Wednesday, October 2, 2013

Kesan dan pesan untuk “Peace Symposium” di Singapura dan Mulaqat dengan Khalifah Ahmadiyah



Oleh Ahmad Najib Burhani, Ph.D.
(Maarif Institute dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Sejak saya mulai menulis disertasi di University of California, Santa Barbara (UCSB) tentang Ahmadiyah pada awal tahun 2011 yang lalu, saya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan dengan Khalifah Ahmadiyah, Mirza Masroor Ahmad. Harapan itu baru terwujud beberapa minggu setelah saya menyelesaikan disertasi dan secara resmi menjadi doktor dalam kajian agama. Saya sangat bersyukur diundang hadir ke Peace Symposium, shalat jum’at bersama Huzur, dan berbialog langsung dengan Huzur di Singapura.

Ada tiga kegiatan utama yang saya ikut dengan penuh perhatian selama berada di Singapura, yaitu: 1) Peace Symposium pada hari Kamis (26/9), 2) Mendengarkan secara langsung khutbah Jum’ah yang disampaikan Huzur dan Sholat Jum’ah yang diimami Huzur pada hari Jum’at (27/9), dan 3) Mulaqat atau bertemu langsung dan berdialog dengan Huzur pada hari Sabtu (28/9).

Meski saya bukan seorang Ahmadi, namun saya bisa merasakan kharisma dari Hadrat Mirza Masroor Ahmad. Kharisma itulah yang saya lihat mampu menyatukan pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia, memperkokoh keberadaan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan di dalam Islam, dan membangun ketaatan beragama yang luar biasa bagi pengikut gerakan ini. Jika dibandingkan antara kharisma Huzur dengan kharisma ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang paling khos sekalipun, maka kharisma Huzur akan terlihat jauh lebih tinggi.

Hal lain yang cukup mengesankan saya adalah upaya Ahmadiyah untuk menunjukkan keindahan Islam, keberagamaan yang penuh disiplin, dan pengorbanan materi demi agama. Tentang keindahan dan kedamaian Islam ini, misalnya, ditekankan berkali-kali oleh khalifah dalam khutbah Jum’at dan Mulaqat. Meski Ahmadiyah mendapat tekanan dan serangan dimana-mana, mereka diminta tetap menunjukkan semangat “love for all and hatred for none”. Slogan ini pun bisa ditemukan hampir di seluruh tempat pada acara symposium ini. Kecintaan orang-orang Ahmadiyah kepada khalifah dan semangat mereka berkorban demi agama ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka ke Singapura untuk menghadiri acara ini. Sementara kedisiplinan ditunjukkan dalam acara-acara dan dalam mengatur seluruh peserta yang hadir di symposium ini.

Terakhir, kesediaan khalifah untuk berdialog dengan kami adalah cukup memuaskan dan membahagiakan. Meski tak semua pertanyaan saya menemukan jawaban seperti yang saya harapkan, seperti mengenai
family life dari Huzur, namun secara umum apa yang ditanyakan oleh peserta yang hadir mendapat jawaban yang jelas. Meski beberapa pertanyaan cukup sensitif, Huzur bersedia memberikan jawaban dengan dingin. Pertanyaan yang cukup sensitif itu diantaranya adalah tentang sistem khilafah di Ahmadiyah, reformasi keagamaan di gerakan ini, dan kema’shuman (infallible) khalifah. Secara singkat, Huzur menegaskan bahwa sistem khilafah itu berbeda dari demokrasi karena khilafah hanya untuk urusan agama. Tentang reformasi keagamaan di Ahmadiyah, Huzur mengatakan bahwa apa yang diajarkan oleh Ahmadiyah adalah ajaran dari Allah dan Rasulullah dan kerena itu visi ini tak perlu di reformasi. Huzur menegaskan bahwa jika Ahmadiyah itu harus berubah, maka itu menunjukkan bahwa “we fear more to people than to Allah”. Tentang kema’shuman khalifah, Huzur menggarisbawahi bahwa ma’shum itu hanya berlaku untuk Nabi, bukan orang lain.

No comments:

Post a Comment