Raden Ngabehi Haji Minhadjurrahman Djojosugito.
Lahir 16 April 1889 dan wafat 21 Juni 1968. Putra pertama Kyai Raden Nganten Mangunharso, seorang naib di daerah kelahirannya, Sawit, Boyolali. Sedari kecil hidup dalam lingkungan pesantren dengan nuansa keagamaan yang cukup kental.
Djojosoegito memiliki hubungan kekerabatan dengan Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama, melalui Ibunya. Silsilahnya dapat ditelusuri demikian.
Kyai Ropingi, Penghulu di Magetan, berputera beberapa orang, di antaranya Kyai Muhammad Ilyas di Sewulan, Madiun dan Kyai Hasan Mustaram, Penghulu Naib di Slagreng, Magelang.
K. Hasan Mustaram memiliki beberapa orang putra, antara lain Raden Nganten Mangunharso, yang dikaruniai anak, salah satunya Djojoseogito.
K. M. Ilyas Sewulan beranak dua orang. Yang pertama Nyai Napikah, yang kemudian menikah dengan K. Hasyim Asy’ari, Tebuireng dan melahirkan K.H. Wahid Hasyim (ayahanda Abdurrahman Wahid (Gus Dur); seorang lagi bernama Kyai Qalyubi, Penghulu Surabaya, ayah dari K.H. Muh. Ilyah (Menteri Agama pasca Wahid Hasyim).
Djojosoegito berkenalan dengan Ahmadiyah, dan belajar langsung kepada mubalighnya, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Pada tahun 1924, sebagai sekretaris Muhammadiyah pada saat itu, Djojosoegito mengundang kedua mubaligh AAIIL itu untuk berpidato dalam forum Muktamar ke-13 Muhammadiyah di Yogyakarta.
Terkait dengan hal ini, dalam sebuah surat beliau menulis sbb:
Pada tahun 1926, Haji Rasul, ayah dari Hamka, mengadakan dialog terbuka dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Perdebatan ini menjadi awal terkucilnya Djojosoegito dari lingkaran petinggi Muhammadiyah. Pada 5 Juli 1928, kantor pusat Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan melarang pengajaran paham Ahmadiyah di dalam lingkup Muhammadiyah. Djojosoegito, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Purwokerto, dikeluarkan dan dicopot dari jabatannya.
Djojosoegito dan kawan-kawan kemudian mendirikan organisasi baru bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore. Organisasi ini dibentuk pada 10 Desember 1928 dan resmi diakui pemerintah pada 4 April 1930.
Buah karya Djojosoegito, antara lain Qur’an Suci Djarwa Djawi, Wedharing Sabda Kawasa, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Pengertian Ahmadiyah, dll.
Lahir 16 April 1889 dan wafat 21 Juni 1968. Putra pertama Kyai Raden Nganten Mangunharso, seorang naib di daerah kelahirannya, Sawit, Boyolali. Sedari kecil hidup dalam lingkungan pesantren dengan nuansa keagamaan yang cukup kental.
Djojosoegito memiliki hubungan kekerabatan dengan Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama, melalui Ibunya. Silsilahnya dapat ditelusuri demikian.
Kyai Ropingi, Penghulu di Magetan, berputera beberapa orang, di antaranya Kyai Muhammad Ilyas di Sewulan, Madiun dan Kyai Hasan Mustaram, Penghulu Naib di Slagreng, Magelang.
K. Hasan Mustaram memiliki beberapa orang putra, antara lain Raden Nganten Mangunharso, yang dikaruniai anak, salah satunya Djojoseogito.
K. M. Ilyas Sewulan beranak dua orang. Yang pertama Nyai Napikah, yang kemudian menikah dengan K. Hasyim Asy’ari, Tebuireng dan melahirkan K.H. Wahid Hasyim (ayahanda Abdurrahman Wahid (Gus Dur); seorang lagi bernama Kyai Qalyubi, Penghulu Surabaya, ayah dari K.H. Muh. Ilyah (Menteri Agama pasca Wahid Hasyim).
Lihat silsilah Djojosoegito di siniTahun 1920, Djojosoegito bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah dan mendapat bimbingan langsung dari K.H. Ahmad Dahlan. Tahun 1923, bersama anggota persyarikatan lainnya, mendirikan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah, dan menjadi Ketua Majelis yang pertama.
Djojosoegito berkenalan dengan Ahmadiyah, dan belajar langsung kepada mubalighnya, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Pada tahun 1924, sebagai sekretaris Muhammadiyah pada saat itu, Djojosoegito mengundang kedua mubaligh AAIIL itu untuk berpidato dalam forum Muktamar ke-13 Muhammadiyah di Yogyakarta.
Terkait dengan hal ini, dalam sebuah surat beliau menulis sbb:
“Mulai kecil diasuh dan dibimbing oleh ibu dan ayah saya dalam hidup beragama dan oleh paman saya, misalnya: K. Imam Barmawi, K. Zainal Muchtaram dan oleh kyai-kyai lainnya, misalnya: K. Djumali, Thahir, Na’im, dll. Hidup saya di pondok pesantren beberapa lamanya, rupanya pengaruhnya tak ada akan hilang-hilangnya. Terbukanya mata akan dunia Islam, terutama mula-mula saya dapat dari Kyai Ahmad Hisyamzaini, Kyai H. Ahmad Dahlan (Pendiri dan Pemimpin Muhammadiyah). Apalagi setelah saya menerjunkan diri ke dalam Muhammadiyah tidak kurang 8 tahun. Tahun 1921/1922, sudah mulai saya dengan nama Ahmadiyah. Dengan kedatangan muballigh Ahmadiyah (Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig), mulailah saya mendapat pengertian tentang Ahmadiyah (1923-1937). Yang amat menarik hati kami ialah keberaniannya membuka HAQ keinginan Islam dan Rasulullah di negeri-negeri Kristen, yang selama ini selalu menindas dan memusuhi Islam dan muslimin serta nabinya, karena tidak menginsafi keindahannya. Kesempatan sekarang ini kami pergunakan untuk bersyukur kepada Allah atas keikhlasan beliau-beliau ini semua yang akibatnya bias membentuk jalan hidup kami, turut menyiarkan dan membela Islam dan nabinya. Alhamdulillah. Setelah mengalami pelbagai macam kesulitan dan penderitaan, maka pada akhir tahun 1928 dapatlah kami mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Aliran Lahore” (Surat Djojosoegito di Yogyakarta, tertanggal 8 Desember 1956).Bersama Moeh. Hoesni, beliau juga sempat mendirikan Moeslim Broederschaap dan menerbitkan Majalah Correspondentie Blad yang memuat wacana keahmadiyahan.
Pada tahun 1926, Haji Rasul, ayah dari Hamka, mengadakan dialog terbuka dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Perdebatan ini menjadi awal terkucilnya Djojosoegito dari lingkaran petinggi Muhammadiyah. Pada 5 Juli 1928, kantor pusat Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan melarang pengajaran paham Ahmadiyah di dalam lingkup Muhammadiyah. Djojosoegito, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Purwokerto, dikeluarkan dan dicopot dari jabatannya.
Djojosoegito dan kawan-kawan kemudian mendirikan organisasi baru bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore. Organisasi ini dibentuk pada 10 Desember 1928 dan resmi diakui pemerintah pada 4 April 1930.
Buah karya Djojosoegito, antara lain Qur’an Suci Djarwa Djawi, Wedharing Sabda Kawasa, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Pengertian Ahmadiyah, dll.
No comments:
Post a Comment