A Man with a Few Words
Hari terakhir Tubagus Chandra
oleh: Fahri Salam
DERING TELEPON seluler jam 11 malam membangunkan Tubagus Chandra. Beberapa saat kemudian dia berkata kepada istrinya, “Ada tugas jaga.”
Ina Sakinah mendengar dalam keadaan mengantuk.
“Mesti ke Pandeglang. Ke Cikeusik,” katanya.
Ina menyahut, “Jangan…” lebih karena dia tahu suaminya tak biasa terjaga malam. Ina memahami kebiasaan Chandra selama delapan tahun pernikahan mereka. Sabtu malam itu, 5 Februari, Chandra tidur pukul 8 malam.
“Ah, bawa baju segala! Besok juga pulang.”
“Ah, besok, besok pulang tea di Kawalu, tahu-tahu seminggu!” jawab Ina.
Ina merujuk kecamatan di Tasikmalaya, Jawa Barat, tempat panti asuhan Khasanah Kautsar (artinya, “wawasan yang kaya”) milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Panti tersebut digembok oleh Kasat Intel Polres pada 8 Desember 2010. Ada sepuluh anak asuh di panti itu, di antaranya dua anak pengungsi dari Lombok, korban penyerangan dan pengusiran keluarga Ahmadi pada 2001. Chandra terlibat dalam tugas pengamanan di panti itu sesudah gembok dibuka pada 10 Januari 2011.
Tubagus Chandra dan Ina Sakinah menempati sebuah rumah lantai dua di tempat tinggal keluarga almarhum Gunawan Jayaprawira dan Titi Gunawan (75 tahun), daerah Parung, Bogor, dekat komplek pusat JAI. Itu suatu hunian teduh, terdiri beberapa rumah bagi anak-anak Gunawan, dengan halaman luas berisi aneka jenis tanaman dan pohon serta lahan peternakan ikan lele.
Pasangan ini tidur di lantai atas. Lantai bawah digunakan bisnis keluarga Gunawan. Malam itu, sebelum pergi, Ina menyodorkan jaket, yang lupa dibawa Chandra. Saat turun dari anak tangga, Chandra tak menengok istrinya, berdiri di ujung tangga dalam kesadaran mengerlip.
Chandra berangkat dengan mobil Suzuki APV Arena warna putih, bersama Ferdias Muhammad Zafrullah dan Ahmad Masihudin, menuju Serang, titik pertemuan dengan rekan lain dari Bogor dan Jakarta. Isu yang beredar sejak pukul 10 malam: akan ada penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik. “Cikeusik genting!”—bunyi sebuah pesan pendek.
Inilah yang dilakukan Chandra sesudah aktif dalam kegiatan sosial jemaat selama 1,5 tahun terakhir. Dia menyumbang tenaganya untuk tugas jaga yang siap sewaktu-waktu dalam 24 jam. Perawakannya yang tinggi dan besar, berkat rajin fitness, dinilai beberapa kolega termasuk Qamaruddin, mubaligh setempat, dapat memberi rasa “takut” terhadap orang-orang yang sering mengancam jemaat Ahmadiyah.
Sejak 2000, gelombang persekusi terhadap Ahmadiyah di Indonesia mulai bermunculan. Pada 9 Juli 2005, sekelompok organisasi garis keras, termasuk Front Pembela Islam, menyerang basis Ahmadiyah di Parung. Tubagus Chandra turut menjaga demi memertahankan aset dan hak hidup Ahmadi. Pada akhir Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (berdiri 26 Juli 1975), menegaskan lagi fatwa pada 1980 yang “menetapkan Ahmadiyah berada di luar Islam,” “sesat,” dan pengikutnya dianggap “murtad.” Puncaknya, Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada 9 Juni 2008: melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dinilai “menyimpang.” Dua beleid ini telah mendorong gelombang kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah, bergerak gencar dari Lombok hingga Jawa Barat, dari Makassar hingga Riau.
Tubagus Chandra satu dari warga Ahmadiyah yang terlibat dalam Pengurus Pusat Majelis Khudamul Ahmadiyah Indonesia. Khudam artinya pelayan dari pemuda usia 15-40 tahun. Chandra aktif di bagian jual-beli dan perdagangan, salah satunya, mengupayakan pembebasan lahan-lahan klaim warga sekitar milik jemaat Ahmadiyah, lantas dia pakai sebagai usaha sosial peternakan lele.
