H.O.S. Tjokroaminoto, dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan ahmadiyah di Indonesia |
Beliau dikenal sebagai Pahlawan pergerakan kebangsaaan ini tamat OSVIA (Sekolah Paugrek Praja) Magelang tahun 1902. Lalu bermukim di Surabaya. Di kota buaya inilah beliau masuk Syarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi (1878-1956) pada tanggal 5 Oktober1905 di Solo. Pada tahun 1911 SDI konggres di Surabaya. Atas usul SDI cabang Surabaya di bawah pimpinan beliau, SDI dirubah Anggaran Dasarnya menjadi Sarekat Islam (SI), dan Tjokroaminoto menjadi Ketua Central Sarekat Islam yang pertama. SI mengadakan konggres pertamanya pada tanggal 26 Januari 1913 di Surabaya, yang mendapat kunjungan puluhan ribu orang. Kristalisasi SDI menjadi SI dan perkembangannya yang pesat ini menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghemat laju perkembangan SI pemerintah kolonial menugaskan “Sayid Utsman bin Agil bin Yahya” untuk berfatwa. Fatwanya adalah melarang Quran diterjemahkan dan ditafsirkan, dan khotbah harus dalam bahasa Arab.
Tjokroaminoto mengenal betul Ahmadiyah Lahore. Beliau diperkirakan telah berbai’at kepada Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isaha’ati Islam Lahore (AAIIL) melalui surat, jauh sebelum GAI didirikan pada tahun 1928. Bahkan, sebelum dua orang muballigh Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang di Yogyakarta pada tahun 1924.
Foto bersama para peserta Muktamar Pertama GAI tahun 1930 di Purwokerto. Yang berdiri paling kanan dengan baju beskap hitam adalah H.O.S. Tjokroaminoto |
Pada tahun 1921, Cokroaminoto selaku President Central Syarekat Islam mengundang mubaligh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, Lahore, yaitu Khawaja Kamaluddin untuk ceramah agama Islam di Surabaya. Ceramah Khawaja Kamaluddin di kemudian hari ditulis dan diterbitkan dengan judul The Gospel of Action and The Secret of Existence. Ceramah ini diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Evangelie van Den Daad. Kemudian pada tahun 1960-an H.M. Bachrun menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Rahasia Hidup. Buku-buku seperti “Het Evangelie Brilliant, berfaedah sekali bagi semua orang Islam”, kata Bung Karno dalam surat dari Endeh, 25 November 1936.
Tjokroaminoto juga menerjemahkan dan menerbitkan buku Da’watole Amal yang berisi seruan dakwah untuk bergabung dalam Ahmadiyah. Gerakan Penyiaran Islam yang didirikan oleh Hazart Mirza Ghulam Ahmad Mujaddid abad ke 14 Hijriah (pada sampul buku disebutkan karangan Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, dan diterjemahkan oleh Oemar Said Tjokroaminoto, President Central Sarekat Islam, dan dicetak di Percetakan Mouhammadijah).
Karya terjemahan beliau lainnya yang menghebohkan ialah terjemahan The Holy Quran: Arabic Text, Translation and Commutary karya Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Beliau mulai menerjemahkan pada tahun 1926, setelah berulangkali bertemu Mirza Wali Ahmad Baig, muballigh Ahmadiyah di Yogyakarta. Tatkala beliau sebagai wakil SI bersama K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk menghadiri Mu’tamar ‘Alam Islami, di kapal beliau tetap melakukan tugas suci menerjemahkan Tafsir Qur’an yang kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia itu. Oleh karena itu tatkala Konggres SI di Yogyakarta pada bulan Januari 1928 Tafsir Quran Suci karya beliau itu telah siap cetak jilid I sampai dengan III yang berisi Juz ‘Amma.
Majalah TEMPO edisi 21 September 1974, Th. IV No. 29 dalam laporannya yang berjudul “Ahmadiyah, Sebuah Titik Yang Dilupa” menulis:
“Di forum ini juga dibicarakan Tafsir Quran yang sedang dikerjakan Tjokroaminoto, MR. A.K. Pringgodigdo, dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, ada menyatakan bahwa lantaran dari bagian-bagian pertanma Tafsir itu ternyata hanya sadaran dari kaum Lahore, timbullah di forum SI itu perlwanan yang keras. Maka tampillah Agus Salim: beliau ini menerangkan bahwa dari segala jenis tafsir, tafisr Lahorelah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar. Tapi wibawa dua tokoh besar itu saja rupanya tak cukup; perlawanan baru mereka setelah diambil keputusan untuk menunda penerbitan selanjutntya sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan. Dalam ketentuan itu diambil dalam rapat Majlis tahun itu juga di Kediri. Isinya; terjemahan boleh diteruskan asal dilakukan dengan pengawasan Majlis. Dalam forum ini Tjokro tampil bersama Mirza Wali Ahmad Baig, sang muballigh Lahore. Tetapi reaksi kaum ulama sudah tentu belum selesai.Retrieved from: http://ahmadiyah.org/oemar-tjokroaminoto/
Konggres Muhammadiyah diadakan tahun itu juga di tempat yang sama. Sidang, selain mencela keras disiplin parta SI.yang dikenakan kepada anggota organisasi agama non-politik seperti Muhammadiyah, juga menyatakan tidak bisa membenarkan tafsir Quran karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasan; tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Lebih lanjut TEMPO melaporkan; Maka naik kudalah Tjokroaminoto. Tokoh ini dengan segera datang ke Yogya, bersedia menghadapi sebuah debat terbuka mengenai itu Tafsir yang heboh. Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu, boleh menceritakan jalannya peristiwa begini: Pertemuan diadakan di Pakualam, sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut, sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro –kalau tidak salah ke atas meja- sembari berseru dengan suaranya yang dahsyat: “Ini Tjokroaminoto, keturunan ksatria! Mau ribut, coba ribut!” maka hadirinpun heninglah … Namun tak ada percebatan. Dan tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga,1928. Orang bisa melihatnya sekarang di Musium-musium baru jilid I-III, berisi juz amma atau bagian ke 30. Di dalam kata pengantar bisa pula dibaca tulisan Agus Salim yang dengan semangat membela Tafsir itu” (hlm. 46-47).
No comments:
Post a Comment