Thursday, September 19, 2019

Ulama dan Buku

Jumat, 6 Desember 2013

Bandung Mawardi

5 Desember 2013, teman-teman berkumpul di Bilik Literasi, mengikuti acara Tadarus Buku. Priyadi mengisahkan buku lawas, berjudul Keindahan Bahasa Kita karangan Pulungan. Ada kesadaran berbahasa dan bersastra. Buku lawas itu cenderung memuat pelbagai hal tentang sastra, dari pantun sampai puisi bercap modern. Sebelum Tadarus Buku, aku berbagi cerita ke mereka tentang 3 orang asal Minangkabau: Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Abdul Wadud Karim Amrullah. Aku berjanji ke mereka untuk berbagi nukilan buku Haji Abdul Karim Amrullah, ulama moncer, pemimpin gerakan Kaum Muda di Minangkabau, menggerakkan pembaharuan.

Abdul Wadud Karim Amrullah dalam buku Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran mengisahkan sosok Haji Abdul Malik Amrullah meski secuil. Pengisahan panjang telah disampaikan oleh Hamka melalui buku berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Dua orang telah mengisahkan Haji Abdul Karim Amrullah. Aku kagum membaca dua anak berkisah bapak.


Aku ingin turut berkisah tentang Haji Abdul Karim Amrullah, melalui buku lawas Al-Qauloeccahih (Marah Intan alias Dt. Nan Bareno, Jogjakarta). Buku ini semula terbit tahun 1926 di Bukittinggi oleh Drukkerij Samaratoel Ichwan. Edisi awal mencantumkan keinginan pengarang: “Tidak boleh ditjitak dengan tidak izin saja” dan “Pengarang! Kalau saja meninggal doenja pindah kekoeasaan kepada waris saja jang menoeroet agama soepaja ma’aloem.”


Buku ini dicetak ulang lagi. Penerbit di Jogjakarta menjelaskan: “Maka dari karena boekoe Al-Qawloes-Shahih ini, moela-moela ditjitak didalam bahasa Melajoe toelisan ‘Arab sadja, sedang kebanjakan orang koerang mengerti membatja toelisan ‘Arab bahasa Melajoe itoe, lebih-lebih lagi ditanah Djawa, maka terpaksalah kita mintak kepada Toean Dr. H. Abdulkarim Amrullah itoe, agar kita dapat menjalin ini boekoe kedalam bahasa Melajoe toelisan Latijn itoe, ialah agar ‘oemoem memfa’atnja, lebih-lebih lagi ditanah Djawa…”

Buku ini dikarang oleh Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, diterbitkan di Bukittinggi dan Jogjakarta. Aku merasa ada pola sebaran literasi agama secara beruntun, melibatkan sekian pelaku dan pelbagai kepentingan. Buku ini tentu memiliki pengaruh besar di Sumatra dan Jawa saat ada reaksi atas keberadaan penganut Ahmadiyah. Apakah buku ini pernah dipakai sebagai rujukan saat para ahli menjelaskan tentang konflik berkaitan Ahmadiyah sekian tahun silam? Aku belum tahu. Apakah para pembaca buku-buku Hamka memerlukan juga membaca dan mengoleksi buku karangan Haji Abdul Karim Amrullah? Apakah pengarang juga memberi pengaruh ke Hamka dalam urusan kepenulisan dan pemikiran agama? Wah! Aku terlalu ingin mengerti, berharap bisa merekonstruksi situasi literasi dan keberagamaan di masa 1920-an.

Haji Abdul Karim Amrullah menulis tentang pengakuan Goelam Ahmad sebagai nabi: “Sedang Goelam Ahmad sendiri sementara hidoepnja soedah djoega mengirim soerat seroeannja kepada ‘oelama-‘oelama di Mesir jang mana mereka menoelak soeratnja itoe, seperti sajjidinan Moehammad Rasjid Ridha pengarang Al-Manar dan Moestafa Kamil almarhoem dan lain-lain oelama, akan tetapi adakah dia mengakoe dirinja nabi atau rasoel atau tidak maka tidaklah dapat kita keterangannja jang sahih.”


Perdebatan tentang Ahmadiyah masih berlangsung sampai sekarang. Aku tak terlalu mendalami sumber-sumber perdebatan atau permusuhan, berkaitan kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Aku cuma tahu bahwa Ahmadiyah pernah membuat sekolah-sekolah di Jawa. H.O.S. Tjokroaminoto dan sekian tokoh agama memiliki hubungan dengan orang-orang Ahmadiyah bersemangat toleransi. Aku tak ingin terlibat urusan pelik. Inginku, beragama tak perlu saling bermusuhan dan adu kekerasan.

Penilaian Haji Abdul Karim Amrullah memang tegas dan lugas. Aku menduga ada ekspresi tegang saat penulisan buku. Bagaimana para pembaca menanggapai keterangan dan argumentasi dari Haji Abdul Karim Amrullah? Aku tentu tak bisa kembali ke masa 1920-an. Aku berharap kelak ada orang mau menerangkan, memberikan pemahaman sejarah Islam di Indonesia. Aku jadi ingat buku terbaru Ricklef, Mengislamkan Jawa, 2013. Aku harus belajar sejarah Islam di Sumatra dan Jawa agar tak bodoh selama seratus tahun. Memalukan!


Haji Abdul Karim Amrullah menulis: “Maka sekarang soedah njata benar bertemoe tanda itoe pada Goelam Ahmad dan kaoem Ahmadi jaitoe mendatangkan wahi-wahi palsoe akan penambah-nambah Qoeran dan hadis-Hadis penghoeloe kita, jang mana wahi-wahi itoe semata-mata dari pada sjetan hantoe jang diperdapatnja didalam pertapaannja diatas goenoeng didalam goea-goea batoe setjara ‘adatnja Hindoe…” Aku tak boleh membaca-menerima konklusi ini tanpa lacak keterangan berkaitan konteks model dakwah dan anutan paham dari umat Islam di Indonesia.

Buku-buku agama dari masa lalu sering menimbulkan penasaran. Para ulama rajin menulis buku, berdakwah dengan huruf-huruf tertulis. Halaman-halaman buku adalah perantaraan untuk menjumpai umat. Dakwah berkaitan melek-aksara, pembesaran selebrasi literasi. Sekarang, ulama masih rajin menulis? Aku enggan menjawab ketimbang mendapat tuduhan-tuduhan aneh. Aku selalu berharapan, para ulama rajin menulis buku tapi “bermutu”. Aku sering melihat buku-buku agama di pelbagai toko buku kurang memberi gairah untuk mengajak publik mempelajari agama. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com//?s=ahmadi&search=Lanjut

Buku dan Harmoni

Kamis, 24 Oktober 2013

Bandung Mawardi

Hidup di kamar, ruang seminar, hotel mirip jeda aneh. 17-20 Oktober, aku mengikuti Borobudur Writers & Cultural Festival 2013, bertema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara. Aku mengikuti seminar demi seminar, berbekal ingatan dan jaket untuk menahan dingin. Para pembicara mengajukan penjelasan-penjelasan apik, menggugah imajinasi untuk mengerti sejarah Nusantara.

