Wednesday, October 31, 2012

In/toleransi Eksesif, Batas Legal-Etis

Kompas, Rabu, 23 Februari 2011 | 03:06 WIB

Budiarto Danujaya

Toleransi bukanlah sekadar perkara rentang, melainkan juga batas normatif sebuah masyarakat sebagai entitas sosiopolitik. Toleransi eksesif, apalagi tak berketentuan dan tak berkesudahan, sama buruknya dengan intoleransi eksesif.

Inilah kiranya pangkal pengulangan berketerusan insiden intoleransi agama berdarah di negeri ini. Intoleransi eksesif hanya mungkin terus berulang terjadi lantaran toleransi kita terhadap intoleransi juga kelewat eksesif.
Tengoklah, setiap kebengisan intoleransi datang, hujan lebat caci maki pun menjelang. Namun, sesegera itu pula, keadaan kembali tenang seolah tak ada kegentingan apa pun sempat terjadi. Padahal, juga tak ada penanggulangan berarti apa pun sudah dilakukan. Lalu, seolah juga tak ada lagi yang peduli ke mana semua kegeraman itu menguap, sampai kerusuhan intoleransi kembali menyambang.

Ada apakah dengan politik toleransi kita? Mengapa deru demokratisasi kita, yang katanya marak puja-puji masyarakat internasional, bak kelu menghadapi keganasan intoleransi berkelanjutan semacam itu?

Tembok legal-etis
Puluhan peristiwa dari tahun ke tahun—paling tidak satu dasawarsa terakhir—menggamblangkan kepada kita bahwa rangkaian insiden tersebut bukanlah sekadar amuk massa.

Terlepas selalu diiringi merebaknya isu politisasi, misalnya, pengalihan isu atau sebaliknya juga penujuan perhatian masyarakat senyampang titik kritis pencitraan rezim penguasa sedang bergoyang, kiranya sedikit yang percaya kalau tak ada kelompok ekstremis di balik rangkaian kerusuhan ini. Bagaimana mungkin gerombolan massa di berbagai kawasan berbeda sontak jadi kelompok-kelompok bertujuan sama, jelas, tertata taktis, dan terus berulang?

Oleh karena itu, reaksi gamang para pihak berkepentingan terhadap pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan organisasi perusuh yang bertanggung jawab, jelas lebih memperlihatkan keraguan politis ketimbang ketidakpahaman situasional. Keraguan ini tampak lebih gamblang lewat upaya mengait-ngaitkan pembubaran organisasi perusuh dengan kemunduran agenda demokratisasi.

Pengaitan semacam ini jelas retorika semantik belaka. Terlalu gamblang bahwa kebengisan intoleransi merupakan perkara pelanggaran hak-hak asasi sesama warga; padahal, demokrasi justru sebuah pengakuan akan isonomia: kesetaraan kedaulatan politis segenap warga di hadapan konstitusi, terlepas dari segenap perbedaan dan keyakinannya.

Dengan demikian, dalam rezim demokratis mana pun, mestinya kesetaraan konstitusional menjadi batas legal-etis sebuah masyarakat sebagai bangsa, apalagi yang secara konstitusional mengakui kebinekaan. Dalam hal ini, laiknya sebuah negeri senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas wilayah kedaulatan), setiap komunitas politik baik de facto maupun de jure juga senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas rentang legal-etis).

Dalam konteks itulah Jacques Derrida berpendirian bahwa keterbukaan absolut, seperti halnya ketertutupan absolut, sama-sama akan membuyarkan proses pemaduan sebuah komunitas sosiopolitik. Jadi, seorang Derrida yang mewacanakan toleransi sebagai hospitalitas tanpa batas bahkan secara tak langsung akhirnya juga mengakui adanya ”marjin” toleransi. Persoalannya, kebengisan intoleransi semacam itu baginya bukan lagi perkara hospitalitas rentang toleransi, melainkan pelanggaran ”tembok” legal-etis. Jadi, perkara pelanggaran hukum di ruang publik.

Perangkap anarkisme
Pewacanaan intoleransi eksesif lebih sebagai pelanggaran hukum ini sekaligus menggamblangkan bahwa batas pemakluman terhadap kekejian eksesif semacam itu bukanlah limit psikologis, bukan pula marjin artikulatif, melainkan tembok legal-etis. Dalam kerangka yuridis-formal, batasnya adalah konstitusi beserta segenap derivasi hukumnya.

