Lahir di Purwokerto pada tahun 1928. Salah satu putra pendiri GAI, R.Ng. H. Minhadjurrahman Djojosoegito.
Nama Ahmad Muhammad ini amat bersejarah dalam hidup dan kehidupan Djoyosugito. Maklumat Pengurus Besar Muhammadiyah No. 294 tanggal 5 Juli 1928 yang isinya antara lain “melarang mengajarkan ilmu dan paham Ahmadiyah dilingkungan Muhammadiyah” membuat beliau sedih, yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Purwokerto. Dengan keluarnya Maklumat tersebut, berarti setiap orang yang setuju kepada ajaran Mujaddid harus menentukan pilihan ”keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Mujaddid”. Pilihan belum dijatuhkan, beliau dipecat dari Muhammadiyah. Hal ini diikuti dengan berbagai macam fitnah. Dalam keadaan demikian, beliau dikaruniai seorang putera yang dinamai Ahmad Muhammad, yang mengandung arti bahwa beliau memilih Ahmadiyah, tetapi tak bisa melepaskan Muhammadiyah.
Berkat do’a dan pendidikan ayahandanya yang lebih menekankan “ing ngarsa sung tuladha” daripada “tutwuri handayani”, Ahmad Muhammad yang meneruskan perjuangan membela dan menyiarkan Islam lewat Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indoneisa (GAI). Pada zaman periode kepemimpinan H.M.Bachrun (1966-1978) beliau sebagai anggota Pedoman Besar GAI dan setelah H.M. Bachrun wafat (1978) beliau yang memimpin GAI.
Sebagai Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) dan dosen Etika Kedokteran di Fakultasnya, sebenarnya beliau cukup sibuk. Namun demikian, beliau tetap menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya demi GAI. Beliau mengangkat seorang Sekretaris Pribadi di kantornya dan diberi honorarium dari kocek beliau sendiri. Dari sinilah akhirnya PB GAI punya kantor resmi di Kompleks Yayasan PIRI Baciro yang kini berkembang menjadi Ahmadiyah Center (2004) yang peresmiannya dilakukan oleh Prof. Dr. Abdul Karim, Amir Shadr Anjuman AAIIL (Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam Lahore) Pakistan.
Di bawah kepemimpinan beliau GAI terus maju, sesuai dengan semboyan yang beliau canangkan “keluar dari sarang” bertekad “ memasyarakatkan Ahmadiyah dan meng-Ahmadiyahkan masyarakat”. Realisasinya:
Retrieved from: http://ahmadiyah.org/ahmad-muhammad-djoyosugito/
Nama Ahmad Muhammad ini amat bersejarah dalam hidup dan kehidupan Djoyosugito. Maklumat Pengurus Besar Muhammadiyah No. 294 tanggal 5 Juli 1928 yang isinya antara lain “melarang mengajarkan ilmu dan paham Ahmadiyah dilingkungan Muhammadiyah” membuat beliau sedih, yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Purwokerto. Dengan keluarnya Maklumat tersebut, berarti setiap orang yang setuju kepada ajaran Mujaddid harus menentukan pilihan ”keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Mujaddid”. Pilihan belum dijatuhkan, beliau dipecat dari Muhammadiyah. Hal ini diikuti dengan berbagai macam fitnah. Dalam keadaan demikian, beliau dikaruniai seorang putera yang dinamai Ahmad Muhammad, yang mengandung arti bahwa beliau memilih Ahmadiyah, tetapi tak bisa melepaskan Muhammadiyah.
Berkat do’a dan pendidikan ayahandanya yang lebih menekankan “ing ngarsa sung tuladha” daripada “tutwuri handayani”, Ahmad Muhammad yang meneruskan perjuangan membela dan menyiarkan Islam lewat Gerakan Ahmadiyah (Lahore) Indoneisa (GAI). Pada zaman periode kepemimpinan H.M.Bachrun (1966-1978) beliau sebagai anggota Pedoman Besar GAI dan setelah H.M. Bachrun wafat (1978) beliau yang memimpin GAI.
Sebagai Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) dan dosen Etika Kedokteran di Fakultasnya, sebenarnya beliau cukup sibuk. Namun demikian, beliau tetap menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya demi GAI. Beliau mengangkat seorang Sekretaris Pribadi di kantornya dan diberi honorarium dari kocek beliau sendiri. Dari sinilah akhirnya PB GAI punya kantor resmi di Kompleks Yayasan PIRI Baciro yang kini berkembang menjadi Ahmadiyah Center (2004) yang peresmiannya dilakukan oleh Prof. Dr. Abdul Karim, Amir Shadr Anjuman AAIIL (Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam Lahore) Pakistan.
Di bawah kepemimpinan beliau GAI terus maju, sesuai dengan semboyan yang beliau canangkan “keluar dari sarang” bertekad “ memasyarakatkan Ahmadiyah dan meng-Ahmadiyahkan masyarakat”. Realisasinya:
- Kaderisasi muballig setiap tahun dalam liburan panjang diselenggarakan.
- Muslimat GAI ditingkatkan perannya sebagai pencipta sorga dalam rumah tangga
- Cabang-cabang lama yang layu disegarkan dan yang mati dihidupkan kembali, misalnya cabang Purbalingga, Magelang, Madiun dan Semarang.
- Yayasan PIRI dikembalikan kepada khithahnya “sebagai tempat persemaian kader-kader GAI” yang langkah-langkahnya :
- pembinaana guru-guru agama sebagai muballigh GAI dan “wakil” Badan Pemangku Azas (BPA) PIRI disekolah masing-masing dilaksanakan setiap Jum’at sore,
- Guru-guru agama ditugaskan sebagai ustadz pengajian kelompok di sekolah masing-masing dan sebagai mubaligh di lingkungan masyarakatnya masing-masing,
- Buku-buku pendidikan Agama untuk SLTP-SLTA PIRI disusun, meliputi Sub Bidang Studi: Akidah Islam, Fiqih Islam, Tarikh Islam, Pendidikan Akhlak dan Tajdid Islam yang disusun dengan sumber rujukan utama ajaran Imamuzzaman yang membias lewat Maulana Muhammad Ali, M.A.LLB. Karya para ulama non Ahmadi sebagai pelengkap data pembanding. Semuanya disusun oleh H.S. Ali Yasir dengan dibantu oleh para mubaligh, terutama Drs. Abdul Razak, Drs. Yatimin A.S. dan Drs. M. Iskandar. Semua dana yang masuk ke Yayasan PIRI dua setengah persennya adalah Dana Rohani yang penggunaannya untuk menopang kegiatan GAI dalam melaksanakan programnya.
Retrieved from: http://ahmadiyah.org/ahmad-muhammad-djoyosugito/
No comments:
Post a Comment