Dua lelaki bercerita tentang laut. Mereka mengisahkan kehidupan di darat dan laut, menjalani pelbagai peristiwa dengan ritual-ritual. Iwan mengisahkan Mandar. Bona mengisahkan Lamalera. Aku duduk gelisah, mendapati kerinduan beragama secara luwes dan harmoni. Di Mandar, Islam merasuk tanpa klaim-klaim kemurnian agama. Di Lamalera, Katolik bisa meresap dalam kehidupan, mengajak orang menjalani hidup sebagai peribadatan. Aku pun menginginkan penjelasan ke mereka, mengenai kehadiran agama di Mandar dan Lamalera. Agama langit bisa dialami sebagai agama bahari.

Imajinasiku mengarah ke peristiwa kehadiran pendeta, ulama tentu menggunakan kapal. Mereka datang membawa kitab suci, mendakwahkan agama. Kapal jadi alat transportasi penting untuk melintasi samudra, selat, sungai. Aku mendapat penjelasan apik dan gamblang. Mereka hidup dalam harmoni, berbeda dengan lakon-lakon mutakhir: agama dijadikan dalih berkonflik.


Pulang dari Borobudur, aku membaca kembali buku Da’watoel ‘Amal karangan Maulana Muhammad Ali. Buku ini tentu bisa sampai ke Nusantara menggunakan kapal. Oemar Said Tjokroaminoto berperan sebagai penerjemah buku, dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Tokoh kondang dari Sarikat Islam menerjemahkan buku dari pimpinan Ahmadiyah. Buku terjemahan diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, mubaligh Ahmadiyah di Jogjakarta.

Aku tak pernah menduga jika Oemar Said Tjokroaminoto adalah penerjemah buku. Informasi tentang Oemar Said Tjokroaminoto sering berurusan dengan orasi dan penulisan buku-buku agama. Buku paling terkenal berjudul Islam dan Sosialisme, 1924. Aku harus rajin belajar agar terhindar dari kebodohan. Amin. Buku Da’watoel ‘Amal membuktikan ada harmoni di masa silam. Aku kagum dan terkejut. Oh!

Penjelasan tentang kehadiran buku terjemahan ini memerlukan pengakuan terbuka, dari urusan isi buku sampai misi penerbitan di Indonesia. Oemar Said Tjokroaminoto menjelaskan: “Dengen senang hati kita mengaboelkan permintaannja saudara Mirza Wali Ahmad Baig, oetoesan Pergerakan Ahmadijah di Djokdjakarta, akan menjalin karangan terseboet di atas ini dalam bahasa Melajoe. Kesoekaan kita dengan ichlas mengaboelkan permintaan itoe teroetama sekali ialah kita pandang sebagai satoe tanda silatoerrahmi antara saudara-saudara kaoem Ahmadi dengan saudara-saudara kaoem Moeslimin di negeri toempah-darah kita, jang tentang Islam dan keislaman ada bertoenggal azas, bertoenggal faham, bertoenggal fikiran dan bertoenggal haloean dengan jang bertanda di bawah ini.” Aku mengerti saat membaca kalimat-kalimat dari Oemar Said Tjokroaminoto. Ada pesan penting: buku menjadi ejawantah harmoni dan persaudaraan.

Aku terlambat membaca buku ini jika mengingat adegan-adegan konflik dan kekerasan berdalih agama. Orang-orang membawa pentungan dan berteriak melafalkan nama Tuhan. Adegan pemukulan, pengusiran, pembakaran rumah, pembunuhan terjadi akibat klaim paling benar dalam beragama. Buku ini bisa mengingatkan bahwa ada harmoni di masa lalu meski berbeda paham. Oemar Said Tjokroaminoto menjadi teladan, berada di barisan mencipta harmoni di kalangan Islam.

Buku Da’watoel ‘Amal harus aku perlihatkan ke para ulama, intelektual, politisi…. Buku ini bakal membuat mereka insaf, menghindari konflik dan mengadakan harmoni. Perbedaan paham atau tafsir tak perlu melukai atau menghinakan. Aku jadi ingin mengutip sepenggal penjelasan tentang Islam: “Di kelak kemoedian hari mata-hari terbit dari Barat, begitoelah disabdakan oleh Nabi kita jang soetji. Ternjatalah jang dimaksoedkan dengan mata-hari jaitoe ‘mata-hari Islam’ jang moela-moela pertama terbit di Timoer, dan telah memenoehi negeri-negeri Timoer dengan tjhajanja jang gilang-gemilang. Negeri Barat poen lebih doeloe telah menerima tjahaja batin, sebagai djoega kelak kemoedian hari menerima tjahaja lahir, dan tjahaja batin itoe telah memenoehi negeri Barat ialah kebetoelan pada kalanja Islam soedah kehilangan sebanjak-banjaknja dari kekoeasannja perkara doenia.” Penjelasan puitis, kompetensi dan selera bahasa dari Oemar Said Tjokroaminoto pasti memberi pengaruh dari kehadiran kata-kata. Aku kagum, kagum, kagum.

Di masa lalu, bacaan-bacaan mengajak orang beragama secara indah. Sekarang, buku-buku berlabel agama justru bisa merangsang permusuhan, perang, konflik, diskriminasi. Buku itu simbol harmoni, mengisahkan sejarah persaudaraan dengan keinsafan. Agenda literasi bergerak bersama semaian harmoni. Wah!


Aku perlu menghadirkan kutipan iklan di sampul belakang: “Apakah Toean soedah berlangganan pada soerat kabar bahasa Inggris bernama THE LIGHT? Kalau beloem, soenggoeh Toean kehilangan perdjamoean jang sedap rasanja pada tiap-tiap empat belas hari sekali. sebagaimana namanja ada menoendjoekkan, maka soerat kabar jang terseboet itoe menjiar-njiari dan menerang-nerangi dengan tjahaja Islam jang dejrnih.” THE LIGHT diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig. Aku belum mengenal dan bercakap dengan Mirza Wali Ahmad Baig, manusia cerdas dan beriman, memiliki misi literasi dalam dakwah. Ampuh!