Dengan begitu, kalau perbuatan semacam itu memang harus kita caci maki, bukanlah lantaran kehabisan kesabaran akan kebrutalannya yang keterlaluan. Bukan pula perkara etis interpersonal atau komunal, melainkan jelas-jelas bermatra legal; melakukan kekerasan di ruang publik—apalagi sampai meregangkan nyawa orang lain—adalah pelanggaran hukum berat.

Tentu juga bukan lantaran menerjang marjin artikulatif kelompok keyakinan berbeda, seperti coba diwacanakan para pihak yang justru menginginkan pembubaran kelompok artikulasi keyakinan berbeda yang dianggap ekstrem sehingga memprovokasi kerusuhan. Kita harus jelas dan terpilah dalam membedakan perkara perbedaan artikulatif—bahkan intoleransi artikulatif sekalipun—dengan pelanggaran hukum.

Atas nama keyakinan apa pun, tak ada kelompok masyarakat mana pun yang berhak ”menertibkan” pihak lain dengan kekerasan. Misalnya, penutupan seminar atau pembubaran kegiatan demonstrasi kelompok lain ataupun penyegelan paksa atau penghancuran rumah hiburan, yang kelewat kerap terjadi. Secara konstitusional, hanya negara yang punya wewenang koersif. Kita boleh saja berang dan menggugat, tetapi seyogianya tetap hanya negara—lewat polisi—sajalah yang boleh melakukan penertiban koersif semacam itu.

Apalagi penyerbuan berdarah, penganiayaan berat berkorban jiwa, serta pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah kelompok berkeyakinan atau berartikulasi keyakinan lain. Rasanya, lewat pengadilan sekalipun, bahkan negara juga tetap tidak akan pernah cukup memiliki kewenangan hukum untuk melakukannya karena menyangkut hak-hak asasi manusia yang secara konstitusional penjagaan, pengejawantahan, dan pewujudannya justru wajib mendapat jaminan penuh negara.

Oleh karena itu, senyampang kembali terulangnya tragedi intoleransi eksesif semacam ini, kita semestinya justru diinsafkan bahwa komunitas politik, baik senyatanya maupun seharusnya memang memiliki—dan karena itu juga berkewajiban mematuhi dan merawat—batas legal-etisnya. Tanpa kesadaran bersama akan hal ini, kita mudah disilapkan kepentingan miopis kelompok sendiri, tanpa menyadari bahayanya bagi pemaduan berkelanjutan imajineri kita bersama sebagai sebuah bangsa.

Tembok legal-etis bersama itu perlu betul-betul kita sadari keniscayaannya agar tak gampang rancu membedakan intoleransi eksesif dan pelanggaran hukum; pun, tak gampang luput memahami relasi timbal-balik intoleransi tak berkejuntrungan dengan toleransi tak berkejuntrungan. Tanpa kesadaran bersama pentingnya batas normatif itu, negeri ini bisa tergelincir masuk perangkap anarkisme.

Kita tahu bangsa China sampai merasa perlu membangun tembok besar lebih dari 6.000 kilometer untuk mencegah ”barbarisme” memorakkan wilayah kedaulatannya. Rasanya, upaya raksasa ini secara metaforis cukup menggamblangkan kenyataan dan keharusan setiap negeri memiliki tembok, baik dalam arti geografis maupun legal-etis.

BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik, Departemen Filsafat FIB-UI

Retrieved from: http://nasional.kompas.com/read/2011/02/23/03060023/

Tuesday, October 30, 2012

Persekusi dan Kebebasan Berkeyakinan

Kompas, Rabu, 9 Februari 2011 | 04:42 WIB

Sukidi

Dalam bangsa majemuk idealnya kita memang menjadi warga negara yang setara, terutama dalam kebebasan berkeyakinan (equal liberty of conscience).

Kesetaraan ini menjadi prinsip dasar konstitusi kita dan sejumlah peraturan internasional yang sudah diratifikasi. Namun, prinsip itu kerap dilanggar. Ekspresi keyakinan yang plural tidak diberi ruang kebebasan yang setara, tetapi justru diintervensi. Padahal, setiap bentuk intervensi eksternal terhadap keyakinan dapat dikategorikan sebagai tindak- an persekusi (an act of persecution). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema persekusi mengacu pada tindakan atau perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

”Persekusi berdarah”
Persekusi sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran moral, agama, dan kemanusiaan, tetapi sering kali dipraktikkan tidak saja oleh segmen kecil masyarakat sipil yang tak beradab (uncivil society), tetapi juga dijustifikasi oleh otoritas sipil (civil authority) ataupun otoritas agama (religious authority). Kedua otoritas itu sering melakukan ”aliansi tak suci” (unholy alliance) di balik kuasa politik dan agama. Persekusi menjadi modus utamanya, terutama ditujukan kepada kaum yang dituduh tersesat dari ortodoksi agama.

