Kiriman: Rumanto <rumanto_nurul@yahoo.com.sg
Tak banyak orang mengenal sosok yang satu ini. Mubaligh senior yang
sempat 10 tahun bergabung dengan Ahmadiyah ini, kemudian menyadari dan
insaf bahwa Ahmadiyah keliru dan sesat. Ia pun lantas meninggalkan
Ahmadiyah. Meskipun awalnya pertemuan dengan tokoh sekaliber Buya Hamka
dan M Natsir tak membuatnya goyah untuk tetap memeluk Ahmadiyah.
Tekadnya sekarang adalah menghabiskan sisa hidupnya untuk melakukan
penyadaran bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar kembali pada Islam
yang kaffah. Ia tegaskan lagi janjinya saat tabligh akbar di Masjid Al
Barkah, Matraman, Jakarta. Pemimpin Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin di
Garut, Ahmad Hariadi, memaparkan kisahnya kepada wartawan Republika,
Rachmat Santosa Basarah. Berikut petikannya.
Bagaimana awalnya, Anda bisa tertarik masuk Ahmadiyah?
Tahun 1971, saat itu usia saya 19 tahun, saya mendatangi cabang
Ahmadiyah Surabaya, membaca buku-buku Ahmadiyah, termasuk yang dikarang
oleh Mirza Ghulam Ahmad. Setelah saya pelajari, akhirnya saya tertarik
dan saya simpulkan, inilah yang saya cari. Setelah itu, saya hadapkan
pada guru-guru saya yang sebelumnya saya pun belajar pada mereka. Ada
yang dari Muhammadiyah, NU, Persis, dan lainnya. Saya kan sebelum kenal
Ahmadiyah belajar lama pada para alim ulama itu. Saya juga mubaligh, dan
jauh sebelum itu sudah mengisi ceramah di salah satu radio di Jombang.
Ketertarikan saya saat itu karena melihat organisasi Ahmadiyah adalah
organisasi dunia. Mereka menerjemahkan Alquran ke dalam berbagai
bahasa dan organisasinya rapi. Pendirinya adalah Imam Mahdi, Isa yang
dijanjikan. Jadi, menurut saya, saat itu ada daya tarik khusus yang
tidak ada pada kelompok-kelompok Islam lainnya.
Kemudian dari ajarannya, Ahmadiyah membuat definisi bahwa Rasul itu
dibagi dua. Yaitu, yang membawa syariat dan yang tidak membawa syariat
dan pakai dalil Alquran–yang memang kalau dilihat sepintas memang benar.
Menurut Ahmadiyah, rasul yang tidak membawa syariat itu bisa saja
datang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Kalau seandainya para guru saya atau para ulama mengatakan definisi
dalam Ahmadiyah bahwa rasul dibagi dua, itu tidak benar. Tentu, saya
tidak akan masuk Ahmadiyah saat itu. Memang ada ayat di dalam Alquran.
Namun, bukan berarti nabi-nabi Bani Israil tidak membawa syariat.
Memang, dalam hal-hal prinsip berinduk pada Taurat. Tapi, dalam hal-hal
lain yang sifatnya sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu
nabi-nabi itu berada, mereka juga membawa syariat. Itu kunci jawabannya.
Kalau saya dapatkan itu sebelum saya masuk Ahmadiyah, saya tidak akan
masuk Ahmadiyah.
Bagaimana tanggapan para alim ulama (guru Anda) setelah mengetahui Anda tertarik Ahmadiyah?
Saya menemui mereka dan saya hadapkan hujjah-hujjah Ahmadiyah pada
mereka. Terutama, yang menyangkut tiga masalah pokok. Pertama, Nabi Isa
AS masih hidup atau sudah mati. Kedua, akankah datang rasul atau nabi
lagi yang tidak membawa syariat. Ketiga, benar atau tidakkah bahwa Mirza
Ghulam Ahmad ini sebagai Imam Mahdi, sebagai Nabi Isa yang dijanjikan.
Mungkin, karena mendadak dan mereka belum mempelajari secara
mendalam, mereka akhirnya cukup kelabakan juga. Akhirnya, saya simpulkan
bahwa hujjah-hujjah Ahmadiyah ini tidak bisa dipatahkan. Akhirnya,
mereka bahkan menyimpulkan bahwa kalau memang Ahmadiyah benar, mengapa
Buya Hamka dan Muhammad Natsir tidak masuk Ahmadiyah.
