Saturday, October 29, 2011

Zafrullah Ahmad Pontoh, Ahmadiyah Indonesia Spokesman

My Jakarta: Zafrullah Ahmad Pontoh, Ahmadiyah Indonesia Spokesman

Jakarta Globa, Zack Petersen | August 05, 2010

Zafrullah Ahmad Pontoh says that as a member of Ahmadiyah, he fears for his life, but that ultimately he is under God's protection. (JG Photo)

While most of the violence that has affected Ahmadiyah — a controversial sect that believes its founder was a prophet of Islam, a claim that contradicts the beliefs of mainstream Muslims — remains outside the capital, that doesn’t mean the nearly 10,000 members of Ahmadiyah here in Jakarta don’t feel intimidated.
Today, Zafrullah Ahmad Pontoh, the spokesman for Ahmadiyah Indonesia, talks to us from his mosque in Cideng, Central Jakarta, about the controversial attempts to close an Ahmadiyah mosque in West Java and his views on religious freedom.


What is the difference between Ahmadiyah and mainstream Islam here in Indonesia?

According to us, we are Sunnis because we understand that we follow the traditions of the holy prophet.

What differs between us and other Muslims is the interpretation of some of the verses of the holy Koran.

So in the Koran, as we understand it, there is the possibility of the coming of a prophet after the holy prophet of Islam.

What do you say to people who think members of Ahmadiyah are nonbelievers?

They are free to say that. But we believe that God accepts us as Muslims. Anyone can say anything they like.

We won’t say that they are nonbelievers because the holy prophet said that if you call a believer a nonbeliever, then you yourself are the nonbeliever.

Do you introduce yourself to people as a member of Ahmadiyah?

Yes. I just came from Sulawesi and most of my friends are not Ahmadiyah [members], but they saw the attacks in Kuningan and they said: “What kind of people would do this?”

You see, they don’t like this violence either.

Why were the people in Kuningan attacked?

What I understand is that the bupati [district chief] of Kuningan wished to close the mosque.

I understand that some people from outside Kuningan wanted the mosque closed. We had about 4,000 Ahmadiyah members there to protect the mosque in Manis Lor village.

And how do you feel about the church controversy in Bekasi?

Yesterday, I was at the House of Representatives. We are trying to gain religious freedom through dialogue not only for Ahmadiyah, but for all Indonesians.

Because Islam teaches us to live in harmony with others, and never to resort to violence.

The holy prophet never attacked nonbelievers first, he only defended and protected himself and Muslims. Islam is never spread by the sword.

How many Ahmadiyah members are there in Jakarta?

There are seven Ahmadiyah mosques here in Jakarta and around 10,000 Ahmadiyah members. Throughout Indonesia there are 500,000 Ahmadiyah members.

Do you ever fear for your safety?

As a human being, yes, but I still believe in the protection of God. I have no problem walking around the neighborhood here. I was out walking around before you came here.

Has there ever been an attack on this mosque?

The mosque has been here more than 70 years, and in 2006 some Muslims came and asked us to take down the name of the mosque, but I didn’t.

We have been trying to learn patience and love, but as human beings we have limitations, so to be patient is very hard.

I said: “Nobody can stop us from worshiping, God wants us to worship.” Nobody can tell us to stop doing what God wants us to do.

When there are clashes between Ahmadiyah and other Muslim groups, do you feel like the government gives you equal protection?

First, I should clarify that they are not clashes, but attacks. A clash means that there are two sides [fighting], but an attack is where we have to defend ourselves.

The Constitution gives freedom to every person to be a follower of any religion.

But it has to be one of the six official religions?

Yes, but we are Muslims.

Do you think that Ahmadiyah will ever be fully accepted and recognized in Indonesia?

Inshallah [God willing]. We always intermingle with people through love and I feel like love will overcome. Last year, nearly 1,000 people joined Ahmadiyah. You would be surprised how many people click on our Web site, www.alislam.org.

Didn’t the state come up with a law that said Ahmadiyah members are not allowed to worship in public?

Not a law made by the state, but there is a decree. I heard from some people that the current religious affairs minister said Ahmadiyah is straying from Islam.

He should not say that; he should understand how to protect our faith. But I believe he misunderstands the 2008 decree.

That decree only prohibits us from explaining publicly that there is a prophet after the Prophet Muhammad.

Isn’t that a violation of your religious freedoms?

Yes, but our leader said for the time being we should be quiet.

What would you say to the people who passed the decree?

