Ruang salat utama di Masjid Al-Hidayah milik komunitas Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (23/7). (merdeka.com/Islahuddin) |
Reporter: Islahudin
Usai salat asar, suasana Masjid
Al-Hidayah sepi. Baru sejam menjelang magrib, beberapa muda mudi jamaah
Ahmadiyah datang. Menurut Rachmat Ali, 36 tahun, salah satu pengurus
masjid, tidak hanya remaja Ahmadiyah di lingkungan itu yang muncul,
kadang anggota dari daerah lain kebetulan lewat Kebayoran Lama akan
masuk untuk sekadar salat atau mampir.
Seperempat jam sebelum azan berkumandang, takmir masjid, Muhammad Idrus (61 tahun), meminta jamaah di ruang utama turun ke lantai satu untuk berbuka puasa. Acara buka bersama itu digelar di sebuah ruangan terhubung dengan dapur dan lorong menuju raung-ruang lainnya.
Di depan pintu dapur tersedia es dawet, teh hangat, dan beberapa jajanan pasar, seperti pisang goreng. Keakraban terlihat antara jamaah muda dan orang-orang tua. Semua berkumpul menunggu waktu membatalkan puasa di hari ketiga itu. Yang datang terlambat dipersilakan mengambil sendiri es dawet.
Sebelum berbuka, makanan yang sama telah diantarkan ke polisi jaga di depan masjid. Hanisiah, istri Idrus, 40 tahun, sudah akrab dengan petugas keamanan itu. Bahkan, menurut Hanisiah, beberapa polisi kadang datang bukan dalam keadaan tugas, hanya ingin main dan kumpul dengan teman-temannya berjaga di sana.
Idrus mengungkapkan lantai satu masjid pernah dipakai buat menampung beberapa anggota Ahmadiyah belum mempunyai tempat tinggal di Jakarta. “Dulu masak makanan hingga hitungan karung tiap bulan, dulu pengurus masjid membiayai,” ujarnya.
Para pengungsi Ahmadiyah itu merupakan korban penyerangan dan pengusiran di beberapa daerah di Indonesia. Mau tidak mau, mereka harus menampung saudara mereka itu, termasuk komunitas Ahmadiyah di kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Lambat laun, kondisi mental dan ekonomi mereka membaik. Pengurus masjid meminta pengunsi sudah bisa mencari kerja dan memiliki penghasilan mencari kontrakan sendiri. Hal itu untuk meringankan beban pengurus masjid menangani anggota kurang mampu dan masih sekolah atau kuliah. “Kemandirian selalu didorong oleh pengurus,” kata Idrus.
Waktu berbuka tiba. Semua orang di lantai satu langsung mengambil makanan dan minuman di atas meja dekat pintu dapur. Idrus tak mau ketinggalan. Ia segera menyeruput teh manis hangat sebelum beranjak ke lantai dua buat mengumandangkan azan magrib.
Selepas berbuka puasa, jamaah dengan tertib menuju lantai dua untuk mengambil air wudu. Sebagian menuju serambi masjid untuk sekadar obrolan singkat. Idrus segera melantunkan iqamah saat jamaah lebih dari 30 orang.
Lama-lama orang datang kian banyak. Ada yang sekeluarga, banyak juga datang sendiri. Jeda antara magrib dan Isya banyak digunakan jamaah untuk berbincang-bincang di dalam atau beranda masjid.
[fas]Seperempat jam sebelum azan berkumandang, takmir masjid, Muhammad Idrus (61 tahun), meminta jamaah di ruang utama turun ke lantai satu untuk berbuka puasa. Acara buka bersama itu digelar di sebuah ruangan terhubung dengan dapur dan lorong menuju raung-ruang lainnya.
Di depan pintu dapur tersedia es dawet, teh hangat, dan beberapa jajanan pasar, seperti pisang goreng. Keakraban terlihat antara jamaah muda dan orang-orang tua. Semua berkumpul menunggu waktu membatalkan puasa di hari ketiga itu. Yang datang terlambat dipersilakan mengambil sendiri es dawet.
Sebelum berbuka, makanan yang sama telah diantarkan ke polisi jaga di depan masjid. Hanisiah, istri Idrus, 40 tahun, sudah akrab dengan petugas keamanan itu. Bahkan, menurut Hanisiah, beberapa polisi kadang datang bukan dalam keadaan tugas, hanya ingin main dan kumpul dengan teman-temannya berjaga di sana.
Idrus mengungkapkan lantai satu masjid pernah dipakai buat menampung beberapa anggota Ahmadiyah belum mempunyai tempat tinggal di Jakarta. “Dulu masak makanan hingga hitungan karung tiap bulan, dulu pengurus masjid membiayai,” ujarnya.
Para pengungsi Ahmadiyah itu merupakan korban penyerangan dan pengusiran di beberapa daerah di Indonesia. Mau tidak mau, mereka harus menampung saudara mereka itu, termasuk komunitas Ahmadiyah di kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Lambat laun, kondisi mental dan ekonomi mereka membaik. Pengurus masjid meminta pengunsi sudah bisa mencari kerja dan memiliki penghasilan mencari kontrakan sendiri. Hal itu untuk meringankan beban pengurus masjid menangani anggota kurang mampu dan masih sekolah atau kuliah. “Kemandirian selalu didorong oleh pengurus,” kata Idrus.
Waktu berbuka tiba. Semua orang di lantai satu langsung mengambil makanan dan minuman di atas meja dekat pintu dapur. Idrus tak mau ketinggalan. Ia segera menyeruput teh manis hangat sebelum beranjak ke lantai dua buat mengumandangkan azan magrib.
Selepas berbuka puasa, jamaah dengan tertib menuju lantai dua untuk mengambil air wudu. Sebagian menuju serambi masjid untuk sekadar obrolan singkat. Idrus segera melantunkan iqamah saat jamaah lebih dari 30 orang.
Lama-lama orang datang kian banyak. Ada yang sekeluarga, banyak juga datang sendiri. Jeda antara magrib dan Isya banyak digunakan jamaah untuk berbincang-bincang di dalam atau beranda masjid.
Retrieved from: http://www.merdeka.com/khas/berbuka-puasa-dengan-komunitas-ahmadiyah-berpuasa-bareng-ahmadiyah-3.html
No comments:
Post a Comment