Setelah menghadap para ulama yang sebelumnya adalah guru-guru Anda itu, apa yang Anda lakukan?
Dua tahun kemudian, tahun 1973, saya sempatkan untuk pergi ke Jakarta
mendatangi Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Saya ditanya Buya, ada apa
datang ke sini? Saya katakan, saya dari Pare, Kediri. Saya katakan, ada
problem dengan Ahmadiyah. Langsung spontan, Buya Hamka memegang pundak
saya dan meminta saya untuk tiga hari tinggal di rumah beliau, di
samping Masjid Al Azhar itu. Selama tiga hari dengan beliau, kami dialog
tentang tiga masalah pokok hujjah Ahmadiyah.
Namun, saya merasa jawaban-jawaban beliau belum memuaskan. Akhirnya,
saya mendatangi Ustadz Muhammad Natsir dengan rekomendasi dari Buya
Hamka. Pak Natsir kemudian memberikan hasil debat antara Al Hasan dari
Persis dengan dua mubaligh Ahmadiyah, yaitu Rahmad Ali dan Abubakar
Ayub. Dalam hasil debat yang sudah berbentuk buku itu, dibahas juga tiga
masalah tadi. Saya masih belum puas juga.
Dua ulama besar tidak bisa membuat Anda goyah. Kemudian, apa yang Anda lakukan?
Setelah itu, saya ke Bandung karena ada saudara saya di sana.
Kemudian, saya datang ke cabang Ahmadiyah di Bandung. Dan, saya utarakan
mau dibaiat masuk Ahmadiyah (Ahmad Hariadi menuturkan dengan mata
memerah dan berkaca-kaca- -Red). Itu bulan Desember 1973. Saya mengisi
formulir baiat masuk Ahmadiyah. Jadi, sebelum mengisi formulir itu ada
10 persyaratan baiat. Dan, itu sampai sekarang masih diterapkan di
Ahmadiyah.
Setelah dibaiat, ada tiga hal dipesankan kepada saya. Pertama, saya
tidak boleh makmum di belakang orang yang bukan Ahmadiyah. Kedua, tidak
boleh kawin dengan orang yang bukan Ahmadiyah. Dan ketiga, saya harus
membayar seperenambelas dari penghasilan per bulan. Itu namanya Candah
Am, atau iuran umum bagi anggota Ahmadiyah.
Sepekan setelah saya dibaiat, ada pertemuan tahunan pemuda Ahmadiyah
se-Indonesia di Jakarta. Saat itu, saya menang juara satu lomba pidato.
Akhirnya, saya ditawari oleh para mubaligh Ahmadiyah untuk menjadi
mubaligh, dan tawaran itu saya terima. Bahkan, saat itu ada rencana saya
dikirim ke Robuah, Pakistan, pusatnya Ahmadiyah dunia saat itu, untuk
dididik menjadi mubaligh internasional.
Saat saya akan berangkat, ternyata di Pakistan ada huru-hara besar
antara kaum Muslim dengan Ahmadiyah. Saya pun tidak jadi ke sana.
Akhirnya, pimpinan mubaligh Ahmadiyah pusat Indonesia mengatakan agar
saya langsung diangkat menjadi mubaligh senior dan tugas pertama saya ke
kota Medan. Setelah dua tahun di Medan, saya dipindah ke Jakarta. Dan,
di Jakarta sekitar 3,5 tahun. Setelah itu, dipindah lagi ke Bali selama
enam bulan dan terakhir ke Lombok, NTB. Saya masuk bertugas di Lombok
tahun 1983.
Kabarnya, ada kewajiban bagi setiap jemaat Ahmadiyah untuk merekrut satu orang setiap harinya. Apakah itu benar?
Waktu itu, saat saya tugas di Lombok, ada instruksi dari khalifah
Ahmadiyah dunia keempat. Ia menginstruksikan pada jemaat Ahmadiyah di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masing-masing negara ditarget,
misalnya dalam tahun 1984, bisa menambah sekian ribu jemaat. Untuk
mengejar target itu, pusat Ahmadiyah Indonesia bikin moto, ‘Tiada hari
tanpa tabligh (dakwah)’. Sejak saat itu, diinstruksikan kepada setiap
jemaat melakukan dakwah minimal pada satu orang setiap harinya.
Siapa pemimpin Ahmadiyah sedunia sekarang?