Awalnya, tuduhan ”tersesat” itu datang dari pendapat keagamaan yang dikeluarkan oleh pejabat agama. Terlepas dari statusnya yang tidak mengikat, pendapat itu dipakai sebagai lisensi teologis bagi masyarakat yang tak beradab untuk membunuh (a license to kill) dan bagi otoritas sipil untuk membiarkan tindak- an pembunuhan atas nama ortodoksi agama.

Pekik keagungan nama Tuhan pun bergemuruh di tengah praktik pembunuhan. Akibatnya, ”persekusi berdarah” (bloody persecution) dipraktikkan secara biadab oleh sejumlah persekutor, didiamkan oleh masyarakat tak beradab yang hadir di lokasi kejadian, dan dibiarkan juga oleh pejabat sipil. Inilah praktik aliansi yang tak pernah suci itu.

Komentar reaktif segera terdengar silih berganti, tetapi semua datang setelah fakta pembunuhan dan persekusi berdarah terjadi. Dalam pikiran pejabat sipil dan agama, kaum tersesat (heretics) tidak diperkenankan hidup dalam masyarakat religius karena hanya menjadi penyakit sosial. Kaum tersesat pun dipisahkan dari masyarakat yang benar, mulai dengan cara pembubaran, pengusiran, penganiayaan, sampai ”persekusi berdarah”. Inilah ”era gelap persekusi” di negeri yang berfalsafah Bhinneka Tunggal Eka.

Ekspresi keyakinan
Padahal, persekusi terhadap keyakinan adalah bentuk pelanggaran dan penistaan terhadap Tuhan. Sebabnya jelas, keyakinan adalah hak asasi yang diberikan oleh Tuhan. Hak itu tidak dapat diintervensi, dicabut, dan dinodai oleh otoritas eksternal karena lokusnya yang sangat personal, semata-mata datang sebagai anugerah Tuhan dan dijadikan sebagai ekspresi hubungan spiritual antara setiap manusia dan Tuhan-nya.

Setiap manusia memiliki hak kebebasan yang setara untuk mengekspresikan keyakinannya. ”God’s people must enjoy their liberty of conscience,” tulis Roger Williams (w 1683) dalam risalahnya yang dibakar, The Bloudy Tenet of Persecution [1644], ”because forced worship stinks in God’s nostrils” (Williams, 1963, vol vi, h 347). Di samping itu, persekusi dapat pula dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan yang paling hakiki karena agama dan keyakinan juga merupakan hak natural setiap manusia (man’s natural right).

Hak itu inheren dan melekat pada semua manusia semata-mata berkat harkat dan martabat dirinya sebagai manusia. Konsekuensinya, hak natural itu tidak dapat diintervensi oleh otoritas eksternal di luar dirinya, baik sipil maupun agama.

Keyakinan haruslah diberi kebebasan absolut untuk memilih jalannya sendiri. Sekalipun pilihannya keliru, sejauh tidak menodai hak-hak orang lain dan ketertiban publik, hak itu tetap diperbolehkan. Biarkan setiap warga menentukan keyakinan yang sesuai dengan nuraninya tanpa ada paksaan dan intervensi luar. Sebabnya jelas, keyakinan yang ditundukkan atas dasar paksaan dan persekusi, kata pemikir Iran, Abdul Karim Soroush, bukanlah pilihan yang benar. ”Untuk menjadi orang yang beriman secara benar,” kata Soroush, ”seseorang harus bebas.”

Keyakinan yang dianut setiap manusia harus bebas dan dibebaskan dari intervensi otoritas eksternal, baik sipil maupun agama. Benar pula apa yang ditulis filsuf Inggris, John Locke (w 1704), dalam risalah toleransinya yang sudah klasik, A Letter Concerning Toleration (1685), bahwa agama dan keyakinan butuh ketulusan (sincerity) yang hanya ditentukan oleh dorongan dari dalam, dari keyakinan nuraninya yang terdalam.

