KPAI.go.id, March 21, 2011
Diskriminasi dan kekerasan selalu
membuat anak menjadi korban yang paling tidak berdaya untuk menghindar
atau melawan. Ketika masyarakat dan pemerintah tidak menangani dengan
baik, perlakuan ini dapat melahirkan generasi yang agresif dan depresif,
sehingga trauma dan dendam tetap tertanam dalam hati, pikiran dan alam
bawah sadarnya. Dibutuhkan intervensi yang komprehensif sehingga dapat
keluar dari trauma dan pengalaman pahit serta merubah pengalaman
tersebut menjadi energi positif yang dapat menjadikan kehidupannya lebih
baik.
Pada tahun 2002 sekitar 50 anak
Ahmadiyah diungsikan dari Selong, Lombok Timur ke Tasikmalaya Jawa
Barat. Anak-anak dipaksa berangkat walaupun mereka menolak karena tetap
ingin tinggal bersama orang tuanya. Sesampai di Tasikmalaya, Jawa Barat,
anak-anak dikumpulkan di mesjid, diberi pengarahan dan di sebar ke
rumah-rumah warga Ahmadiyah serta Panti Asuhan.
Tahun 2006 kembali terjadi penyerangan
di Lombok Tengah dan tahun 2007 di Ketapang, Lingsar, Mataram. Anak-anak
kembali diungsikan ke Tasikmalaya. Rentetan kekerasan terhadap warga
Ahmadiyah terjadi dibeberapa tempat Bogor, Parung, Banten dan
Tasikmalaya. Pengalaman ini membuat Pimpinan Ahmadiyah harus menyediakan
asrama khusus bagi anak-anak Ahmadiyah secara eksklusif. Ketika
dikonfirmasi ke anggota Jemaat Ahmadiyah, dijelaskan bahwa banyak teror,
intimidasi dan kekerasan terjadi jika anak-anak dibiarkan sekolah di
sekolah biasa. Sistem pendidikan ekslusif ini dapat membuat anak-anak
Ahmadiyah jauh dari lingkungan sosialnya.
Pengalaman yang disampaikan oleh
anak-anak Ahmadiyah ini diharapkan mampu membuka mata dan hati kita
semua, ternyata banyak anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang
kekerasan. Kita tidak mau mereduksi kekerasan demi kekerasan karena
ketidakmampuan kita memberikan jaminan situasi yang aman dan nyaman
untuk kelangsungan hidup mereka.
Perlakuan di Sekolah
Anak-anak Lombok yang mengungsi ke
Tasikmalaya menceritakan pengalaman di sekolah sebelum mengungsi ke
Tasikmalaya. Anak-anak tersebar di beberapa sekolah, baik SD maupun SMP
di daerah Lombok. Beberapa anak pernah mengalami putus sekolah dan
berpindah-pindah sekolah karena terjadi kekerasan dan pemukulan oleh
anak lain di sekolah. Mereka lebih memilih bergaul dengan anak-anak non
muslim. Berikut ada beberapa penjelasan anak Ahmadiyah untuk mengetahui
situasi anak di sekolah :
“Pertama alhamdulillah bawaan
temen-temen bagus semua, tapi begitu dia tau saya adalah anggota
Ahmadiyah, saya diolok-olok dan tidak mau diajak main. Guru-guru juga
nanya-nanya sambil ngeleceh-lecehin, apa sih Ahmadiyah itu. ”
“Ketika SMP, teman-teman saya tidak tahu
saya Jemaat Ahmadiyah karena saya kos di Pengung, di wilayah orang
Bali, jadi saya dikira bukan orang Islam tapi orang Bali. Saya takut
karena di SMP saya orang nya nakal-nakal, takut digebuk”.
Ada beberapa anak yang sampai megalami
kekerasan fisik selain pengucilan, terror, intimidasi dan diskriminasi.
Seperti yang diceritakan seorang anak yang ditemui di lapangan.
“Keluar dari sekolah, ada yang
membalikan badan pada saya, saya langsung di pukul, lama-kelamaan yang
lainnya turut campur akhirnya saya dan teman saya dikeroyok. Saya sampai
luka-luka, begitu selesai memukul, mereka langsung naik ke truk
langsung pada pulang meninggalkan kami disitu dan semenjak itu saya
tidak sekolah. Saya ketakutan dan akhirnya saya pindah ke sekolah lain”.
Pengungsian
Setelah terjadi penyerangan tahun 2002,
seluruh warga Ahmadiyah di evakuasi untuk menghindari bentrok dengan
penyerang. Hidup di pengungsian merupakan pengalaman yang paling buruk
bagi anak-anak. Mereka dihadapkan pada situasi berbahaya, mulai dari
lingkungan yang tidak sehat karena keterbatasan air bersih, MCK dan
tempat tidur yang tidak aman untuk anak-anak.
