Wednesday, December 26, 2012

Anak-Anak (Menjadi) Perantau

Oleh Firdaus Mubarik

Rumah-rumah hancur berantakan. Polisi nyaris tak berbuat apa-apa mencegah para penyerang. Para Ahmadi melihat sendiri rumah mereka dihancurkan dari balik berikade polisi. Foto: Jauzi (2006).

Rabu, 13 Februari 2002. Selagi melintasi kota Selong, Ruhiyatun Fajri terkejut di persimpangan pertama. Dia melihat sebuah toko kelontong hancur. Pintu depan rusak. Barang-barang toko berserakan. Ada garis kuning polisi terbentang di depan toko. Kantor Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, berjarak lima puluh meter di arah utara.

Atun, demikian dia biasa disapa, segera mempercepat langkah. Siang itu, dia sedang berjalan kaki pulang dari sekolah, melewati kota, menuju rumahnya di ujung Kampung Sawing, dua kilometer dari kantor bupati. Selama perjalanan pulang, pikiran siswi kelas dua Sekolah Menengah Pertama 2 Selong ini tertuju pada rumah sahabatnya. Rumah merangkap toko yang hancur itu milik Awaluddin, ayah dari kawan-kawannya di masjid, Ema dan Ica.

Lima ratus meter sebelum mencapai rumahnya, berbelok ke kiri, ada sebuah perkampungan di antara sawah dan kebun-kebun. Namanya Kampung Montong Gamang. Atun mengenal beberapa teman di situ, salah satunya keluarga Hammatul Hayyi.

Malam sebelumnya, Hayyi menginap di rumah Malik Saifur Rahman, saudara dekat sekaligus teman satu sekolah. Rumah Hayyi berjarak tiga puluh meter dari rumah Malik. Rabu pagi itu, Hayyi dan Malik berangkat bersama ke sekolah. Malik menyebut bibi pada Hayyi dari hubungan darah mereka, meski umurnya sepantar.

Di sekolah, Hayyi mendengar beberapa anak bergunjing. Tampaknya ada yang tahu dia menginap di rumah Malik. Hayyi tak suka mendengar teman-temannya berbisik. Dia khawatir mereka membicarakan dirinya sebagai anak Ahmadi. Dia tak suka, sekaligus takut.

Ahmadi adalah sebutan bagi anggota jemaah Ahmadiyah. Ahmadiyah merupakan kelompok dalam Islam yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Mahdi; tanda akhir zaman yang mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian untuk menuntun sebuah gerakan pembaharuan Islam. Bagi kelompok Islam tertentu, apa yang diyakini oleh Ahmadiyah ini dianggap sesat dan penodaan terhadap Islam.

Seusai sekolah, Malik dan Hayyi tak langsung pulang. Keluarga mereka sudah menanti di depan sekolah, membawa mereka mengungsi ke Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Itu hari terakhir keduanya melihat rumah.

Tiga ratus meter sebelah timur kantor bupati Lombok Timur, berdiri Masjid Khilafah, pusat aktivitas Ahmadiyah Pancor. Di masjid yang dapat menampung lima ratus orang ini anak-anak jemaah Ahmadiyah biasa bertemu. Di seberang masjid, dipisahkan jalan aspal, ada rumah Bupati Lombok Timur, Syahdan.

Dua ratus meter di belakang masjid, dihela sawah, berdiri rumah ulama Azhar Izuddin. Ada gang sedikit memutar untuk mencapainya. Rumah ini berukuran 8 x 6 meter persegi. Masing-masing anak Azhar yang berkeluarga tinggal dalam satu kamar di rumah tersebut. Keluarga Muhammad Irwan, ayah Irma Nurmayanti, menempati kamar di ruangan belakang, terpisah dari rumah induk. Dapur dan kamar mandi dipakai bersama.

Malam sebelumnya, Azhar dan pengurus Ahmadiyah berada di Masjid Khilafah. Mereka bicara soal penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Rumah Rehanuddin yang pertama kali dirusak. Jaraknya hanya dua puluh meter dari rumah Azhar. Kedua rumah itu ada dalam satu gang.

Keluarga Azhar yakin, rumahnya tak mungkin diserang. Azhar ulama yang cukup disegani. Badannya tinggi besar, kulit hitam, janggut putih. Dia punya wibawa.

Sore itu, Rehanuddin datang dari kantor polisi. Dia mengajak keluarga Azhar untuk mengungsi. Rehan khawatir penyerangan itu tak berhenti pada rumahnya. Permintaan tak ditanggapi. Bahkan, beberapa jemaah ikut mengungsi ke rumah Azhar. Mereka menganggap rumah tersebut paling aman untuk berlindung.
Sebelum maghrib, seorang polisi bernama Sabri datang. Dia satu-satunya Ahmadi di Pulau Lombok yang menjadi polisi. Sabri hendak ikut salat berjemaah. Dia juga ingin melihat kondisi keluarga tersebut. Mereka memutuskan salat maghrib sekalian isya. Azhar memimpin salat.

Sekitar pukul 19.00 WITA, melingkar di ruang utama, keluarga Azhar makan bersama. Nasi dan lauk pauk disiapkan. Irma Nurmayanti duduk bersama keluarga. Dia senang makan bersama.

Suara dentingan batu beradu atap tiba-tiba mengagetkan keluarga Azhar. Sebagian atap rumah berupa lembaran seng bikin suara makin keras. Lemparan pertama berasal dari arah sawah.

Irma panik. Dia tak menduga rumahnya bakal diserang. Orang-orang terdiam. Sabri keluar dengan gesit. Naluri polisi mendorongnya segera bertindak.

DOR!

Sabri melayangkan tembakan peringatan ke udara. Hening sejenak.

Lemparan batu muncul dari arah selatan. Kini makin banyak dan suara benturannya kian bertubi dan keras. Orang-orang panik. Mereka berhamburan. Mencari perlindungan.

Irma diseret orangtuanya ke satu kamar di belakang. Dia tak sendiri. Dalam gelap, Irma melihat kamar itu penuh dengan keluarganya. Beberapa paman dan sepupu meringkuk di atas kasur. Yang lain di bawah ranjang. Irma duduk bersandar di dinding sisi pintu.

Seluruh penerangan segera padam. Irma ketakutan. Dia menangis tanpa bersuara. Dia tak bisa tidur. Hingga pukul dua malam, suara-suara lemparan batu ke rumah Azhar Izuddin terus berdentam.
***

Markas Kepolisian Resor Lombok Timur terletak di timur kota. Posisinya di sisi barat jalan mendaki. Bagian depan dibatasi pagar yang terpacak di atas tanggul. Taman rumput mengisi halaman depan. Luas gedung sekitar 30 x 15 meter persegi. Sebuah lorong di tengah-tengah membagi ruangan besar.

Di belakang kantor, berdiri sebuah bangunan. Ada tiga buah kamar mandi di sisi kanan. Tangga setinggi lima meter melingkari teras. Di atas dinding depan tertulis “Gedung Dharma Wanita”.

Di transito, para pengungsi tidur di bangsal. Ketika kembali pada 2006, anak-anak kembali sering melihat adegan dewasa di malam hari. Kini ruangan ini disekat-sekat dengan kain bekas dan papan. Foto: Jauzi (2006).
Gedung serbaguna itu kosong melompong. Namun, selama dua minggu, sejak serangan terhadap rumah Azhar Izuddin, gedung ini penuh dengan jemaah Ahmadiyah. Tiga ratus orang berjejal. Kadang bertambah dan berkurang. Pengungsian bergelombang ini menimbulkan  kesan campur aduk bagi anak-anak.
Atun menangis ketika ikut mengungsi. Tapi air matanya segera berhenti begitu bertemu semua teman baiknya. Dia gadis berambut pendek sebahu. Periang dan mudah bergaul. Ada bercak-bercak merah di sekitar pipinya. Beberapa teman bilang kulit Atun yang putih mirip bule.

Bersama temannya di pengungsian, dia bermain dari pagi hingga sore. Kesempatan seperti ini jarang dia dapatkan. Biasanya, anak-anak jemaah Ahmadiyah hanya bertemu sore atau akhir pekan saat berkumpul di masjid.

Para pengungsi dapat jatah mi instan. Namun, tak ada kompor. Mereka kadang menukarnya dengan nasi bungkus atau mencari makan sendiri. Pelan-pelan, mereka cari akal. Kompor dibuat dari api unggun dengan menggunakan serpihan kayu dan sampah dedaunan. Mereka menjerang air panas dengan air terisi penuh dalam botol plastik. Atun diajarkan masak demikian. Dia keheranan botol plastik ini tak meleleh sampai air mendidih.

Keriangan Atun lenyap menjelang tidur. Bangsal gedung terlalu kecil untuk seluruh pengungsi. Mereka tidur beralaskan tikar tipis. Dingin udara malam menusuk-nusuk. Semua orang berusaha mencari posisi nyaman. Kepala berdekatan dengan telapak kaki orang lain. Sebagai gadis beranjak dewasa, Atun merasa ingin sedikit memiliki ruang pribadi. Tapi dia harus tidur campur bersama lelaki.

Di gedung ini, ada tiga kamar mandi. Karena pengungsi banyak, ia digunakan bergantian dengan antrian panjang berjam-jam. Polisi kemudian mengijinkan kamar mandi di dalam kantor untuk turut digunakan. Atun senang memakai kamar mandi ini.

Bagi para orang tua, kejadian pengusiran dari kampung sulit diterima. Mereka tahu, banyak orang sebelumnya benci dengan jemaah Ahmadiyah. Sudah sering ada kejadian orang Ahmadiyah diasingkan dari keluarga, bahkan diarak keliling kota oleh saudara sendiri. Tapi, tak pernah mereka diminta mengungsi. Rumah hancur. Harta ludes. Inilah pertama kalinya mereka menghadapi gelombang kekerasan secara massal.
***

Satu persatu jemaah Ahmadiyah berkumpul di Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Semuanya dijemput dengan alasan sama: demi keamanan. Anggota polisi dan tentara berjanji “akan melakukan pengamanan maksimal terhadap rumah-rumah.” Beberapa pengungsi memberikan kunci rumah dan persediaan makanan kepada petugas jaga ketika diminta pergi.

Menurut Khaerudin, selama di Markas Polisi, mereka dilarang keluar. Mereka mengetahui kabar mengenai situasi kota dan rumah-rumah mereka dari kerabat dan teman yang berkunjung. Dari situ, dia memperkirakan rumahnya juga turut diserang.

Pada Jumat malam, Khaeruddin memang melihat cahaya merah dari arah kampung. Bunyi suara gemeretak atap-atap rumah dari bambu yang terbakar terdengar keras. Dia membayangkan rumah tetangganya, yang juga seorang Ahmadi, dibakar. Dia yakin rumahnya juga tinggal puing.
***

Jumat, 15 September 2002, pukul dua dini hari. Polisi membangunkan sepuluh orang. Di antaranya Musifudin, Azhar Izuddin, Syapi’in, Mahmuludin, Sulaiman Damanik, Arifin Faruk, Awaluddin, dan Amin Agus. Mereka pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Polisi Lombok Timur rupanya menyediakan tempat baru untuk mereka.

Amin Agus tak membawa keluarganya. Alasannya, dia seorang pendatang di Lombok Timur dan istri serta anaknya akan lebih aman bersama keluarga mereka. Apalagi, ibu mertua Amin memiliki garis darah dengan pendiri Nahdlatul Wathan.

Nahdlatul Wathan merupakan organisasi Islam terbesar dan terkuat di pulau Lombok. Pusatnya di Kecamatan Pancor, Selong, dan didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada 1935. Satu blok dari Nahdlatul Wathan, berdiri Masjid Khilafah punya Ahmadiyah. Beberapa keluarga Ahmadi, termasuk mertua Amin, adalah keluarga besar pendiri Nahdlatul Wathan.

Malam itu, orang-orang dalam daftar khusus dipindahkan ke Markas Komando Distrik Militer Lombok Timur. Di lokasi baru, mereka mendapat tempat yang lebih baik. Masing-masing keluarga diberi sebuah kamar kecil di samping gedung utama. Mereka mendapat kasur, bantal, dan selimut. Sebuah kemewahan dalam situasi genting saat itu.

Namun, penjagaan sangat ketat. Mereka dilarang berkeliaran apalagi keluar dari areal gedung. Musifudin dan Azhar Izuddin gelisah. Sudah dua hari mereka tak mendengar kabar anak-istri yang berada di Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Amin Agus sudah pulang diam-diam ke Markas Polisi itu sehari sebelumnya, tapi tak juga ada kabar darinya. Waktu tempuh Markas Komando dan Markas Polisi hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Musifudin dan Ahzar minta ijin pulang ke Markas Polisi. Penjaga memberi ijin. Dan mereka terkejut. Rupanya, selama ini mereka masuk sel isolasi, macam tahanan khusus politik. Menurut Amin, pengasingan macam ini sudah direncanakan matang. Isolasi informasi antara Komando Distrik dan Markas Polisi juga disengaja.

Tekanan psikologis terus menerpa jemaah Ahmadiyah. Suatu hari di Jumat dan Sabtu, Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur, Wiguna, mengumpulkan pengungsi laki-laki di musala, samping kiri gedung. Wiguna memberikan kabar bahwa seluruh pengurus Ahmadiyah di Komando Distrik Militer sudah menyatakan keluar dari Ahmadiyah.

”Siapa yang ingin tinggal di Lombok Timur?” tanya Wiguna kemudian.

Beberapa orang pun mengacungkan jari. Mereka berpikir, ini cuma soal pilihan tinggal di kampung. Peristiwa ini terjadi beberapa kali.

“Sudah, Pak, jangan menjebak kami,” sela Anwar Tampubolon. “Tanyakan saja siapa yang ingin keluar dari Ahmadiyah!”

Tampubolon pria berbadan gempal. Gaya bicaranya meledak-ledak, khas orang Batak. Dia termasuk orang pertama, bersama pengacara dan seorang sopir, yang langsung dikirim dari Parung, Bogor, Jawa Barat, basis Jemaah Ahmadiyah Indonesia, untuk menemani para pengungsi. Tampubolon bukan pengurus teras, tapi gayanya dinilai tepat menghadapi karakter orang Lombok yang keras.

Wiguna memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau dari Lombok Timur. Secara halus, ini pengusiran terhadap jemaah Ahmadiyah.

”Aparat kami akan mengantarkan sampai perbatasan. Jika ke barat (Mataram) akan kami antar, jika ke timur (Sumbawa) akan kami antar sampai pelabuhan,” kata Wiguna.

Setelah malam itu berlalu, Atun melihat perilaku ayahnya yang ganjil, sulit berkomunikasi serta makan seperti kesetanan. Nasi atau mi instan dilahap ayahnya dengan cepat, langsung pakai tangan dan dijejalkan ke mulut. Ingatan terhadap ayahnya ini membuat hati Atun hancur. Dia jarang mau berbicara soal masa-masa sulit ayahnya.
***

Dalam perjalanan keluar dari Mataram. Anak-anak pengungsi dari umur sembilan tahun berpisah dengan orangtua. Foto: Mubarik Ahmad (2002).

Hultiya Fatimah duduk di sisi kanan, bangku baris kedua mobil Colt L300. Keluarganya ikut. Fatimah anak kedelapan Musifudin. Dia kakak kelas Irma Nurmayanti, cucu ulama Azhar Izuddin. Rumah Azhar hancur dilempari batu-batu, rumah yang menjadi benteng perlindungan terakhir sebagian jemaah Ahmadiyah Pancor.
Postur Fatimah kecil. Kulitnya coklat. Wajahnya tirus. Gigi atasnya terlihat menonjol ketika berbicara. Fatimah periang. Bicaranya cepat dengan gaya argumentatif. Susah membuatnya diam jika mulai bicara.
Sebelas mobil keluar dengan perlahan dari Markas Kepolisian Resor Lombok Timur, berbelok ke arah selatan.

Fatimah terus bicara. Dia sibuk memperhatikan suasana kota yang baru dilihatnya sejak mengungsi. Mobilnya melewati taman kota menuju arah timur. Ini jalur yang dia lewati jika berangkat ke Masjid Khilafah.

Begitu mobil mendekati masjid, di kiri jalan, dia melongok, bersaing dengan para penumpang. Tujuannya satu: sebuah masjid yang sekian lama menjadi tempat mereka beribadah, tempat bermain, tempat keceriaan. Fatimah kaget. Dia melihat bangunan masjid itu porak-poranda.

Dia bisa menerima rumah dan toko milik orangtuanya rusak. Tak sedikitpun dia menangis selama seminggu di pengungsian. Namun, dia tak kuasa melihat masjid hancur.

“Saya lebih sedih masjid dirusak daripada rumah saya,” kata Fatimah.

Di sisa perjalanan itu Fatimah irit bicara. Dia lebih banyak diam. Mobil meluncur cepat.
***

Pulau Lombok termasuk salah satu sentra program transmigrasi di Indonesia. Di Mataram, ada sebuah gedung khusus tempat para calon transmigran dilatih selama seminggu. Gedung ini berisi empat bangsal. Luasnya sekitar 30 x 10 meter persegi. Satu bangunan di bagian barat berfungsi sebagai rumah penjaga dan gudang. Penduduk menyebut gedung transmigrasi ini sebagai Transito.

