Sunday, May 5, 2013

Ahmadi Juga Manusia

Kamis, 24 Februari 2011 | 13:51 WIB

TEMPO Interaktif,  Alinea terakhir tulisan tanggapan Saudara Qosim Nursheha Dzulhadi (www.hidayatullah.com, 21 Februari 2011) atas tulisan saya (“Dalam Bayang-bayang Kuasa Umat”, Koran Tempo, 9 Februari 2011) sebagian menggambarkan semangat di balik seluruh tulisan saya yang ditanggapinya tersebut. Qosim mengatakan: "Ketakutan Saipul Mujani-lah yang berlebihan melihat reaksi terhadap Ahmadiyah saat ini. Dia khawatir jika konsep HAM-Barat tak bisa lulus dan diterima dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Padahal memang sudah terbukti bahwa HAM-Barat hanya merugikan 'umat Islam', tidak lebih."

Saya takut atas perkembangan terakhir yang menimpa orang Ahmadiyah yang nyawanya melayang karena keyakinan mereka yang sesat? Ya. Atau mungkin lebih tepatnya saya marah dan geram betul, bukan takut, atas melayangnya nyawa manusia seperti itu. Bukan karena mereka Ahmadiyah, melainkan karena mereka manusia. Saya pun akan sangat geram kalau orang yang membenci Ahmadiyah harus hilang nyawanya hanya karena benci terhadap Ahmadiyah. Saya juga akan sangat takut kalau ada orang harus mati hanya karena ia berkeyakinan bahwa Ahmadiyah sesat. Apakah saya berlebihan bersikap seperti itu? Sepanjang kita tetap manusia, saya kira tidak. Sebaliknya, bila ada orang yang merasa tidak sangat takut dan cemas akan kejadian itu, saya gagal memahami manusia jenis apa dia.

Poin-poin utama tulisan Qosim bahwa Ahmadiyah sesat, saya setuju. Ulama dunia sudah menghukum bahwa Ahmadiyah sesat juga saya tahu. Tapi apakah orang sesat harus dilarang hidup di sebuah negeri, dan apalagi dibunuh, karena kesesatannya itu, akan selalu saya tentang. Ini berlaku bukan hanya bagi Ahmadiyah, juga pemeluk agama atau paham agama lain. Bukan karena agama atau paham agamanya, melainkan karena ia manusia. Tidak ada kompromi tentang nyawa manusia apa pun agama dan paham agamanya.

Apakah sikap saya tersebut merupakan sikap dan pandangan HAM Barat? Saya tidak peduli. Mau dari Barat, mau dari Timur, mau dari Islam, mau dari agama lain, saya tidak peduli sepanjang itu menghargai nyawa manusia. Sebaliknya, paham agama apa pun, ideologi apa pun, kitab apa pun, tidak punya nilai di mata saya kalau dia tidak menghargai manusia, dan apalagi mau membenarkan penghilangan nyawa manusia karena perbedaan paham keagamaannya tersebut.

Cara pandang yang mengutamakan manusia seperti itu memang relatif baru dalam sejarah umat manusia, bukan hanya dalam sejarah umat Islam, tapi juga dalam sejarah umat lain. Bukan hanya dalam sejarah Timur dan Arab, tapi juga dalam sejarah Barat. Penghargaan terhadap manusia adalah temuan baru jika dibandingkan dengan sejarah manusia yang jauh lebih panjang. Pembunuhan terhadap manusia karena perbedaan paham keagamaan juga menjadi bagian dari sejarah Barat, seperti halnya sejarah Islam. Karena kita punya sejarah seperti itu, bukan berarti kita dibenarkan melakukan pemusnahan terhadap nyawa manusia hanya karena berbeda paham keagamaan tersebut. Ini sikap yang relatif baru, dan kita tidak boleh dibelenggu oleh sejarah masa lalu kita yang tidak menghargai manusia.

Dalam tulisan saya yang ditanggapi itu, sekilas saya mengungkapkan sejumlah perbedaan paham dalam wilayah akidah yang amat mendasar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Tujuannya untuk mengatakan bahwa perbedaan paham keagamaan yang sangat mendasar pun ada dalam khazanah Islam dan mengapa kita sekarang tidak belajar dari sejarah itu. Saya memang kurang menegaskan bahwa perbedaan paham akidah dalam sejarah itu kemudian menjadi bencana, saling bunuh, muncul peperangan, ketika perbedaan paham itu melekat dengan kekuasaan. Dan kita tidak boleh mengulang persekutuan tidak suci antara agama dan politik itu. Sumber kekerasan atas nama agama itu terjadi ketika ulama dan penguasa berselingkuh.