Di tempat pengungsian anak rentan
mengalami pelecehan seksual, eksploitasi, kekerasan, penelantaran,
perdagangan orang dan perlakuan salah lainnya. Pengungsi warga Ahmadiyah
di Lombok sudah terjadi sejak tahun 2002, baru-baru ini terdengar
berita PLN memutuskan listrik ke Transito karena pengungsi belum bisa
bayar tunggakan listrik sebesar Rp. 2 Juta.
“Kami dibawa ke Transito. Depsos memberi
beras, sarden dan indomi. Itu makanan sehari-hari sebagai pengungsi.
Air hanya mengalir malam hari. Beda lagi kondisinya di Polres, tempat
tidurnya tidak layak. Kami menahan diri tidak mandi sampai dua hari
karena kamar mandinya jorok sekali. Polisinya merasa terganggu, kami
dipindahkan ke Gedung KNPI, katanya angker, banyak penampakan. Tempatnya
benar-benar tidak layak ditempati”.
Situasi ini memaksa orang tua
mengungsikan anaknya ke Tasikmalaya agar tidak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan terhadap anaknya. Memisahkan anak jauh dari orang tua
ini sangat rentan menjadi korban perdagangan orang.
Rasa aman
Dampak dari perlakuan yang diskriminatif
dari masyarakat serta insiden-insiden yang terjadi membuat perasaan
takut dan tidak aman ketika berhubungan dengan masyarakat. Aparat
keamanan dalam hal ini Polisi dianggap tidak cukup melindungi mereka dan
memberikan rasa aman yang dibutuhkan.
“Waktu penyerangan ada yang terluka
tembak, dilarikan ke rumah sakit. Belum sembuh sudah di suruh pulang,
sehingga saya sangat kecewa dengan aparat keamanan. Karena masih banyak
terror, akhirnya kami dibawa ke Mataram di asrama Transito”.
“Kami dievakuasi paksa oleh polisi,
dengan alasan, mereka yang akan menjaga semua tempat tinggal kami. Kami
bersikeras untuk tetap tinggal disitu karena kami ingin mempertahankan
hak kami, namun setelah dievakuasi, jam sepuluh malam saya kesitu lagi,
akhirnya saya melihat bahwa semua bangunan yang ada disana, khususnya
yang terdiri dari bilik, rata dengan tanah. Rumah kakak saya rata dengan
tanah. Saya rasa itu bukan tindakan pertolongan untuk melakukan
evakuasi secara paksa, mengapa? Seharusnya kalau ingin menolong kami,
mereka harusnya menjaga rumah-rumah kami, menjaga harta benda kami”.
Kehidupan di Tasikmalaya
Melihat situasi sulit dan tidak ada
jaminan keamanan, anak-anak diungsikan ke Tasikmalaya. Salah seorang
anak di SMA Plus Alw Tasikmalaya menceritakan pengalamannya.
“Ketika itu masih kelas 4 SD, dibawa
pake bis, tidak bawa apa-apa dan tidak tau mau dibawa kesini. Saya tidak
mau dibawa ke Alw (Tasikmalaya) karena ada yang nakut-nakutin, katanya
Alw begini, begitu, kejam, tertekan dan terisolasi di desa. Sering
dimarah-marahin, dianggap pembantu, dianggap apa gitu, katanya. Saya
dipaksa, kata bapak, bagaimanapun caranya kamu harus kesitu untuk
sekolah, saya sampai menangis-nagis harus berpisah dengan orang tua.”
“Meskipun saya tinggal bukan sama orang
tua kandung sendiri, disini sudah seperti orang tua kandung. Mereka
pernah bilang mau mengirim surat ke bapak saya di kampung karena ingin
mengangkat saya sebagai anak, tapi saya gak tau apakah bapak saya mau
menyerahkan saya pada orang tua angkat disini.”
Setiap anak memiliki pengalaman
masing-masing selama tinggal dengan orang tua pengganti. Penempatan
anak-anak pengungsi dalam keluarga seperti ini lebih baik daripada
penempatan di panti asuhan karena tidak berimbang antara jumlah pengasuh
dan jumlah anak. Dalam penelitian Firdaus dijelaskan bahwa pengasuh
lebih berfungsi sebagai pengawas dan sangat kurang jiwa kepengasuhannya.
Untuk anak-anak yang jauh dari orang tua, trauma karena penyerangan,
membutuhkan figur orang tua dan konseling untuk menghilangkan trauma.
Tapi hal ini tidak didapatkan di panti asuhan.
Adaptasi
Hidup jauh dari orang tua pada umur yang
rata-rata masih usia SD bukan hal yang mudah. Keluarga tempat mereka
tinggal adalah orang-orang baik yang mau menampung mereka. Trauma masih
kelihatan pada ekspresi ketakutan dan selalu curiga kepada setiap orang
yang belum dikenal. Anak-anak tersebut sangat gelisah jika mengetahui
orang yang berada di dekatnya adalah orang-orang yang sangat benci
terhadap Jemaat Ahmadiyah. Mereka serasa ingin lari dan lari menjauh
agar tidak diganggu atau dikeroyok oleh orang-orang tersebut.