Selama pengusiran jemaah Ahmadiyah, bangsal-bangsal Transito digunakan sebagai tempat penampungan. Para pengungsi Ahmadiyah diberi ultimatum dua minggu untuk mencari tempat tinggal baru.

Pengurus Ahmadiyah di Jakarta kemudian segera mengirim orang untuk mendampingi jemaah Ahmadiyah Lombok. Pemerintah Mataram tak punya kepentingan meminta orang-orang Ahmadiyah pindah keyakinan. Agus Mubarik salah satu orang yang dikirim dari Jakarta pada gelombang kedua.

Mubarik mengatakan, fokus pekerjaannya saat itu adalah memikirkan bagaimana menyelamatkan pendidikan anak-anak pengungsi serta memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga pengungsi.

Berita penyerangan di Pancor dan Selong masih hangat di Pulau Lombok. Para pengurus berpikir, sekolah-sekolah takkan mau menerima mereka usai pengusiran. Padahal, ujian sekolah makin dekat menjelang akhir September 2002. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Abdul Basith, lalu memutuskan anak-anak dipindahkan ke lokasi lain untuk bersekolah.

Atun mendengar kabar kepindahan itu. Beritanya beredar cepat. Sepengetahuannya, mereka akan dikirim ke Pulau Jawa. Mereka akan ditempatkan bersama-sama di satu asrama. Dia menyambut gembira; membayangkan betapa menyenangkannya melihat kota besar. Apalagi dia akan bersama teman-temannya.

Namun, tak semua anak sekolah diijinkan ikut oleh orangtua. Kelas 4 Sekolah Dasar menjadi batas minimal kriteria. Beberapa siswa kelas 3 lalu bersikeras. Anak-anak sungkan berpisah dengan teman sebayanya.
Pada pagi, 29 September 2002, bersama ibunya, Atun berangkat ke pasar Cakra, 300 meter dari Transito. Dia membeli beberapa pakaian. Sewaktu mengungsi, orangtuanya sedikit membawa bekal pakaian buat Atun. Ibunya khusus membeli buah-buahan berupa mangga dan jeruk.

Siangnya, 48 pengungsi diberangkatkan dengan bus Safari Darma Raya, sebuah armada besar yang melayani jalur Nusa Tenggara-Jakarta. Badan bus ini ini memiliki ciri berupa pemandangan satwa gajah berlatar hutan. Mereka didampingi Amin Agus, pengurus Ahmadiyah cabang Pancor.

Ruhiyatun Fajri senang membayangkan perjalanan ini. Namun, dia sedikit sedih ketika bus siap berangkat. Ibu-ibu menangis.



Anak-anak sedih meninggalkan keluarga dan kampungnya. Apalagi, tak banyak anak-anak ini yang mengerti dampak perjalanan mereka ke Tanah Sunda. Perbedaan budaya - khususnya dari bahasa Sasak ke Sunda, minimnya pedampingan profesional, membuat mayoritas anak-anak Sekolah Dasar tak mampu beradaptasi dengan tempat baru dan memilih pulang. Foto Mubarik Ahmad (2002)
Atun bercerita, situasi di dalam bus benar-benar ramai dan kacau. Tiap anak diberi kantong plastik hitam besar. Nafsu makan anak-anak yang besar diikuti oleh muntah selama perjalanan. Bau muntah bercampur minyak angin menyebar ke setiap pojok bus.
Atun ingat, ada temannya bernama Uwatun Hasanah dari Sawing yang mengalami kejang-kejang perut; mengerang kesakitan di bagian belakang bus, dekat toilet. Suara jeritannya terdengar menyakitkan. Dari kursinya, Atun melihat salah satu sopir bus memijit Anna, panggilan Uwatun Hasanah. Sopir itu bertampang seram. Tubuhnya tinggi dan kurus, kulitnya hitam dan pendiam. Dia sedikit ketakutan saat melihatnya pertamakali. Namun, setelah melihat bantuannya pada Anna, Atun menilai sopir itu punya hati baik, tak seseram yang dia bayangkan.
***

Senin, 1 Oktober 2002. Jemaah Ahmadiyah di Parung baru saja menunaikan salat subuh saat mendengar kedatangan anak-anak dari Lombok. Beberapa pemuda segera menuruni lantai dua masjid. Bangunan masjid bergaya modern, dicat putih dengan konsep minimalis. Tulisan aksara Arab dan aksen menara memberi petunjuk sekilas adanya tempat ibadah. Sopir angkutan umum lebih mengenal tempat ini sebagai Kampus Mubarak.

Dibantu siswa-siswa Jamiah, sebutan bagi calon mubaligh Ahmadiyah, anak-anak pengungsi diantar ke bagian belakang kompleks. Sedikit terpisah, ada gedung bernama Lajnah Imailah, sayap organisasi perempuan Ahmadiyah. Gedung tiga lantai ini dibangun awal 1990-an.

Atun kagum melihat gedung di sekitarnya. Di Kota Selong, kampung halamannya, sedikit gedung tinggi.
Sebetulnya, lokasi Parung tak terlalu asing bagi jemaah Ahmadiyah dari Lombok. Setiap tahun, Ahmadiyah mengadakan Jalsah Salanah, pertemuan nasional berisi ceramah agama. Ahmadiyah cabang Pancor dikenal fanatik mengikuti kegiatan ini. Mereka mengirim puluhan anggota setiap Jalsah Salanah. Ini dinilai prestasi luarbiasa mengingat lokasi mereka yang jauh dari Pulau Jawa. Lokasi Parung juga menjadi pusat pendidikan mubaligh.

Atun senang saat dirinya dan teman-teman menerima perlengkapan sekolah baru. Mereka mendapatkan satu set buku, tas, seragam sekolah, hingga sepatu.

Namun, Parung cuma tempat sementara. Tasikmalaya, Jawa Barat, adalah tujuan terakhir anak-anak pengungsi ini.
***

Wanasigra terletak di Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu. Ini daerah perbatasan Tasikmalaya dan Garut, dipisahkan sealur sungai yang mengalir dari Gunung Cikuray. Jalannya berbatu dan menanjak sepanjang tiga ratus meter. Ia dikelilingi sawah dan hutan. Delapan puluh persen penduduk Tenjowaringin merupakan pengikut Ahmadiyah.

Menurut Agus Mubarik, saat itu mereka lebih memilih “menangani masalah dalam hening.” Seluruh aktivitas pengungsian dan pemulihan berlangsung tanpa mengundang perhatian media. Beritanya sebatas muncul di media-media lokal Lombok.

Busra, istri Attaul Razak, mengatakan, suaminya yang memilih lokasi ini. Razak adalah mubaligh Ahmadiyah Nusa Tenggara. Pada Juli 2002, Razak mengirim enam anak Ahmadi dari Lombok ke Kota Tasikmalaya. Mereka ditampung dan disekolahkan di sebuah panti asuhan milik Ahmadiyah. Razak sangat memperhatikan pendidikan anak-anak pengungsi.

Segera sesudah kedatangan, mereka dikumpulkan di masjid. Laki-laki dan perempuan dipisah. Anak-anak ini hendak dipingit sebagai anak asuh.

Atun merasa badannya lelah. Ini perjalanan terpanjang yang baru dia alami. Tenaga terkuras. Udara di Wanasigra dingin, menusuk tulang ketika malam.

“Mau ikut saya ke rumah?” tanya seorang pria yang baru muncul.

“Ya,” ujar Atun cepat. Dia terlalu lelah menunggu. Atun mengajak Maemunah, anak pengungsi yang dia kenal.

Pria itu bernama Cecep. Rumahnya terletak di Kampung Nagrak, satu perkampungan kecil di lereng bukit bagian timur Wanasigra. Istrinya, Nina, sudah menunggu mereka di warung makan milik Ibu Cecep, di tepi jalan raya utama.

Setiba di warung Ibu Cecep, mereka diajak makan. Namun, keduanya malu-malu. Beberapa orang di warung kemudian berusaha meneduhkan hati mereka.

“Sabar ya, Nak,” kata mereka.

Seorang pengungsi berdiri di puing rumah di Ketapang, Gegerung, Lombok Barat. Eks pengungsi 2002 akhirnya dapat memiliki rumah. Mereka membeli tanah murah, batako dari tanah sawah dan dibangun bersama - untuk dihancurkan kembali. Foto: Jauzi (2006).

Di rumah, mereka langsung tidur nyenyak. Atun mengatakan, sejak mengungsi selama tiga minggu, inilah pertamakali dirinya tidur di sebuah kamar.

Pagi pertama di rumah baru, Atun disambut pemandangan indah: bukit hiijau, hamparan sawah, pohon-pohon, Gunung Cikuray, dan barisan bukit yang berkelok. Di sebelah barat, terlihat jalan menuju Kampung Wanasigra. Rumah-rumah berjejer di sepanjang jalan itu. Letaknya berjauhan satu sama lain lalu memadat di pertigaan menuju masjid.

Atun berseru keras. Suaranya menggema di alam seperti itu. Di ujung lain, dia melihat teman-temannya. Tangannya melambai. Dia melihat Ema dan Ica, dua anak Awaluddin, yang rumah merangkap toko keluarganya hancur di Selong. Ini perjumpaan pertama sejak terjadinya pengusiran. Mereka lantas berlari-lari menyusuri jalan-jalan tanah.

Anak-anak ini tak perlu lagi menyembunyikan diri sebagai Ahmadiyah. Masyarakat setempat menerima mereka dengan terbuka.

Atun melewati bulan Ramadhan, Oktober 2002, dengan rutin bersekolah. Setiap anak pengungsi bersekolah sesuai tingkat pendidikan mereka saat di Lombok Timur. Di sekolah, mereka juga bisa bebas berteman. Pak Ajun mengatakan, “kebanyakan murid orang Ahmadiyah”. Ajun ayah Cecep, dia juga mengajar di sekolah baru Atun.

Ini satu hal yang menguatkan psikologis anak-anak pengungsi. Atun, misalnya. Saat di Lombok Timur, dia selalu menyembunyikan identitas keyakinannya, khawatir teman-teman sekolah sungkan menerimanya. Dia sering diejek dengan julukan “si ninja Sawing” yang merujuk pada kerudung yang dia pakai sehari-hari dan nama kampungnya. Anak perempuan Ahmadiyah memang selalu memakai kerudung ketika bersekolah. Atun juga pernah berbohong kepada petugas sekolah bahwa dirinya bukan Ahmadiyah, dan merasa berdosa demi menutupi keyakinan ini.

Di sekolahnya yang baru, Atun memilih duduk sebangku dengan Arif Rahman Hakim, adik Hultiya Fatimah, anak dari keluarga Musifudin, salah satu pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Alasannya, dia masih lebih kerasan dengan teman lama. Untungnya, guru membolehkan.

Hanya saja, perbedaan budaya menjadi kendala, dan butuh waktu lama untuk beradaptasi. Atun tak biasa dengan orang-orang yang bergunjing di belakang. Di Lombok, orang tidak berlaku baik di depan namun menusuk di belakang.

Demikian juga persoalan makanan. Cecep yang bekerja sebagai sopir angkutan umum dan Nina yang berjualan warung makan pinggir Jalan membuat pasangan ini kerap tiba di rumah pada malam hari. Karenanya, keluarga ini jarang masak. Makanan dikirim dari warung. Menunya memang lezat, bermacam ikan dan sayur.

Awalnya, ikan-ikan yang dikirim terasa lezat, meski sedikit tawar. Tapi, Atun terkejut setelah melihat bagaimana ikan-ikan ini didapat. Kolam-kolam ikan, atau orang Sunda menyebutnya “empang”, juga dijadikan tempat buang kotoran manusia, yang lantas menjadi makanan ikan-ikan. Setiap rumah di perkampungan sekitar Wanasigra punya empang macam ini. Memikirkannya bikin Atun mual. Dia sampai berbohong tak suka makan ikan.

Berbagai macam perbedaan ini memang tak terperhatikan oleh para orang dewasa saat pemindahan. Mereka lebih dikejar waktu sehingga tak memperhatikan aspirasi anak terkait aspek kebudayaan dan psikologi. Dan Tasikmalaya dapat menyediakan segalanya dengan cepat.

“Katanya mau ditaruh di satu asrama. Semuanya anak Lombok. Tapi enggak jadi. Saya dulu tinggal di Cikuray…. Berapa malam itu enggak bisa tidur. Nangis mulu (melulu-red),” kata Mubarak Hamdan Umar, anak pengungsi dari Kampung Sawing.

Menjelang kelas enam Sekolah Dasar, Mubarak akhirnya memilih pulang ke Lombok. Dia tak tahan dengan udara dingin pegunungan dan sering sakit-sakitan.

Pada Juni 2003, delapan bulan usai perpindahan, anak-anak sekolah menghadapi ujian naik kelas. Saatnya mereka pindah sekolah. Satu demi satu anak-anak pengungsi pulang. Mereka, umumnya anak-anak setingkat Sekolah Dasar, sulit beradaptasi dengan tempat baru. Beberapa anak berganti orangtua asuh, bergabung dengan anak lain. Harapannya, dengan memilih sendiri dan bersama pengungsi lain yang disukai, mereka cepat beradaptasi. Tapi, banyak dari mereka tetap tak bisa berpisah dengan orangtua sendiri.
Malik Saifur Rahman adalah anak pertama yang pulang. Kakak tertuanya, Khaerudin, datang menjemput. Kabar kepulangan kembali ini cepat menyebar. Ditambah kabar lain yang beredar bahwa “akan lebih banyak anak menyusul pulang”.

Atun gelisah. Dia bosan. Kesepian. Dia sering bertengkar dengan anak pasangan Cecep dan Nina. Dia berpikir, lebih nyaman tinggal dengan orangtua sendiri, meski hidup mengungsi, terusir dari kampung halaman, meski kondisinya jauh lebih buruk dari hidupnya sekarang di perantauan.
***

Sebagian besar Ahmadi memilih menikah dengan sesama Ahmadi. Ini semacam sesuatu yang alamiah, terpatri kuat dalam setiap keluarga Ahmadiyah. Populasi keyakinan yang minoritas di Indonesia menyebabkan terjadi pernikahan dalam keluarga atau marga. Di komunitas-komunitas Ahmadi yang terkonsentrasi, seseorang dapat cepat disangkutkan melalui hubungan darah atau pernikahan dengan tetangganya.

Jalsah Salanah, pertemuan tahunan resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, biasa mengambil waktu libur sekolah, antara Juni dan Juli. Selain ceramah agama, sebetulnya ia juga seperti reuni keluarga. Orang-orang Ahmadi yang migrasi, karena pernikahan atau alasan lain, bisa menemui keluarga mereka atau menitip sesuatu kepada rekan satu daerah.

Atun mendengar teman-temannya akan dijemput dalam Jalsah Salanah 2003. Bahkan, sudah beredar nama-nama anak yang dihubungi untuk pulang. Mendekati Jalsah, Atun tak mendengar dia termasuk salah satu dari mereka. Selama delapan bulan dalam pengungsian, sejak terpisah sejak di Transito, tak ada komunikasi sekalipun dengan orangtua dan keluarganya di Mataram.

Kesedihannya memuncak. Dia lebih sering bertengkar dengan Gina, anak satu-satunya pasangan Cecep dan Nina. Atun melihat Gina saling berbisik bersama teman-teman, dengan bahasa Sunda, sambil memandanginya. Atun merasa mereka membicarakan dirinya.

Puncaknya, Atun minta pindah rumah. Cecep dan Nina mencoba membujuknya. Gina lalu dipindahkan ke rumah neneknya selama dua hari. Saat kembali, dia tak lagi melihat Gina mencibir. Namun, kesepian Atun makin besar.

Dia pernah berniat kabur. Garut kota terdekat, pikirnya. Jika bisa mencapai Garut, mungkin dia bisa naik bus kembali ke Mataram. Pikiran ini makin lama kian mengisi hari-harinya. Dia memulai dengan menjual barang-barang miliknya: dimulai dari sarung yang didapatnya saat di Bogor seharga Rp. 3 ribu. Anak-anak Lombok sering menjual barang-barang mereka ketika membutuhkan uang. Teman-temannya bahkan sering menjual barang-barang dari jatah bulanan atau pemberian lain. Sebetulnya, pasangan Cecep dan Nina mau melakukan apapun demi Atun. Hanya saja, Atun malu.

Setelah dikira-kira, barang-barang miliknya yang ia jual hanya cukup untuk perjalanan sampai ke Garut. Karena ongkos ke Mataram pasti mahal, dia menimbang untuk menambahnya dengan mengamen.
Tapi, menjelang Jalsah Salanah, Ketua Cabang Ahmadiyah Wanasigra, Solihin, mengumumkan sesuatu.

“Anak-anak Lombok yang ingin pulang dapat ikut ke Jalsah di Bogor,” kata Solihin.

Atun segera mengambil kesempatan ini.

Keputusan Atun membuat Nina menangis. Nina menyiapkan bekal uang dan makanan.
“Kalau sudah sampai Lombok, jangan lupa ya sama kami…,” ujar Nina.
Namun, di Bogor, tak ada yang menjemputnya. Atun kembali ke Wanasigra.
Di rumah Solihin, bersama anak-anak senasib dirinya, mereka dikumpulkan.
“Apakah mau kembali lagi pada orangtua asuh yang lama?” tanya Solihin.