Buku ini pantas dibaca bersama saat lakon perbukuan agama di Indonesia jarang mengurusi harmoni. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/dawatul-amal/

Wednesday, September 18, 2019

TOKOH Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934)

H.O.S. Tjokroaminoto, dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan ahmadiyah di Indonesia
Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. (Trilogi Tjokroaminoto)
Lahir di Bukur, Madiun pada tanggal 6 Agustus 1882, dan wafat di Yogyakarta pada tanggal 17 Desember 1934. Diangkat sebagai Pahlawan Nasional karena kepeloporannya dalam pergerakan dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Beliau tamat OSVIA (Sekolah Paugrek Praja) Magelang tahun 1902. Lalu bermukim di Surabaya. Di kota buaya inilah beliau masuk Syarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi (1878-1956) pada tanggal 5 Oktober1905 di Solo. Pada tahun 1911 SDI konggres di Surabaya, atas usul SDI cabang Surabaya di bawah pimpinan beliau, SDI dirubah nama dan anggaran dasarnya menjadi Sarekat Islam (SI), dan Tjokroaminoto menjadi Ketua Central Sarekat Islam yang pertama. SI mengadakan kongres pertamanya pada tanggal 26 Januari 1913 di Surabaya, yang mendapat kunjungan puluhan ribu orang. Kristalisasi SDI menjadi SI dan perkembangannya yang pesat ini menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghemat laju perkembangan SI pemerintah kolonial menugaskan “Sayid Utsman bin Agil bin Yahya” untuk berfatwa. Fatwanya antara lain melarang Quran diterjemahkan dan ditafsirkan, dan khotbah harus dalam bahasa Arab.
Tjokroaminoto mengenal betul Ahmadiyah Lahore. Beliau diperkirakan telah berbai’at kepada Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isaha’ati Islam Lahore (AAIIL) melalui surat, jauh sebelum GAI didirikan pada tahun 1928. Bahkan, sebelum dua orang muballigh Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang di Yogyakarta pada tahun 1924.
Pada tahun 1921, Cokroaminoto selaku President Central Syarekat Islam mengundang mubaligh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, Lahore, yaitu Khawaja Kamaluddin untuk ceramah agama Islam di Surabaya. Ceramah Khawaja Kamaluddin di kemudian hari ditulis dan diterbitkan dengan judul The Gospel of Action and The Secret of Existence. Ceramah ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Evangelie van Den Daad. Buku ini  “berfaedah sekali bagi semua orang Islam,” kata Bung Karno dalam surat dari Endeh, 25 November 1936. (Tahun 1960-an H.M. Bachrun menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Rahasia Hidup).
Tjokroaminoto juga menerjemahkan dan menerbitkan buku Da’watole Amal yang berisi seruan dakwah untuk bergabung dalam Ahmadiyah. Gerakan Penyiaran Islam yang didirikan oleh Hazart Mirza Ghulam Ahmad Mujaddid abad ke 14 Hijriah (pada sampul buku disebutkan karangan Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, dan diterjemahkan oleh Oemar Said Tjokroaminoto, President Central Sarekat Islam, dan dicetak di Percetakan Moehammadijah).
Karya terjemahan beliau lainnya yang menghebohkan ialah terjemahan The Holy Quran: Arabic Text, Translation and Commutary karya Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Beliau mulai menerjemahkan pada tahun 1926, setelah berulangkali bertemu Mirza Wali Ahmad Baig, muballigh Ahmadiyah di Yogyakarta. Tatkala beliau sebagai wakil SI bersama K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk menghadiri Mu’tamar ‘Alam Islami, di kapal beliau tetap melakukan tugas suci menerjemahkan Tafsir Qur’an yang kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia itu. Oleh karena itu tatkala Konggres SI di Yogyakarta pada bulan Januari 1928 Tafsir Quran Suci karya beliau itu telah siap cetak jilid I sampai dengan III yang berisi Juz ‘Amma.
Majalah TEMPO edisi 21 September 1974, Th. IV No. 29 dalam laporannya yang berjudul “Ahmadiyah, Sebuah Titik Yang Dilupa” menulis:
“Di forum ini juga dibicarakan Tafsir Quran yang sedang dikerjakan Tjokroaminoto. MR. A.K. Pringgodigdo, dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, ada menyatakan bahwa lantaran dari bagian-bagian pertama Tafsir itu ternyata hanya saduran dari kaum Lahore, timbullah di forum SI itu perlwanan yang keras. Maka tampillah Agoes Salim: beliau ini menerangkan bahwa dari segala jenis tafsir, tafisr Lahorelah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar.
Tapi wibawa dua tokoh besar itu saja rupanya tak cukup; perlawanan baru mereka setelah diambil keputusan untuk menunda penerbitan selanjutntya sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan. Dalam ketentuan itu diambil dalam rapat Majlis tahun itu juga di Kediri. Isinya; terjemahan boleh diteruskan asal dilakukan dengan pengawasan Majlis. Dalam forum ini Tjokro tampil bersama Mirza Wali Ahmad Baig, sang muballigh Lahore. Tetapi reaksi kaum ulama sudah tentu belum selesai.
Konggres Muhammadiyah diadakan tahun itu juga di tempat yang sama. Sidang, selain mencela keras disiplin parta SI yang dikenakan kepada anggota organisasi agama non-politik seperti Muhammadiyah, juga menyatakan tidak bisa membenarkan tafsir Quran karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasan; tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Maka naik kudalah Tjokroaminoto. Tokoh ini dengan segera datang ke Yogya, bersedia menghadapi sebuah debat terbuka mengenai itu Tafsir yang heboh. Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu, boleh menceritakan jalannya peristiwa begini: Pertemuan diadakan di Pakualam, sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut, sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro –kalau tidak salah ke atas meja- sembari berseru dengan suaranya yang dahsyat: “Ini Tjokroaminoto, keturunan ksatria! Mau ribut, coba ribut!” maka hadirinpun heninglah … Namun tak ada percebatan. Dan tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga,1928. Orang bisa melihatnya sekarang di Musium-musium baru jilid I-III, berisi juz amma atau bagian ke 30. Di dalam kata pengantar bisa pula dibaca tulisan Agus Salim yang dengan semangat membela Tafsir itu” (hlm. 46-47).

Sumber: http://ahmadiyah.org/oemar-tjokroaminoto/ 

Kata Pengantar Agus Salim untuk penerbitan Qur’an Suci Bahasa Melayu karya H. Oemar Said Tjokroaminoto