Ini merupakan bentuk trauma yang dialami
oleh anak-anak karena menyaksikan langsung rumahnya di bakar,
barang-barang mereka di jarah, mereka terusir dari rumahnya dan orang
tua mereka dipukuli karena mempertahankan harta dan rumahnya. Trauma ini
membuat anak sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Dari wawancara yang dilakukan terdapat
indikasi bahwa beberapa anak gagal melakukan adaptasi dengan lancar,
terutama pada pengungsian gelombang pertama.
“Kita cuma seminggu di transito,
kerjanya main terus, terus didaftarin kesini. Kami kira disini kota,
tapi kok begini, dingin, pertama kesini tidak kuat karena dingin bangat.
Meskipun jadi pembantu, tetap harus diterima karena hidup jauh dari
orang tua. Hidup merantau memang pahit. Saya selalu ingat pesan bapak,
kamu harus “tahan banting” di negeri orang”.
Sebagian anak-anak Lombok yang mengungsi
ke Tasikmalaya tahun 2002 – 2003 terpaksa kembali ke Lombok dengan
alasan tidak dapat menyesuaikan diri dan banyak pengalaman yang tidak
menyenangkan. Penyerangan kembali terjadi, tahun 2007, mereka terpaksa
kembali ke Tasikmalaya karena tidak adanya jaminan keamanan dan tidak
mungkin mendapatkan pendidikan yang layak karena warga Ahmadiyah tinggal
di pengungsian.
Relasi dengan Orang Tua
Hubungan dengan orang tua dilakukan
melalui surat dan telpon. Setiap ada kesempatan menelpon, mereka akan
menghubungi orang tuanya.
“Waktu kelas empat sampai kelas enam
sering mengirim surat, pas SMP sampai sekarang sering telpon ke kampung.
Pengen ketemu orang tua tapi banyak yang memberi saran pulangnya nanti
saja kalau sudah berhasil, kalau sekarang pulang ke Lombok nanti
menambah beban orang tua. Akhirnya memutuskan tetap disini”.
Respon terhadap perlakuan yang diterima
Tidak cukup kata-kata dan ekspresi untuk
mewakili kekecewaan anak-anak Ahmadiyah terhadap perlakuan yang mereka
terima. Mereka hanya bisa berkeluh kesah dan mengharapkan pada Tuhan
agar mereka terlepas dari semua perlakuan yang sangat tidak manusiawi
tersebut, bahkan muncul keinginan untuk mencari suaka ke keluar negeri
karena saudara-saudara mereka merasa prihatin dengan nasib yang mereka
alami, berikut ungkapan anak-anak yang diwawancarai.
“Benar-benar kecewa, marah bangat!
kenapa sih? Kenapa Negara ini harus begini? Kenapa tidak seperti dulu,
aman, tentram, sentosa, subur, makmur, sejahtera! Kenapa hanya karena
perbedaan menjadi bunuh-bunuhan, kami kehilangan hak milik, kehilangan
hak sebagai warga Negara, hak sebagai seorang anak, hak dilindungi. Para
pejabatnya tidak bisa apa-apa, apa gunanya mereka bertitle professor,
drs., dra., spd., mpd., gak ada gunanya! perasaan jadi sebel bangat dan
kecewa.”
“Respon dari saudara kami yang diluar
negeri sana, kasihan ya, suruh kesini saja biar saya yang tampung
katanya gitu. Saudara saya sudah bikin passport untuk pergi ke Kanada,
terus bapak juga sudah bikin passport karena mau mengajukan suaka
Australia. Walaupun di Negara orang, mereka masih toleransi, meskipun
mereka tidak beragama atau atheis, komunis, tapi mereka saling
menghargai dan sangat menerapkan toleransi”.
Harapan
Dalam penelitian ini juga diungkap tentang harapan yang disampaikan oleh anak-anak tersebut.
“Saya ingin agar semua kita dibukakan
hatinya agar anak-anak lain tidak mengalami apa yang saya alami
sekarang. Kalau menurut saya sumbernya dari Presiden. Soalnya yang bisa
menyuruh-nyuruh semuanya Presiden sama suara yang nyentrik-nyentrik di
dpr, mpr. Tidak ada tindakan apapun. Sudah, taro disitu mereka aman
(Transito), tapi siapa bilang kita aman”.
“Harapannya pemerintah lebih sadar dan
memikirkan nasib rakyatnya, terus pejabat-pejabatnya mohon diganti
dengan pemimpin yang sebenarnya, yang mengayomi rakyatnya”.
Masih banyak kisah tragis dan potret
buram nasib anak-anak Ahmadiyah. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat
mendorong kita untuk menggali lebih dalam apa yang terjadi pada
anak-anak Ahmadiyah. Perdebatan dan keputusan tentang status Ahmadiyah
sama sekali tidak menggugurkan hak anak-anak Ahmadiyah untuk dilindungi
sebagai warga Negara dan anak yang jelas-jelas dijamin haknya oleh
Undang-Undang. (Puncak, Bogor, 16 Maret 2011)
Retrieved from: http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/240-potret-buram-situasi-anak-ahmadiyah.html
No comments:
Post a Comment