Seputar Indonesia, Tuesday, 07 August 2012
Bagi orang kaya Ramadan adalah bulan untuk merasakan penderitaan orang yang lemah serta menjadi waktu untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial.
Tapi apa makna puasa bagi mereka yang selama bertahun-tahun hidup tertindas dan tersingkirkan seperti komunitas Ahmadiyah yang menghuni Asrama Transito di Mataram? Sekitar 140 orang telah hidup sebagai pengungsi di tempat penampungan itu selama lebih dari enam tahun. Mereka menempati tiga aula yang disekat dengan kain menjadi kamar-kamar seluas 2x3 meter untuk dihuni setiap keluarga. Mereka ini berkali-kali diusir dari desanya setelah terlebih dulu rumahnya dibakar atau dihancurkan dan harta benda yang mereka miliki dijarah oleh para penyerang. Kebanyakan berasal dari Pancor dan Selong di Lombok Timur.
Mereka terusir dari sana pada 2002 dan kemudian pindah ke Gegerung, Lombok Barat, untuk memulai kehidupan baru. Belum lama menempati rumah baru, pada 2006 mereka kembali diserang dan diusir. Rumah mereka dihancurkan dan dijarah. Sejak itulah orang-orang Ahmadi ini menumpang di Asrama Transito mirip seperti stateless citizens.
Orang-Orang yang Tegar
Ketika saya bertemu para penghuni Transito di awal Ramadan ini, yang mengherankan, tidak ada kesan sedih di wajah mereka. Mereka memadati musala kecil untuk salat tarawih dan tadarus Alquran. Mereka bisa menampilkan senyum dan melayani tamu sebaik yang mereka mampu. Masa yang terlalu lama dalam penderitaan membuat orang-orang ini mampu menyesuaikan diri dengan nasib dan merangkul dengan baik musibah yang mereka terima.Tidak ada tangisan atau keluhan, apalagi kesan untuk dikasihani.
Barangkali, seperti disampaikan oleh pembina spiritual mereka, air mata mereka memang sudah habis. Apa yang justru muncul dari para penghuni Transito ini adalah keyakinan bahwa penderitaan yang mereka alami adalah bukti kebenaran nubuwwah. Sebagaimana dalam cerita nabi-nabi, orang-orang yang berpegang teguh pada keyakinan yang benar akan selalu mengalami persekusi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Mereka yakin bahwa pada masa-masa tertentu, ulama yang semestinya menjadi pembimbing umat justru banyak yang menjadi sejahat-jahatnya makhluk Tuhan di muka bumi.
Bagi mereka, itu terjadi sekarang ini terutama ketika ulama menuduh mereka sesat dan kafir. Keyakinan akan kebenaran iman membuat mereka tegar dalam penderitaan. Meski dalam kondisi miskin misalnya, mereka tetap menyisihkan apa yang mereka peroleh untuk membayar zakat setiap bulan, bukan hanya pada Ramadan. Mereka rajin bekerja dan tidak mengemis, apalagi menjual kemiskinan dan penderitaan. Dengan sekuat tenaga mereka menyekolahkan semua anaknya meski pemerintah mendiskriminasi mereka dalam memberikan bantuan untuk orang miskin.
Heresi dan Hilangnya Toleransi
Ramadan selalu ditekankan sebagai bulan toleransi dan kesadaran akan penderitaan orang lain. Tapi, sepertinya kesadaran itu tak berlaku terhadap mereka yang dituduh sesat atau heretik seperti jemaat Ahmadiyah. Pada tahun-tahun lalu misalnya, meski semua orang miskin mendapat kiriman zakat, orang-orang di Transito dikecualikan.
Kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah sebegitu dalamnya, hingga orang semisal Abu Bakar Baasyir dan beberapa orang di Nusa Tenggara Barat menuduh orang Ahmadi lebih buruk dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika mereka masih menaruh hormat kepada nonmuslim, terhadap Ahmadiyah rasa hormat itu sudah tidak ada lagi. Kebencian ini akan semakin terlihat ketika kita menyimak pernyataan dari Sobri Lubis yang menyebutkan bahwa darah orang Ahmadiyah bukan hanya “halal” (boleh dibunuh), tapi “holol” (berlipat-lipat kehalalannya).
Persamaan ibadah ritual, syahadat, dan kitab suci tidak bisa dijadikan titik yang mempertemukan kelompok garis keras dan Ahmadiyah. Sebaliknya, itu semua menjadi titik permusuhan dan dipakai oleh kelompok garis keras untuk menuduh bahwa Ahmadiyah telah menodai, membajak, dan membunuh Islam dari dalam. Dalam sosiologi heresi, persamaan itulah yang menjadi penyebab kebencian orang kepada mereka yang dituduh sesat jauh lebih sadis daripada kebencian kepada orang murtad atau orang kafir sekalipun.
Beberapa ulama di negeri ini tunduk kepada fatwa dari Saudi Arabia yang dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kooperasi Islam) dan Rabita Alam Islami yang meminta umat Islam memutus hubungan sosial, ekonomi, dan politik dengan orang Ahmadiyah. Fatwa ini berkontribusi menyebabkan orang kehilangan toleransi dan perikemanusiaan terhadap anggota Ahmadiyah yang tinggal di Transito.
Ini juga yang ikut andil dalam menjadikan sebagian orang Islam tidak bisa membagikan kesadaran sosial puasa kepada Ahmadi, tak bisa membagi zakat mereka kepada pengikut Ahmadiyah yang miskin, tertindas, dan terusir. Semoga puasa kita total dan kemanusiaan kita total dan tidak pandang bulu. Amin.