Tugas pemerintah sipil
Apa yang dapat dilakukan oleh otoritas sipil atau pemerintah sipil adalah memberikan proteksi keamanan (security) dan kebebasan (freedom) kepada setiap warga negara untuk dapat beribadah secara aman dan nyaman. Pemerintah sipil tidak diperkenankan berbicara tentang tata cara beribadah, tentang kebenaran suatu agama, dan tentang ekspresi keyakinan pemeluk agama. Pemerintah sipil tidak boleh sedikit pun menghakimi keyakinan yang dipeluk warga sebagai yang benar atau sesat. Itu sudah di luar yurisdiksi pemerintah sipil.

Pemerintah sipil hanya diperbolehkan mengatur hal-hal luar saja, yang ”sekuler” dan terkait dengan kemaslahatan dan hajat hidup masyarakat. Sikap bijak yang dapat dilakukan oleh pemerintah sipil, misalnya, dengan merumuskan ”undang-undang toleransi” yang lebih mengatur tentang pentingnya bersikap toleran dan respek kepada sesama warga di tengah kemajemukan.

Toleransi adalah tangga dasar agar kita terbebas dari ”tirani mayoritas”. Dengan toleransi, kita sekadar mengetuk pintu kesadaran mayoritas agar sedikit bersikap toleran terhadap mereka yang dituduh ”tersesat” dan menjadi korban persekusi berdarah. Kita harus bergerak jauh dari toleransi menuju kesetaraan setiap warga negara dalam memeluk agama dan keyakinannya.

Setiap warga negara harus diperlakukan setara tanpa diskriminasi atas dasar apa pun. Setiap warga negara berhak beribadah, bebas memeluk keyakinannya, sekaligus mendirikan tempat ibadah tanpa ada kesulitan sedikit pun dalam perizinan. Pada sisi lain, kaum beragama, terutama para elitenya, juga harus dibiasakan dengan proses dialog yang persuasif, rasional, dan bijaksana tanpa terjatuh pada sikap merasa benar sendiri.
Kebiasaan menyelesaikan setiap masalah dengan dialog dan penalaran publik tidak saja bermanfaat untuk kita dalam kehidupan beragama dan berbangsa, tetapi juga meminimalisasi ruang terjadinya prasangka buruk, kekerasan, dan persekusi. Dialog yang persuasif dan penuh kearifan harus menjadi habit, kebiasaan, yang harus selalu dibiasakan dalam penyelesaian setiap masalah sehingga dapat menjadi norma-norma kebenaran sosial yang kita yakini kebenarannya.

Sukidi Kandidat PhD Studi Agama, Harvard University, Cambridge

Retrieved from: http://nasional.kompas.com/read/2011/02/09/04421085/

Sunday, October 28, 2012

FPI vs Ahmadiyah: Kapan Berakhir?

Gatra, Minggu, 28 Oktober 2012 14:08

 Jakarta, GATRAnews - Malam takbiran memperingati lebaran Idul Adha di Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat, berlangsung meriah pada Kamis (26/10/2012) malam. Seperti kota-kota lain di Indonesia, gema takbir berkumandang, bersahut-sahutan, menyebut kebesaran illahi.

Sayang, suasana malam takbiran yang meriah di Bandung ternodai oleh aksi anarkhis perusakan sebuah mesjid. Puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menyatroni dan merusak Masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Gang Sapari Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Bandung.

Penyerangan bermula saat puluhan anggota FPI melakukan razia minuman keras dan hiburan malam di wilayah itu. Namun, saat melewati Masjid An-Nasir, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka melihat warga Ahmadiyah tengah bertakbir. Para anggota FPI meminta warga Ahmadiyah menghentikan ibadah mereka.
Namun permintaan tersebut ditolak. Cekcok pun terjadi. Anggota FPI bersikukuh meminta jamaah mematuhi peraturan Gubernur Jabar yang melarang berbagai bentuk aktivitas Ahmadiyah. Keputusan gubernur yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, yang diteken Gubernur Ahmad Heryawan pada 3 Maret 2011 lalu.

Karena tak ada yang mau mengalah, mereka mendatangi Mapolsek Astana Anyar yang letaknya hanya 300 meter dari masjid. Namun, pertemuan berakhir buntu. Mendengar itu, anggota FPI yang masih berada di sekitar masjid melempari kaca dan merusak pagar masjid. Pengrusakan ini terjadi sekitar pukul 01.00, Jumat (26/10/2012) dini hari.

Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, sering terjadi bentrok antar umat yang dipicu oleh keberadaan Ahmadiyah. Masih di Jawa Barat, tepatnya di Bogor, Tasikmalaya dan Kuningan, misalnya, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Belum lama ini, masjid Ahmadiyah di Ciampea, Bogor, dibakar massa. Juga ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya dan bentrokan di Kuningan.
Di provinsi banten, puncak tragedi berdarah terkait aliran Ahmadiyah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Sementara itu, di luar Jawa pun sering terjadi bentrok antar umat terkait keberadaan Ahmadiyah. Pada 2004, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Jumlahnya tak sedikit, mencapai 36 kepala keluarga dan 138 jiwa. Bertahun-tahun mereka harus tinggal di Wisma Transito.

Jamaah Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota FPI Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011. Akibatnya, puluhan anggota Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan terkait aliran Ahmadiyah. Paling banyak terjadi pada 2008, yakni 193 kasus, atau 73 persen dari total kekerasan terkiat aliran beragama. Pada 2009 dan 2010, bentrok karena kehadiran Ahmadiyah masing-masing sebanyak 33 dan 50 kali.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin mengaku khawatir bila bentrokan antar umat beragama itu tidak segera ditanggulangi. Khusus kejadian di Bandung pada malam takbiran menyambut lebaran haji, menurut dia, bila tak segera diantisipasi, bisa menjalar ke kota besar lainnya.

Ma'ruf menegaskan penyerangan oleh FPI tidak bisa dibenarkan. "Eksekusi tidak boleh dilakukan oleh umat. Jika masyarakat melihat ada pelanggaran, laporkan saja pada aparat agar pemerintah, yang bertindak," kata Ma'ruf di Jakarta, Sabtu (27/10/2012).

Agar tak terjadi lagi tindakan anarkis serupa, Ma'ruf meminta kepada pemerintah untuk bergerak cepat mengatasi permasalah tersebut. "Aparat hukum harus sigap, harus berani melakukan tindakan. Kalau pidana, aparat harus berani, jangan pandang bulu," tegasnya.

Ia pun meminta kepada umat Islam untuk menahan diri dan tidak mudah terpancing emosi. "Ini terjadi karena emosi yang tidak terkendali, diprovokasi. Ini yang harus dihindari," ujarnya.

Mengapa bentrok FPI dan Ahmadiyah itu tak berujung? Pihak FPI memandang bahwa faham Ahmadiyah telah melenceng dari Islam. Selain itu, keberadaannya sudah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Surat tersebut memerintahkan penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.
Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur. FPI memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong sebagai dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” kata Habib Reza, salah satu pentolan FPI.

Sumber konflik adalah perbedaan tafsir mengenai nabi terakhir. Ahmadiyah menafsirkan, setelah Nabi Muhammad wafat, muncul tokoh pembaru yang jadi panutan, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ia dianggap sebagai nabi yang tak membawa syariat baru.

Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia.

Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Mereka berkilah, Ahmadiyah tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Adapun soal kitab Tazkirah, pihak Ahmadiyah mengaku itu bukanlah kitab suci. Kitab tersebut hanya kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Mereka mengakui bahwa pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.

Soal kontroversi Ahmadiyah ini, cendekiawan muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan Ahmadiyah.
"Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."

Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama. Azyumardi sendiri percaya Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," pungkasnya. (HP)

Retrieved from: http://www.gatra.com/fokus-berita/19977-fpi-vs-ahmadiyah-kapan-berakhir.html

Saturday, October 27, 2012

The Kashmir Crisis as a Political Platform for Jama'at-i Ahmadiyya's Entrance into South Asian Politics

KHAN, ADIL HUSSAIN. 2012. "The Kashmir Crisis as a Political Platform for Jama'at-i Ahmadiyya's Entrance into South Asian Politics". Modern Asian Studies. 46 (05): 1398-1428. 