Atun menolak. Dia malu karena sudah berpamitan. Dia juga merasa kesepian. Seseorang bernama Nos Barnas menjadi orangtua asuh Atun berikutnya.

Di Kota Selong, tak ada lagi ahmadi yang dapat tinggal. Mereka yang meninggalpun mendapat tempat khusus, terpisah dari makam muslim lain. Foto: Jauzi (2004).

***
Rumah Nos Barnas di Kampung Citeguh. Ini pusat Desa Tenjowaringin. Letaknya dua kilometer dari Wanasigra. Citeguh memiliki satu masjid besar. Dari tempat wudu, terhampar Sungai Cikuray dengan batu-batu besar. Deretan pohon pinus bikin sejuk udara.

Nos Barnas tinggal bersama dua cucu laki-laki. Ini tempat tinggal sementara bagi Atun selama enam bulan. Tujuan sebetulnya adalah rumah Ibu Oom, anak dari Nos Barnas.

Atun senang dengan orangtua asuhnya yang baru. Bu Oom mengerti bagaimana memperlakukan anak barunya. Tahu Atun masih malu minta sesuatu, dia sering bertanya kepada Citra, anak asuh lain setempat.
Bu Oom juga menanyakan kepada Atun tentang pembayaran iuran sekolah. Setiap bulan, Atun, seperti anak-anak pengungsi lain, mendapat jatah uang sekolah, uang saku, kadang juga beberapa barang. Anak-anak di Citeguh, karena tempatnya lebih jauh, sering menerima lebih lambat dari teman-teman mereka di Wanasigra. Bu Oom biasanya membayar uang sekolah Atun lebih dulu.

Atun suka dengan bentuk perhatian Bu Oom yang memberi nasihat langsung. Jika salah, dia langsung ditegur. Dia juga diberi tanggungjawab untuk mengawasi dan mendidik anak bungsu Bu Oom. Atun merasa seperti anak kandung sendiri.

Hingga usianya setingkat Sekolah Menengah Umum, tak sekalipun Atun ingin pindah ke tempat lain.
Di Wanasigra, ada Sekolah Menengah Umum, berdiri pada 2000, melalui Yayasan Alwahid. Peresmiannya dilakukan oleh Mirza Tahir Ahmad, pemimpin internasional Ahmadiyah, saat berkunjung ke Indonesia. Sekolah ini menjadi tujuan utama anak-anak Ahmadi di Indonesia. Seluruh anak pengungsi dari Lombok di kawasan Tenjowaringin bersekolah di sini.

Letaknya di dekat persimpangan menuju masjid Wanasigra. Menjorok di tepi jurang, berbatas kebun sayur serta Sungai Cikuray. Tiang-tiang tinggi menyangga bagian utara pondasi gedung sekolah. Dari Citeguh, jaraknya sekitar dua kilometer dengan melintasi jalur kabupaten serta jalan berbatu dan mendaki. Atun sekolah di Sekolah Menengah Umum Alwahid ini.

Tiga tahun dia menyusuri jalan-jalan antara Citeguh dan Wanasigra. Alamnya yang indah, suasana belajar yang jauh dari kebisingan, pengabdian guru-guru yang dia kagumi, bikin Atun nyaman. Hujan menjadi musuh utama. Bau pete dan jengkol dari rumah penduduk kadang-kadang menyambangi kelas belajar.
Dua tahun berikutnya, Atun sempat merantau kerja ke Bogor dan Karawang. Pekerjaan tak berjalan mulus. Gaji kecil. Pada pertengahan 2009, dia memutuskan pulang ke Lombok.

Dia tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah milik Ahmadiyah di Kampung Ketapang, Desa Gegerung. Tiap malam Atun mengayuh sepeda ke kota. Di dekat pasar Cakra, dia bekerja di warung makan pinggir jalan. Dia berjualan sup dan jus buah. Tiap malam dia mendapat Rp. 20 ribu. Ini jumlah kecil, tapi pekerjaan macam ini cukup memberinya kesibukan. Selepas bekerja, dia tak langsung pulang. Dia kembali ke Transito, menginap hingga subuh.

Irma Nurmayanti dan Hultiya Fatimah lebih beruntung. Sekolah mereka di Kota Selong memberikan surat pindah lengkap. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama Ciomas, Bogor, pada 2003 Fatimah kembali ke Mataram. Irma menyusul setahun kemudian. Fatimah tengah menanti kelulusan dari Universitas Mataram. Hanya mereka berdua dari seluruh anak pengungsi di Lombok yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri.

Transito masih dihuni oleh warga Ahmadiyah. Bukan dua minggu macam ultimatum pertama pada 2002, tapi tahunan, dan hingga kini. Pada Feburari 2006, perkampungan para pengungsi di Ketapang diserbu, untuk kedua kali. Dan kejadian serupa terus menerus terjadi. Para pengungsi memilih bertahan sampai Pemerintah Lombok memberi jaminan keamanan. Rata-rata, pengungsi sudah pernah diusir lebih dari sekali dari rumah mereka. Bahkan, ada yang diusir hingga lima kali kurang dari sepuluh tahun.

Tak hanya di Lombok, penyerangan dari mereka yang membenci juga terus dilancarkan ke kantong-kantong jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Mereka diburu. Pada November 2010, masjid dan puluhan rumah dibakar di Kampung Cisalada, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Keluarga Awaluddin, yang kini tinggal di sana, menjadi saksi; bagai drama Lombok yang dipentaskan ulang.

Bahkan, Panti Asuhan Hasanah Kautsar milik Ahmadiyah di Kawalu, Tasikmalaya, tak luput dari serangan. Panti mereka digembok dan diteror. Enam anak dari Lombok menghuni panti ini sejak 2002. Kini tersisa dua.

Sopwatur Rohman, kini 18 tahun, adalah salah seorang penghuni asal Lombok di panti itu. Kampungnya diserang. Dalam penyerangan yang brutal, salah satu tetangganya tewas. Selama delapan tahun ia merasakan gangguan dan teror di panti, hingga akhirnya digembok.

Dalam suatu pertemuan yang diikuti oleh sejumlah elemen masyarakat di Jakarta pada Desember 2010, Sopwatur hadir. Ia berujar lirih.
“Di Lombok, kita sudah diusir. Kalau di Tasik diusir juga, kita pindah ke mana lagi?”

Firdaus Mubarik

Seorang penulis lepas, perancang web, berdomisili di Jakarta. Dalam feature “Anak-Anak (Menjadi) Pengungsi”, ia pergi ke Pancor dan Mataram, Nusa Tenggara Barat, untuk mengikuti apa yang dialami anak-anak pengungsi.

Retrieved from: http://www.lenteratimur.com/anak-anak-menjadi-perantau/
Also available at: http://firdausmubarik.blogspot.com/2011/02/anak-anak-perantau-ahmadiyah.html

Firdaus Mubarik is a Muslim Ahmadiyah activist, he turn advocating religious freedom right after his community got years persecution in Indonesia. He used to work as web designer, a part time travel guide and writer. At 2010 he write about child refuge in Lombok, that their community has fled from Pancor since 2002 after a city cleaning of Ahmadiyah Member. The article won best feature at "The Alliance of Independent Journalists - UNICEF Award 2011".  When 3 Ahmadi killed and broken court system didnt work his group launch @CikeusikTrial, a twitter account that live tweet from court room. Releasing picuture, video and court document. When the trial over they emerges as Perkumpulan 6211 where Mubarik continue the idea to more boarder subject. As technology lover now he using his experience mixing a pocket video camera, social media and human security teaching religious minorities in remote place to defend their right. (Rtrieved from: http://www.issrpl.org/programs/past.html#fell)

The above article has been published at Indoprogress.com (August 31, 2010) and can be accessed in the following link: http://indoprogress.com/anak-anak-perantau-ahmadiyah/ (accessed 12/26/2012) 

Tuesday, December 25, 2012

Potret Buram Situasi Anak Ahmadiyah

KPAI.go.id, March 21, 2011
 
Diskriminasi dan kekerasan selalu membuat anak menjadi korban yang paling tidak berdaya untuk menghindar atau melawan. Ketika masyarakat dan pemerintah tidak menangani dengan baik, perlakuan ini dapat melahirkan generasi yang agresif dan depresif, sehingga trauma dan dendam tetap tertanam dalam hati, pikiran dan alam bawah sadarnya. Dibutuhkan intervensi yang komprehensif sehingga dapat keluar dari trauma dan pengalaman pahit serta merubah pengalaman tersebut menjadi energi positif yang dapat menjadikan kehidupannya lebih baik.

Masih segar dalam ingatan kita tentang tragedi berdarah menimpa warga Ahmadiyah di Cikeusik Banten yang menelan korban nyawa. Perdebatan panjang tentang ajaran Ahmadiyah hampir melupakan nasib anak-anak yang mengalami trauma akibat kekerasan tersebut. Tulisan singkat ini diambil dari hasil penelitian Firdaus Mubarik tahun 2009 untuk laporan pemantuan pelaksanaan Konvensi Hak Anak (KHA), Buku Diary anak-anak Ahmadiyah yang dikumpulkan oleh Marya dan Informasi yang penulis dapatkan dari Jemaat Ahmadiyah.
Pada tahun 2002 sekitar 50 anak Ahmadiyah diungsikan dari Selong, Lombok Timur ke Tasikmalaya Jawa Barat. Anak-anak dipaksa berangkat walaupun mereka menolak karena tetap ingin tinggal bersama orang tuanya. Sesampai di Tasikmalaya, Jawa Barat, anak-anak dikumpulkan di mesjid, diberi pengarahan dan di sebar ke rumah-rumah warga Ahmadiyah serta Panti Asuhan.
Tahun 2006 kembali terjadi penyerangan di Lombok Tengah dan tahun 2007 di Ketapang, Lingsar, Mataram. Anak-anak kembali diungsikan ke Tasikmalaya. Rentetan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah terjadi dibeberapa tempat Bogor, Parung, Banten dan Tasikmalaya. Pengalaman ini membuat Pimpinan Ahmadiyah harus menyediakan asrama khusus bagi anak-anak Ahmadiyah secara eksklusif. Ketika dikonfirmasi ke anggota Jemaat Ahmadiyah, dijelaskan bahwa banyak teror, intimidasi dan kekerasan terjadi jika anak-anak dibiarkan sekolah di sekolah biasa. Sistem pendidikan ekslusif ini dapat membuat anak-anak Ahmadiyah jauh dari lingkungan sosialnya.
Pengalaman yang disampaikan oleh anak-anak Ahmadiyah ini diharapkan mampu membuka mata dan hati kita semua, ternyata banyak anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Kita tidak mau mereduksi kekerasan demi kekerasan karena ketidakmampuan kita memberikan jaminan situasi yang aman dan nyaman untuk kelangsungan hidup mereka.
Perlakuan di Sekolah
Anak-anak Lombok yang mengungsi ke Tasikmalaya menceritakan pengalaman di sekolah sebelum mengungsi ke Tasikmalaya. Anak-anak tersebar di beberapa sekolah, baik SD maupun SMP di daerah Lombok. Beberapa anak pernah mengalami putus sekolah dan berpindah-pindah sekolah karena terjadi kekerasan dan pemukulan oleh anak lain di sekolah. Mereka lebih memilih bergaul dengan anak-anak non muslim. Berikut ada beberapa penjelasan anak Ahmadiyah untuk mengetahui situasi anak di sekolah :
“Pertama alhamdulillah bawaan temen-temen bagus semua, tapi begitu dia tau saya adalah  anggota Ahmadiyah, saya diolok-olok dan tidak mau diajak main. Guru-guru juga nanya-nanya sambil ngeleceh-lecehin, apa sih Ahmadiyah itu. ”
“Ketika SMP, teman-teman saya tidak tahu saya Jemaat Ahmadiyah karena saya kos di Pengung, di wilayah orang Bali, jadi saya dikira bukan orang Islam tapi orang Bali. Saya takut karena di SMP saya orang nya nakal-nakal, takut digebuk”.
Ada beberapa anak yang sampai megalami kekerasan fisik selain pengucilan, terror, intimidasi dan diskriminasi. Seperti yang diceritakan seorang anak yang ditemui di lapangan.
“Keluar dari sekolah, ada yang membalikan badan pada saya, saya langsung di pukul, lama-kelamaan yang lainnya turut campur akhirnya saya dan teman saya dikeroyok. Saya sampai luka-luka, begitu selesai memukul, mereka langsung naik ke truk langsung pada pulang meninggalkan kami disitu dan semenjak itu saya tidak sekolah. Saya ketakutan dan akhirnya saya pindah ke sekolah lain”.
Pengungsian
Setelah terjadi penyerangan tahun 2002, seluruh warga Ahmadiyah di evakuasi untuk menghindari bentrok dengan penyerang. Hidup di pengungsian merupakan pengalaman yang paling buruk bagi anak-anak. Mereka dihadapkan pada situasi berbahaya, mulai dari lingkungan yang tidak sehat karena keterbatasan air bersih, MCK dan tempat tidur yang tidak aman untuk anak-anak.
Di tempat pengungsian anak rentan mengalami pelecehan seksual, eksploitasi, kekerasan, penelantaran, perdagangan orang dan perlakuan salah lainnya. Pengungsi warga Ahmadiyah di Lombok sudah terjadi sejak tahun 2002, baru-baru ini terdengar berita PLN memutuskan listrik ke Transito karena pengungsi belum bisa bayar tunggakan listrik sebesar Rp. 2 Juta.
“Kami dibawa ke Transito. Depsos memberi beras, sarden dan indomi. Itu makanan sehari-hari sebagai pengungsi. Air hanya mengalir malam hari. Beda lagi kondisinya di Polres, tempat tidurnya tidak layak. Kami menahan diri tidak mandi sampai dua hari karena kamar mandinya jorok sekali. Polisinya merasa terganggu, kami dipindahkan ke Gedung KNPI, katanya angker, banyak penampakan. Tempatnya benar-benar tidak layak ditempati”.
Situasi ini memaksa orang tua mengungsikan anaknya ke Tasikmalaya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap anaknya. Memisahkan anak jauh dari orang tua ini sangat rentan menjadi korban perdagangan orang.
Rasa aman
Dampak dari perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat serta insiden-insiden yang terjadi membuat perasaan takut dan tidak aman ketika berhubungan dengan masyarakat. Aparat keamanan dalam hal ini Polisi dianggap tidak cukup melindungi mereka dan memberikan rasa aman yang dibutuhkan.
“Waktu penyerangan ada yang terluka tembak, dilarikan ke rumah sakit. Belum sembuh sudah di suruh pulang, sehingga saya sangat kecewa dengan aparat keamanan. Karena masih banyak terror, akhirnya kami dibawa ke Mataram di asrama Transito”.
“Kami dievakuasi paksa oleh polisi, dengan alasan, mereka yang akan menjaga semua tempat tinggal kami. Kami bersikeras untuk tetap tinggal disitu karena kami ingin mempertahankan hak kami, namun setelah dievakuasi, jam sepuluh malam saya kesitu lagi, akhirnya saya melihat bahwa semua bangunan yang ada disana, khususnya yang terdiri dari bilik, rata dengan tanah. Rumah kakak saya rata dengan tanah. Saya rasa itu bukan tindakan pertolongan untuk melakukan evakuasi secara paksa, mengapa? Seharusnya kalau ingin menolong kami, mereka harusnya menjaga rumah-rumah kami, menjaga harta benda kami”.
Kehidupan di Tasikmalaya
Melihat situasi sulit dan tidak ada jaminan keamanan, anak-anak diungsikan ke Tasikmalaya. Salah seorang anak di SMA Plus Alw Tasikmalaya menceritakan pengalamannya.
“Ketika itu masih kelas 4 SD, dibawa pake bis, tidak bawa apa-apa dan tidak tau mau dibawa kesini. Saya tidak mau dibawa ke Alw (Tasikmalaya) karena ada yang nakut-nakutin, katanya Alw  begini, begitu, kejam, tertekan dan terisolasi di desa. Sering dimarah-marahin, dianggap pembantu, dianggap apa gitu, katanya. Saya dipaksa, kata bapak, bagaimanapun caranya kamu harus kesitu untuk sekolah, saya sampai menangis-nagis harus berpisah dengan orang tua.”
“Meskipun saya tinggal bukan sama orang tua kandung sendiri, disini sudah seperti orang tua kandung. Mereka pernah bilang mau mengirim surat  ke bapak saya di kampung karena ingin mengangkat saya sebagai anak, tapi saya gak tau apakah bapak saya mau menyerahkan saya pada orang tua angkat disini.”
Setiap anak memiliki pengalaman masing-masing selama tinggal dengan orang tua pengganti. Penempatan anak-anak pengungsi dalam keluarga seperti ini lebih baik daripada penempatan di panti asuhan karena tidak berimbang antara jumlah pengasuh dan jumlah anak. Dalam penelitian Firdaus dijelaskan bahwa pengasuh lebih berfungsi sebagai pengawas dan sangat kurang jiwa kepengasuhannya. Untuk anak-anak yang jauh dari orang tua, trauma karena penyerangan, membutuhkan figur orang tua dan konseling untuk menghilangkan trauma. Tapi hal ini tidak didapatkan di panti asuhan.
Adaptasi
Hidup jauh dari orang tua pada umur yang rata-rata masih usia SD bukan hal yang mudah. Keluarga tempat mereka tinggal adalah orang-orang baik yang mau menampung mereka. Trauma masih kelihatan pada ekspresi ketakutan dan selalu curiga kepada setiap orang yang belum dikenal. Anak-anak tersebut sangat gelisah jika mengetahui orang yang berada di dekatnya adalah orang-orang yang sangat benci terhadap Jemaat Ahmadiyah. Mereka serasa ingin lari dan lari menjauh agar tidak diganggu atau dikeroyok oleh orang-orang tersebut.
Ini merupakan bentuk trauma yang dialami oleh anak-anak karena menyaksikan langsung rumahnya di bakar, barang-barang mereka di jarah, mereka terusir dari rumahnya dan orang tua mereka dipukuli karena mempertahankan harta dan rumahnya. Trauma ini membuat anak sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Dari wawancara yang dilakukan terdapat indikasi bahwa beberapa anak gagal melakukan adaptasi dengan lancar, terutama pada pengungsian gelombang pertama.
“Kita cuma seminggu di transito, kerjanya main terus, terus didaftarin kesini. Kami kira disini kota, tapi kok begini, dingin, pertama kesini tidak kuat karena dingin bangat. Meskipun jadi pembantu, tetap harus diterima karena hidup jauh dari orang tua. Hidup merantau memang pahit. Saya selalu ingat pesan bapak, kamu harus “tahan banting” di negeri orang”.
Sebagian anak-anak Lombok yang mengungsi ke Tasikmalaya tahun 2002 – 2003 terpaksa kembali ke Lombok dengan alasan tidak dapat menyesuaikan diri dan banyak pengalaman yang tidak menyenangkan. Penyerangan kembali terjadi, tahun 2007, mereka terpaksa kembali ke Tasikmalaya karena tidak adanya jaminan keamanan dan tidak mungkin mendapatkan pendidikan yang layak karena warga Ahmadiyah tinggal di pengungsian.
Relasi dengan Orang Tua
Hubungan dengan orang tua dilakukan melalui surat dan telpon. Setiap ada kesempatan menelpon, mereka akan menghubungi orang tuanya.
“Waktu kelas empat sampai kelas enam sering mengirim surat, pas SMP sampai sekarang sering telpon ke kampung. Pengen ketemu orang tua tapi banyak yang memberi saran pulangnya nanti saja kalau sudah berhasil, kalau sekarang pulang ke Lombok nanti menambah beban orang tua. Akhirnya memutuskan tetap disini”.
Respon terhadap perlakuan yang diterima
Tidak cukup kata-kata dan ekspresi untuk mewakili kekecewaan anak-anak Ahmadiyah terhadap perlakuan yang mereka terima. Mereka hanya bisa berkeluh kesah dan mengharapkan pada Tuhan agar mereka terlepas dari semua perlakuan yang sangat tidak manusiawi tersebut, bahkan muncul keinginan untuk mencari suaka ke keluar negeri karena saudara-saudara mereka merasa prihatin dengan nasib yang mereka alami, berikut ungkapan anak-anak yang diwawancarai.
“Benar-benar kecewa, marah bangat! kenapa sih? Kenapa Negara ini harus begini? Kenapa tidak seperti dulu, aman, tentram, sentosa, subur, makmur, sejahtera! Kenapa hanya karena perbedaan menjadi bunuh-bunuhan, kami kehilangan hak milik, kehilangan hak sebagai warga Negara, hak sebagai seorang anak, hak dilindungi. Para pejabatnya tidak bisa apa-apa, apa gunanya mereka bertitle professor, drs., dra., spd., mpd., gak ada gunanya! perasaan jadi sebel bangat dan kecewa.”
“Respon dari saudara kami yang diluar negeri sana, kasihan ya, suruh kesini saja biar saya yang tampung katanya gitu. Saudara saya sudah bikin passport untuk pergi ke Kanada, terus bapak juga sudah bikin passport karena mau mengajukan suaka Australia. Walaupun di Negara orang, mereka masih toleransi, meskipun mereka tidak beragama atau atheis, komunis, tapi mereka saling menghargai dan sangat menerapkan toleransi”.
Harapan
Dalam penelitian ini juga diungkap tentang harapan yang disampaikan oleh anak-anak tersebut.
“Saya ingin agar semua kita dibukakan hatinya agar anak-anak lain tidak mengalami apa yang saya alami sekarang. Kalau menurut saya sumbernya dari Presiden. Soalnya yang bisa menyuruh-nyuruh semuanya Presiden sama suara yang nyentrik-nyentrik di dpr, mpr. Tidak ada tindakan apapun. Sudah, taro disitu mereka aman (Transito), tapi siapa bilang kita aman”.
“Harapannya pemerintah lebih sadar dan memikirkan nasib rakyatnya, terus pejabat-pejabatnya mohon diganti dengan pemimpin yang sebenarnya, yang mengayomi rakyatnya”.
Masih banyak kisah tragis dan potret buram nasib anak-anak Ahmadiyah. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat mendorong kita untuk menggali lebih dalam apa yang terjadi pada anak-anak Ahmadiyah. Perdebatan dan keputusan tentang status Ahmadiyah sama sekali tidak menggugurkan hak anak-anak Ahmadiyah untuk dilindungi sebagai warga Negara dan anak yang jelas-jelas dijamin haknya oleh Undang-Undang. (Puncak, Bogor, 16 Maret 2011)

