Wednesday, October 2, 2013

Radikalisasi Pancasila di Bidang Agama

Koran Sindo, 3 Oktober 2013
Peneliti LIPI & Doktor Bidang Agama dari Universitas California, Santa Barbara
Istilah “radikalisasi” di tulisan ini mengacu pada pemikiran almarhum Kuntowijoyo (Kompas, 20 Februari 2001) yang menawarkan untuk: mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial; serta Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal.

Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan istilah revitalisasi, restorasi, re-naisans, dan objektivikasi. Kendati demikian, semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Meski istilah ini membingungkan, kriteria-kriteria di atas cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.

 *** Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama sejak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama dan loyalitaskepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.

Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan nilainilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama peraturan yang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut Soekarno, adalah gotong-royong. Sayangnya, nilai ini sepertinya sudah luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antre di jalan raya sepertinya sudah tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat bergantung pada satpam, sementara masyarakat tak mau saling membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski hidup miskin, tak diberi zakat pada Ramadan.

*** Tiga hal di atas di antaranya yang membuat radikalisasi Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah ke arah mana kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar? Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan? Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila memang harus tetap dijadikan acuan. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa setiap orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing. Secara prinsip, penjelasan Soekarno-Hatta ketika mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya, perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia.

Sikap kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea Eliade sebagai the myth of eternal return, sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu itu manusia terbaik. Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah.

Meski dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Ghulam Ahmad Adalah Nabi”, di era Soekarno-lah pemerintah mengakui secara resmi (Keputusan Menteri Kehakiman RI No JA 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Hanya, era Soekarno pulalah yang melahirkan UU No 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan Ahmadiyah. Pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Soekarno.

 *** Selain perlunya radikalisasi penerapan Pancasila dan pencarian yang radikal terhadap interpretasi Pancasila yang sesuai dengan zaman sekarang, dalam kaitannya dengan radikalisasi ada satu hal lagi yang perlu dipikirkan yaitu pada substansi Pancasila itu sendiri. Meski Pancasila itu harus dianggap sakti, sila-sila Pancasila bukanlah tak memiliki ma-salah. Dalam kaitannya dengan agama, tentu sila pertama yang perlu dilihat.

Dalam banyak diskusi, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” jarang atau tidak pernah dipersoalkan. Banyak aktivis dan sarjana yang menganggap sila ini berkah bagi umat beragama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan murni negara sekuler murni karena agama ditempatkan di sila pertama dari dasar negara. Kendati demikian, sila ini mengandung banyak persoalan sejak dilahirkan.

Di antaranya persoalan di urutan ke berapa dia harus ditempatkan dan bagaimana susunan kalimat yang tepat untuk sila ini. Dalam usulannya, Soekarno hanya menyebut “Ketuhanan”. Kubu Islam meminta tambahan tujuh kata “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Kepada Pemeluknya”. Hasil akhir dari kompromi adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata “Yang Maha Esa” dalam sila ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Islam dan Kristen dalam penyusunan Pancasila.

Konsekuensi dari kata-kata tersebut, kelompok agama yang tuhannya tidak esa dikeluarkan dari agama yang diakui pada masa awal kemerdekaan. Karena memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dari Islam dan Kristen, Hindu dan Buddha misalnya baru diakui sebagai agama di Departemen Agama pada 1950-an. Itu pun terjadi setelah umat Hindu menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara agama Buddha harus menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa (Howell 2005, 478). Ini belum lagi kalau dilihat kondisi para penganut agama lokal. Keyakinan mereka tak dianggap sebagai agama karena konsepsi keagamaan mereka berbeda dari agama Semit yang memiliki nabi dan kitab suci.

Kesimpulannya, dalam kaitannya dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan dalam upaya radikalisasi Pancasila, t iga hal yang perlu mendapat perhatian oleh bangsa Indonesia saat ini yaitu penerapan Pancasila, penafsiran Pancasila, dan pembacaan secara kritis terhadap Pancasila. Dengan melihat Pancasila dengan tiga perspektif itu, kesaktian Pancasila tidak hanya muncul sebagai simbol, tapi juga menjadi lebih nyata dan kritis. 