Tatkala pertama kali saya diajak bermusyawarah oleh saudara Haji ‘Oemar Sa’id Tjokro Aminoto tentang maksudnya dengan beberapa saudara bangsa kita daripada kaum Muslimin, akan mengusahakan salinan kepada bahasa Melayu daripada salinan dan tafsir Qur’an, karangan “Maulwi Muhammad ‘Ali”, seorang kaum terpelajar bangsa Hindi, yang telah beroleh gelaran M.A. dan L.L.B. daripada sekolah-sekolah tinggi Inggris, pada waktu itu tidak sedap hati saya.
Tidak sedap! Tapi bukanlah karena isi salinan dan tafsir karangan pujangga Hindi itu. Pada waktu itu sudah lebih setahun saya kenal dan kerap-kerap mutala’ah (mempelajari) isi kitab itu, dan pada sebaik-baik pendapatan saya adalah karangan itu banyak keutamaannya, yang menjadi penerangan bagi pengertian Agama Islam, istimewa ajaran, pendidikan dan nasehat-­nasehat yang terkandung di dalam kitab Allah itu. Dan sekali-kali tidaklah saya mendapati barang sesuatu, yang akan menyesatkan paham dan Iman Keislaman kepada seseorang pembaca, yang membaca dengan memakai pikiran dan pengertian yang sederhana.
Itupun, seperti kata tadi, tak sedap hati saya pada mula-mula memusyawaratkan itu. Sebabnya ialah, karena saya mengetahui betul-betul, betapa sempitnya paham sebagian bangsa kita daripada kaum santri dan Kyai terhadap kepada cara-caranya orang mempelajari Agama Islam.
Dan saya pikirkan, betapa ramai, bahkan betapa riuhnya dan kacaunya perbincangan, perbantahan dan debat-debat dalam kalangan bangsa kita tentng Ijtihad dan Taqlid. Ijtihad yang dikatakan sudah “tertutup pintunya” semenjak tutupnya zaman kaum “Salaf”. Taqlid, yang dikatakan wajib, semenjak Ijma’ mengakui sahnya Madzhab yang Empat, dengan meluaskan segala haluan, yang tidak masuk kepada salah satu yang empat itu.
Saya pun mengakui pula, bahwa Ijtihad, yang sebenar-benarnya Ijtihad, yaitu penyelidikan ilmu daripada pangkalnya yang asli, pada “sumbernya” tiap-tiap kabar, pada “tempatnya” tiap-­tiap kejadian yang di dalam tarikh. Ijtihad semacam itu memang jauh daripada yang mungkin dalam masa ini.
Dan saya pun mengakui pula, bahwa memang “Taqlid”, yaitu menerima dan menurut keterangan-keterangan dan paham-paham daripada ahli-ahli ilmu, yang telah mendapat pengakuan amat luas di dalam kalangan ummat Islam itu, menjadi wajib atas tiap-tiap orang Islam. Bukan karena kehendak hati dan karena suka, melainkan karena sudah mestinya begitu, baik di jalan adat, maupun di jalan tabiat. Sudah memang mestinya orang yang terkemudian memakai pedoman orang-orang yang terdahulu.. Bukan saja dalam agama, melainkan dalam adat hidup dan ilmu pengetahuan begitu pula.
Akan tetapi, TIDAK TERTUTUP jalan pelajaran dan penyelidikan dengan seluas-luasnya yang berdasar dengan mempelajari kitab-kitab Ulama yang bermula-mula dalam agama dan dengan menyelidiki dan memperhatikan pengajaran-pengajaran yang terdapat di dalam perjalanan riwayat dan di dalam tabiat Alam, yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kita diperintahkan dalam beberapa banyak ayat Qur’an yang Hakim, dan dalam beberapa banyak sabda Rasulnya yang Karim (clm), akan memperhatikan segala itu dan mengambil ibarat dan pengajaran daripadanya.
Artinya, TIDAK TERTUTUP jalan “ijtihad”, yang bermakna mempelajari sebanyak­-banyaknya kitab-kitab ulama yang besar-besar dalam agama dan TIDAK TERTUTUP pembacaan Qur’an dan Hadith untuk mencari pendidikan Iman dan Budi-pekerti, asal jangan hendak berpandai-pandai, sekehendak hati memakna-maknakan hukum-hukum, yang di dalam Qur’an dan Hadith itu dengan tidak memperhatikan keterangan-keterangan dan pemandangan-­pemandangan ulama-ulama yang menjadi ikutan selama masa yang telah lalu, yang memberi keterangan-keterangan dan pemandangan-pemandangan itu dengan alasan yang kuat-­kuat.
Dan TIDAK TERTUTUP, malah diperintahkan kita menempuh jalan mencari ilmu pengetahuan dengan mempelajari pengajaran-pengajaran pujangga yang besar-besar, yang membentangkan riwayat dunia di dalam tarikh (babad) dan riwayat alam, di dalam ilmu alam, ilmu tabiat, ilmu hewan dan tumbuhan, dll yang semakin bertambah-tambah banyak hasil penyelidikannya.
Dan hasil penyelidikan itu senantiasa menambah banyaknya jumlah pengetahuan yang dikumpulkan oleh manusia. Maka bertambah-tambah pula perkakas isi otak dan hati manusia itu; untuk akalnya bagi memaham-mahamkan pengajaran-pengajaran agama, yang mencerdaskan budi pikirannya; untuk perasaannya bagi menajam-najamkan timbangannya yang mencerdaskan budi-pekertinya.
Syahdan “ijtihad”, yang ini (yang kita tuliskan dengan huruf pangkal kecil, akan membedakan daripada “ijtihad” yang bermula tadi, yang kita tuliskan dengan huruf pangkal besar), “Ijtihad” ini, bukanlah tertutup pintunya, melainkan malah bertambah-tambah luas dan lebar jalannya.
Sebaliknya (akan tetapi berhubung juga dengan itu), tidaklah wajib, malah KELIRU “taqlid”, yang bersifat menurut dan meniru dengan membuta-tuli. Menurut dan meniru, yang sengaja mendiamkan macam-macam pertanyaan yang terbit di dalam hati. Kelakuan yang semacam ini membutakan budi pikiran, menumpulkan budi-pekerti, sehingga akhirnya memisahkan aturan hidup dengan aturan agama. Maka jadilah manusia itu mengaku beragama, tapi tidak mengerjakan, tidak melakukan agamanya dengan keyakinan dan bersungguh-­sungguh.