ADIL HUSSAIN KHANa1

a1 University of Illinois at Urbana-Champaign Email: adilkhan@illinois.edu

Abstract
This paper looks at Jama'at-i Ahmadiyya's political involvement in the Kashmir crisis of the 1930s under its second and most influential khalīfat al-masīh, Mirza Bashir al-Din Mahmud Ahmad, who took over the movement in 1914, six years after the death of his father, Mirza Ghulam Ahmad. Communal tensions springing from the Kashmir riots of 1931 provided Mirza Mahmud Ahmad with an opportunity to display the ability of his Jama'at to manage an international crisis and to lead the Muslim mainstream towards independence from Britain. Mahmud Ahmad's relations with influential Muslim community leaders, such as Iqbal, Fazl-i Husain, Zafrulla Khan, and Sheikh Abdullah (Sher-i Kashmīr), enabled him to further both his religious and political objectives in the subcontinent. This paper examines Jama'at-i Ahmadiyya's role in establishing a major political lobby, the All-India Kashmir Committee. It also shows how the political involvement of Jama'at-i Ahmadiyya in Kashmir during the 1930s left Ahmadis susceptible to criticism from opposition groups, like the Majlis-i Ahrar, amongst others, in later years. Ultimately, this paper will demonstrate how Mahmud Ahmad's skilful use of religion, publicity, and political activism during the Kashmir crisis instantly legitimized a political platform for Jama'at-i Ahmadiyya's entrance into the mainstream political framework of modern South Asia, which thereby has facilitated the development of the Ahmadi controversy since India's partition.
(Online publication February 29 2012)

Footnotes
* I would like to thank Christopher Shackle, Avril A. Powell, and Ian Talbot for their comments on earlier drafts of this paper. The research for this paper was supported by grants from the University of London Central Research Fund and the Additional Award for Fieldwork from the School of Oriental and African Studies (SOAS).

Wednesday, October 10, 2012

Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir

Bramantyo Prijosusilo , Ngawi, East Java | Wed, 04/16/2008 12:31 PM | Opinion 


Links:
[1] mailto:bramn4bi@yahoo.com

Tuesday, October 9, 2012

Judicial Review and Religious Freedom: The Case of Indonesian Ahmadis

Crouch, Melissa. 2012. "Judicial Review and Religious Freedom: The Case of Indonesian Ahmadis." Sydney Law Review, 34(3): 345-72.

Abstract
The right to religious freedom is included in arts 28E and 29 of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, ‘the Constitution’). This right is under threat, however, for religious minorities such as Ahmadiyah, an Islamic sect which has existed in Indonesia for over 80 years. Since 2005 and the renewal of a fatwa (Islamic legal decision) by the Indonesian Ulama Council (Majelis Ulama Indonesia) against Ahmadiyah, this group has experienced increasing attacks from radical Islamic groups. This article analyses the implications of the controversy over Ahmadiyah for religious freedom and tolerance in Indonesia. It begins by highlighting the origins and formation of Ahmadiyah in Indonesia, and then examines several regional regulations (peraturan daerah) and administrative decisions that ban the activities of Ahmadiyah. This article demonstrates why it is unlikely that an application for judicial review of these regional regulations will succeed in the Supreme Court (Mahkamah Agung). If this is the case, it means that local governments remain free to restrict the rights of religious minorities such as Ahmadis.

Conclusion 
In October 2010, the Minister of Religion, Suryadharma Ali, publically declared that the best solution to the problem was to ban Ahmadiyah in Indonesia.133 This statement appeared to legitimise the actions of regional governments that have passed such regulations, despite the questions, yet to be considered by the Supreme Court, over whether they hold the legal power to do so.
 
This article has critically examined the interpretation of and limitations on the right to religious freedom in Indonesia for Ahmadiyah. Regional regulations and administrative decisions banning the activities of Ahmadiyah have not only
increased in number since the introduction of the Joint Ministerial Decision 2008, but they have also grown in intensity and scope. Such regulations issued by regional authorities reflect the increasingly conservative positions of local governments on the issue of Ahmadiyah.
 
The leaders of Ahmadiyah, with the support of the Indonesian Legal Aid Institute, have attempted to assert their rights by taking their case to court. Of the three applications for administrative review of decisions to ban Ahmadiyah, all have been dismissed by the Administrative Courts. This shows the reluctance of the courts to hear and decide on these highly divisive disputes.
 
Aside from administrative decisions, some regional regulations are currently the subject of judicial review in an application before the Supreme Court. Even if the Court could be persuaded by legal arguments, such as the power to maintain public order under Law 32/2004 on Regional Governance, the Court will be under pressure from Islamic religious leaders and from the demands of radical Islamic groups that threaten violence if Ahmadiyah is not banned. It is therefore unlikely that the Supreme Court would find these regulations invalid. Like the 2005 Tangerang case, it may even decline to issue a decision in the case given the sensitive social and political issues it raises.
 