Dia hanya mengatakan kepada Ina, “ikut dalam komite keamanan” Ahmadiyah. Ini ucapan Chandra sebelum pergi ke Kawalu. “[A Chan] memang ada interest sebagai guard,” kata Ina, menyebut panggilan akrab Chandra. Ini tampaknya yang menetap dalam diri Chandra: bahkan pada 2000, dia ikut dalam tim keamanan untuk kunjungan Mirza Tahir Ahmad, Khalifah al-Masih IV, ke Indonesia, yang diterima terbuka Presiden Abdurrahman Wahid.
Namun Chandra orang yang irit bicara. Justru sepupunya, Jafarudin, yang mengatakan kepada Ina Sakinah bahwa Chandra mewakafkan tenaganya demi keselamatan jemaat. Ina menyebut Chandra, “a man with a few words.”
Chandra orang yang lebih sering bercanda, termasuk tentang pekerjaan. “Ah, kamu mah tahu beresnya aja. Pokoknya beres,” katanya bergurau saat disinggung usaha keluarga, di mana Chandra turut membantunya sehari-hari. Dia juga punya “rasa sayang yang besar” terhadap anak-anak, demikian Ina menyebut. Mereka mengadopsi anak asuh, kini usia 1,9 tahun, bernama Halimah Putri Hiyawata. Anak itu suka digendong di pundak Chandra. Kelak, saat Chandra tewas, dipisahkan jarak puluhan mil, anak itu menangis kencang.
Pasangan ini bertemu pada Juni 2002 saat Jalsah Salanah, pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, berupa ceramah agama—biasa dipakai juga untuk reuni keluarga Ahmadi. Rumah keluarga Gunawan menjadi posko “ristanata” dalam acara tersebut. Ristanata boleh dikatakan ajang fasilitas perjodohan. Ia mencatat lelaki maupun perempuan yang siap menikah lalu membantu berhubungan dengan calon pasangan.
Usia Ina 27 tahun, umur yang dinilai keluarganya sudah cukup layak menikah. Ina bungsu dari lima saudara. Dia bekerja sebagai sekretaris direksi sebuah perusahaan saham di Jakarta. Kakak-kakaknya sering mengenalkan lelaki lajang, dengan latarbelakang pekerjaan yang lumayan. Tapi hati Ina belum tertambat. Pada acara itu, Ina dikenalkan Chandra oleh saudara-saudara tertua.
“Teh, gimana? Mau nggak?” kata mereka, menggoda.
Ina belum memutuskan. Ibunya, Titi Gunawan, minta istikharah. Hati Ina mantap. Pada 14 Desember, Ina Sakinah dan Tubagus Chandra menikah.
Ina melihat sosok almarhum ayahnya, yang meninggal pada 2001, tersemat dalam diri Chandra: seorang pekerja keras. Chandra, kelahiran Banten, lebih muda setahun dari Ina, saat itu bekerja sebagai sales. Dia anak sulung dari tiga bersaudara, besar dengan membantu warung makan ibunya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia mengikuti pendidikan mubaligh tapi tak tamat pada 1994. Latar pendidikan Ina Sakinah adalah kuliah perpajakan.
Perusahaan tempat kerja Ina kolaps pada tahun sesudah pernikahan. Mulanya, mereka menempati rumah di Jakarta. Mereka bekerja dengan segala jenis usaha mandiri, dari jualan sembako, katering, buka warung mie, bolak-balik naik motor berdua. Itu berlangung sekira dua tahun. “Susah seneng bareng-bareng lah,” kata Ina.
Ina keguguran saat janin berusia tiga bulan. Dia memilih istirahat di rumah orangtua. Sejak itu, dan sesudah meneruskan usaha almarhum ayahnya, dia bersama Chandra menetap di rumah orangtua di Bogor—sampai kemudian, selagi Ina mengandung bayi lima bulan, terjadilah peristiwa penyerangan dan pembunuhan di Cikeusik, 6 Februari 2011, yang membawa Tubagus Chandra menjadi syuhada.