Adapun dengan salinan dan tafsir Maulwi Muhammad Ali itu tidaklah disajikan pembaruan Qur’an, dan tidak diadakan Madzhab baru, yang diwajibkan “Taqlidnya”; melainkan yang disajikan itu semata-mata hasil pekerjaan seorang manusia Muslim terpelajar, yang menguraikan beberapa pendapatan yang dikumpulkannya dalam mempelajari beberapa banyak kitab tafsir dll kitab daripada ulama-ulama Islam, dan salinan-salinan Qur’an dan pemandangan-pemandangan tentang Qur’an itu daripada pujangga-pujangga di dalam dan di luar Islam. Maka adalah yang sebagai itu satu alat pelajaran, untuk meluaskan pengetahuan agama belaka, yang sekali-kali tidak mengenal perkara “Ijtihad” atau “Taqlid”.
Ada lagi satu pandangan. Di tanah air kita dan di tiap-tiap negeri Islam yang lainpun juga adalah tersiar salinan­-salinan Qur’an dengan bahasa asing: Belanda, Jerman, Inggris dll yang dapat diperbuat oleh pihak-pihak di luar Islam Dan tidak sedikit pula karangan tentang Agama Islam daripada pihak-pihak lain-lain itu, baik yang bangsa ahli ilmu pengetahuan, maupun bangsa penyebar lain-lain agama. istimewa Kristen dan Theosoof, yang karangan-karangan itu memakai salinan Qur’an.
Salinan-salinan Qur’an dan kitab-kitab yang sebagai itu biasanya tidak sampai ke tangan kaum santri (orang surau) umumnya, tapi untuk kaum terpelajar atau umumnya kaum sekolah, yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Agama Islam, boleh kita katakan hanyalah kitab-kitab bangsa itu, yang menjadi penuntunnya. Dan terutama sekali Qur’an yang dipentingkannya; sebab agama Kristen, yaitu umumnya Eropa, yang di sini menjadi persaingan dan bandingan Agama Islam di mata orang, diajarkan dengan ‘kitab suci” agama itu yaitu Bebel, istimewa kitab Injil.
Padahal dalam kitab-kitab tadi itu banyak sekali terdapat pemalsuan ayat-ayat Qur’an, Yaitu yang berlainan daripada yang sebenarnya. Atau, sekalipun tidak boleh dikatakan menukar makna, akan tetapi seolah-olah dipilih perkataan-perkataan, yang dengan mudah menerbitkan pengertian yang keliru atau perasaan yang tak menyenangkan, oleh karena memang keliru pengertian atau tidak menyukai ajaran-ajaran yang disalinnya itu.
Sebaliknya, umumnya kitab-kitab tafsir Qur’an yang dari pihak Islam, tak dapat dibaca oleh kaum sekolah atau kaum terpelajar tadi. Kaum itu jarang yang mengerti bahasa Arab. Dan jikapun ada yang dapat bahasa Arab atau dapat tafsir yang dengan bahasa Melayu dsb., tidak juga boleh memuaskan kaum itu, sebab tafsir-tafsir itu tidak memakai ilmu pengetahuan zaman ini dan tidak memakai jalan pemberi keterangan yang bersetujuan dengan paham dan pengertian orang zaman kita ini.
Syahdan tafsir Maulwi Muhammad Ali itu adalah satu karangan, yang sepadan dengan pengetahuan dan pengertian kaum terpelajar zaman sekarang ini.
Macam-macam pemalsuan, macam-macam cacian, celaan dan gugatan daripada pihak luar Islam, istimewa Eropa, mendapat bantahan dan sangkalan dengan alasan-alasan dan bukti­-bukti, yang merubuhkan hujah-hujah dan membuktikan kekosongan falsafah pihak pencaci, pencela dan penggugat itu.
Sebaliknya tidak ada di dalam karangan itu sesuatu keterangan yang membatalkan tafsir-­tafsir lama yang mu’tabar di dalam kalangan umat Islam. Jika pun ada satu-satu perkara yang berbeda keterangan atau pemandangan dengan satu-satu tafsir dulu itu, tidaklah perbedaan itu baru semata-mata, melainkan sudah ada dari dulu di dalam kalangan ulama Islam.
Sebagai lagi, biar berapapun “modern” nya keterangan-keterangan dalam karangan Maulwi Muhammad Ali itu, berapapun takluknya kepada ilmu pengetahuan (wetenschappelijk), akan tetapi sepanjang pendapatan penyelidikan saya, selamat ia daripada paham kebendaan (materialisme) dan daripada paham “ke-aqlian” (rationalisme), paham keghaiban (mistik), yang menyimpang daripada iman dan taukhid Islam yang benar. Tegasnya terpelihara ia daripada kesesatan Dahriyah, Mu’tazilah dan Batiniyah.
Akhir-al-kalam penerbitan salinan Qur’an dan tafsir yang diusahakan itu tidak memakai asas kuno. Dari mula-mula terbit bagian pertama penyalin dan penerbit suka menerima “perbaikan” kalau ada salah satu pihak membuktikan salah atau keliru ataupun suatu yang amat berlainan di dalam salinan yang diterbitkan itu. Dan tiap-tiap “persalinan” yang kuat alasannya akan dicetak pula dan dilampirkan kepada bagian yang berikut.
Dengan jalan ini saya beroleh keyakinan, bahwa dengan usaha penerbitan salinan tafsir itu dapatlah segala faedah yang berguna dengan menyingkiri segala yang mudlarat dan keliru.
Maka oleh sebab itu  bukan saja hilang “tak sedap hati” saya yang pada permulaan itu, melainkan berganti suka dan setuju membantu dengan segala kesumngguhan hati akan menjadikan usaha itu. Adapun akan taufiq, kepada Allah kita pohonkan.[]

