali dikeluarkan MUI pada : (1)  Musyawarah Nasional II Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980; dan (2) Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. Kedua fatwa MUI ini sebelumnya tidak pernah menentukan kebijakan negara. Pengaruhnya hanya bersifat moral dan jangkauannya hanya terbatas pada komunitas Islam tertentu saja
[13] Isi SKB tersebut berisi enam (6) butir: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agam; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan; (4)  Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
[14] Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007).
[15] Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi, PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU 1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi.
[16] Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91.
[17] Secara kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya  potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur.

[18] Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi

[19] Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur
[20] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur
[21] Wasidi berpendat bahwa tujuan SKB tersebut justeru untuk meminimalisir konflik yang akan merugikan Ahmadiyah. Dikutip dalam Media Indonesia, 22 September 2005, dan Republika, 23 September 2005

[22] Analisis yang lebih detail mengenai peristiwa ini, lihat Amin Mudzakkir, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan” dalam Mashudi Noorsalim, M. Nurkhoiron, dan Ridwan al-Makassary, Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan interseksi, 2007)
[23] Pikiran Rakyat, 22 September 2006
[24] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005
[25] PPP meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi,  Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi.
[26] Wawancara dengan Ade Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya.
[27] Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya
[28] Biasanya, kelompok kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan baru di perkotaan
[29] Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati. 
[30] Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008.
Retrieved from:  http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/24/politik-muslim-dan-ahmadiyah-di-indonesia-pasca-soeharto/

No comments:

Post a Comment