I would tell them they are doing something different from the laws of the country. The decree says that we believe in the prophet, but it also hinders us.

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/myjakarta/my-jakarta-zafrullah-ahmad-pontoh-ahmadiyah-indonesia-spokesman/389673

Friday, October 14, 2011

Religious orthodoxy and the blasphemy law

The Jakarta Post | Thu, 03/18/2010 5:00 PM | Opinion

Thursday, October 13, 2011

Jejak Tafsir Kaum Ahmadi

Majalah Historia, Jumat, 26 Agustus 2011 - 10:17:59

Karya terjemahan Muhammad Ali dicerca tapi juga dipakai sebagai rujukan.

RUMAH tinggal Mirza Wali Ahmad Baig, mubaliq Ahmadiyah Lahore, menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggris. Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam (SI) juga kerap datang. Hubungan SI dan Muhammadiyah masih akur.

Tjokro tak sekadar belajar bahasa Inggris. Diam-diam dia menterjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu. Dia mendapat dukungan dari Ahmad Baig. “Dia bahkan mengerjakannya di kapal ketika dia, sebagai wakil SI, bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami,” tulis Tempo, 21 September 1974, merujuk Kongres Islam Internasional (biasa disebut Kongres Mekkah), upaya membangun institusi pan-Islami baru setelah Mustafa Kemal Pasha menghapus sistem khilafah dan mendirikan Republik Turki pada 1924.

Tjokro dan Mas Mansur terpilih sebagai utusan dalam Kongres Al-Islam kelima pada Februari 1926 di Bandung. Kongres Al-Islam sendiri merupakan badan yang didirikan di Garut pada Mei 1924, bertujuan memperluas pengajaran agama dan menganjurkan pendirian Majelis Ulama untuk memutuskan perselisihan-perselisihan antara kaum ulama.

Muhammadiyah punya hubungan dekat dengan Ahmadiyah, bahkan memberi bantuan ketika Ahmadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1925. “Namun, setelah debat publik antara Ahmad Baig dan pemimpin reformis-radikal Sumatra –juga pemuja Rasyid Ridha– Haji Rasul (Abd Al-Karim Amr Allah), Muhammadiyah berbalik melawan Ahmadiyah. Dan, sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah memveto proyek penerjemahan Tjokroaminoto, dan memprotes dalam kongres Sarekat Islam pada 1927,” tulis Moch Nur Ichwan dalam “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis”, yang dimuat di jurnal Archipel, 2001.

Kongres SI di Pekalongan itu sendiri hanya membahas secara singkat proyek Tjokro dan tak ada keputusan dibuat. Satu keputusan penting justru mengenai pemecatan anggota Muhammadiyah yang juga menjadi anggota SI –sebaliknya dilakukan Muhammadiyah setahun kemudian.

Pada Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 26-29 Januari 1928, Tjokro memberikan alasan penterjemahan Alquran dan komentar karya Muhammad Ali. Menurutnya, dia tahu terjemahan Alquran beserta komentar karya Muhammad Ali, dari Ahmad Baig, yang juga memperkenalkannya kepada para pemimpin Muhammadiyah. Tjokro berargumen sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun dia tetap diserang dengan sengit.

Menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Agus Salim tampil dan mengatakan dengan lantang bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyah Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar.

Menurut Herman L. Beck dalam “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyah“, dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Muslim ortodoks maupun modernis menyalahkan Tjokro karena kurangnya pengetahuan tentang Islam dan dia, menurut opini mereka, sepenuhnya tergantung pada Ahmad Baig.

Baik Tjokro maupun Ahmad Baig mampu melawan kritik-kritik itu. Namun, beberapa hari setelah Kongres Al-Islam, Tjokro menyiarkan keluhannya di media Islam berkala Fadjar Asia –media ini juga menerbitkan sebagian terjemahan Tjokro. Antara lain dia menduga beberapa pengkritiknya khawatir tersaingi dengan terjemahannya, karena mereka juga sedang mengerjakan terjemahan Alquran mereka sendiri.

Dua minggu setelah Kongres Al-Islam, Muhammadiyah menggelar kongres ke-17 yang berlangsung 12-20 Februari 1928 di Yogyakarta. Pada kongres ini, Yunus Anis, sekretaris pertama Dewan Pusat yang baru, mengatakan bahwa Muhammadiyah menyesalkan keputusan SI mendisiplinkan anggota Muhammadiyah. Dia juga mengatakan, dengan menyesal Muhammadiyah tak bisa menyetujui proyek Tjokro. Alasannya: tak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Tekanan lain datang dari Muhammad Rashid Ridha, salah seorang ulama dan ahli hukum paling pengaruh dari generasinya serta murid Muhammad Abduh paling menonjol. Melalui majalah Al-Manar, dia menyampaikan metode-metode pembaruan ke penjuru negara Muslim. Beberapa anggota Muhamadiyah punya hubungan dekat dengan Ridha dan Al-Manar. Rida juga punya pengaruh kuat di Indonesia.