Retrieved from: http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/240-potret-buram-situasi-anak-ahmadiyah.html

Thursday, December 20, 2012

The forgotten Ahmadiyah women

The Jakarta Post, Winy Trianita, Jakarta | Opinion | Fri, February 01 2008, 4:00 AM

Watching violence against Ahmadiyah on TV (again!) has encouraged me to present another side of the Ahmadiyah which usually receives little public attention; i.e. Ahmadi women.

People might know the Aisyiah of Muhammadiyah or the Muslimat of Nahdlatul Ulama, but few realize that Ahmadiyah also has its own women's organization, namely Lajnah Ima'illah Indonesia.

Being part of a minority, as well as of a controversial religious group, is not an easy for women. As the teachings of Ahmadiyah are regarded as heresy and a deviation within Islam, Ahmadi women have to face the stigma of being considered by some as infidels or apostates. More than that, many of them have to experience discrimination, alienation and even violence. Thus, Ahmadi women face a more complex social life than most women in Indonesia.

Some Ahmadi women were born into Ahmadi families, but others became Ahmadis because they were attracted to the controversial doctrines of Ahmadiyah; e.g. the prophethood of Ghulam Ahmad and the death of Isa. Generally, those who were not born into Ahmadi families face greater challenges compared to those who belong to Ahmadi families. This is because when they made their decision to join Ahmadiyah, they had to deal with confrontation or even exclusion by their own families.

Thus their first struggle with being Ahmadis is to convince their families that they have the right to choose their own beliefs. In this regard, I would say this is one of the ways that Ahmadi women practice their freedom, freely selecting their religious affiliation.

Another consequence of being part of a minority religious group is that they have to cope with discrimination from those who express enmity toward Ahmadiyah. Discrimination potentially occurs not only in the surrounding neighborhoods but also in the workplace. Therefore, it is important to note that extra bravery and extra self-endurance become necessary in order for these women to survive.

With regard to the role of Ahmadi women as mothers, they have the extra task to protect and prepare their children to live as Ahmadis. Children often become the target of mockery because they are different from their friends. Thus, Ahmadi women play an important role in building confidence in their children so they can preserve their identity.

Ahmadi women are not only precious for their own religious community, but also for Indonesian society at large. Unfortunately, because of their religious beliefs many people tend to ignore the fact that Ahmadi women can be seen as remarkable models of how women deal with hardship. Instead, many people prefer to judge Ahmadi women simply as followers of a deviant sect.

Lajnah Ima'illah Indonesia, the Ahmadiyah women's wing, may be less known compared to other women's organizations in Indonesia. This despite the fact more than 1,000 of its members are registered eye donors, making the organization the one with the most registered eye donors in the country. This great contribution is often ignored due to their controversial religious beliefs.

The Ahmadi women's organization promote tolerance by conducting social activities that are not only for Ahmadis but also for non-Ahmadis. By using the doctrine of pengorbanan (sacrifice), Ahmadi women are able to play an active role in society. Regardless of their affiliation with Ahmadiyah, we can see how women who are part of a community that is repressed are capable of becoming social actors instead of being simply followers of men.

Looking at a different side of Ahmadiyah, I hope, can help people understand that differences need not lead to enmity. We should appreciate minority groups, which in truth make significant contributions to society. Why not build tolerance and begin to develop our country together?

The writer is a graduate student in the Interdisciplinary Islamic Studies Program at UIN Jakarta. She can be reached at winy_three@yahoo.com.

Retrieved from: http://www.thejakartapost.com/news/2008/01/31/forgotten-ahmadiyah-women.html

Wednesday, December 19, 2012

Ahmadi Women in Resoluting Conflict: Explorations to Their Exercises of Varied Agency in Contemporary Indonesia

ICRS, Tuesday, November 13th, 2012, 13:31 WIB

In November 08, 2012, ICRS student, Nina Mariani Noor defended an interesting dissertation proposal in front of three examiners Dr. Siti Syamsiyatun (promoter), Prof. Dr. J.B. Banawiratma (promoter) and Dr. Dicky Sofjan. Nina’s dissertation proposal described Ahmadi Women in Resoluting Conflict: Explorations to Their Exercises of Varied Agency in Contemporary Indonesia.

Her research in general is an active participation from Ahmadi women in dealing with resistance that the Ahmadiyah community faces, and further on how Ahmadi women deal with the conflicts. The specific questions of her research are: 1. What are the roles of Ahmadi women in the process of conflict resolution?; 2. What are the factors that encourage Ahmadi women’s participation in conflict resolution?; 3. What kind of women’s agencies those are specific from Ahmadi women that can be regarded as best practices?; 4. How do Ahmadi women deal with conflicts against other Muslim communities in their daily lives?

Conflicts with religious background involving Ahmadiyah community are rising dramatically in the last few years. The most recent is the attack on Ahmadiyah community in Cikeusik Banten where three Ahmadis were killed. In response to that, there are two different opinions coming from Muslims on how to deal with this Ahmadiyah issue. On one side, there are demands on the banning of Ahmadiyah because of its deviancy from the mainstream Islam. On the other side, there are people who defend the existence of Ahmadiyah in Indonesia based on the religious freedom and human right reasons. These conflicts forced the state to take a permanent decision on the status of Ahmadiyah in Indonesia.

However, despite the long and multi discussions held by the Ministry of Religious Affair, there is still no decision taken by the state until today. Therefore, some local governments take their own action to deal with Ahmadiyah community in their regions. In addition to the local government’s rules which restrict Ahmadis’religious activities, Ahmadis in some areas in Indonesia still experience conflicts and violence. Ahmadis have to deal with the conflict in their everyday life.

In looking at Ahmadiyah community and their participation in conflict resolution effort like in discussion, dialogue, we can easily see Ahmadi men’s participation in the dialogue for conflict resolution efforts, but the forum lacks of women’s role. Nina tries to explain this phenomenon by further exploration about Ahmadi women who actively participate in Lajnah Imaillah. Good luck for your research Nina. (admin,che)

Retrieved from: http://icrs.ugm.ac.id/news/121/ahmadi-women-in-resoluting-conflict-explorations-to-their-exercises-of-varied-agency-in-contemporary-indonesia.html

Saturday, December 15, 2012

Tan Malaka dan Ahmadiyah

“Meskipun banjir ombak asik dalam sanubari saja dimasa usia pancaroba dilondong hanyutkan sampai sekarang terus dihilirkan oleh kejadian 1917 perhatian saya tehadap Islam terus berjalan. Pengertian yang masih saya ingat dari tafsir Qur’an itu, tentulah tiada berarti lagi. Yang tinggal dibawah lantai kesadaran (subsunciousness) ialah kesan semata-mata. Tetapi terjemahan Qur’an ke daam bahasa Belanda dahulu beberapa kali saya tamatkan, semua buku dan diktatnya Almarhum Snouck Hurgroaje tentang Islam sudah saya baca. Baru ini di Singapura saya baca lagi terjemahan Islam kebahasa Inggris oleh Sales dan ahli Timur, ialah Maulana Muhammad Ali Almarhum.
….
Berhubung dengan keterangan diatas maka sejarah-Islam dalam lebih kurang 1200 tahun sesudahnya Muhammad SAW yakni sejarah yang condong pada politik seperti pengangkatan Imam baru, menurut dan menurutkan partai Ali atau meneruskan pilihan yang demokratis seperti pengangkatan Abubakar, Umar, dan Usman; perbedaan mazhabnya Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki satu aliran Islam kearah kegaiban (mysticisme) pada satu pihak (Imam Gazali) dan kenyataan (rationalisme), sampai ketiadaannya Tuhan-Tuhan (Atheisme), pada lain pihak (Mutazaliten); pergerakan Islam yang baru kita kenal sekarang seperti Wahabi, Muhammadiyah dan Ahmadiyah; semuanya ini mesti diseluk dengan sejarahnya politik, ekonomi, seperti bumi dan perantara masyarkat Muslimin di Eropa Selatan, Afrika, Asia Barat dan Tengah diluar maksudnya buku ini dan diluar kekuasaan kesempatan saya.”

(Tan Malaka, Madilog, sub bagian 3: Kepercayaan Asia Barat. Poin C. Islam)

Retrieved from: http://ahmadiyah.org/621/

Friday, December 14, 2012

Darul Kutubil Islamiyah

DARUL KUTUBIL ISLAMIYAH (DKI) adalah Amal Usaha Gerakan Ahmadiyah di bidang penerbitan. Secara resmi Badan ini dibentuk pada tahun 1958, berdasarkan keputusan Muktamar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) tahun 1958 di Yogyakarta. Untuk pertama kalinya, badan penerbitan ini diasuh oleh Bapak H.M. Bachrun.

Sebagai langkah pertama, Badan ini mengurus penerbitan Quran Sutji Djarwa Djawi (QDD). Semula QDD dicetak di negeri Belanda. Akan tetapi berhubung keluarnya Peraturan Pemerintah tentang sistem BE, semua pembayaran dengan valuta asing harus mendapat izin lebih dahulu dari pemerintah. Oleh karena permohonan untuk mendapatkan devisa guna membiayai pencetakan 5.000 QDD di negeri Belanda ditolak oleh Pemerintah RI, maka kontak antara GAI dan percetakan di negeri Belanda, terpaksa dibatalkan. Padahal GAI telah banyak mengeluarkan biaya, yang diambil dari simpanan Bapak Sudewo, sebanyak 40.000 goldens, yang sebenarnya diperuntukkan bagi biaya putranya yang belajar di negeri Belanda.
Dengan gagalnya pencetakan di negeri Belanda itu, QDD diusahakan pencetakannya di Indonesia, yakni Percetakan Gita Karya Jakarta. Alhamdulillah, QDD dapat terbit, meski hasilnya tak memuaskan, karena antara lain terbitnya tidak sekaligus, jilid I surat Alfatihah sampai sura Alhijr tahun terbit 1958, jilid II surat Annahl sampai surat Annajm tahun terbit 1963, dan jilid III surat Alqamar sampai surat Annas tahun terbit 1966.

QDD yang dilengkapi dengan Mukadimah dan Indeks ini mendapat izin Menteri Agam RI No. D.26/Q. I. tgl 3 Oktober 1958. Izin Tashih Kementrian Agama RI No. A/Q/IV/3602 tgl 13 Maret 1959 dan izin terjemahan oleh Presiden of the Ahmadiyya Anjuman Ishaati Islam Lahore, Pakistan tanggal 14 April 1958.
Setelah itu, DKI juga menerbitkan buku-buku kecil, lalu disusul buku-buku besar seperti Islamologi (Dinul Islam) terjemahan dari The Religion of Islam karya Maulana Muhammad Ali M.A.LL.B. Penerjemah adalah Bapak H. M Bachrun dan R. Kaelan, cetakan pertama tahun 1977. Lalu disusul terbitnya Quran Suci terjemah bahasa Indonesia oleh Bapak H.M. Bachrun tahun 1979. tafsir ini mendapat izin Departeman Agama Republik Indonesia tgl 2 Juli 1971, No. Sd/Lega/II-d/8271.