***
Haji Agoes Salim. Lahir pada 8 Oktober 1884 dengan nama Mashudul Haq (pembela kebenaran) di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda. Wafat di Jakarta, Indonesia, pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun. Beliau dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. Catatan di atas adalah Kata Pengantar beliau yang diperuntukkan bagi penerbitan Qur’an Suci Bahasa Melayu karya H. Oemar Said Tjokroaminoto, terjemah dari The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali.
Sumber: http://ahmadiyah.org/agoes-salim-dan-ahmadiyah/

Berkunjung ke Ahmadiyah Kuala Lumpur, Malaysia





Saturday, September 7, 2019

Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan Musuh Islam

Oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede*
Ujian bagi Ummat, mau jadi munafiq (musuh Islam), mengaku Islam namun membela Ahmadiyah pemalsu Islam, atau pilih tetap mu’min dengan setia membela Islam
***
Pucuk pimpinan dan para petinggi Ahmadiyah jelas bukan orang yang innocence atau lugu. Perhatikan saja elite-elite Ahmadiyah saat tampil di depan publik, terkesan cerdas. Namun demikian, kecerdasan belum tentu sejalan dengan keimanan dan belum tentu memperoleh hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kecerdasan itu bila berada di jalan kesesatan, cenderung menjadi licik. Salah satu wujud licik adalah berbohong. Nah, dalam hal ini orang-orang Ahmadiyah memang jagonya, sebagaimana elite-elite aliran dan paham sesat lainnya seperti LDII, Syi’ah dan sebagainya.
Kebohongan yang dipublikasikan petinggi Ahmadiyah sangat tinggi kedustaannya, yaitu berkenaan dengan syahadat. Di depan publik mereka mengaku dan mengucapkan dua kalimat syahadat persis sama dengan dua kalimat syahadat yang biasa diucapkan umat Islam: Asyhadu An laa ilaaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadarasulullah.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang disembah dengan haq) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Namun, sesungguhnya Muhammad yang mereka maksud dalam dua kalimat syahadat tadi, adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dalam sebuah buku berjudul Memperbaiki Kesalahan yang ditulis oleh H.S. Yahya Pontoh dan diterbitkan oleh Jemaah Ahmadiyah Bandung (1993), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Muhammad pada syahadat mereka bukanlah Muhammad bin Abdullah yang lahir di Makkah Al-Mukarramah, tetapi “Ahmad” alias Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, yang merupakan nabi para penganut Ahmadiyah Qadiyan.
Sekali lagi, Nama MUHAMMAD dalam syahadat tersebut menurut para pengikut/tokoh Ahmadiyah adalah Nabi/Rasul mereka, yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, sebagaimana tercantum dalam bukuMemperbaiki Kesalahan,karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Pontoh, dan diterbitkan oleh Jemaah Ahmadiyah cabang Bandung, tahun 1993, pada halaman 5 tertulis:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul_”(KitabTadzkirahhalaman 97).
Itulah dusta dan liciknya Ahmadiyah: ayat yang jelas-jelas mengenai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun diputar balikkan menjadiAllah SWT menyebutku(maksudnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai)Muhammad dan Rasul.
Apa yang disebut wahyu dalam kitab Ahmadiyah yakni Tafzkirah lalu lafal Muhammad diselewengkan maksudnya menjadi Mirza Ghulam Ahmad itu sejatinya adalah ayat Al-Qur’an. Inilah ayat yang dibajak Ahmadiyah, kemudian dipalsukan maknanya, lalu digunakan untuk menjelaskan bahwa syahadat Ahmadiyah sama dengan syahadat Islam namun maknanya beda:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ [الفتح/29]
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al-Fath/ 48: 29).
Lafal Muhammad di situ tidak dapat dibajak-bajak apalagi dipalsu menjadi Mirza Ghulam Ahmad, karena berkaitan pula dengan pujian terhadap sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ditunjukkan dengan pujian Allah terhadap mereka:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا [الفتح/18]
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon[1399], maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)[1400]. (QS Al-Fath/48: 18)[1399]. Lihat no. [1396]. [1396].
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan.
Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau.
Merekapun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan.
Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
[1400]. Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar.
Jelaslah dari dua ayat (QS Al-Fath 29 dan Al-Fath: 18) itu lafal Muhammad hanyalah khusus untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni bin Abdullah lahir di Makkah yang kemudian para sahabatnya berbai’at di bawah pohon, lalu mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan kafirin Quraisy.
Ketika ada yang disebut wahyu dari Allah mengklaim ayat itu lalu makna Muhammad adalah Mirza Ghulam Ahmad itu jelas dusta. Namun dusta itu justru untuk mendustai pula, yakni bunyi syahadatnya sama dengan syahadat Islam namun maknanya beda. Ini dusta atas nama Allah membuahkan dusta atas nama syahadat. Betapa beraninya mereka dalam berdusta.
Demikian di antara bukti tingginya sikap licik dan dusta Ahmadiyah.
***
Pasca penyerangan markas Ahmadiyah di Parung, Bogor, Juni 2005, Abdul Basith (Amir Nasional Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia), ketika diwawancarai Metro TV selalu menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad dengan tambahan Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana umat Islam menyebut Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menjadi salah satu bukti, bahwa pengikut Ahmadiyah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Namun, mereka menyembunyikan akidah sesatnya melalui mekanisme pertahanan diri taqiyyah sebagaimana juga berlaku di kalangan LDII, Syi’ah (termasuk Ahlul Bait) dan sebagainya.
Meski menyebut Mirza Ghulam Ahmad lengkap dengan sebutan Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun Abdul Basith dalam rangka taqiyyah kala itu menyebut Mirza Ghulam Ahmad “hanya” sebagai mursyid. Menurut salah seorang aktivis Ahmadiyah Lahore, gara-gara ucapannya itu Abdul Basith sempat dimarahi oleh pimpinan pusatnya di London: “Mirza Ghulam Ahmad itu nabi!” Begitu mereka memarahi Abdul Basith Amir Nasional Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
Di TVONE (edisi 18 Februari 2011), ketika berada dalam satu forum dengan Amin Djamaluddin dari LPPI dan Ali Mustafa Ya’qub (mantan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI), salah satu jurubicara Ahmadiyah berusaha meyakinkan khalayak bahwa Ghulam pada nama tengah Mirza Ghulam Ahmad berarti budak. Maksudnya, Mirza Ghulam Ahmad itu budaknya si Ahmad, dan Ahmad yang dimaksud adalah Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini juga sesat.
Dengan kekuatan akal liciknya, mereka berusaha meyakinkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad “hanya” budak Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan Muhammad itu sendiri, dengan cara-cara yang berlebihan, “bahasa pasaran” sekarang lebay (berlebihan, dilebih-lebihkan), bahkan sesat menyesatkan. Karena, tidak ada bukti sejarah bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu budak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Budak adalah orang kafir yang berperang melawan Muslimin lalu tertawan, maka jadi budak, dan boleh memerdekakan diri dengan cara menebus.
Merekayasa Simpati
Upaya-upaya bohong di atas adalah bagian dari cara kelompok Ahmadiyah merekayasa simpati, tentunya dalam rangka memperoleh dukungan. Begitu juga ketika berhadapan dengan para wakil rakyat (anggota DPR RI) yang terhormat, mereka berusaha menarik simpati khalayak dengan mengklaim bahwa WR Supratman (1903-1938) pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah pengikut Ahmadiyah. Rasanya, pengakuan sepihak kalangan Ahmadiyah itu masih perlu dikonfirmasi kepada pihak keluarga besar WR Supratman. Benarkah demikian?