Menurut Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik”, termuat dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia karya Henri Chambert-Loir, dalam fatwanya, menanggapi Syaikh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam dari Kesultanan Sambas di Borneo (Kalimantan), Ridha menolak proyek Tjokroaminoto karena menganggap terjemahan (dan tafsir) Alquran yang ditulis Muhammad Ali menyimpang dari ajaran Islam yang baku.
Karena perlawanan masih keras, penerbitan tafsir itu ditunda sampai Majelis Ulama mengambil ketentuan. Dalam kongres di Kediri pada 27-30 September 1928, SI membentuk Majelis Ulama sendiri –karena Muhammadiyah tak mau terlibat– yang bersidang saat itu juga. Majelis memutuskan bahwa terjemahan itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan Majelis.

Pada tahun itu juga tiga bagian pertama terjemahan Tjokro terbit dengan judul Qoer’an Soetji, disertai Salinan dan Keterangan dalam Bahasa Melajoe.

“Fatwa Rashid Ridha mengenai karya eksegetik Muhammad Ali, The Holy Qur’an, tidak memperoleh tanggapan karena karya itu kemudian diterjemahkan, tidak saja ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia, tetapi juga ke dalam bahasa Belanda dan Jawa,” tulis Nur Ichwan.

Terjemahan bahasa Belanda dilakukan Sudewo Partokusumo Kertohadinegoro, guru HIS Muhammadiyah, dengan judul de Heilige Qoern. Karya ini terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya “Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an”. Sementara dalam bahasa Jawa, Qur’an Suci Jarwa Jawi, dikerjakan R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif, diterbitkan di Yogyakarta pada 1958. Djajasugita adalah ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto yang memilih mundur dari Muhammadiyah dan bersama Muh Husni (sekretaris jenderal PB Muhammadiyah) mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging atau sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI).

Beberapa tahun kemudian, pada 1979, terbit pula terjemahan dalam bahasa Indonesia, Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, oleh H.M. Bachrun –setelah sebelumnya A. Aziz melakukannya tapi tak jadi terbit pada 1939.

“Terjemahan dalam bahasa Jawa dan Indonesia bahkan disetujui dan disahkan oleh Departemen Agama. Pada tingkat tertentu, ini merupakan indikasi dukungan berkelanjutan atas terjemahan karya Muhammad Ali di satu sisi, dan tak signifikannya pengaruh fatwa Rasyid Ridha di sisi lain,” tulis Nur Ichwan dalam jurnal Archipel.

Terjemahan Tjokro memang tak terkenal, selain juga tak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi terjemahan Sudewo –bersama pengantarnya– terdapat di hampir semua rumah tokoh-tokoh intelektual Islam angkatan sebelum perang. “Boleh dipastikan mereka menyimpan kitab itu,” tulis Tempo, 21 September 1974.

Menariknya, edisi pertama Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama memakai rujukan The Holy Qur’an oleh Muhammad Ali dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Sudewo, serta tafsir Ahmadiyah Qadiyan The Holy Qur’an oleh Maulvi Sher Ali. Edisi pertama diterbitkan dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969. Edisi ini diterbitkan Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama (Yamunu), sehingga kerap disebut “Edisi Yamunu”.

Edisi kedua, yang merupakan revisi, menyisipkan tafsir Ahmadiyah Qadiyan lainnya, The Holy Quraan oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad. Edisi ini diterbitkan pada 1974, kerap disebut “Edisi Mukti Ali”, merujuk nama menteri agama kala itu yang juga menulis kata pengantar. Lembaga yang terlibat masih sama, tapi diubah menjadi Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan Al-Qur’an.

Tapi edisi ketiga, karya-karya tafsir Ahmadiyah Lahore dan Qadiyan hilang dan digantikan karya Mohammed Marmaduke Pickthall The Meaning of the Glorious Koran, yang tak disebutkan pada edisi-edisi sebelumnya.

“Penggantian ini mungkin dibuat atas anjuran pemerintah Saudi, karena mereka menganggap Ahmadiyah menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks,” tulis Nur Ichwan.