Setelah Bpk. H. Bachrun wafat, DKI dipimpin oleh H. Imam Musa Projosiswoyo. Di bawah pimpinan beliau DKI menerbitkan ulang buku-buku kecil, seperti: Rahasia Hidup, Islam dan Ilmu Pengetahuan, Intisari Quran Suci, dan lain-lain. Kitab Hadits Pegangan terjemahan beliau bersama Bpk. R. Kaelan dari A Manual of Hadits karya Maulana Muhammad Ali diterbitkan. Juga cetak ulang Qur’an Suci dan Islamologi.
Sejak tahun 1989, DKI dipimpin oleh H. Mansyur Basuki. Di masa kepemimpinannya, terbit beberapa buku antara lain Yesus Wafat di Kashmir karya A. Feber Keyser, yang diterjemahankan oleh Bapak H. Suyud Ahmad Syurayuda; Anwarul-Qur’an, Tafsir Quran Suci Dari Surah 102 sampai 114, karya Dr. Basharat Ahmad, terjemahan Bpk. H. Imam Musa Projosiswoyo; Falsafah Islamiyah karya HM Ghulam Ahmad, terjemahan Bpk. Suyud Ahmad Syurayuda dan Ibu Oetami Soesilo Soewindo; dan Agama-agama Besar Dunia, karya Ny. Ulfat Azizus-Samad, terjemahan Imam Musa Projosiswoyo dan Bambang Dharmaputra. Quran Suci drevisi dan Quran Suci Jarwa Jawi dicetak ulang. Di bahwa kepemimpinan beliau DKI mendapat kiriman sejumlah buku-buku berbahasa Inggris dari AAIIL Amerika Serikat dalam jumlah relatif banyak. Tetapi pada tahun 2003 beliau mengundurkan diri sebagai Ketua DKI, karena kesehatan beliau yang semakin menurun.

Penggantinya adalah Bapk. Dr. H. Nanang Rahmatullah Ismullah Iskandar M.Sc. Ph.D. Di bawah kepemimpinan beliau organisasi DKI dibenahi. Penerbitan digalakkan, selain mencetak ulang Quran Suci juga menerbitkan karya-karya baru, yaitu: Kemenangan Islam oleh Bpk. Prof. Ir. Fathurrahman Ahmadi Djayasugiro, M.Sc. (2000), Benarkah Ahmadiyah Sesat? Oleh PB GAI (2002), Agama-agama Besar Dunia, oleh Ny. Ulfat Azisus-Samad (2002), Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (2005), Hasil Studi Banding Ahmadiyah (2005) keduanya karya Bpk. Nanang RI Iskandar. Kristianologi Qur’ani I dan Jihad Masakini karya S. Ali Yasir juga diterbitkan.[]

Retrieved from: http://ahmadiyah.org/darul-kutubil-islamiyah/

Thursday, December 13, 2012

Religious Freedom in Contemporary Indonesia: The Case of the Ahmadiyah

Platzdasch, Bernhard. 2013. "Religious Freedom in Contemporary Indonesia: The Case of the Ahmadiyah". In Encountering Islam: the politics of religious identities in Southeast Asia, ed. Hui Yew-Foong, pp. 218-247. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Encountering Islam: The Politics of Religious Identities in Southeast Asia
Hui Yew-Foong, editor
Pub Date: 2012
Soft cover ISBN: 978-981-4379-92-2        S$39.90/US$32.90
Publisher: Institute of Southeast Asian Studies
No. of pages: 401

About the Publication This volume seeks to introduce and deepen the understanding of Islam and its role in politics as encountered in different national and transnational contexts in Southeast Asia, eschewing the neo-orientalist approach that has informed public discourse in recent years. In Encountering Islam, the book lingers beyond the summary moment and reflects on the multiple impressions, suppressions and repressions, whether coherent or incoherent, associated with Islam as a socio-political force in public life. To this end, it is not adequate simply to represent the divergent identities associated with Islam in Southeast Asia, whether embedded in state-endorsed orthodoxy or Islamic movements that contest such orthodoxy. It is also important to examine religious minorities in political contexts where Islam is dominant and Muslim communities in national contexts where they are minorities. By situating these religious identities within their larger socio-political contexts, this volume seeks to provide a more holistic understanding of what is encountered as Islam in Southeast Asia.


Table of Contents
Encountering Islam: The Politics of Religious Identities in Southeast Asia
Preliminary pages
PART I: INTRODUCTION
1. Introduction - Encountering Islam, by Hui Yew-Foong
PART II: ISLAM ACROSS BORDERS
2. Religious Elites and the State in Indonesia and Elsewhere: Why Takeovers are so Difficult and Usually Don't Work, by M C Ricklefs
3. "I was the Guest of Allah": Modern Hajj Memoirs from Southeast Asia, by Eric Tagliacozzo
4. The Aurad Mohammadiah Congregation: Modern Transnational Sufism in Southeast Asia, by Ahmad Fauzi Abdul Hamid
PART III: MALAYSIA
5. Legal-Bureaucratic Islam in Malaysia: Homeogenizing and Ringfencing the Muslim Subject, by Maznah Mohamad
6. The Letter of the Law and Reckoning of Justice among Tamils in Malaysia, by Andrew Willford
7. Islamization and Ethnicity in Sabah, Malaysia, by Regina Lim
PART IV: INDONESIA
8. Natsir and Sukarno: Their Clash over Nationalism, Religion and Democracy, 1928-1958, by Audrey Kahin
9. Religious Freedom in Contemporary Indonesia: The Case of the Ahmadiyah, by Bernhard Platzdasch
10. Religion and the Politics of Morality: Muslim Women Activists and the Pornography Debate in Indonesia, by Rachel Rinaldo
PART V: MUSLIM MINORITIES
11. Malay Muslims and the Thai-Buddhist State: Confrontation, Accommodation and Disengagement, by Ernesto H Braam
12. Identifying with Fiction: The Art and Politics of Short Story Writing by Muslims in the Philippines, by Coeli Barry
13. Issues on Islam and the Muslims in Singapore Post-9/11: An Analysis of the Dominant Perspective, by Noor Aisha bte Abdul Rahman
Index

Wednesday, December 12, 2012

Ahmadiyah Pasca Fatwa

Oleh: Mulyono

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ahmadiyah yang menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad, betapa pun berdampak pada eksistensi Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada tingkatan riil di masyarakat. Kecurigaan masyarakat pada umumnya kepada organisasi yang berlabel Ahmadiyah ini seakan mendapatkan landasan kuat dari fatwa itu, dan bahkan telah membentuk semacam sikap “Ahmadiyah phobia”.

Persoalan mendasar yang melahirkan fatwa itu adalah ditemukannya “fakta” tentang dakwah/klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Inilah yang dianggap sebagai penyimpangan berat terhadap doktrin Islam yang “baku”, karena dengan begitu dianggap mengingkari berakhirnya kenabian Muhammad saw.

Terhadap kekeliruan persepsi dalam masalah ini sebenarnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah memberikan penjelasan berulang kali, baik secara langsung (dalam berbagai forum) maupun melalui tulisan di berbagai buku, bahwa pengakuan kenabian (seperti yang dipahami oleh umat Islam pada umumnya) itu sama sekali tidak ada, sambil menegaskan keyakinannya bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah khâtaman-nabiyyîn, dalam arti nabi yang terakhir. Bahkan beberapa waktu sebelum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pun, penegasan seperti itu masih dilakukan lagi. Ini membuktikan bahwa keyakinan beliau atas berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. begitu kuat, sama kuatnya dengan penolakan klaim kenabian diri beliau sendiri, atau oleh siapa pun. Sebegitu jauh penjelasan soal klaim kenabian itu beliau berikan, sampai-sampai beliau mempersilakan menghapus dan menganggap tidak pernah ada, jika orang sulit memahami istilah nabi yang pernah beliau gunakan. Artinya, klaim kenabian yang menimbulkan kontroversi itu telah dijernihkan dengan pernyataan “Tidak ada nabi sesudah Nabi Suci Muhammad saw., baik nabi lama maupun nabi baru”, sambil merujuk sabda Nabi saw. “Lâ nabiyya ba’dî”. Oleh karena itu jika orang mau memperhatikan fakta ini, maka kontroversi klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seharusnya telah berakhir.

Adalah Maulana Muhammad Ali, salah seorang pengikut setia Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang cukup lama melakukan hubungan dengan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sehingga dapat diasumsikan bahwa Muhammad Ali memahami benar misi dan posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, membantah keras atas tuduhan orang terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Tak terkecuali, bantahan itu ditujukan kepada sebagian pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri yang “mengiyakan” tuduhan orang atas klaim kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Tetapi, boleh jadi, bantahan itu dilakukan di saat yang agaknya “kurang tepat”. Dikatakan kurang tepat karena dilakukan pada momen pergantian kepemimpinan, dimana Maulana Muhammad Ali masuk dalam bursa kandidat.

Persoalan kenabian ini, secara internal sudah muncul pada era kepemimpinan Maulana Hakim Nuruddin (pengganti Hazrat Mirza Ghulam Ahmad). Maulana Muhammad Ali pun telah menunjukkan sikap “gerah” atas isu kenabian itu. Sikap gerah itu disampaikan kepada Maulana Hakim Nuruddin, tetapi tampaknya Maulana Hakim Nuruddin berusaha mengendalikan Maulana Muhammad Ali. Agaknya Hakim Nuruddin tidak menghendaki terjadinya konflik terbuka atas isu ini. Dengan wafatnya Maulana Hakim Nuruddin, isu ini tidak bisa dicegah lagi untuk muncul ke permukaan, dan bahkan telah berbaur dengan isu politik kepemimpinan Jemaat.

Terlepas dari upaya-upaya pemenangan dari pihak rival, fakta politik menunjukkan bahwa Maulana Muhammad Ali tidak terpilih sebagai pimpinan Jemaat. Hal ini dianggap menutup peluang bagi Maulana Muhammad Ali untuk mempertahankan pemahamannya terhadap misi dan posisi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, di internal jemaat. Oleh karena itu Maulana Muhammad Ali, dengan dukungan sejumlah karibnya, memisahkan diri dari Jemaat dan membentuk faksi tersendiri, dengan mengusung doktrin yang dipahami dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, yakni, antara lain, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi melainkan seorang mujaddid, sambil memberikan toleransi terhadap klaim “kenabian bayangan” (zhillun-nabi), kenabian majazi, kenabian ghairu mustaqil, dan sebagainya, dalam pemahaman istilah sufistik atau metaforis, dan bukan “nabi” dalam istilah syar’i. Ini pulalah yang dikemukakan dalam semua buku Maulana Muhammad Ali yang berbicara tentang masalah ini.

Gerakan Ahmadiyah Indonesia, sebenarnya tampak melepaskan diri dari “pertikaian” soal nabi-bukan nabi bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, meskipun tidak jarang terseret juga kepada persoalan ini. Memang, fakta menunjukkan bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia mengusung paham keagamaan faksi Maulana Muhammad Ali, atau yang populer dengan nama Ahmadiyah Lahore. Tetapi satu hal penting yang perlu dicatat adalah pertanyaan R.Ng.H.M. Djojosugito, tokoh sentral GAI, kepada Mirza Wali Ahmad Baig, salah seorang muballigh Ahmadiyah Lahore yang cukup lama mukim di Indonesia untuk melakukan dakwah Islam. Pertanyaan itu ialah “Apakah Wali Ahmad Baig bermaksud mendirikan cabang Ahmadiyah Lahore di Indonesia?”, dijawab dengan kata “tidak”. Boleh jadi oleh sebab itulah, Djojosugito, dkk., meskipun menyertakan kata “centrum Lahore” dalam tanda kurung setelah nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada organisasi yang dibangunnya, sama sekali tidak ada hubungan organisatoris, atau struktural, dengan organisasi Ahmadiyah Lahore di mana pun, termasuk di pusatnya, Pakistan.

Itulah makanya, terkait dengan ide-ide keagamaan antara GAI dan Ahmadiyah Lahore, Djojosugito menggambarkannya sebagai pohon mangga. Yakni, bahwa kita (GAI) hanya mengambil pelok (bijinya) dari Ahmadiyah Lahore (Pakistan), yang biji itu kemudian ditanam di bumi Indonesia, disiram dengan air Indonesia, dan dipupuk dengan pupuk Indonesia pula. Sayangnya Djojosugito tidak memberikan pemaknaan lebih jauh dan lebih detail tentang gambaran itu, setidaknya melalui tulisan-tulisan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi generasi sesudah beliau. Tetapi jika kita memperhatikan implementasi dari gambaran itu dalam praktik para faunding fathers GAI, sekurang-kurangnya tampak pada karya-karya terjemahan dari buku-buku Ahmadiyah, baik karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri maupun tokoh-tokoh penting lainnya (Maulana Muhammad Ali, Khawaja Kamaluddin, dll.).

Sejauh yang penulis ketahui, buku-buku Ahmadiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, tidak ada satu buku pun yang memuat kontroversi kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Yang ada adalah buku-buku yang secara tegas menyatakan, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah bukan nabi, melainkan mujaddid, dan bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah penutup era kenabian, yang sesudahnya tidak akan ada nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Inilah yang seharusnya menjadi sudut, atau titik, dari mana orang memandang, atau memahami tentang apa dan bagaimana GAI.

GAI telah menunjukkan eksistensinya selama lebih dari 80 tahun di Indonesia. Jika dilihat pada segi organisasinya, maka secara objektif harus diakui bahwa GAI telah gagal membangun organisasi dakwah yang kuat. Tetapi secara objektif pula harus diakui bahwa ide-ide keagamaan yang diusung oleh GAI tampaknya telah diakui oleh semakin banyak kalangan dalam Islam sebagai sebuah kebenaran, meskipun harus diakui pula “kebenaran” itu tidak harus dan selalu diperoleh langsung dari GAI (misalnya dengan membaca buku-buku GAI, atau yang lain). Sekedar sebagai contoh dapat disebutkan di sini: Nabi Isa a.s. sudah wafat; Jihad tanpa kekerasan; wahyu Ilahi dalam bentuk ilham, kasyaf, ru’yah, akan terus-menerus diberikan kepada manusia; keyakinan terhadap Adam sebagai manusia pertama tidak ada hubungannya dengan keimanan dalam Islam; dan sebagainya.

Tetapi apakah GAI bisa mengklaim bahwa perkembangan pemikiran keagamaan tersebut sepenuhnya sumbangan GAI? Tentu tidak mudah untuk dijawab. Dalam kaitannya dengan masalah ini, catatan terpenting adalah bahwa pengakuan sebagai kebenaran terhadap ide-ide keagamaan seperti contoh di atas bukanlah tujuan utama GAI, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama itu, yakni “Tegaknya Kedaulatan Tuhan, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai). Dalam kalimat yang lebih singkat, tujuan GAI adalah untuk mewujudkan Kemenangan Islam (Fathi Islam), paling kurang di Indonesia.

Fakta yang kita saksikan, bahwa visi, atau tujuan yang ingin dicapai oleh GAI tersebut masih jauh dari kenyataan. Konflik antar-kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang masalah ekonomi, sosial, politik, dan bahkan keagamaan, hampir terjadi setiap saat. Semestinya GAI merasa bertanggung jawab (atau paling tidak merasa ikut bertanggung jawab) atas realita ini. Atau, apakah dengan upaya “peminggiran” Ahmadiyah di Indonesia yang dilakukan sekurang-kurangnya oleh MUI, GAI bisa melepaskan diri dari tanggung jawab itu?[]

Retrieved from: http://ahmadiyah.org/ahmadiyah-pasca-fatwa/

Tuesday, December 11, 2012

Membangun Masa Depan

Oleh: Moelyono

Ketika Bapak Minhadjurrahman Djojosugito bertanya kepada Mirza Wali Ahmad Baig soal apakah muballigh dari Lahore itu bermaksud mendirikan cabang Ahmadiyah Lahore di Indonesia, konon dijawab dengan kata “Tidak”. Boleh jadi oleh sebab itulah maka organisasi yang beliau dirikan (bersama kawan-kawan senasib), meskipun menggunakan nama “Ahmadiyah” dan masih ditambah keterangan “centrum Lahore” di antara dua tanda kurung, tidak memiliki hubungan struktural dengan Ahmadiyya Anjuman Ishaati Islam di Lahore (Pakistan).

GAI, dalam gambaran Djojosugito, adalah pohon mangga yang, meskipun biji (pelok)nya diambil dari Lahore, tapi biji itu ditanam di bumi Indonesia, disiram dengan air Indonesia, dan dipupuk dengan pupuk Indonesia pula. Sayangnya tidak ada penjelasan lebih jauh dari gambaran itu, sehingga kita bebas menduga-duga. Boleh jadi, yang beliau maksud dengan pelok itu adalah inti ajaran Ahmadiyah Lahore. Kalau dugaan ini benar, maka inti ajaran Ahmadiyah Lahore, sejauh pemahaman penulis, dapat dirumuskan dengan kalimat singkat, “Membela dan Menyiarkan Islam Dengan Keindahan”. Oleh karena itu meskipun pelok itu diambil dari pohon Ahmadiyah di Lahore, tetapi karena ditanam di lingkungan alam Indonesia, dan meskipun juga sama-sama disebut mangga (Ahmadiyah), tetapi tidak mustahil berbeda cita-rasanya. Perbedaan seperti ini sah-sah saja, karena bumi Indonesia tentu hanya mau menumbuhkan, lalu mengembangkan, dan akhirnya membuahkan biji-bijian yang mampu menyesuaikan diri dengan, atau tunduk kepada kondisi dan situasi alam Indonesia. Jadi perbedaan itu sifatnya alamiah saja.