Mirza Ghulam Ahmad, lahir pada 1835 dan meninggal pada 1908. Dia
mendirikan Ahmadiyah tahun 1889. Setelah meninggal, dia diganti oleh
khalifah Ahmadiyah pertama. Kemudian, bertutur-turut diganti oleh
khalifah kedua, ketiga, dan keempat. Khalifah keempat ini adalah cucunya
Mirza Ghulam Ahmad, namanya, Tahir Ahmad.
Pada 1984 itu, berapa kira-kira jemaat Ahmadiyah sedunia dan di Indonesia?
Saat itu, di Indonesia ada sekitar 20 hingga 30 ribuan. Kalau di
seluruh dunia, sekitar satu juta atau kurang dari satu juta orang.
Tapi, kabar yang beredar menyatakan anggota JAI mencapai 500 ribu orang?
Menurut data Balitbang Depag, sekitar 80 ribu. Tapi, menurut
pengakuan Ahmadiyah, satu juta orang, di antaranya 500 ribu sudah
membayar iuran. Tapi, menurut saya, sebetulnya anggota jemaat Ahmadiyah
di Indonesia ini tidak lebih dari 100 ribu orang. Untuk tingkat dunia,
jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia, menurut laporan Hasan Aodah (orang
kedua dari khalifah keempat yang sudah sadar dan keluar dari Ahmadiyah)
sekitar dua juta orang.
Hasan Aodah ialah orang Arab Palestina dan guru bahasa Arab khalifah
ke empat. Ia dari kalangan intelektual dan berada, yang juga akhirnya
sadar dan keluar dari Ahmadiyah. Sementara itu, menurut klaim dari
Ahmadiyah sendiri mencapai 200 juta orang. Itu bohong.
Peristiwa apa yang kemudian membuat Anda sadar dan keluar dari
Ahmadiyah. Padahal, Anda saat itu sudah 10 tahun lebih menjadi mubaligh
senior Ahmadiyah?
Saat saya bertugas di Lombok Timur, NTB, saya kenal dengan Ustadz Irfan,
pimpinan salah satu pondok pesantren di sana. Kami pun berdebat keras
soal Ahmadiyah. Namun, tidak ada titik temu dan akhirnya kami sepakat
melakukan mubahalah atau perang doa. Jadi, perjanjiannya, kalau selama
tiga bulan lawan saya, yaitu Ustad H Irfan tidak diazab oleh Allah SWT,
berarti saya kalah dan saya bersedia dipotong leher saya. Sementara itu,
H Irfan juga mengatakan bersumpah pada Allah SWT bahwa kalau memang
benar Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, maka ia bersedia diangkat
nyawanya oleh Allah dengan cara yang mengerikan sehingga diketahui
banyak orang.
Namun, setelah tiga bulan H Irfan sehat walafiat. Dan, itu artinya
saya kalah dalam perang doa itu. Tak lama setelah itu, sejumlah massa
mendatangi rumah saya untuk menagih janji saya, yaitu penggal kepala
saya. Saat situasi ribut-ribut, aparat polisi pun datang dan
mengamankan.
Sejak saat itu, saya mulai guncang dan mulai ragu. Keraguan itu
berjalan dua tahun hingga saya putuskan bahwa Ahmadiyah ini tidak benar.
Saya pun sempat belajar dan memperdalam ilmu agama ke Malaysia dan
Brunei Darussalam. Karena, sifat saya adalah selalu ingin mengetahui dan
ingin bukti dalam menjalankan agama Islam ini.
Akhirnya, saya buat pernyataan saya keluar dari Ahmadiyah pada April
1986 di Malaysia dan Singapura. Setelah keluar dari Ahmadiyah, saya pun
menantang khalifah keempat Ahmadiyah, Tahir Ahmad, yang merupakan
pemimpin Ahmadiyah dunia untuk melakukan mubahalah (perang doa), seperti
yang saya lakukan dengan Ustad H Irfan. Tantangan saya pun diterima
oleh dia. Mestinya, kaum Ahmadiyah bisa berpikir bahwa sampai sekarang
alhamdulillah saya sehat walafiat. Dan, bahkan bisa ada kegiatan membuat
sejumlah buku.
Sementara, karena memang sudah takdir Allah SWT, beberapa saat
setelah mubahalah, khalifah Keempat, Tahir Ahmad, meninggal dunia di
tempat pelarian di London. Saya tidak pernah mendoakan jelek pada dia.
