Thursday, September 8, 2011

Ahmadiyah Masih di Pelupuk Mata

Koran Kampung,

Jemaat Ahmadiyah masih di Asrama Transito, Kota Mataram. Mereka hidup prihatin. Lima tahun sudah mereka hidup di pengungsian. Keyakinan telah membuat mereka terasing. Hingga kini, mereka mengaku, selalu dihantui kekhawatiran.

Di sebuah sore, Senin 7 Februari lalu, suasana lengang menyelimuti Asrama Transito, Majeluk, Kota Mataram. Hanya tampak beberapa anak-anak bermain ditemani ibu mereka. Sebagian bercakap dengan bahasa sasak. Sebagian lain menggunakan bahasa Indonesia.

Seorang lelaki tua, duduk bersender persis di depan sebuah ruangan, yang paling bersih di area asrama untuk pembekalan calon transmigran itu. Di pintu ruangan itu, terpampang sebuah tulisan ‘masjid’. Iya, ruangan itu sejak lima tahun terakhir menjadi masjid bagi Jemaat Ahmadiyah, yang masih diungsikan pemerintah di asrama itu.

Jangan bayangkan masjid itu megah seperti kebanyakan masjid di Lombok. Itu hanya sebuah ruangan, macam ruang kelas di sekolah, yang disulap dan mereka sebut masjid.

Tak banyak diantara mereka yang dewasa sore itu, bisa diajak berbicara leluasa. Mengetahui wartawan yang datang, mereka meminta menunggu. Lima belas menit berselang, Nasiruddin Ahmadi, Mubaligh Ahmadiyah Wilayah Nusa Tenggara, datang menyapa.

Ia didampingi seorang pengurus Jemaat Ahmadiyah yang menenteng sebuah buku tamu. Orang itu meminta nama dan nomor telepon genggam. Nomor yang tertera, lalu ia hubungi dengan ponselnya. ‘’Soalnya banyak yang tidak memberi nomor dengan benar,’’ katanya.

Senin sore itu, satu hari berselang setelah Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, diserang. Tiga orang meregang nyawa di sana. Jarak memang jauh. Tapi pasca-penyerangan itu, Nasiruddin mengaku, Jemaat Ahmadiyah di Mataram kuatir, anarkisme di Cikeusik bakal merembet ke Mataram.

‘’Sebagai manusia tentu kami terus khawatir kalau-kalau ada penyerangan. Namun kami mencoba menyiasatinya dengan sikap siaga dan tawakal,’’ kata Nasiruddin, membuka obrolan.

Diungsikan pemerintah memang tak membuat hidup Jemaat Ahmadiyah menjadi tenang. Lima tahun sudah, mereka harus hidup di ruangan dengan sekat seadanya. Mereka tak hidup normal, layaknya warga yang lain.
Lagi pula, mereka termasuk warga daerah mana di NTB, tak jelas. Tak satupun diantara mereka mengantongi Kartu Tanda Penduduk. Rumah mereka ada di wilayah Lombok Barat. Mereka diungsikan pemerintah di Kota Mataram.

Sebagian dari mereka menfkahi hidup dengan menjadi tukang ojek. Sebagian lain yang memiliki modal, berdagang di pasar. Sementara yang lain menganggur. Ada 135 jiwa yang mengunsi di Asrama Transito. 40 orang diantaranya adalah anak-anak.

Nasiruddin mengaku, tujuh kali sudah mereka diserang dengan korban jiwa dan harta benda. Namun kata Nasiruddin, hingga kini, tak seorang pelaku pun yang sudah diadili dan dijatuhi hukuman. ‘’Pelakunya masih bebas berkeliaran. Bagaimana kami tidak gelisah. Kami pesimis dengan penegakan hukum,’’ katanya.

Yang paling mutakhir adalah penyerangan 26 Nopember 2010 lalu. Saat itu, menjelang Magrib, ratusan warga menyerang dan merusakkan rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Warga yang sebagian anak-anak, melempari rumah warga Ahmadiyah dengan batu hingga memecahkan kaca jendela, genteng rumah, dan sebagian warga menghancurkan tembok menggunakan linggis.

Aksi bengis itu, tidak mampu dibendung ratusan orang aparat keamanan dari Polres Lombok Barat dan Komando Rayon Militer (Koramil) Lingsar. Warga geram, karena mendengar warga Ahmadiyah akan kembali menempati rumah di Ketapang itu. ‘’Mudah-mudahan tidak ada aksi penyerangan lagi seperti itu,’’ Kata Nasiruddin.

Nasiruddin mengatakan, pihaknya kini tengah menunggu realisasi janji aparat kepolisian yang akan membangun pos pengamanan di perkampungan mereka di Ketapang.

‘’Kami senang, kalau polisi diinstruksikan mengamankan kami. Tapi itu kalau sudah ada wujudnya,’’ kata Nasirudin.