Edisi ketiga ini kerap disebut “Edisi Saudi” karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan pemerintah Saudi. Ia diterbitkan di Madinah oleh percetakan resmi pemerintah Saudi (Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Sharifayn al-Malik Fahd li al-Taba’at al-Mushaf al-Sharif) pada 1990.

Karya tokoh-tokoh Ahmadiyah, yang mempengaruhi dan menjadi rujukan kaum intelektual Islam Indonesia dari Soekarno hingga AA Navis, meredup karena persoalan politik. [BUDI SETIYONO)

Sumber: Majalah HISTORIA

Retrieved from: http://www.majalah-historia.com/berita-489-jejak-tafsir-kaum-ahmadi.html

Wednesday, October 12, 2011

Ahmadyah against Christianity and Atheism

"Ahmadyah" in John Theodor Petrus Blumberger. 1931. De nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon. pp. 101-105 and 348-50. The extract below is taken from pp. 349-350.

Ter versterking van de eenheid tusschen deze kringen en tevens om propaganda te maken voor de beginselen der vereeniging, hield ,,De Ahmadyah Beweging Indonesia" van 23—25 Juni 1930 een congres te Poerwokerto, bestaande uit een openbare vergadering en eenige besloten bijeenkomsten, w. o. een voor vrouwen.

De heer Djojosoegito, die intusschen voorzitter van het hoofdbestuur was geworden, opende de congres-vergadering, welke door een 200-tal personen werd bezocht. Hij wees op de beteekenis van den Islam voor het heil en de welvaart der menschheid en verklaarde, dat Ahmadyah den Islam propageert in samenwerking met de vereenigingen, welke dien godsdienst willen vooruitbrengen.

Daarna hield Maradja Sajoeti Loebis, die niet tot Ahmadyah behoort, een propagandistische rede over den Islam, terwijl hij met lof sprak over den arbeid van alle Islamietische organisaties, als Sarekat Islam, Moehammadyah, Nahdatoel Oelama, Jong-Islamieten Bond en Ahmadyah. Hij wees op de schaduwzijde van het Westersch onderwijs, dat de jeugd van den eigen godsdienst doet vervreemden; voorts op de verdeeldheid in den Islam, die een godsdienst is voor het geheele maatschappelijke leven en door vele vijanden wordt belaagd. Ahmadyah zal, volgens spreker, den Islam in kracht doen toenemen en vele voor den godsdienst verlorenen weer tot den Islam terugbrengen; Ahmadyah wil de vijanden overwinnen, niet door geweld maar langs heilige wegen. Zich tot de aanwezigen richtend, riep spreker uit: ,,wij vragen offers van U, van Uw lichaam, Uwe goederen en Uw verstand".

Ook Erfan Ahmad Dahlan hield een rede met propagandistische strekking; hij wees op den slechten toestand, waarin de Islam verkeert: de Moslimsche geest is verdwenen; hierin wil Ahmadyah verandering brengen. Het Christendom vreest Ahmadyah, zeide spreker. Daarna sprak Mirza Wali Ahmad Beig over de gevaren, die den Islam bedreigen, w. o. het Christendom en het Atheisme; over de verdeeldheid in de Islam-wereld, waar over nietige dingen wordt getwist en gestreden; ten slotte over de wenschelijkheid om de jeugd naar Westersche scholen te zenden, mits zij tegelijkertijd in de wetenschap van den Koran wordt onderwezen.

Nadat ook een andere spreker het woord had gevoerd over het gevaar, dat den Islam bedreigt van de zijde van het Christendom, werd door het congres besloten: een boekenfonds en een studiefonds te stichten en voorts een propaganda-afdeeling op te richten.

Uit de redevoeringen op dit congres blijkt het streven van dezen ,,Bond van Moeslims" om het Christendom ver te houden van Islamietischen grond, doch ook om de intellectueele nationalisten voor den Islam te behouden.

Sedert de zendeling Mirza Wali Ahmad Beig naar Lahore is teruggekeerd, tracht de Ahmadyah-vereeniging op Java, door de energieke propaganda van haren stichter ontstaan te midden van nationalistische en religieuze stroomingen, zich staande te houden door den steun der Sarekat Islam-leiders.