Namun, itu semua sudah takdir Allah SWT.
Sebelum itu, saya sempat tiga kali berusaha menemui khalifah keempat
ini. Namun, ia tidak mau menerima saya. Ia takut. Sejak itu, pusat
Ahmadiyah pindah dari pakistan ke London. Karena, di Pakistan sudah
dilarang.
Kegiatan Anda saat ini. Kabarnya, Anda sibuk dengan upaya-upaya penyadaran kaum Ahmadiyah untuk kembali ke Islam yang kaffah?
Ya, sekarang tugas saya adalah melakukan penyadaran-penyadar an.
Percayalah bahwa saya sudah pernah mengalami apa yang saat ini kaum
Ahmadiyah alami. Saya mengakui saat itu memang saya merasa yang paling
benar dan orang lain pasti salah.
Saya tegaskan di sini, itu semua adalah salah. Saya tinggal di Garut,
dan saya banyak menulis terutama tentang bagaimana kesesatan dari
Ahmadiyah ini. Karena, penyadaran yang efektif adalah melalui buku. Saya
sudah terbitkan buku yang judulnya Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah,
Seruan untuk Mencampakkan Agama Manusia, yakni Ahmadiyah, serta
Oleh-oleh dari London. Juga buku berjudul 100 Lebih Pemahaman
Kaum Muslimin perlu Direformasi. Selain itu, saya juga sudah
menerjemahkan Alquran yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen
Agama.
Proses penyadaran ini, puncaknya ada di buku (100 Lebih Pemahaman
Kaum Muslimin perlu Direformasi) . Ini bersifat umum. Bahkan, Ketua
Ahmadiyah Malang, Waji, pernah SMS ke saya. Dia baru selesai baca buku
ini dan dia bilang buku saya bagus sekali.
Saya belum tahu kalau Waji ini ternyata ketua Ahmadiyah Malang.
Lantas, saya katakan ke dia, kalau memang buku itu bagus, tolong
sosialisasikan ke ustadz-ustadz dan masyarakat Muslim. Barulah di situ
dia mengaku bahwa ia ketua Ahmadiyah Malang.
Sejumlah negara sudah melarang keberadaan Ahmadiyah. Menurut Anda?
Memang, di Pakistan tahun 1984 sudah dilarang. Sementara itu, di
Malaysia dan Brunei Darussalam sudah dilarang, bahkan sudah puluhan
tahun yang lalu. Juga di negara-negara lain.
Bagaimana pendapat Anda soal rencana keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri?
Memang, seharusnya kan sudah keluar SKB itu. Ini memang agak lambat.
Beberapa waktu lalu sudah mengerucut-mengeruc ut dan katanya sudah akan
keluar. Tapi, kok tampaknya susah juga. Kelihatannya, pemerintah
melakukan pertimbangan-pertimbangan. Namun, saya yakin kelihatannya
pemerintah masih akan tetap mengakomodasi Ahmadiyah. Entah diakomodasi
berapa persen. Namun, yang jelas kelihatannya umat Islam akan
diakomodasi jauh lebih banyak.
Kalau pendapat Anda, sebaiknya sikap pemerintah seperti apa?
Tugas saya saat ini adalah penyadaran. Kalau menurut saya, mari kita
kumpulkan dulu tokoh-tokoh pimpinan dari Ahmadiyah ini dan dilakukan
proses penyadaran. Saya bersedia untuk itu. Biarlah nanti terjadi debat
yang panjang sekalipun. Saya siap dan bersedia.
Saya pernah dalam posisi mereka karena saya pernah 10 tahun lebih di
Ahmadiyah. Bahkan, sampai tingkatan bersedia potong leher. Artinya, kan
saat itu saya sudah benar-benar menjalankan dan mengamalkan ajaran
Ahmadiyah. Jadi, kumpulkan mereka dan disaksikan pihak pemerintah, saya
akan menjelaskan dan sejelas-jelasnya di mana letak kesesatan Ahmadiyah
ini. Mari kita bicara. Yang penting mereka terbuka dan bersedia bertemu.
Jadi, akhirnya mereka juga bisa sadar bahwa Ahmadiyah ini keliru.***
Available at: http://gp-ansor.org/5208-25062008.html and also at: http://www.mualaf.com/index.php/info-liberalisme/item/597-ahmad-hariadi-mantan-mubaligh-ahmadiyah-tugas-saya-menyadarkan-jemaat-ahmadiyah