Sejauh yang penulis ketahui, Bapak Djojosugito “hanya” memiliki tiga karya tulis (dalam bentuk buku), yakni karya terjemah Wedharing Sabdha Kawasa, Qur’an Suci Jarwa Jawi (bersama Bapak Mufti Sharief), dan Pengertian yang Benar Tentang Ahmadiyah. Yang tersebut terakhir, meskipun kelihatannya banyak mengambil bahan dari Ahmadiyya Movement, karya Maulana Muhammad Ali, tetapi punya cita-rasa yang berbeda. Dalam buku itu tidak ada blow up tentang pribadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, tidak juga Maulana Muhammad Ali, meskipun peluang itu ada. Ini suatu hal yang, menurut penulis, menarik sekali. Tampaknya beliau memiliki perasaan yang luar biasa halus.

Sejumlah pengakuan (dakwah) Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang menimbulkan kontroversi, beliau hindari. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, sebagaimana juga Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa menerima pengakuan-pengakuan (apakah sebagai Mujaddid, Masih, Mahdi, atau bahkan nabi sekalipun (jika yang tersebut terakhir ini benar-benar dilakukan oleh beliau), maka semuanya itu hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan kemenangan Islam (Fathi Islam), melalui usaha pembelaan dan penyiaran yang penuh keindahan dan kedamaian. Dalam formulasi bahasa Indonesia, tujuan tersebut adalah “menegakkan kedaulatan Allah, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai).

Agaknya, Bapak Djojosugito memiliki keyakinan, bahwa jika seseorang telah merasakan nikmatnya suatu buah, maka dia akan mencari pohonnya. “Pohon dikenal dari buahnya”, kata Nabi Isa. Artinya, jika seseorang telah merasakan indahnya sesuatu ajaran Islam, maka hampir pasti akan mencari sumber yang mengalirkan, atau yang memancarkan, ajaran itu. Pada saatnya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad akan dicari-cari orang. Fenomena ke arah itu, belakangan ini makin jelas.

Apabila pembacaan penulis terhadap Bapak Djojosugito ini ada benarnya, maka, agaknya, kita telah melakukan kesalahan, atau penyimpangan, dari gagasan Bapak Djojosugito. Mungkin tidak kita sadari, kita telah membuka “front” perdebatan yang melelahkan, dengan arus besar. Atau, kita dengan sengaja menceburkan diri ke dalam arus perdebatan pada persoalan-persoalan yang, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri menyatakan “hanya sebagai sarana” dalam pencapaian tujuan (kontroversi nabi-bukan nabi, Mujaddid, Masih, Mahdi, dll.). Dengan mengatakan begitu, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah-masalah seperti itu sesungguhnya tidak terlalu penting bagi semua orang.

Segmen masyarakat tertentu boleh jadi tidak merasa berkepentingan terhadap klaim-klaim (dakwah) Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Yang lebih mereka perlukan adalah ajaran agama yang “fungsional”, yang mencerahkan, yang mensejahterakan, yang menolongnya ketika menghadapi kesulitan, dan lain sebagainya. Pendek kata, ajaran agama yang bisa meringankan beban, dan bukan sebaliknya, ajaran agama yang membebani, yang terpaksa harus mati-matian mencari-cari dalil pembenaran atas ajaran-ajaran itu.
Saat ini, sepertinya kita sudah hampir kehabisan energi, sementara tujuan yang akan kita capai masih sangat jauh. Keadaan damai yang sudah lebih dari 80 tahun diperjuangkan oleh GAI, masih menggantung di “bintang Tsuraya”. Konflik antar-kelompok masyarakat, baik berlatar belakang masalah sosial, ekonomi, politik, maupun agama, hampir terjadi setiap saat. Kalau kita (GAI) memperhatikan tujuan gerakan ini, maka sejatinya kita, paling tidak secara moral, harus bertanggung jawab terhadap realitas ini. Lalu, apakah GAI dengan upaya-upaya “peminggiran” yang antara lain dilakukan oleh MUI, bisa melepaskan diri dari tanggung jawab itu? Seharusnya “tidak”!.

Maulana Muhammad Ali menamakan organisasinya dengan kata “gerakan”. Ini berarti dinamis, dan tidak mandeg. Tetapi kita telah mandeg dalam kurun waktu yang lama. Kita menganggap ide-ide Hazrat Mirza Ghulam Ahmad maupun Maulana Muhammad Ali sudah final sehingga kita tidak punya keberanian untuk melakukan kritik. Persoalan nama “Ahmadiyah” saja masih menjadi tema diskusi yang hingga sekarang belum juga selesai. Diskusi terakhir tentang masalah ini adalah, apakah istilah “Ahmadiyah” yang konon ilhamiyah itu harus selalu dipahami sebagai nama? Atau bisa berarti sifat? (bersifat Ahmad: jamali, keindahan). Kita sering memberi komentar kepada orang lain sebagai “lebih Ahmadiyah” dibanding dengan orang Ahmadiyah sendiri. Jadi, dia adalah seorang Ahmadi dalam pemikiran keagamaannya, atau dengan kata lain, dia orang Ahmadiyah dalam pengertian sifat. Sama halnya dengan orang non-Islam yang lebih Islami dalam sikap dan perbuatan, dibanding dengan orang Islam sendiri. Berarti “Islam” sebagai sifat, atau kalau meminjam istilah Prof. Fathurrahman Ahmadi, dia telah melaksanakan nilai-nilai Islam.

Salah satu bentuk tanggung jawab GAI terhadap carut-marut bangsa ini, barangkali adalah kemauan (good will) untuk melakukan kaji ulang terhadap berbagai hal (untuk tidak mengatakan semua hal), sekurang-kurangnya dalam tiga wilayah, yakni teologis (paradigmatis), strategis (konstruksi organisasi, dll.), dan di wilayah implementatif, secara komprehensif. Saat ini sorotan terhadap Ahmadiyah relatif mengendor, meskipun bukan mustahil menguat lagi di waktu mendatang. “Kasus” Ahmadiyah di Indonesia belum selesai. []

Retrieved from: http://ahmadiyah.org/membangun-masa-depan-gai/

Monday, December 10, 2012

Pola Pemikiran Keagamaan Ahmadiyah

oleh Moelyono

Adalah sebuah fakta sejarah bahwa abad 19 Masehi dunia Islam berada pada titik terendah kemundurannya. Jika seribu tahun sebelumnya umat Islam sebagai pemegang hegemoni dunia bahkan luasnya kekuasaan politik mencapai hampir separo dunia dan belum pernah ada satu imperium pun yang menyamai, kini tinggal kenangan masa lampau. Lebih dari itu, hampir semua bangsa yang mayoritas Muslim berada dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Kristen Eropa, dan sekaligus menjadi sasaran penyebaran agama Kristen, termasuk di Indonesia. Hal itu membuat umat Islam semakin terpuruk dalam kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Sebenarnya bukan disebabkan oleh dahsyatnya kekuatan bangsa-bangsa Kristen Eropa, yang menyebabkan bangunan Islam itu porak-poranda, melainkan bangunan itu sendiri telah amat rapuh, sehingga betapa pun lemahnya tiupan angin, maka akan roboh juga. Rapuhnya bangunan Islam itu disebabkan oleh paham materialisme yang sejak lama menyeruak ke dalam pola hidup di sebagian kaum Muslimin, sedangkan di sebagian yang lain terjebak dalam praktik-praktik mistik dan sinkritis, dan sebagian lainnya terjerembab dalam sikap taqlid yang membabi buta kepada para ulama. Praktik kerahiban telah menjadi ciri baru dalam sebagian masyarakat Muslim. Jadilah mereka kehilangan sumber kekuatan spiritual yang paling besar, yang sebelumnya mampu menghidupkan dunia yang telah lama mati. Keadaan inilah yang, agaknya, amat dicemaskan oleh Rasulullah saw. seperti dinyatakan dalam Q.s. 25:30: “… ya Rabb-ku, sesungguhnya kaumku telah memperlakukan Qur’an ini sebagai barang yang ditinggalkan.”

Dalam perspektif Ahmadiyah, kejayaan, kemunduran, dan kebangkitan Islam kembali setelah kemundurannya telah diisyaratkan dalam Q.s. 32:5. Dalam ayat itu dinyatakan bahwa Islam (al-amr) akan mengalami kejayaan yang, menurut sabda Rasulullah saw., akan berlangsung selama tiga generasi atau tiga abad. Namun setelah itu, secara bertahap, Islam akan mengalami kemunduran selama seribu tahun. Kemunduran umat Islam ini digambarkan dalam Hadits yang cukup populer sebagai Islam tinggal namanya, Qur’an tinggal tulisannya, masjid-masjid memang makmur tetapi sunyi dari petunjuk. Hadits lain mengatakan bahwa meskipun banyak orang membaca Qur’an, tetapi tidak lebih dari tenggorokannya. Disebutkannya bilangan seribu tahun dalam Q.s. 32: 5 tersebut mengisyaratkan bahwa setelah jangka waktu itu terpenuhi, maka Islam, secara berangsur-angsur akan bangkit menuju kejayaannya yang kedua dan untuk selama-lamanya.

Kebangkitan Islam kembali terkait erat dengan kedatangan Almasih yang dijanjikan (Masih Mau’ud) dan Mahdi, adalah kepercayaan sebagian besar ? jika tidak seluruhnya ? umat Islam. Kepercayaan ini didasarkan pada sejumlah Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh para sahabat yang terpercaya. Bagi kaum Ahmadi, tokoh yang dijanjikan itu diyakini telah datang, yang menyatu dalam pribadi Mujaddid abad ke-14 Hijriyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) dari Qadian, India. Di tengah-tengah umat Islam yang sedang meratapi nasib buruknya, ia bangkit seorang diri untuk menegakkan kembali bangunan Islam yang telah runtuh. Sayangnya, kehadirannya untuk memberi petunjuk dan contoh tentang pola keberagamaan dan pemahaman ajaran Islam yang akan membawa kepada kejayaan Islam kembali itu justru ditolak oleh sebagian besar umat Islam hingga hari ini.  Berbagai tuduhan palsu dan fitnah keji dilontarkan kepadanya sebagai bentuk penolakan atas pengakuannya. Kendati demikian, berbagai tuduhan dan fitnah itu tidak menyurutkan usahanya dalam membela dan menyiarkan keindahan ajaran Islam ke seluruh dunia.

Keberatan sebagian besar umat Islam terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, umumnya disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap pengakuan-pengakuannya: sebagai nabi,  menerima wahyu Ilahi, sebagai Almasih yang dijanjikan, dan sebagai Mahdi. Hal lain yang disalahpahami adalah tentang konsep jihad. Sejumlah pengakuan dan konsep jihad Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

Klaim kenabian
Keberatan pengakuan sebagai nabi sesungguhnya lebih disebabkan salah paham terhadap istilah yang digunakan. Mirza Ghulam Ahmad menggunakan istilah itu dalam frame sufi (karena ia memang seorang  sufi), sementara para penolak memahami menurut istilah syar’i. Menyadari akan perbedaan makna istilah itu Mirza Ghulam Ahmad berulang-ulang menjelaskan bahwa kata nabi yang terdapat dalam pernyataan atau di sejumlah  bukunya, tidak lebih dalam makna kiasan, metaforis, atau majazi. Dalam dunia sufi, istilah-istilah nabi majaz, nabi dzilli, nabi buruz, nabi ghairu mustaqil, nabi ghairu tasyri’, adalah sesuatu yang telah lazim di dalam kepustakaan mereka, jauh hari sebelum Mirza Ghulam Ahmad lahir. Kendati demikian jika orang tetap keberatan dengan penggunaan kata, atau istilah itu, ia pun meminta supaya dihapus dan diganti dengan kata muhaddats. Sebegitu jauh pun, penolakan terhadap seluruh pengakuannya bukan penghalang untuk tetap diakui sebagai saudara Muslim.

Sikap kompromis ini dilatari oleh prinsip yang diyakininya bahwa era kenabian telah mencapai puncak kesempurnaan pada diri Nabi Suci Muhammad saw., yang berarti pula menutup peluang datangnya nabi lagi sesudah beliau. Dalam hal ini Mirza Ghulam Ahmad telah menjelaskan di tidak kurang dari enam judul karya tulisnya. Karya terpenting yang secara khusus menjelaskan masalah ini berjudul Ayk Galati Ka Izala (Menghapus Kesalahan). Salah satu alinea dalam buku itu yang menjelaskan penolakannya terhadap klaim kenabian berbunyi: “Saya menentang keras keyakinan-keyakinan seperti demikian (wahyu kenabian terus berlanjut sesudah Nabi Muhammad saw. ? pen.), dan memilih untuk meyakini benar-benar ayat: ‘dia adalah Utusan Tuhan dan Khataman Nabiyyin’. Ayat ini memuat suatu ramalan yang tidak diketahui oleh lawan kami. Ramalan itu adalah firman Tuhan. Di dalam ayat itu dinyatakan bahwa setelah Nabi Suci Muhammad saw. pintu-pintu ramalan (propecies) telah tertutup hingga Hari Kiyamat, dan kini tidaklah mungkin bagi seseorang yang beragama Hindu, Yahudi, Kristen, atau seorang Muslim menggunakan kata ‘nabi’ untuk mengacu pada dirinya sendiri. Semua jendela kenabian telah tertutup ….” Itulah makanya, kaum Ahmadi kelompok Lahore meyakini bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan tidak pernah mengaku sebagai nabi. Dengan demikian persoalan klaim kenabian bagi Mirza Ghulam Ahmad telah dianggap selesai.

Persoalan klaim kenabian ini, di kalangan pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, terpecah menjadi dua faksi, yakni Ahmadiyah Qadian (di Indonesia bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disingkat JAI) dan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, disingkat GAI). Jika faksi Lahore meyakini bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan tidak pernah mengaku sebagai nabi (dalam perspektif istilah syar’i), maka faksi Qadian meyakininya sebagai sungguh-sungguh nabi, dalam arti nabi tanpa syariat. Faksi ini juga meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terbesar, tersempurna dan terakhir, dalam pengertian nabi pembawa syariat (nabi tasyri’); sedangkan nabi tanpa syariat (nabi ghairu tasyri’) adalah merupakan bentuk rahmat Allah yang pintu rahmat itu telah dibuka oleh Nabi Muhammad saw.

Klaim menerima wahyu
Wahyu adalah kenyataan universal, yang bukan hanya diberikan kepada para nabi, melainkan juga kepada manusia biasa, bahkan kepada binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda alam, yang kata, atau istilah, itu digunakan sendiri oleh Qur’an (lihat Q.s. 41: 11-12; 99: 1-5; 16: 68-69; 8: 12; 28: 7; 5: 11). Jadi wahyu merupakan manifestasi kehendak Ilahi melalui sifat Rubbubiyyah-Nya (mencipta, menyempurnakan melalui hukum taqdir dan hidayah-Nya) bagi semua ciptaan-Nya. Bumi mengeluarkan kekayaannya berupa mineral dan barang tambang lainnya, tumbuh-tumbuhan yang tumbuh, berkembang dan berbuah, binatang yang mengembangkan jenis baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan juga manusia mendapat penerangan tentang makna hidup yang lebih tinggi, semuanya merupakan wahyu dengan karakter dan spesifikasi yang berbeda-beda, sesuai dengan jenisnya.

Khusus kepada manusia, wahyu Ilahi memiliki karakter yang khas. Dalam Q.s. 42: 51 dijelaskan bahwa cara Allah berkomunikasi kepada manusia melalui tiga cara, yakni dengan wahyu, dari balik tirai, dan dengan mengutus utusan. Cara pertama, secara teknis disebut ilham (isyarat yang cepat yang masuk ke dalam kalbu), cara kedua disebut kasyaf, ru’yah (visiun), cara ketiga disebut wahyu matluw (wahyu yang dibacakan oleh Malaikat Jibril). Wahyu jenis ketiga ini hanya diberikan kepada para nabi utusan Allah, sedangkan wahyu dalam jenis pertama dan kedua, yang disebut juga sebagai wahyu ghairu matluw atau wahyu khafi, diberikan bukan saja kepada para nabi, melainkan pula kepada manusia biasa. Dalam jenis yang pertama atau yang kedua inilah wahyu itu diberikan kepada ibunda Nabi Musa dan juga kepada murid-murid Nabi Isa (kaum Hawariyin), sebagaimana tersebut dalam Q.s. 5: 111 dan 28: 7.

Kaum Ahmadiyah meyakini bahwa wahyu jenis ketiga, yang disebut juga wahyu kenabian (wahyu nubuwat), telah mencapai kesempurnaan pada diri Nabi Suci Muhammad saw., maka beliau juga sebagai nabi terakhir; sedangkan wahyu dalam jenis yang pertama dan kedua tidak akan berkesudahan. Asumsinya, jika pada masa lampau Allah berfirman, sebagai manifestasi sifat Kalam-Nya, maka sifat itu akan tetap abadi, seabadi Dzat-Nya. Dengan kata lain, Tuhannya umat Islam tidak pernah mati, melainkan tetap hidup dan terus berfirman. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap saat muncul ciptaan Allah yang baru, sementara kehendak Allah untuk mencipta itu hanya dinyatakan dalam firman-Nya “Kun, fayakun”.