AHMAD NAJIB BURHANI
Kandidat Doktor di Universitas California-Santa Barbara; Peneliti LIPI
Bagi orang kaya Ramadan adalah bulan untuk merasakan penderitaan orang yang lemah serta menjadi waktu untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial.
Tapi apa makna puasa bagi mereka yang selama bertahun-tahun hidup tertindas dan tersingkirkan seperti komunitas Ahmadiyah yang menghuni Asrama Transito di Mataram? Sekitar 140 orang telah hidup sebagai pengungsi di tempat penampungan itu selama lebih dari enam tahun. Mereka menempati tiga aula yang disekat dengan kain menjadi kamar-kamar seluas 2x3 meter untuk dihuni setiap keluarga. Mereka ini berkali-kali diusir dari desanya setelah terlebih dulu rumahnya dibakar atau dihancurkan dan harta benda yang mereka miliki dijarah oleh para penyerang. Kebanyakan berasal dari Pancor dan Selong di Lombok Timur.
Mereka terusir dari sana pada 2002 dan kemudian pindah ke Gegerung, Lombok Barat, untuk memulai kehidupan baru. Belum lama menempati rumah baru, pada 2006 mereka kembali diserang dan diusir. Rumah mereka dihancurkan dan dijarah. Sejak itulah orang-orang Ahmadi ini menumpang di Asrama Transito mirip seperti stateless citizens.
Orang-Orang yang Tegar
Ketika saya bertemu para penghuni Transito di awal Ramadan ini, yang mengherankan, tidak ada kesan sedih di wajah mereka. Mereka memadati musala kecil untuk salat tarawih dan tadarus Alquran. Mereka bisa menampilkan senyum dan melayani tamu sebaik yang mereka mampu. Masa yang terlalu lama dalam penderitaan membuat orang-orang ini mampu menyesuaikan diri dengan nasib dan merangkul dengan baik musibah yang mereka terima.Tidak ada tangisan atau keluhan, apalagi kesan untuk dikasihani.
Barangkali, seperti disampaikan oleh pembina spiritual mereka, air mata mereka memang sudah habis. Apa yang justru muncul dari para penghuni Transito ini adalah keyakinan bahwa penderitaan yang mereka alami adalah bukti kebenaran nubuwwah. Sebagaimana dalam cerita nabi-nabi, orang-orang yang berpegang teguh pada keyakinan yang benar akan selalu mengalami persekusi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Mereka yakin bahwa pada masa-masa tertentu, ulama yang semestinya menjadi pembimbing umat justru banyak yang menjadi sejahat-jahatnya makhluk Tuhan di muka bumi.
Bagi mereka, itu terjadi sekarang ini terutama ketika ulama menuduh mereka sesat dan kafir. Keyakinan akan kebenaran iman membuat mereka tegar dalam penderitaan. Meski dalam kondisi miskin misalnya, mereka tetap menyisihkan apa yang mereka peroleh untuk membayar zakat setiap bulan, bukan hanya pada Ramadan. Mereka rajin bekerja dan tidak mengemis, apalagi menjual kemiskinan dan penderitaan. Dengan sekuat tenaga mereka menyekolahkan semua anaknya meski pemerintah mendiskriminasi mereka dalam memberikan bantuan untuk orang miskin.
Heresi dan Hilangnya Toleransi
Ramadan selalu ditekankan sebagai bulan toleransi dan kesadaran akan penderitaan orang lain. Tapi, sepertinya kesadaran itu tak berlaku terhadap mereka yang dituduh sesat atau heretik seperti jemaat Ahmadiyah. Pada tahun-tahun lalu misalnya, meski semua orang miskin mendapat kiriman zakat, orang-orang di Transito dikecualikan.
Kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah sebegitu dalamnya, hingga orang semisal Abu Bakar Baasyir dan beberapa orang di Nusa Tenggara Barat menuduh orang Ahmadi lebih buruk dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika mereka masih menaruh hormat kepada nonmuslim, terhadap Ahmadiyah rasa hormat itu sudah tidak ada lagi. Kebencian ini akan semakin terlihat ketika kita menyimak pernyataan dari Sobri Lubis yang menyebutkan bahwa darah orang Ahmadiyah bukan hanya “halal” (boleh dibunuh), tapi “holol” (berlipat-lipat kehalalannya).
Persamaan ibadah ritual, syahadat, dan kitab suci tidak bisa dijadikan titik yang mempertemukan kelompok garis keras dan Ahmadiyah. Sebaliknya, itu semua menjadi titik permusuhan dan dipakai oleh kelompok garis keras untuk menuduh bahwa Ahmadiyah telah menodai, membajak, dan membunuh Islam dari dalam. Dalam sosiologi heresi, persamaan itulah yang menjadi penyebab kebencian orang kepada mereka yang dituduh sesat jauh lebih sadis daripada kebencian kepada orang murtad atau orang kafir sekalipun.
Beberapa ulama di negeri ini tunduk kepada fatwa dari Saudi Arabia yang dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kooperasi Islam) dan Rabita Alam Islami yang meminta umat Islam memutus hubungan sosial, ekonomi, dan politik dengan orang Ahmadiyah. Fatwa ini berkontribusi menyebabkan orang kehilangan toleransi dan perikemanusiaan terhadap anggota Ahmadiyah yang tinggal di Transito.
Ini juga yang ikut andil dalam menjadikan sebagian orang Islam tidak bisa membagikan kesadaran sosial puasa kepada Ahmadi, tak bisa membagi zakat mereka kepada pengikut Ahmadiyah yang miskin, tertindas, dan terusir. Semoga puasa kita total dan kemanusiaan kita total dan tidak pandang bulu. Amin.
AHMAD NAJIB BURHANI
Kandidat Doktor di Universitas California-Santa Barbara; Peneliti LIPI
No comments:
Post a Comment