Pada 6 Februari, pukul 02.30, sementara Ina terlelap, Chandra dan Ferdias Muhammad serta Ahmad Masihudin tiba di Serang. Ke-14 khudam lain sudah ada di lokasi. Rombongan ini menuju Cikeusik dengan mobil APV dan Kijang Inova. Mereka tiba pukul 8 pagi. Sekitar pukul 10:31, massa penyerang berdatangan menuju rumah Ismail Suparman, mubaligh Cikeusik, yang “diamankan” oleh Polres Pandeglang sehari sebelumnya.
Dalam satu jam sesudahnya, rumah aset Ahmadiyah itu hancur. Para khudam, yang menjaga rumah tersebut, bertahan dengan baku lempar batu. Namun mereka terdesak oleh gelombang massa, dari 500 orang hingga kemudian sekira 1,500an orang. Mereka dikejar-kejar hingga ke sawah di belakang rumah. Terjadi pemukulan bertubi-tubi. Kelak, dari video yang berisi kebrutalan tersebut, menggambarkan tiga tubuh tak berdaya (yang juga telah menjadi mayat) dipukul rama-ramai dengan bambu dan timpukan batu. Salah satunya Tubagus Chandra.
Jenazah Chandra diotopsi pada Senin, 7 Februari, di ruangan forensik rumahsakit daerah Serang. Hasil otopsi menjelaskan detail-detail kerusakan luka pada bagian tubuh depan, lengan, leher, dada, punggung dan tungkai bawah. Singkatnya, nyaris sekujur tubuh terpapar luka.
Detail “kekerasan tumpul” berupa “lecet geser di dada dan wajah” memberi petunjuk “digerakkannya tubuh korban pada permukaan tidak rata,” demikian dokter yang mengotopsi ketiga jenazah. “Digerakkan” artinya diseret. Chandra mengalami “patah berkeping”—istilah medis untuk tulang-tulang yang remuk pada bagian kepala dan sekujur badan. Ada pendarahan yang menyebar luas di bagian otak kepala. Kesimpulannya, kematian korban disebabkan “patah tengkorak.”
Tubagus Chandra (34), Roni Pasaroni (33) dan Warsono (35) telah meninggal saat dibawa dan diperiksa di rumahsakit terdekat di Malingping, pukul 10.55 malam. Kondisi jantung ketiga korban utuh. Perkiraan kematian kurang dari 12 jam sebelum pemeriksaan. Rully, adik Chandra, kelak mengenali jasad Chandra.
Ina Sakinah mendengar ada peristiwa penyerangan di Cikeusik melalui stasiun televisi. Namun kabar kematian suaminya simpang-siur. Dia mencari tahu keadaan suaminya melalui ketua Daerah Pengurus Perempuan JAI Serang. Dari ujung telepon, suara perempuan menyahut di belakang, “Chandra TEWAS!” Ada sanggahan dari si penerima telepon; dia kuatir psikologis dan kesehatan kandungan Ina. Tapi Ina mendesak. Itulah kabar pasti. Bibirnya kelu. Ada sesuatu yang menekan jantungnya. Tubuhnya lemas.
Sementara jenazah Tubagus Chandra dimakamkan di tanah wakaf Ahmadiyah, di desa Gondrong, Tangerang, 8 Februari, Ina Sakinah diminta tetap di rumahnya. Dokter melarangnya melihat penguburan,“Janin lemah, perjalanan jauh!”
Ina periksa rutin sebulan sekali kepada dokter kandungan. Setiap pekan dia juga berobat homeopathy, metode pengobatan dari zat alami tumbuhan, mineral atau binatang. Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifah Ahmadiyah, adalah ahli homeopathy yang melayani pasien dari seluruh dunia.
Inilah Ina Sakinah sesudah kehidupan sepeninggal suaminya: kenangan Chandra tiba-tiba muncul dan berkembang saat dia menaiki anak tangga menuju rumahnya; kenangan itu kian tergambar jelas saat dia berlama-lama menetap di rumahnya. Janinnya bergerak sakit selama dua hari. Dia stres berat. Sampai kami menemuinya, Ina masih memilih tinggal di rumah ibu Titi Gunawan, dihela halaman samping rumah.
Berkat paman dan mubaligh yang menguatkannya, dia dapat pulih dan mulai stabil pada hari Kamis, 10 Februari. Saudaranya terkadang heran, “Kok tenang banget sih? Suaminya juga!” Tapi dia bersandar pada jalan yang telah ditempuh Chandra, betapapun dia shock, “Ya memang sudah pilihan dia. Dia senangnya jaga. Mau gimana?” Ina menyebut masa berkabung ini sebagai “pengalaman rohani.”