AHMAD NAJIB BURHANI 
http://www.koran-sindo.com/node/334493

Kesan dan pesan untuk “Peace Symposium” di Singapura dan Mulaqat dengan Khalifah Ahmadiyah



Oleh Ahmad Najib Burhani, Ph.D.
(Maarif Institute dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Sejak saya mulai menulis disertasi di University of California, Santa Barbara (UCSB) tentang Ahmadiyah pada awal tahun 2011 yang lalu, saya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan dengan Khalifah Ahmadiyah, Mirza Masroor Ahmad. Harapan itu baru terwujud beberapa minggu setelah saya menyelesaikan disertasi dan secara resmi menjadi doktor dalam kajian agama. Saya sangat bersyukur diundang hadir ke Peace Symposium, shalat jum’at bersama Huzur, dan berbialog langsung dengan Huzur di Singapura.

Ada tiga kegiatan utama yang saya ikut dengan penuh perhatian selama berada di Singapura, yaitu: 1) Peace Symposium pada hari Kamis (26/9), 2) Mendengarkan secara langsung khutbah Jum’ah yang disampaikan Huzur dan Sholat Jum’ah yang diimami Huzur pada hari Jum’at (27/9), dan 3) Mulaqat atau bertemu langsung dan berdialog dengan Huzur pada hari Sabtu (28/9).

Meski saya bukan seorang Ahmadi, namun saya bisa merasakan kharisma dari Hadrat Mirza Masroor Ahmad. Kharisma itulah yang saya lihat mampu menyatukan pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia, memperkokoh keberadaan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan di dalam Islam, dan membangun ketaatan beragama yang luar biasa bagi pengikut gerakan ini. Jika dibandingkan antara kharisma Huzur dengan kharisma ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang paling khos sekalipun, maka kharisma Huzur akan terlihat jauh lebih tinggi.

Hal lain yang cukup mengesankan saya adalah upaya Ahmadiyah untuk menunjukkan keindahan Islam, keberagamaan yang penuh disiplin, dan pengorbanan materi demi agama. Tentang keindahan dan kedamaian Islam ini, misalnya, ditekankan berkali-kali oleh khalifah dalam khutbah Jum’at dan Mulaqat. Meski Ahmadiyah mendapat tekanan dan serangan dimana-mana, mereka diminta tetap menunjukkan semangat “love for all and hatred for none”. Slogan ini pun bisa ditemukan hampir di seluruh tempat pada acara symposium ini. Kecintaan orang-orang Ahmadiyah kepada khalifah dan semangat mereka berkorban demi agama ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka ke Singapura untuk menghadiri acara ini. Sementara kedisiplinan ditunjukkan dalam acara-acara dan dalam mengatur seluruh peserta yang hadir di symposium ini.

Terakhir, kesediaan khalifah untuk berdialog dengan kami adalah cukup memuaskan dan membahagiakan. Meski tak semua pertanyaan saya menemukan jawaban seperti yang saya harapkan, seperti mengenai
family life dari Huzur, namun secara umum apa yang ditanyakan oleh peserta yang hadir mendapat jawaban yang jelas. Meski beberapa pertanyaan cukup sensitif, Huzur bersedia memberikan jawaban dengan dingin. Pertanyaan yang cukup sensitif itu diantaranya adalah tentang sistem khilafah di Ahmadiyah, reformasi keagamaan di gerakan ini, dan kema’shuman (infallible) khalifah. Secara singkat, Huzur menegaskan bahwa sistem khilafah itu berbeda dari demokrasi karena khilafah hanya untuk urusan agama. Tentang reformasi keagamaan di Ahmadiyah, Huzur mengatakan bahwa apa yang diajarkan oleh Ahmadiyah adalah ajaran dari Allah dan Rasulullah dan kerena itu visi ini tak perlu di reformasi. Huzur menegaskan bahwa jika Ahmadiyah itu harus berubah, maka itu menunjukkan bahwa “we fear more to people than to Allah”. Tentang kema’shuman khalifah, Huzur menggarisbawahi bahwa ma’shum itu hanya berlaku untuk Nabi, bukan orang lain.