Tuesday, October 11, 2011

Riwayat Alquran Bombay


Edisi Lebaran
Riwayat Alquran Bombay
Jumat, 26 Agustus 2011 - 18:45:09 WIB

[image:
http://www.majalah-historia.com/foto_berita/2016lintasan_Alquranbombay.jpg]*Dulu
Alquran Bombay tersebar luas, kini kurang diminati. Ia terpojok oleh Alquran
ayat pojok.*

UMAT Muslim sedunia mengutuk aksi nekat Terry Jones yang akan membakar Alquran pada peringatan ke-9 tragedi 11 September 2010. Jika pendeta gereja kecil di Gainesville, Florida, Amerika Serikat, itu jadi membakar Alquran, kehidupan beragama pasti terancam. Namun, bagaimana jika pembakaran Alquran terjadi di Indonesia?

Dua tahun sebelum pembentukan Lajnah Pentashih Alquran pada 1957, terjadi peristiwa yang diingat banyak orang: “Pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.

Bisa jadi, peristiwa itu menjadi salah satu latar belakang pembentukan lembaga yang bertugas untuk mentashih (memeriksa atau mengoreksi) setiap mushaf Alquran yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya, “untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Alqur’an,” tulis lajnah.kemenag.go.id.

Alquran Bombay merupakan mushaf paling populer. Sejak pertengahan abad ke-19, Alquran Bombay beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Peredarannya dapat dilihat dari peninggalan mushaf India di beberapa tempat: Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan. Bahkan, menurut I. Proudfoot, kepala Asian History Centre Australian National University, Australia, percetakan litograf (cetakan batu) Alquran pertama di Nusantara oleh Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah Palembang pada 1854 terinspirasi oleh percetakan Alquran di India.

Pada 1850-an, Palembang menjadi komunitas Arab terbesar di Asia Tenggara. Bersama Sumatra Barat, daerah ini menjadi partisipan tertinggi dalam ibadah haji. Azhari adalah generasi ketiga rombongan ibadah haji –ayah dan kakeknya telah menjalankannya. Setelah bertahun-tahun di Tanah Suci, dia melanjutkan studi di al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah itu, selama perjalanan pulang dengan kapal dari Timur Tengah ke Singapura, terutama sebelum Terusan Suez dibuka, “biasanya kapal singgah di sekitar pelabuhan India, dan sangat mungkin Azhari bekerja di Bombay” tulis Proudfoot dalam “Early Muslim Printing in Southeast Asia,” Libi, Vol. 45, 1995.

Selama di Kairo dan India, Azhari mengenal dan mempelajari percetakan Alquran. Percetakan di India menggunakan teknik pencetakan baru, yaitu litograf yang populer di Eropa selama 1806-1817 terutama untuk karya seni, dan dibawa ke India oleh East India Company pada 1824. Pada 1850, pusat percetakan didirikan di Lucknow-Cawnpore, Agra, Delhi, Lahore, dan Hyderabad (Deccan).

“Pada dekade terakhir abad ke-19, litograf Alquran […] tafsir dan sejenisnya dalam bahasa Melayu dan Jawa dicetak di Bombay (bersama banyak karya sastra populer), Lucknow-Cawnpore, Mekah, Kairo dan Istanbul,” tulis Proudfoot.

Di Singapura, persinggahan terakhir sebelum menuju Palembang, Azhari membeli litograf untuk mencetak Alquran. Di sana, dia menemukan lima percetakan komersial yang dimiliki orang Eropa. Salah satunya Mission Press, yang dijalankan seorang misionaris Protestan, B. P. Keasberry. Pada 1849, dia menggunakan teknik ini untuk mempublikasikan autobiografi seorang pujangga dan perintis sastra Melayu modern Abdullah bin Abd al-Qadir Munsyi. Keasberry yang lahir di Hyderabad telah berhubungan dengan perkembangan percetakan di India. Tak diragukan lagi litograf India beredar di Singapura. “Mungkin atau tidak, Azhari membawa peralatan litografnya ke Mission Press,” tulis Proudfoot.

Tapi, menurut Martin Van Bruinessen, Azhari belajar sendiri mengoperasikan litografnya. “Alqurannya –di mana dia menulis 14 halaman berbahasa Melayu mengenai pengenalan cara pengucapan dan membaca– siap menemukan pembeli,” tulisnya dalam “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 146, No. 2/3 1990.

Azhari menjual Alquran dengan harga 25 gulden atau sekitar £2. “Penjualan 20 eksemplar dapat mengembalikan biaya peralatan percetakan dan memungkinkan untuk biaya kertas yang baik dan binding,” tulis Proudfoot.