Ada sebuah foto yang diambil di depan rumah Ismail Suparman sebelum terjadi penyerangan. Foto itu memerlihatkan rombongan dari Bekasi, Bogor, Jakarta, dan Serang. Chandra berdiri di depan paling kanan, dengan tubuh segagah pegulat, berpose menghadap samping, mengenakan jaket dan celana loreng berkantung. Ibu Titi Gunawan menyodorkan salinan foto itu kepada kami di ruang tamu. Saya sudah melihatnya di internet, dengan gambar yang lebih jelas dan berwarna. Namun, menilik lagi perawakan Chandra yang tegap dan tinggi, saya merasa kecut terhadap apa yang menimpa korban. Dokter forensik mengatakan, “kekerasan yang bertubi-tubi” terhadap korban muncul dari psikologis pelaku yang “punya rasa benci atau marah.”
Kebiasaan sehari-hari Chandra, sesudah terlelap di bawah jam sembilan malam, lebih lekas dari istrinya, adalah terjaga sebelum subuh. Mereka lantas menunaikan shalat tahajud. Chandra jarang sekali meninggalkan shalat, selalu tepat waktu, dan istrinya mengatakan, “dia mengajarkan saya tentang sabar.” Chandra juga tak suka minum kopi. Pasangan ini membuka hari dengan bekerja di lantai bawah, sebuah usaha keluarga Gunawan. Chandra rajin memeriksa peternakan ikan lele di samping dan belakang rumah. Dia juga membantu distribusi buletin-buletin terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Dia sering menelepon istrinya, bahkan bisa sepuluh kali dalam sehari, selagi istrinya bepergian mengurusi pekerjaan keluarga. “In, dimana, In?” kata Chandra, bergurau. “Ih…, kenapa sih? Kan lagi kerja,” kata Ina, dijawab juga dengan canda.
Sebelum berangkat ke Cikeusik, Chandra tugas jaga di Cisalada. Ini sebuah desa di Bogor, mayoritas warga Ahmadi, yang diserang 1 Oktober 2010. Sebagian rumah hancur, begitu pula masjid dan madrasah, sekira 50 al-Quran dibakar. Massa penyerang berasal dari dua desa tetangga: Kebun Kopi dan Pasar Salasa. Namun, gelombang ancaman dan isu penyerangan belum juga surut, bahkan belakangan rutin setiap pekan. Chandra sering berkemas menuju Cisalada—yang juga menjadi tempat tinggal seorang nenek yang mengasuhnya.
Firasat datang pada akhir Januari. Ina bermimpi tentang suatu pilihan yang disodorkan kepada suaminya: memilih dia, anaknya, atau jemaat. Chandra lebih memilih jemaat. Pada ujung syuhada, Ina melihat suaminya terbaring di ranjang rumahsakit dengan tubuh setengah telanjang. Ina menghampirinya dengan perasaaan lega; bahwa suaminya dalam kondisi baik. Namun, mimpi bahwa tubuh Chandra telanjang dada, bagaimanapun, memberi celah kekuatiran besar. Rupanya Chandra tewas.
Kami bertanya bagaimana pandangan Ina akan kematian suaminya? Dia bilang,”Saya mah menyerahkan semuanya kepada Allah Ta’ala. Kita akan kembali [ke Allah Ta’ala]. Jalan dia memang seperti itu.” Ina masih kurang tidur, ada nada traumatis, tapi dia mengatakan berkali-kali bahwa kematian suaminya diserahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Dalam 10 tahun terakhir kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia, inilah persekusi yang menelan korban tewas di lokasi penyerangan; dia seorang suami, dia calon ayah. Di parlemen dan birokrasi, plus aksi demo dan pernyataan publik, dari Jakarta hingga Surabaya, mereka bicara pembubaran terhadap Ahmadiyah. Saya mungkin pesimis tapi saya kuatir tiga korban belumlah cukup.
“Almarhum pernah berpesan kepada saya, ‘Kalau anak ini lahir, diwakafkan kepada jemaat. Dan kalau laki-laki, menjadi mubaligh’.” Saat itulah, pada beberapa detik yang menetap—sebuah jeda pemisah—mata Ina Sakinah berkaca-kaca.*
Tidak ada pos terkait.
No comments:
Post a Comment