Dalam terus-menerusnya Allah berkomunikasi dengan manusia, sekurang-kurangnya diisyaratkan dalam Q.s. 10: 63-64; 41: 30 yang diperkuat oleh sabda Nabi saw. yang mengatakan bahwa kenabian sudah tidak ada lagi, selain mubasyarat, yang beliau jelaskan sendiri sebagai impian yang baik (Buhari). Pada kesempatan lain Nabi saw. juga menjelaskan bahwa impian yang baik bagi seorang mukmin adalah seperempat puluh enam bagian kenabian (Buhari). Jadi jelaslah bahwa wahyu dalam jenis pertama dan kedua akan terus diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah hingga Hari Kiyamat, sedangkan wahyu jenis ketiga telah tertutup.

Klaim sebagai Almasih dan Mahdi
Dalam Sahih Buhari dan Muslim Nabi Suci bersabda: “Kaifa antum idza nazala-bnu Maryama fikum wa imamukum minkum (bagaimana kamu jika Ibnu Maryam turun di dalam, atau di antara, kamu, dan menjadi imam kamu, dari antara kamu)”. Di sejumlah tempat dalam Qur’an, dengan amat meyakinkan memberikan kepastian bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat secara wajar (lihat Q.s. 3: 55; 5: 117; 16:21; dan lain-lain). Anggapan bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dan pada saatnya akan turun ke dunia lagi, agaknya lebih dipengaruhi oleh keyakinan Kristen. Lebih dari itu, keyakinan yang mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. masih hidup di langit hingga sekarang, di satu sisi akan menguatkan iman Kristen, di sisi lain berarti merendahkan Nabi Muhammad saw. Betapa tidak! Tetap bertahan hidup di langit tanpa makan dan minum dalam jangka waktu ribuan tahun, digunakan oleh orang-orang Kristen sebagai dalil yang membuktikan bahwa Nabi Isa bukan manusia biasa, melainkan manusia yang pantas diakui sebagai Tuhan, atau sekurang-kurangnya anak Tuhan. Sedangkan Nabi Muhammad saw. hanyalah manusia biasa, yang wafat dalam usia 63 tahun saja.

Sementara itu keyakinan yang mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. akan turun lagi ke dunia, bukan saja bertentangan dengan Qur’an, tetapi juga berarti mendustakan kenabian Muhammad saw. (lihat Q.s. 61: 6). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Isa a.s. hanya diutus kepada bangsa Israil, dan Rasul Ahmad (Nabi Muhammad saw.) baru akan datang setelah Nabi Isa a.s. pergi (wafat). Jadi dengan adanya keyakinan Nabi Isa masih hidup, maka Nabi Muhammad saw. tidak mungkin datang. Dengan kata lain, pengakuan Muhammad saw. sebagai nabi adalah palsu (na’udzubillahi min dzalik). Oleh sebab itu kaum Ahmadi meyakini bahwa yang akan turun ke dunia bukanlah Nabi Isa a.s. melainkan salah seorang dari kalangan umat Islam sendiri, sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam Sahih Buhari dan Muslim dengan kata-kata minkum. Kata nazala dalam Hadits itu tidak harus dipahami sebagai turun dari atas ke bawah, atau dari langit ke bumi. Qur’an sendiri membenarkan hal ini. Dalam Q.s. 7: 26, misalnya, Allah menyatakan telah menurunkan pakaian bagi Bani Israil. Kenyataannya, pakaian selamanya berasal dari bumi, bukan turun dari langit. Demikian pula dalam Q.s. 39: 6 dan 57: 25.

Hadits tentang turunnya Almasih
Selain yang telah disebutkan di atas, Hadits Nabi saw. yang menginformasikan akan datangnya Almasih Isa ibn Maryam cukup banyak jumlahnya. Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuti (849-911 H.), sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad Abdul ‘Atha’ yang kemudian dialihbahasa-Indonesiakan oleh A.K. Hamdi dengan judul Turunnya Isa bin Maryam pada Akhir Zaman, melampirkan 68 buah Hadits Nabi saw. tentang turunnya Ibnu Maryam di akhir zaman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Hal ini menunjukkan bahwa turunnya Almasih (nuzulul masih) merupakan perkara besar dan penting bagi umat manusia seluruhnya maupun umat Islam pada khususnya. Sebagian Hadits itu menyatakan bahwa Almasih akan turun menjelang Hari Kiyamat, yang tanda-tandanya antara lain merajalelanya Dajjal, Yakjuj dan Makjuj, dan matahari terbit dari barat.

Kata kiyamat mengandung dua pengertian. Pertama, musnahnya alam semesta, dan kedua, terjadinya kebangkitan. Pengertian yang tersebut belakangan bisa dalam makna bangkitnya seluruh umat manusia dari alam kubur untuk dihisab di hadapan pengadilan Allah, tetapi bisa juga bermakna bangkitnya kesadaran ruhani bagi seluruh umat manusia untuk menerima kebenaran ajaran Islam. Dalam makna yang terakhir ini berarti bahwa kedatangan Almasih akan menghidupkan ruhani orang-orang kafir yang selama ini mati, melalui penyiaran keindahan ajaran agama Islam kepada mereka. Islam pada mulanya diturunkan di tengah-tengah bangsa yang mati ruhaninya, namun dalam waktu kurang dari seperempat abad bangsa itu bangkit menjadi bangsa yang hidup. Demikian juga pada zaman akhir ini Islam akan kembali menghidupkan bangsa-bangsa yang mati ruhaninya. Bangsa-bangsa yang mati ruhaninya itu tidak lain adalah bangsa-bangsa Eropa, yang selama ini tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang Islam.

Persoalan ini menjadi semakin jelas jika dikaitkan dengan tanda-tanda lainnya, yakni matahari terbit di Barat. Bagi bangsa Asia yang mayoritas penduduknya Muslim, Eropa berada di sebelah barat, sehingga bangsa-bangsa yang mendiami benua Eropa disebut sebagai bangsa Barat. Amerika Serikat termasuk bangsa Barat, karena memang didiami oleh orang-orang yang berasal dari Eropa. Oleh karena itu terbitnya matahari di barat berarti bahwa matahari kebenaran Islam akan terbit di Barat. Dengan kata lain, bangsa-bangsa Eropa akan menerima kebenaran Islam melalui dakwah Almasih. Dalam Q.s. 33: 46, Rasulullah saw. disebut sebagai siraja-m munira, matahari yang menerangi. Singkatnya, bangsa-bangsa Eropa yang selama ini memusuhi Islam, berkat dakwah Almasih, akhirnya akan mendapat pencerahan spiritual dan menjadi pemeluk Islam. Gejala-gejala ke arah ini semakin hari dapat kita saksikan semakin nyata. Itulah makanya, Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang juga sebagai Almasih yang dijanjikan, sangat menaruh perhatian dalam usaha dakwah di kalangan bangsa-bangsa Barat, sejak jauh hari sebelum tokoh lain berpikir ke arah itu.

Dalam tahun 1901 ia telah meletakkan dasar bagi usaha dakwah Islam di Barat dengan menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Review of Religions, yang secara teknis dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, sekretaris pribadinya. Tahun 1913 mengirim muballigh Khawaja Kamaluddin ke Inggris dan mendirikan Woking Moslem Mission. Dalam waktu singkat, banyak orang Inggris menjadi pemeluk Islam melalui dakwahnya, salah satunya seorang bangsawan bernama Lord Headly yang pada tahun 1923 melaksanakan ibadah haji bersama muballigh Ahmadiyah itu. Pengiriman muballigh lain juga dilakukan ke Jerman, Amerika Serikat, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika. Maulana Sadruddin, muballigh yang dikirim ke Jerman, berhasil menerbitkan terjemah dan tafsir Qur’an dalam bahasa Jerman. Maulana Muhammad Ali sendiri, telah menulis dan menerbitkan terjemah dan tafsir Qur’an dalam bahasa Inggris pada tahun 1917, ketika sebagian umat Islam masih menganggap haram menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa lain.

Akan lebih lengkap kiranya jika tanda-tanda Hari Kiyamat yang berarti terjadinya kebangkitan ruhani bagi seluruh umat manusia, yang dikemukakan dalam Hadits di atas, ditandai pula dengan munculnya Dajjal, Yakjuj dan Makjuj. Sampai sejauh ini, Dajjal, Yakjuj dan Makjuj masih menjadi misteri. Tetapi bagi Almasih yang dijanjikan, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, misteri itu telah terkuak. Menurutnya, Dajjal, Yakjuj dan Makjuj adalah dua sebutan yang berbeda dari satu bangsa, yakni bangsa Eropa. Dajjal adalah sebutan bagi bangsa Eropa dalam aspek teologinya, yakni Kristen, yang dalam Hadits lain disebut sebagai Masihi-d Dajjal. Kata dajjal artinya pendusta, pembohong, penipu ulung, menutupi kebenaran dengan kepalsuan, dan masih banyak arti lain yang senada dengan itu. Ia disebut Masihiddajjal karena mengaku sebagai pengikut Nabi Isa Al-Masih, namun ajarannya bertentangan dengan ajaran Nabi Isa Al-Masih. Jika ajaran Nabi Isa Al-Masih lebih berorientasi kepada spiritualisme, sedangkan ajaran mereka lebih berorientasi kepada materialisme. Sementara itu Yakjuj dan Makjuj sebutan bagi bangsa-bangsa Eropa dari segi etnologis.

Secara etnologis, bangsa Eropa berasal dari dua suku bangsa, yakni Slavia yang mendiami Eropa Timur (Russia, Yugoslavia, dll.) dan Teutonia yang mendiami Eropa Barat (British, Jerman, dll.). Kedua suku bangsa ini berasal dari pangkal yang sama, yang sebelum berpindah ke daratan Eropa mereka bertinggal di antara bukit Armenia dan Azerbaijan. Bangsa inilah yang dalam Q.s. 18: 94 disebut sebagai Yakjuj dan Makjuj yang masih biadab dan selalu mengganggu (menimbulkan kerusakan) bagi suku bangsa tetangganya. Ada kenyataan lain yang menunjukkan adanya hubungan antara bangsa-bangsa Eropa dengan Yakjuj dan Makjuj, yakni di depan gedung parlemen Inggris, sejak lama terdapat dua patung yang dikenal dengan patung Gog and Magog. Maulana Muhammad Ali, dalam tafsir Qur’annya, menjelaskan masalah Yakjuj dan Makjuj ini sungguh sangat menarik.

Hadits lain mengatakan bahwa Almasih yang dijanjikan akan membunuh Dajjal, memecah salib, membunuh babi, dan menjadi hakim yang adil. Tampak jelas dalam keterangan di atas bahwa Dajjal bukanlah dalam arti orang, melainkan keyakinan, atau agama, yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Eropa. Dengan demikian, membunuh Dajjal tidak berarti membunuh orang, melainkan membunuh (baca: mematikan) keyakinan yang dipeluk oleh bangsa-bangsa itu. Musuh Islam bukanlah orang, golongan, atau pun bangsa, melainkan sesuatu yang tersembunyi dalam hati, yakni berupa kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan, dan sejenisnya. Oleh karena itu membunuh Dajjal berarti membunuh sifat-sifat, atau perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh ajaran dari keyakinan bangsa-bangsa Eropa. Keyakinan yang diakukan sebagai ajaran Nabi Isa namun sebenarnya bertentangan dengan ajaran yang sesungguhnya dari Nabi Isa itu telah melahirkan berbagai bentuk kemungkaran dan kerusakan di muka bumi. Dalam Q.s.  19: 90-91 diisyaratkan bahwa ajaran Tuhan berputra mengakibatkan kerusakan yang mengerikan: “Langit hampir-hampir pecah …, dan bumi membelah, dan gunung runtuh berkeping-keping.” Ayat ini menggambarkan betapa kerusakan moral bangsa-bangsa Kristen sebagai akibat dari ajaran yang salah itu telah menimbulkan kerusakan yang mengerikan.

Peperangan antar bangsa yang terjadi, misalnya, telah menimbulkan korban yang tak terperikan, bagi nyawa, harta benda, maupun kerusakan lingkungan. Maka wajar kiranya jika alam menjadi marah dengan menimbulkan berbagai bencana bagi manusia, karena keseimbangan ekosistemnya terganggu oleh kerusakan moral manusia. Politik imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat juga telah melahirkan kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan bagi bangsa-bangsa Muslim. Tugas Almasih yang dijanjikan, dalam hal ini, adalah dengan menyiarkan Islam di kalangan bangsa-bangsa Eropa seperti telah disebutkan di atas. Dengan mengenal ajaran Islam, yang dalam kaitannya dengan masalah ini mengajarkan bahwa seluruh umat manusia merupakan satu kesatuan dalam keluarga Tuhan (ummatan wahidah), dan bahwa di mata Tuhan, kemuliaan seseorang atau pun bangsa diukur dari tingkat ketakwaan, dan sebagainya, maka kerusakan dunia yang diakibatkan oleh perbuatan Dajjal itu akan berganti dengan kedamaian dan ketenteraman.

Tugas membunuh Dajjal ini tidak jauh dengan tugas mematahkan salib. Yang dimaksud dengan mematahkan salib adalah mematahkan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang menguatkan keyakinan, atau agama, yang disimbolkan dengan salib, yakni Kristen. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, dalam kapasitasnya sebagai Almasih telah memberikan bukti-bukti dan dalil-dalil tentang kelirunya keyakinan Kristen. Kiranya perlu untuk diketahui bahwa iman Kristen semata-mata dibangun di atas pondasi kepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. telah rela mati di atas tiang salib untuk menebus dosa manusia; pada hari ketiga bangkit dari kematian, lalu naik dan duduk di sisi kanan Allah Bapa. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad membantah kepercayaan seperti itu dengan dalil-dalil Qur’an, Hadits, dan bukti-bukti otentik bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, pun pula tidak bangkit dari maut setelah hari ketiga kematiannya, melainkan wafat secara wajar dalam usia lanjut dan dimakamkan di Srinagar, Kashmir. Ia mempersilakan kepada setiap orang untuk membuktikan kebenaran pernyataannya itu dengan membongkar makam Nabi Isa.

Dalam meriwayatkan tragedi penyaliban Nabi Isa, Q.s. 4: 157 sama sekali tidak mengingkari dinaikkannya Nabi Isa ke atas tiang salib; tetapi yang diingkari adalah kematian beliau di atas salib itu, selain hanya ditampakkan kepada umat Yahudi dan prajurit Romawi seperti orang mati, atau seolah-olah sudah mati. Itulah makanya, di kalangan mere sendiri, orang Yahudi berselisih paham tentang kematian Nabi Isa. “Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ? kematian ? itu, selain hanya dugaan.” Maksudnya, mereka menduga Nabi Isa sudah mati, tetapi sebenarnya belum. Tentang masih hidupnya Nabi Isa setelah diturunkan dari tiang salib ini, hanya Allah saja yang tahu. Maka wajar saja jika setelah sembuh dari luka-luka akibat penyaliban dan tusukan tombak laskar Romawi, beliau pun “bangkit” dari kubur. Kubur milik Yusuf Arimatea, salah seorang sahabat Nabi Isa itu berupa gua, yang memungkinkan bagi orang yang berada di dalamnya tetap leluasa bernapas. Merasa tidak mungkin lagi meneruskan dakwah di Palestina, beliau berhijrah untuk meneruskan dakwah kepada domba-domba Israil yang bertinggal di wilayah-wilayah Libanon, Afganistan, dan seterusnya, hingga akhirnya sampai di Kashmir dan wafat di sana dalam usia sekitar 120 tahun.

Tentang tugas membunuh babi, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menerjemahkan sebagai membunuh sifat-sifat rakus terhadap harta, jorok (menghalalkan segala cara dalam mencari harta), dan sifat kotor (menipu, berdusta, berkhianat), yang sifat-sifat itu dilakukan untuk menumpuk harta (kegemukan badan seperti babi). Sedangkan sebagai hakim yang adil, Almasih yang dijanjikan yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bersikap toleran terhadap semua golongan dalam Islam. Dalam hal ini, siapa pun yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan meyakini artinya, diakui sebagai keluarga Muslim, apa pun golongan dan aliran paham yang dianutnya.

Imam Mahdi
Sebagian kaum Muslimin memiliki kepercayaan bahwa menjelang Hari Kiyamat Imam Mahdi akan turun untuk menolong umat Islam mengalahkan orang-orang kafir. Maka Imam Mahdi akan memenangkan Islam, dengan pedangnya membunuh orang-orang kafir. Kepercayaan seperti ini bukan saja tidak rasional, melainkan juga bertentangan dengan ajaran Qur’an. Seperti telah dikemukakan di atas, prinsip yang sangat penting dalam dakwah Islam adalah tidak ada paksaan (Q.s. 2: 256). Segala bentuk kekerasan, misalnya dengan tindakan terorisme, jika dimaksudkan untuk menyiarkan ajaran Islam, dapat dipastikan akan menemui kegagalan. Fitrah manusia tidak menyukai kekerasan, sedangkan Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia. Agama ini dinamai Islam, yang makna aslinya masuk dalam perdamaian. Pemeluknya disebut Muslim, yaitu orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah maksudnya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, dan damai dengan manusia artinya bukan saja menghindari perbuatan jahat dan sewenang-wenang, melainkan juga berbuat baik kepada sesama manusia. Jadi keadaan damai, yang ditandai dengan tidak ada ketakutan dan tidak ada kesusahan, hanya bisa dicapai dengan dua cara, yakni berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Hal ini dinyatakan di sejumlah tempat dalam Qur’an, salah satunya dalam Q.s. 2: 112.