Sementara itu, menurut dosen Departemen Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dalam Memandang Palembang dari Khazanah Naskahnya, dalam naskah Alquran koleksi pribadi Abdul Azim Amin terdapat catatan yang menyebutkan bahwa Azhari mengenal tradisi percetakan litograf dari gurunya di Singapura dan Malaka. “… dia selesai mencetak Alquran pada hari Senin tanggal 21 Ramadan 1264 Hijriyah bertepatan dengan 21 Agustus 1848. Yang dicetak sebanyak 105 Alquran selama 50 hari. Jadi, dalam satu hari sebanyak dua Alquran tiga juz. Tempat mengerjakan percetakannya di Kampung 3 Ulu, Palembang, dengan kepala kampung Demang Jayalaksana Muhammad Najib ibn Demang Wiralaksana Abdullah Alhalik…”

Menurut Kepala Seksi Koleksi dan Pameran Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Ali Akbar, tak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan Asia Tenggara dimulai dengan mereproduksi mushaf yang sebelumnya telah dicetak di India. Jenis mushaf lain yang beredar di Asia Tenggara adalah cetakan Turki dan Mesir. Selama bertahun-tahun ketika memulai usaha pada 1930-an, Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, Malaysia, hanya mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal.

“Mushaf yang paling banyak dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian sering disebut sebagai Alquran Bombay,” tulis Ali dalam “Mushaf Lama Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id, 6 Juni 2011.

Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga 1970-an. Sebagian kecil penerbit masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang, selain mencetak mushaf dengan jenis huruf lain karena semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan. Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India sebagai teks pokok, sementara untuk teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, tergantung pada pilihan penerbit. Teks tambahan berupa keutamaan membaca Alquran, makharij al-huruf (tempat keluarnya huruf), tajwid, doa khatam Alquran, daftar surah dan juz, dan lain-lain, biasanya ditulis oleh para khattat (kaligrafer) Indonesia.

Sejak 1984, Departemen Agama menetapkan mushaf standar, baik untuk pedoman Lajnah maupun kiblat para penerbit percetakan Alquran. Pada Februari 1983, dari hasil Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Alquran IX, Menteri Agama Alamsjah menerima tiga kopi induk Alquran standar, yang penulisan bakunya dikerjakan oleh kaligrafer Ustad Ahmad Syadli selama empat tahun. Naskah Alquran standar itu baru diedarkan setelah Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Alquran X pada akhir Maret 1984.

“Yang diselesaikan para ulama itu sebenarnya tiga macam mushaf, yaitu mushaf Usmani (bersandar pada huruf naskah Usman dulu) yaitu naskah Alquran biasa; mushaf Bahriyah, khusus untuk para hafizh, penghafal Alquran; dan mushaf Braille, untuk para tunanetra,” tulis Tempo, 14 April 1984. Mushaf Braille menggunakan huruf Braille Arab, al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah, sebagaimana diputuskan oleh konferensi internasional Unesco pada 1951.

Menurut Ali, penetapan mushaf Alquran Rasm Usmani berdasarkan mushaf cetakan Bombay, “karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun –bahkan mungkin hampir satu abad,” tulisnya, “Pentashihan dan Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id, 6 Juni 2011.

Sedangkan, mushaf Alquran Bahriyah modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah. Jenis mushaf ini juga digunakan secara luas oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan para penghafal Alquran, dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat –dikenal sebagai “ayat pojok”.

Alquran Bombay kian terpojok oleh Alquran ayat pojok. Menurut Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APMI), Alquran Bombay yang beredar sebelum tahun 2000 dicetak di atas kertas koran kualitas rendah yang mudah robek dan tak tahan lama. Tulisannya berbentuk bulat dan pendek-pendek, serta sulit dibaca karena huruf hijaiyahnya banyak yang ditumpuk atau tidak linier. Paling mencolok dari Alquran Bombay, ayat penutup suatu surat tak terletak di posisi paling bawah halaman, kadang pada seperempat atau di tengah-tengah halaman. Akibatnya permulaan ayat sebuah surat tak bisa berada di posisi paling atas halaman tersebut. Sehingga terkesan tidak rapi, membacanya juga sulit, apalagi yang matanya silinder.

Masyarakat pun lebih menggemari Alquran ayat pojok. Setiap ayat terakhir sebuah surah selalu di pojok bawah sisi kiri halaman. Sehingga surat selanjutnya bisa di halaman baru mulai dari atas. Selain itu, cetakan huruf-huruf tertata rapi, linier. *[HENDRI F. ISNAENI]*