Lagi pula, tidak disebutkan secara jelas, apakah WR Supratman pernah menjadi bagian dari komunitas Ahmadiyah Qadian atau Ahmadiyah Lahore? Yang jelas, bagi Ahmadiyah Qadian (JAI, Jemaat Ahmadiyah Indonesia), siapa saja yang tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir. Termasuk Ahmadiyah Lahore (GAI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia), yang “hanya” menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) juga dinyatakan kafir. Padahal sama-sama memalsu Islam pula. (Lihat artikel Hartono Ahmad Jaiz, Ahmadiyah Qodyan dan Ahmadiyah Lahore sama-sama Pemalsu Islam). Kalau toh benar WR Supratman pengikut Ahmadiyah, tidak ada pengaruhnya dengan fakta kesesatan Ahmadiyah (Qadian maupun Lahore).
Pada tahun 1926, Haji Rasul yang merupakan ayahanda Buya HAMKA dari Sumatera Barat berangkat ke Yogyakarta, mendatangi tokoh-tokoh Muhammadiyah saat itu untuk memberi pencerahan soal kesesatan Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore. Karena, saat itu salah satu aktivis Muhammadiyah, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito, terinfeksi Ahmadiyah Lahore. Upaya Haji Rasul ternyata mampu menyadarkan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Kemudian di tahun 1929, pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo, dikeluarkan pernyataan: orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir. Maka, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito pun tercerabut dari Muhamadiyah. Sebagai catatan tambahan, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito merupakan saudara sepupu Hasyim Asy’ari (1871-1947) salah seorang pendiri NU (Nahdlatul Ulama).
Jadi, sudah sejak awal kehadirannya di Indonesia, Ahmadiyah (Qadian dan Lahore) sudah ditolak umat Islam, bukan baru kemaren sore, ketika Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah dirilis ke hadapan publik pada Juni 1980 (Rajab 1400 H), dalam Musyawarah Nasional II MUI di Jakarta.
Menurut catatan Setara Institute, aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi hampir setiap tahun. Misalnya pada tahun 2007 terjadi 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Kalau data itu benar, penyebabnya bukan Fatwa MUI yang sudah dirilis sejak 1980. Abdul Basith sendiri mengakui, sejak Fatwa 1980 itu diterbitkan, tidak ada aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Begitu juga di masa pra kemerdekaan, 1933, ketika Ahmadiyah “berdialog” dengan kalangan Persis, tidak menghasilkan kekerasan.
Abdul Basith dan laron-laron AKKBB menuding Fatwa MUI 2005 menjadi pemicu tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah, setidaknya sejak 2007 sebagaimana disebutkan di atas. Data tersebut jelas tidak akurat. Karena, kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah berlangsung sejak tahun 2000 di masa Presiden Abdurrahman Wahid, dan Ketua MPR dijabat Amien Rais. Pemicunya, ucapan Tahir Ahmad yang sesumbar akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pengikut Ahmadiyah terbesar di dunia.
Sesumbar itu diucapkan Tahir Ahmad (Khalifah Ke-4 Ahmadiyah) ketika ia dihadirkan ke Jakarta oleh Dawam Rahardjo. Pantas saja Tahir Ahmad mangkak (berbangga) karena ia diperlakukan bagai tamu negara oleh Dawam Rahardjo: dibawa menghadap Presiden Abdurahman Wahid dan Ketua MPR RI Amien Rais yang hingga kini masih belum bertobat dari membela Ahmadiyah yang sesat dan menyesatkan itu.
Dalam bilangan hari, kekerasan terhadap pemukiman Ahmadiyah terjadi. Namun tidak diberitakan secara intensif oleh media massa, dan tidak banyak menuai komentar dari para pendukungnya, karena laron-laron itu belum mengorganisasikan diri ke dalam wadah cair bernama AKKBB. Mungkin karena dananya belum turun dari London. Jangan juga heran bila AKKBB dirilis ke publik sekitar Juni 2008, mungkin untuk mengenang satu windu kehadiran Tahir Ahmad.
Kenapa dikaitkan dengan dana?
Ya, karena penulis pernah bertanya langsung di kompleks Ahmadiyah di Parung Bogor kepada petugas waktu Tahir Ahmad datang ke kompleks itu. Pertanyaan yang kami ajukan: Dari mana dananya, Dawam Rahardjo kok datang ke London untuk mengundang Tahir Ahmad ke Indonesia?
Dijawab, dari Ahmadiyah.
Ahmadiyah dananya dari mana?
Dari jemaat Ahmadiyah. Tiap anggota ditarik dana seperenambelas (dari penghasilannya) perbulan.
Pembaca yang kami hormati, dalam kasus semacam ini, kadang orang non Islam pun kurang mampu untuk memahami tingkah polah di antara tokoh-tokoh yang mengaku Islam namun membela yang memalsu Islam dan yang sesat-sesat. Sampai-sampai ketika Dawam Rahardjo jadi pembicara di depan para aktivis gereja di Balai Sarbini di Semanggi Jakarta beberapa tahun lalu, ada yang bertanya setelah selesainya pemaparan Dawam.
Pertanyaannya: Lantas, kalau begitu, apa yang telah Pak Dawam lakukan?
Dawam Rahardjo kurang lebihnya menjawab, bahwa dirinya dalam keadaan sakit-sakit panas-panas mendemo Menteri Agama untuk membela Lia Eden dan Ahmadiyah.
Jadi, membela kesesatan yang amat sangat sesat itu justru dibangga-banggakan… Sementara itu orang yang dipameri pun belum tentu senang dengan apa yang dipamerkan itu. Murka Allah Ta’ala sudah jelas, sedang kecintaan manusia yang mau dikais-kaisnya belum tentu didapat. Betapa ruginya.
***
Kasus Cikeusik
Dalam konteks ini, kasus Cikeusik, Pandeglang, pada 6 Februari 2011 lalu, diduga merupakan rekayasa Ahmadiyah untuk menarik simpati masyarakat luas, bahkan dunia internasional. Suparman tokoh Ahmadiyah Cikeusik tidak menolak ketika aparat keamanan mengevakuasi dirinya sekeluarga untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun Deden Sujana, yang mengaku sebagai kepala kemananan nasional Ahmadiyah, dengan dalih menjaga aset Ahmadiyah di Cikeusik, pasca dievakuasinya Suparman, justru menolak tawaran aparat untuk meninggalkan lokasi meski sudah disampaikan adanya kemungkinan penyerbuan dari warga masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Deden ketika itu seperti menantang mengatakan: “Lepasin saja. Biar saja kita bentrok, biar seru. Kan asyik Pak. Masa kita diginiin diem saja Pak. Biar banjir darah di sini.”
Akhirnya bentrokan terjadi. Pemicunya, karena pihak Ahmadiyah memulainya. Deden meninju bagian muka salah seorang pentolan penyerang berpita biru. Kemudian diiringi dengan lemparan batu dan benda-benda lainnya. Sebelumnya, ajakan Suparta untuk berdialog dibalas dengan sabetan clurit, sehingga Suparta harus dirawat di rumah sakit dengan sejumlah jahitan.
Kekerasan yang dilakukan pihak Ahmadiyah terhadap Suparta membuahkan kekerasan yang lebih keras lagi. Ujang, adik Suparta tidak tinggal diam kakaknya jadi korban kekerasan Ahmadiyah. Ia dan sejumlah temannya melakukan aksi balasan. Maka, terjadilah kasus 6 Februari 2011, dengan menghasilkan tiga korban nyawa melayang dari pihak Ahmadiyah.
Boleh jadi, bagi Ahmadiyah, pengorbanan tiga nyawa anggota mereka sangat sebanding dengan hasil yang diraihnya yaitu simpati masyarakat luas hingga manca negara. Apalagi, pihak Ahmadiyah sudah mempersiapkan diri dengan sistem pendokumentasian video yang cukup terlatih. Apalagi ada dukungan dari Andreas Harsono dari HRW (Human Right Watch) yang mengunggah (upload) file digital kasus kekerasan itu ke media publik You Tube, terutama bagian-bagian yang menguntungkan Ahmadiyah.
Dalam tempo singkat, umat Islam jadi tertuduh. Sementara itu, Ahmadiyah yang sesat dan menyesatkan ini –atas rekayasa licik tersebut– berada dalam posisi yang patut dikasihani, karena telah menjadi korban kekerasan Islam garis keras. Maka, laron-laron AKKBB pun beterbangan menyampaikan opini yang ngawur dan tendensius.
Bila boleh berandai-andai, seandainya Suparta tidak dibacok oleh pihak Ahmadiyah, boleh jadi kekerasan tidak timbul sebegitu. Tapi, kemungkinan pengorbanan itu sudah diperkirakan pihak Ahmadiyah. Bagi mereka, itu merupakan bentuk kongkrit “jihad” membela agamanya, keyakinannya terhadap nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad sang pendusta. Mereka merasa mati syahid. Padahal, tidak ada mati syahid dalam membela kesesatan, dalam membela nabi palsu.
Kasus Cikeusik rupanya telah dijadikan semacam inspiring moment bagi sebagian kalangan. Misalnya, kalangan syi’ah. Kasus penyerangan Pesantren Yapi, Pasuruan, Jawa Timur salah satu wujud kongkritnya. Menurut Munir Shohih Sekretaris Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja), ketika sekitar seratus jamaah Aswaja usai menghadiri undangan maulud Nabi di Singosari, mereka melintas di depan Pesantren Yapi. Tiba-tiba iring-iringan jama’ah Aswaja ini dilempari batu yang berasal dari dalam Pesantren Yapi. Maka terjadilah aksi balasan.