Janji pembangunan pos pengamanan itu dilontarkan aparat kepolisian saat pertemuan di Kejaksaan Negeri Mataram, awal Desember 2010 lalu. Janji pembangunan pos pengamanan itu, sebagai langkah antisipasi aparat keamanan atas aset Jemaat Ahmadiyah.

Kapolda NTB Brigjen Polisi Arif Wachyunadi pekan lalu di Mataram mengatakan, pihaknya telah merealiasikan pengamanan warga Ahmadiyah itu. Kata dia, pengamanan mereka kini ditingkatkan.
‘’Peningkatan pengamanan itu tidak harus dengan penempatan personil di dekat lokasi pengungsian Ahmadiyah. Bisa juga dengan patroli rutin yang lebih sering,’’ kata Kapolda.

Wachyunadi mengakui, adanya instruksi peningkatan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah dimana pun berada yang dikeluarkan Kapolri, pascapenyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik.

Namun, ia menegaskan bahwa ada atau tidaknya instruksi peningkatan pengamanan warga Ahmadiyah, pihaknya berkewajiban untuk selalu memantau dan mengawasi aktivitas komunitas Ahmadiyah.

‘’Ada atau tidak instruksi itu, kami pun sudah lakukan koordinasi dengan warga Ahmadiyah yang masih mendiami lokasi pengungsian di Mataram, dan meningkatkan pengamanannya,’’ ujarnya.

Sejauh ini, kata Wachyunadi, pihaknya melakukan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah dengan beberapa pola pengamanan, seperti penempatan petugas di sekitar lokasi pengungsian, patroli rutin dan koordinasi internal dengan warga Ahmadiyah.

Harus diakui, kalau keberadaan Jemaat Ahmadiyah ini tetap menjadi momok bagi situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di NTB. ‘’Khusus koordinasi internal, kami terus mengimbau agar warga Ahmadiyah menjalani kehidupan wajar atau tidak menampakan aksi-aksi yang menyolok, apalagi soal keagamaan. Kami terus beri pemahaman kepada mereka,’’ ujar Arif.

Potensi konflik itu juga yang akhirnya menyebabkan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama NTB HL Mahfuz, menyarankan Pemprov NTB mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang pelarangan Ahmadiyah sebagai solusi.

Menurut mantan Kepala Kanwil Kementrian Agama NTB ini, Pemerintah Daerah seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengatasi persoalan Ahmadiyah. Mahfudz memberi contoh, puluhan jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Timur, mampu dibubarkan dengan adanya Peraturan Bupati Lombok Timur tentang Pelarangan Penyebaran Ajaran Ahmadiyah.

‘’Apabila hal itu tidak dilakukan oleh gubernur dan bupati/wali kota, maka persoalan Ahmadiyah akan terus berkepanjangan, termasuk di NTB,’’ ujarnya.

Ia menyebut, FKUB belum berbuat banyak, karena menurut dia penyelesaian masalah Ahmadiyah, adalah kewenangan pemerintah.

Gubernur NTB, HM Zainul Majdi mengatakan, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, pihaknya kini tengah menunggu evaluasi menyeluruh terhadap kasus Ahmadiyah.

Di internal NTB kata Gubernur, apapun permasalahan, apakah itu intra umat beragama, ataupun antar umat beragama, tidak boleh diselesaikan dengan tindakan anarkisme. ‘’Kalau itu terjadi, maka terkait dengan itu, pasti akan berhadapan dengan alat negara dan dengan pemda,’’ ujarnya.

Sejauh ini, pemerintah daerah kata Gubernur selalu menawarkan kepada Jemaat Ahmadiyah solusi bagi mereka. Solusi itu misalnya niat pemerintah yang akan membeli aset milik mereka.

‘’Tapi selalu saja, pada saat hampir diperoleh kesepakatan, Ahmadiyah menarik diri, sehingga tidak ada kesepakatan,’’ ujar Gubernur.

Sesuai laporan Wakil Bupati Lombok barat, H Mahrip kepada dirinya, menurut Gubernur, Sebagian Jemaat Ahmadiyah, terutama pemimpin mereka, belum memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan masalah.

‘’Pemimpin mereka selalu menutup akses pemerintah daerah untuk berbicara langsung dengan warga. Mereka seakan tidak punya ruang. Kita tidak tahu apa yang disampaikan pemimpin itu, keinginan mereka atau tidak,’’ kata Gubernur.

Sampai kapan Ahmadiyah ini akan menghantui? Meminjam istilah Mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, negara tak akan pernah menghukum warganya karena keyakinan yang dianutnya. Hukuman diberikan atas perbuatan yang melanggar hukum. * Kusmayadi

Retrieved from: http://korankampung.com/interaksi/ahmadiyah-masih-di-pelupuk-mata-2/

No comments:

Post a Comment