Jelaslah bahwa Islam sangat mengedepankan kedamaian. Betapa pentingnya keadaan damai ini bagi tersiarnya agama Islam, paling tidak dapat kita rujuk peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Demi terciptanya kedamaian, Nabi saw. bersedia mengalah dan menandatangani akta perjanjian itu, meskipun sebagian sahabat beliau menilai isi perjanjian itu sangat tidak adil dan sebagai sebuah bentuk pelecehan kepada Nabi saw. dan kaum Muslimin pada umumnya. Akan tetapi dalam kenyataannya, perjanjian itulah yang justru mengawali kemenangan yang gilang-gemilang bagi Nabi saw. dan umat Islam. Berdasarkan fakta-fakta seperti ini maka kaum Ahmadi meyakini bahwa Imam Mahdi yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu oleh sebagian besar kaum Muslimin, adalah pribadi yang anti kekerasan dan sebaliknya cinta akan kedamaian. Tokoh ini tidak lain adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Mujaddid abad 14 Hijriyah yang juga Almasih yang dijanjikan. Hadits Nabi saw. yang terdapat dalam Sunan Ibnu Majah mengatakan: La Mahdiya illa ‘Isa, artinya Almasih dan Mahdi adalah pribadi yang sama. Yang membedakan keduanya hanya orientasi dakwahnya. Jika dakwah sebagai Almasih lebih berorientasi keluar, khususnya kepada bangsa-bangsa Kristen dan masalah-masalah kekristenan, sedangkan Mahdi lebih berorientasi ke dalam, yakni kepada internal umat Islam. Mahdi adalah orang yang memperoleh petunjuk, dan sekaligus orang yang bisa memberi petunjuk. Petunjuk yang dimaksud adalah tentang pola keberagamaan dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan keadaan dan tantangan zaman.

Miza Ghulam Ahmad Mujaddid di bidang syariat dan tariqat
Penyebab yang paling fondamental terhadap kemunduran umat Islam pada akhir abad ke-13 Hijriyah atau abad ke-19 Masehi, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah ditinggalkannya Al-Qur’an. Al-Qur’an benar-benar ditinggalkan di sudut-sudut rumah, dan tidak dibaca selain kematian mendatangi salah seorang keluarga di antara kaum Muslimin. Akibat dari sikap ini adalah pandangan terhadap agama Islam yang hidup dan menghidupkan menjadi lenyap. Islam hanya dianggap sebagai sebuah sistem ritual belaka yang kosong dari makna. Jadilah berbagai bentuk ritual yang formalistis. Sementara hakikat dari berbagai praktik ritual itu tidak tersentuh. Islam sebagai sebuah sistem nilai, yakni nilai-nilai kebenaran yang fitriah dan universal, tidak tampak dalam praktik hidup keseharian bagi umat Islam.

Untuk menegakkan kembali bangunan Islam itu, perlu dilakukan perombakan total. Maksudnya, pola keberagamaan dan pemahaman terhadap ajaran Islam perlu diperbaharui secara total. Oleh karena itu, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, seorang yang dipercaya oleh Allah untuk memimpin pembangunan itu, dengan pimpinan Ilahi pula melakukan tajdid dalam bidang syariat dan tariqat. Pembaharuan dalam bidang syariat yang terpenting tetapi paling banyak disalahpahami oleh sebagian besar kaum Muslimin adalah tentang jihad.
Makna jihad yang diidentikan dengan perang seolah-olah telah mendapatkan pembenaran di kalangan kaum Muslimin. Bahkan, upaya dakwah Islam, yang memang harus dilakukan dengan semangat jihad, dipahami pula sebagai perang. Itulah makanya, tidak sedikit golongan Islam yang melakukan dakwah Islam dengan jalan kekerasan.  Hazrat Mirza Ghulam Ahmad meluruskan kesalahan pemahaman tentang syariat jihad itu melalui tidak kurang dari enam judul buku yang ia tulis, baik yang secara khusus berbicara tentang jihad maupun yang hanya menyinggung sepintas lalu. Buku-buku itu di antaranya berjudul Government Angrezi aur Jihad, Majmu’a Ishtiharat, Malfuzat, Nurul Haq, Masih Hindustan Main, Haqiqatul Mahdi, dan Ruhani Khaza’in. Dengan mengacu pada ayat-ayat Qur’an, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad berpendapat bahwa jihad tidak sama dengan perang. Menurutnya Jihad adalah perjuangan yang sungguh-sungguh untuk membela dan menyiarkan Islam. Memang, ada kalanya dalam usaha ini harus dilakukan dengan mengangkat senjata (berperang), tetapi melawan musuh dengan pedang hanya bisa dibenarkan jika terpenuhi syarat-syaratnya, yakni karena dianiaya  atau diusir secara semena-mena, atau karena diperangi. Ketiga alasan itu pun harus disebabkan karena agama, bukan sebab lain di luar alasan agama (lihat Q.s. 22: 39-40; 2: 190). Ia juga menolak keras jika dakwah Islam dilakukan dengan pedang atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Prinsip yang dikemukakan oleh Qur’an adalah tidak ada paksaan (lihat Q.s. 2: 256).

Dalam buku Malfuzat, misalnya, ia mengatakan: “Masa ini adalah masa perang spiritual. Memerangi setan sedang berlangsung. Setan sedang berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segala senjatanya. Dia berharap dapat mengalahkan Islam. Akan tetapi Allah membangun Gerakan ini dalam rangka mengalahkan setan dalam pertempuran yang terakhir.” Dalam Rukhai Khaza’in, ia pun mengatakan: “Jihad pada zaman ini adalah untuk menyebarkan agama Islam dan melawan para pengeritik (Islam) dengan menyebarkan keindahan agama yang benar, yaitu Islam ke seluruh dunia. Ini adalah jihad, sampai Allah membuat lingkungan yang berbeda di dunia ini.”

Sementara itu Mirza Ghulam Ahmad memahami bahwa musuh-musuh Islam pada zaman sekarang ini tidak lagi menggunakan pedang atau senjata fisik lainnya untuk menghancurkan Islam, melainkan dengan menggunakan tulisan (buku-buku, surat kabar dan majalah). Oleh karena itu cara melawan serangan musuh-musuh Islam itu harus menggunakan alat yang sama, yakni dengan menerbitkan literatur-literatur keislaman yang menguraikan keindahan ajaran Islam. Dalam hal ini, Mirza Ghulam Ahmad sendiri telah menulis tidak kurang dari 80 judul buku.

Berkenaan dengan dakwah Islam melalui tulisan ini, dalam buku Malfzat pula ia mengatakan: “Misionaris Kristen telah memulai perang yang berbahaya melawan Islam. Di medang perang, mereka muncul dengan pena, bukan pedang atau meriam yang sebenarnya. Jadi, senjata yang harus kita miliki dalam memasuki medan perang tersebut hanya dengan pena. Kami yakin bahwa tugas setiap orang Muslim-lah untuk terjun ke dalam peperangan ini.” Di bagian lain dalam buku yang sama, ia juga mengatakan: “Di zaman ini pena telah digunakan untuk melawan kita. Dengan pena inilah kita menjadi menderita dan merasa sakit. Untuk menjawab masalah ini kita juga harus menggunakan pena sebagai senjata kita.” Itulah makanya, para pengikutnya pun mengikuti jejaknya dengan menerbitkan literatur-literatur keislaman yang berbobot, untuk disebarluaskan bukan hanya kepada kaum Muslimin, tetapi juga kepada bangsa-bangsa yang hingga sekarang masih menolak kebenaran Islam.

Maulana Muhammad Ali, salah seorang pengikut setia yang sekaligus sekretaris pribadinya, misalnya, diakui karya-karyanya oleh berbagai kalangan Islam sebagai karya yang bermutu. Terjemah dan tafsir Qur’an berbahasa Inggris yang terbit pertama tahun 1917 itu, kini telah diterjemahkan ke dalam tidak kurang dari 20 bahasa lain, termasuk Indonesia dan Jawa. Terjemahan dalam bahasa Belanda dilakukan oleh R. Soedewo P.K. yang juga beredar di Suriname. Buku-buku karya Maulana Muhammad Ali lainnya yang semula dilarang beredar di negara-negara Arab, kini telah mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang paling otoritatif dalam menentukan boleh-tidaknya sebuah buku beredar di Mesir dan Arab, yakni Al-Azhar Al-Sharif, Islamic Research Academy, General Department for Writing and Translation, Cairo, Mesir. Buku-buku itu antara lain: The Religion of Islam, The Early Caliphate, Introduction to the Study of the Holy Qur’an, The New World Order, A Manual of Hadith, Muhammad the Prophet, yang sebagian telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia.

Akan tetapi pemahaman terhadap syariat jihad seperti itu justru digunakan oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad untuk menuduhnya sebagai telah menghapus syariat jihad, hanya karena ia tidak bersikap revolusioner terhadap penjajah Inggris. Padahal, sikap serupa dimiliki juga oleh sejumlah tokoh Muslim lain, seperti misalnya Dr. Sir Muhammad Iqbal. Dalam pidatonya di hadapan anggota parlemen Inggris dan para diplomat dari berbagai negara pada tahun 1932, misalnya, Iqbal antara lain mengatakan: “Kaum Muslimin merasa berbesar hati dan selalu menunjukkan loyalitasnya dan terkesan pada Inggris Raya. Saya harap pengakuan dan aspirasi yang sah kaum Muslimin harus dijaga sepenuhnya dalam kolonisasi itu.”

Loyalitas Hazrat Mirza Ghulam Ahmad kepada Inggris, sebenarnya hanyalah menyerupai sikap Nabi Isa a.s. kepada Romawi yang menjajah Israil ketika itu. Meskipun dari satu sisi Mirza Ghulam Ahmad tampak menunjukkan loyalitasnya kepada Inggris, tetapi di sisi lain ia adalah orang pertama dan satu-satunya yang memberikan identifikasi bahwa Dajjal, Yakjuj dan Makjuj adalah bangsa-bangsa Kristen Eropa, termasuk bangsa Inggris, yang telah membuat kerusakan di dunia, sebagai akibat mengikuti ajaran agama yang keliru. Dalam perjuangan membela dan menyiarkan Islam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad konsisten dengan prinsip bahwa dakwah Islam harus dilakukan dengan cara-cara damai. Kenyataan lain menunjukkan bahwa negara Inggrislah yang pertama kali mendapat kiriman muballigh untuk menyiarkan keindahan Islam di sana.

Eksistensi Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah faksi Lahore mengawali dakwahnya di Indonesia sejak tahun 1924, sedangkan faksi Qadian tahun 1926. Meskipun di antara keduanya terdapat perbedaan terhadap masalah yang prinsip fondamental, namun masing-masing terus berpacu dalam usaha dakwahnya dan mengesampingkan perbedaan. Ciri khas yang melekat pada metode dakwah kedua organisasi, yakni melalui penerbitan buku-buku, tetap dikembangkan. Faksi Lahore, misalnya, sejak sebelum organisasi ini berdiri secara formal telah melakukan penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris karya tokoh-tokoh Ahmadiyah ke dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Melayu. Hampir dapat dipastikan, pola pemikiran keagamaan Ahmadiyah ini sedikit atau banyak telah mempengaruhi keberagamaan umat Islam di Indonesia.

Sekurang-kurangnya, pengaruh itu dirasakan oleh Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Kendati ia mengaku tidak sependapat dengan beberapa pandangan Ahmadiyah, namun ia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada buku tipis karya Khawaja Kamaluddin berjudul The Secret of Existence or the Gospel of Action. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi yang masyhur itu, Bung Karno menyebut buku muballigh Ahmadiyah Lahore itu sebagai “brilliant”. Itulah makanya, dalam berbagai kesempatan pidatonya ia seringkali menyitir buku ini. Ayat Qur’an yang sering diungkapkan dalam pidato-pidatonya adalah Q.s. 13: 11 yang terdapat dalam buku itu, sampai-sampai sementara orang menyebutnya sebagai “ayat Bung Karno”.

Perkenalan Bung Karno dengan buku-buku Ahmadiyah, agaknya karena hubungan dekatnya dengan tokoh pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto. Tokoh Syarikat Islam ini bahkan diyakini telah melakukan kontak pribadi dengan Ahmadiyah Lahore di India (sekarang Pakistan), bahkan ada dugaan telah berbaiat sebagai anggota Ahmadiyah Lahore, jauh sebelum muballigh Ahmadiyah Lahore datang ke Indonesia. Hal ini terindikasi dari antusiasmenya terhadap pemikiran keagamaan Ahmadiyah, sampai-sampai pada tahun sebelum berdirinya organisasi Ahmadiyah Lahore di Indonesia, ia telah merintis penerjemahan terjemah dan tafsir Qur’an berbahasa Inggris karya Maulana Muhammad Ali, ke dalam bahasa Melayu, dengan kata pengantar dari Haji Agus Salim.

Dalam kata pengantar karya terjemah HOS Tjokroaminoto yang panjang lebar itu, Haji Agoes Salim antara lain menulis: “Syahdan tafsir Maulwi Muhammad Ali itu adalah satu karangan yang sepadan dengan pengetahuan dan pengertian kaum terpelajar sekarang ini. Macam-macam pemalsuan, macam-macam cacian, celaan dan gugatan daripada pihak luar Islam, istimewa Eropa, mendapat bantahan dan sangkalan dengan alasan-alasan dan bukti-bukti yang merobohkan hujah-hujah dan membuktikan kekosongan falsafah pihak pencaci, pencela dan penggugat itu. Sebaliknya, tidak ada di dalam karangan itu sesuatu keterangan yang membatalkan tafsir-tafsir lama yang mu’tabar di dalam kalangan umat Islam …. Sebagai lagi, biar berapapun modernnya keterangan-keterangan dalam karangan Maulwi Muhammad Ali itu, berapapun takluknya kepada ilmu pengetahuan, akan tetapi sepanjang pendapatan penyelidikan saya, selamat ia dari paham kebendaan (materialisme) dan daripada paham keaqlian (rasionalisme), paham kegaiban (mistik), yang menyimpang daripada iman dan tauhid Islam yang benar. Tegasnya, terpelihara ia daripada kesesatan Dahriyah, Mu’tazilah, dan Batiniyah.”

Karya penting Maulana Muhammad Ali yang cukup berpengaruh di Indonesia, selain The Holy Qur’an, Arabic Text, English Translation and Commentary, adalah juga The Religion of Islam. Keduanya adalah karya besar Maulana Muhammad Ali, presiden pertama Ahmadiyah Lahore. Dalam kata pengantar pada terjemahan bahasa Indonesia buku itu, Sekjen Departemen Agama Laksamana TNI-AL Drs. H. Bachrum Rangkuti, atas nama Departemen Agama Republik Indonesia mengawalinya dengan kalimat: “Buku The Religion of Islam karya Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., … sudah lama terkenal di kalangan para pelajar dan sarjana Islam di Indonesia, terutama oleh salinan Sdr. Soedewo dalam bahasa Belanda dengan judul De Religie van den Islam. Banyak para sarjana telah beroleh gambaran hakiki tentang ruang lingkup agama Islam yang luas aspeknya itu, justru dengan menelaah terjemahan Sdr. Soedewo itu. Di Universitas Indonesia, Fakultas Sastra, waktu itu saya menjadi mahasiswa pada tahun lima puluhan, oleh Prof. Dr. Husein Djajadiningrat buku De Religie van den Islam dianjurkan sekali membacanya, sebagai bahan telaah komparatif yang tak dapat dikesampingkan.”

Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) sebagai organisasi yang berbadan hukum diakui oleh pemerintah sejak tanggal 22 April 1930. Tahun 1966 mendapat pengesahan dari Departemen Agama Republik Indonesia, dan tahun 1986 termuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Buku-buku penting yang diterbitkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia mendapat izin dari Departemen Agama, misalnya Qur’an Suci Jarwa Jawi karya terjemahan pendiri Ahmadiyah Lahore Indonesia (R. Ng. H. Minhajjurrahman Djojosugito) diterbitkan atas izin Menteri Agama RI No. D 26/Q.I. tanggal 3 Oktober 1958 dan juga izin dari Lembaga Pentashihan Kementerian Agama RI No. A/O/IV/3062 tanggal 13 Maret 1959. Qur’an Suci bahasa Indonesia karya terjemahan H.M. Bachrun (Ketua Umum Gerakan Ahmadiyah Indonesia periode 1966 – 1979) diterbitkan atas izin Departemen Agama RI Tanggal 2 Juli 1971 No. Sd/Legal/II-d/82/71. Buku Islamologi (Dinul Islam) diterbitkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia dengan Kata Sambutan dari Departemen Agama RI pada tanggal 24 Mei 1976.[]

Retrieved from: http://ahmadiyah.org/pola-pemikiran-keagamaan-ahmadiyah/