The situation for Ahmadis has deteriorated since the decision of the Constitutional Court in 2010 that upheld the Blasphemy Law, at least in terms of official legal regulations issued against them. The Court decision has only made it more difficult for Ahmadiyah to challenge the validity of regional regulations banning its activities. In the absence of initiatives from the national government to protect the rights of Ahmadis, local governments are free to restrict religious freedom, leaving Ahmadis without the protection of the legal system.

Retrieved from: http://sydney.edu.au/law/slr/slr_34/slr34_3/SLRv34no3Crouch.pdf

Sunday, October 7, 2012

Religious Minorities in India and Indonesia

By Karel A. Steenbrink, June 1, 2012

On Thurdsay 31 May I attended a meeting in Utrecht on the theme Believing in the House of the Other. The idea was that Christian minorities have sometimes a difficult time in the house in Hindus (India) and Muslims (Indonesia). There were about 40 people present, from development organizations like ICCO, Cordaid, Islamic Relief, TEARS, Mensen met een Missie (Catholic Religious Orders, CMC or Centraal Missiecommissiariaat in earlier decades). I was invited by Dr. Kees de Jog and his wife Tuti, working in Yogyakarta but on visit in the Netherlands.


The first speaker was Radj Bhondoe, for a long time, consultant with Cordaid, the Catholic Development Organization, but now president of the Hindu Union in the Netherlands and also with a Hindu organization. He blamed the media in the West for giving so much attention to aggressive acts by Hindus and not by Christians. India and Hindus in India have given shelter to Ahmadis who fled from Pakistan, to Zoroastrian refugees from Iran, to Buddhists from Tibet. So, Hindus can be very tolerant and helpful. In Orissa some time ago a Christian missionary, working for lepers, was killed. But the press does not mention that this also was active in conversion work, not following the rules of Indian society that one has to respect other religions. Of course, this killing cannot be defended. But, when two years later a Hindu Swami who built primary schools in Orissa was killed, the Western press remained silent.
Above we see Radj Bhondoe talking in front of a maedieval painting of the seven works of mercy, in the main hall of St. Batholomew's Hospital where the meeting was held.
Bhondoe also stressed that much money given for the fight against leprosy to Sister Teresa, was not spent for medical puporses, but for missionizing. Swamis who fight against leprosy also are less successful in finding funds in Western countries.

Second speaker wasJason Fernandez from Portugal, now working on his Ph.D in the UK. He talked about the grammar of secularism in India. To be clear: in India secularism is not understood as neutrality in the field of religion or even opposition against religion, but as a very positive value, more or less like pluralism. A secular society given opportunities to all religions. He showed how cast, gender, class is interwoven with religion in India and even how the use of one's language has to do with a religious and social position.
The two ladies representing the Islamic Relief. The one in the left is probably Surinam-Muslim, judging from the name of Rahman. The one on the right looks like a non-Muslim, but still is an official in this organization. About language and denomination!

Jasper Slob gave an overview of the situation in indonesia (in ten minutes only; this was more a short conference of orientation than a thorough debate of practical problems). He sketched the situation of Christians in a transition from first class citizens (due to colonial privileges, better education, high position in the bureaucracy) towards second class citizens, because now they have often less right than the Muslim majority. Salafi Islam is growing, but among Christians aggressive preachers are also more successful than moderate classical churches.
Last speaker was Ward Berenschot, who wrote a dissertation on Muslim-Hindu conflict in Gujerat, India, but also has experience about field research in Indonesia and now has a research position at the Leiden Research Institute on Indonesia, KITLV (by the way: the Maluku Museum in Utrecht must close due to financial problems and lack of political support. Its collection will be brought to KITLV in Leiden).
Ward Berenschot pictured how Pancasila now again is popular with liberal Muslims and Christians. In the late Soeharto period it was identified as a cover up for political oppression (Pancasila wants harmony, no opposition). Now Pancasila again is the banner fro defenders of pluralism.
He promoted that development organizations should not neglect religious issues, because they are so important in countries like India and Indonesia. Human rights, gender equality, economic progress: it all has a religious dimension and that must be taken serious by all people who want to promote a better and just society.

Retrieved from: http://relindonesia.blogspot.com/2012/06/religious-minorities-in-india-and.html