Pada Abad Pertengahan, dalam Islam maupun Kristen, perselingkuhan yang memang tidak pernah suci itu terjadi, dan membawa bencana. Bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi agama itu sendiri yang sejatinya membawa pesan perdamaian dan toleransi, bukan peperangan dan bukan pula membunuh manusia. Perbedaan akidah itu ada, dan masing-masing mengklaim paling benar. Sampai di situ tidak menjadi persoalan. Tidak jadi persoalan bagi saya kalau Qosim berkeyakinan bahwa akidah atau paham Islamnya paling benar dan yang selain itu sesat, sejauh keyakinan itu tidak dipaksakan kepada orang lain lewat negara sedemikian rupa, sehingga paham yang selainnya harus dimusnahkan dari negeri ini seperti yang dialami Ahmadiyah yang tak boleh mendakwahkan keyakinannya. Seperti halnya paham Mu'tazilah tentang barunya Al-Quran, dan sebaliknya paham Asy'ariah tentang qadim-nya Al-Quran, tidak menjadi masalah kalau saja Mu'tazilah tidak memaksakan pahamnya lewat kekuasaan khalifah Al-Makmun--sehingga muncul kebijakan negara yang mengkafirkan dan melarang mereka yang menolak paham tersebut . Dan sebaliknya, ketika khalifah Mutawakil berkuasa dan menganut paham Asy'ariah, paham Mu'tazilah juga dilarang.

Saya, dari keluarga dengan paham akidah Ahlussunah, berpaham seperti Asy'ariah itu. Tapi, ketika ada orang Islam lain mengikuti paham Mu'tazlah, apa hak saya melarang dia? Misalnya, dia mengatakan kepada saya bahwa yang Mutlak, Yang Abadi, hanya Allah. Selainnya tidak mutlak, atau relatif. Kalau Al-Quran abadi dan mutlak, maka ada dua abadi dan dua mutlak, yakni Allah dan Al-Quran, dan ini bertentangan dengan prinsip dasar Islam, Tauhid, yang meyakini hanya ada satu yang mutlak ataupun yang abadi, yakni Allah SWT. Dia katakan, barang siapa menduakan Tuhan, meyakini ada yang abadi dan ada yang mutlak selain-Nya, maka ia seorang musyrik yang tidak bisa diampuni dosanya. Atas paham seperti ini, kita harus bilang apa? Apa kita harus memeranginya? Subhanallah!

Perbedaan akidah itu ada, dan sangat manusiawi, dan perbedaan itu melahirkan bencana ketika negara ikut campur menyensor akidah seseorang atau sekelompok orang. Pandangan bahwa perbedaan itu hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan cabang (furu') atau fiqh, bukan ushul yang bersifat mendasar, itu adalah klaim umum ulama mainstream. Padahal klasifikasi yang mendasarnya hanya tafsiran, bukan atas dasar sebuah ayat yang dinilai qat'i (pasti). Jangankan melarang beda paham agama atas dasar tafsir, atas dasar nash (teks) yang qati' pun, kalau harus memusnahkan manusia, tidak boleh terjadi di negara kita yang bukan negara Islam ini.

Meskipun penghargaan terhadap manusia di negeri kita masih sangat lemah, saya merasa beruntung dan bangga lahir dan menjadi warga Indonesia sekarang ini, karena penghargaan terhadap manusia di negeri ini relatif lebih baik dibanding di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti di Timur Tengah ataupun Asia Selatan seperti Pakistan. Di negara-negara itu, jangankan berbeda paham akidah, berbeda sikap politik pun tidak dibenarkan, dan dimusnahkan kalau menjelma dalam bentuk tindakan seperti yang kita saksikan dalam hari-hari belakangan ini. Kita tahu bagaimana persekongkolan ulama dan penguasa di negara-negara itu. Tak terbayangkan ada Wahabisme tanpa kekuasaan keluarga kerajaan Ibn Sa'ud, dan demikian juga sebaliknya, dan kita tahu bagaimana manusia, terutama perempuan, diperlakukan di kerajaan itu sampai hari ini.

Kita punya Konstitusi yang melindungi kebebasan paham beragama dan mempraktekkannya sesuai dengan keyakinannya tersebut. Konstitusi inilah yang harus jadi dasar untuk menilai apakah paham dan perilaku kita, termasuk dalam hubungan antar-paham agama, menyimpang atau tidak menyimpang, bukan sebuah paham keagamaan tertentu. Barangsiapa yang menyebarkan paham dan apalagi melakukan tindakan yang bertentangan dengan Konstitusi tersebut, ia harus diluruskan, dibina, atau paling banter dibui. Tapi tidak boleh dibunuh, siapa pun dia, termasuk orang Ahmadiyah (Ahmadi). Wallahualam.

*Saiful Mujani, Dosen FISIP UIN Jakarta

http://www.tempo.co/read/kolom/2011/02/24/330/Ahmadi-Juga-Manusia

No comments:

Post a Comment