Oleh Ahmad Najib
Burhani*
Judul ‘radikalisasi Pancasila’ ini dipakai dalam Focus Group Discussion (FGD) yang
diselenggarakan oleh MPR-RI dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP
Muhammadiyah di Kartika Chandra, 4-5 Agustus 2012. Tidak hanya orang luar, para
peserta pun bertanya-tanya tentang judul itu. Apa yang dimaksud dengan
radikalisasi Pancasila?
Istilah ini ternyata mengacu kepada pemikiran almarhum
Kuntowijoyo (Kompas, 20 Feb 2001) yang
menawarkan untuk: mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; mengganti
persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; mengusahakan
Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi
antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial; dan Pancasila yang semula
hanya melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan
horizontal.
Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa
yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan
istilah revitalisasi, restorasi, renaisans, dan objektifikasi. Namun demikian,
semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang
dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Karena itu,
meski istilah ini membingungkan, namun kriteria-kriteria di atas cukup bisa
menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.
***
Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi
belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana
dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama
semenjak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk
kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama
dan loyalitas kepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa
kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.
Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan
nilai-nilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama adalah peraturan yang
berkaitan dengan kelompok minoritas, terutama Ahmadiyah.
Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut
Sukarno, adalah gotong-royong. Namun sayangnya nilai ini sepertinya sudah
luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antri di jalan raya sepertinya sudah
tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat tergantung pada satpam, sementara
masyakarat tak mau saling bahu-membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau
membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski
hidup miskin, tak diberi zakat di Ramadhan.
***
Tiga hal di atas diantaranya yang membuat radikalisasi
Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah kearah mana
kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar?
Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan?
Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri
negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Sukarno dan Mohammad Hatta,
adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang
dikandung oleh Pancasila. Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila
memang harus tetap dijadikan acuan. Namun demikian perlu dicatat bahwa setiap
orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing.
Secara prinsip, penjelasan Sukarno-Hatta ketika
mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya saja
perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling
sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia. Sikap
kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea
Eliade sebagai the myth of eternal return,
sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu
itu adalah manusia terbaik.
Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah. Meski
dalam bukunya Di bawah bendera revolusi
Sukarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak pertjaja bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah nabi”, namun di era Sukarno-lah pemerintah mengakui secara resmi
(Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan
organisasi Ahmadiyah di Indonesian. Hanya saja, era Sukarno pula-lah yang
melahirkan UU No. 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat
pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan
Ahmadiyah. Dan lagi, pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah
sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Sukarno.
--oo0oo--
No comments:
Post a Comment