Aksi balasan ini menjadi kian berwujud anarkis ketika satpam pada Pesantren Yapi justru membuka pintu gerbang sambil menantang: “Ayo masuk kalau berani.” Maka, para jamaah Aswaja ini pun terprovokasi, dan masuk menyerbu kawasan pesantren Yapi yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan berpaham syi’ah. (Baca artikel Syi’ah memusuhi Islam di nahimunkar.com. ternyata syi’ah itu lebih kejam terhadap Islam dibanding orang kafir sekalipun).
Sikap satpam pesantren Yapi yang membuka pintu gerbang dan “mempersilakan” jamaah Aswaja masuk, seolah-olah membuka peluang selebar-lebarnya untuk terjadinya aksi balasan yang tidak sekedar adu mulut. Dan kenyatannya, itulah yang terjadi. Maka, simpati pun mengalir, meski tidak sederas simpati yang mengalir kepada pihak Ahmadiyah pasca kasus Cikeusik. Yang jelas, umat Islam kembali jadi tertuduh. Sekelompok organisasi dikambinghitamkan bahkan diancam untuk dibubarkan.
Pola serupa juga terjadi pada kasus 1 Juni 2008, ketika iring-iringan massa AKKBB merubah rute yang telah disepakati dengan aparat kepolisian. Karena merubah rute, maka iring-iringan massa AKKBB ini berpapasan dengan iring-iringan massa Laskar Islam yang salah satu pimpinannya Munarman. Ketika itu massa AKKBB juga ingin menempati kawasan Monas yang sejak awal sudah disepakati digunakan oleh massa Laskar Islam. Terjadilah bentrokan, Ketika bentrokan terjadi, Saidiman (korlap AKKBB) mengeluarkan sumpah serapah berupa: “Dasar binatang-binatang. Islam anjing, orang Islam anjing…”
Kekerasan verbal yang diproduksi Saidiman menghasilkan balasan berupa kekerasan fisik. Dan tentu saja yang menarik perhatian media massa adalah meliput dan memblow-up kekerasan fisik yang dilakukan massa Laskar Islam. Penyebab utamanya sama sekali tidak menarik untuk diungkap atau sekedar disinggung. Begitulah watak media nasional kita yang minus pertimbangan moral di dalam menentukan angle berita.
Dalam tempo singkat, umat Islam jadi tertuduh. Pendukung kesesatan berada dalam posisi yang teraniaya dan patut didukung. Manipulasi opini seperti ini ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menghasilkan kebakaran.
Merekayasa simpati dalam rangka meraih dukungan yang luas, juga menjadi semacam modus operandi bagi seseorang yang berhajat menduduki kursi number one di Indonesia. Ketika musim pemilu sudah kian dekat, ia memposisikan diri sebagai sosok yang teraniaya, terdzalimi secara politis. Pancingannya berhasil ketika salah seorang tokoh partai membalas sikapnya dengan ejekan “seperti anak kecil”. Maka, simpati pun mengalir. Hasilnya, ia mendapat dukungan suara terbanyak di antara kandidat pemimpin nasional kala itu. Hingga kini.
Rupa-rupanya, begitulah cara Ahmadiyah, Syi’ah dan para pendukung kesesatan (AKKBB) meraih dukungan. Yaitu, dengan cara merekayasa simpati, menjadikan diri sendiri sebagai korban kedzaliman yang teraniaya sembari menempatkan orang lain pada posisi yang beringas dan tidak toleran, sehingga layak dibubarkan atau dienyahkan. Namun, AllahTa’ala ora sare (tidak tidur). Becik ketitik, olo ketoro. (Perbuatan baik akan tampak, dan perbuatan jelek akan tampak pula).
Kalau di dunia ini mereka masih bisa tertawa-tawa dengan rekayasa yang mereka lakukan untuk mengusung dan membela kesesatan, maka rekayasa itu siksanya kelak tidak akan menimpa kecuali pada pembuat dan pelakunya.
وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ [فاطر/43]
Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. (QS Fathir/ 35: 43).
فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا [الفتح/10]
“…maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS Al-Fath/ 48: 10).
Dalam hal mengingkari janji, syahadat saja oleh Ahmadiyah diingkari dan dipalsu, maka balasan siksa tentu akan menimpa mereka di akherat kelak. Demikian pula para pendukungnya, dan siapa saja yang dhalim, tentu kejahatannya itu akan menimpa mereka sendiri siksanya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [يونس/23]
Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Yunus/ 10: 23).
Kalau toh mereka mendapatkan sedikit kesenangan duniawi dengan tipuan-tipuan ataupun dukungan terhadp kesesatan-kesesatan, maka itu hanyalah keni’matan duniawi yang sedikit. Sedang di akherat kelak akan menerima balasan apa yang mereka perbuat yang menyakitkan Ummat Islam, memalsu, menyesatkan, mengusungnya ataupun mendukungnya.
Jabatan ataupun harta yang diperoleh di dunia ini tidak seberapa dibanding siksa yang akan mereka derita kelak. Demikian pula simpati semu yang mereka raih dengan aneka rekayasa sekarang ini tidak seberapa dibanding siksa yang amat kerasnya di akherat kelak. Maka hendaknya mereka sadar, bertaubat, dan meninggalkan semua dusta dan kepalsuan yang memusuhi dan menghalangi Islam itu, sebelum waktu untuk bartaubat habis ketika sakaratul maut nyawa telah di tenggorokan, dan siksa yang sangat dahsyat pun sudah di depan mata.
Kerugian besar
Rekayasa Ahmadiyah mencari simpati itu hanyalah menambah kerugian besar.
1. Mengukuhkan dan melestarikan penyembahan terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Karena syahadat yang mereka palsu maknanya itu diambil dari kitab Ahmadiyah, Tadzkirah. Sedang Tadzkirah itu memuat apa yang mereka sebut wahyu dari Allah namun isinya menuhankan Mirza Ghulam Ahmad. Yaitu Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa Allah itu berasal dari Mirza Ghulam Ahmad
اَنْتَ مِنِّىْ وَاَناَ مِنْكَ
Kamu berasal dari-Ku dan Aku darimu.(Tadzkirah, halaman 436).
2. Pengakuan bahwa Tuhan itu dari diri Mirza Ghulam Ahmad adalah seperti pengakuan Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan yang Maha Tinggi. Dan itu mengakibatkan adzab di dunia maupun di akherat:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (15)
إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (16) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (18) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (19) فَأَرَاهُ الْآَيَةَ الْكُبْرَى (20) فَكَذَّبَ وَعَصَى (21) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى (22) فَحَشَرَ فَنَادَى (23) فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى (24) فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآَخِرَةِ وَالْأُولَى (25) إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى [النازعات/15-26]
15. Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa.
16. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa;
17. “Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas,
18. dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan).”
19. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”
20. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.
21. Tetapi Fir´aun mendustakan dan mendurhakai.
22. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa).
23. Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya
24. (Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
25. Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.
26. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). 
(QS An-Nazi’at/79: 15-26).
3. Adzab di akherat mengepung pemimpin yang mengaku dirinya Tuhan dan pengikutnya.
3. وَحَاقَ بِآَلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (45) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46) وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ (47) قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ [غافر/45-48]
“…dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.
46. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang[1324], dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.”
[1324]. Maksudnya: dinampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit.
47. Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?”
48. Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).” 
(QS Mu’min/ Ghafir/ 40:45-48).
Kerugian besar bagi pendukung dan pembela Ahmadiyah
1. Para pendukung dan pembela Ahmadiyah sangat rugi besar, karena berarti mereka sadar atau tidak sejatinya sama dengan mengiklankan diri bahwa diri mereka adalah sangat sesat sebagaimana Ahmadiyah yang mereka dukung.
Ketika mereka (pentolan-pentolan NU, LSM, Liberal, sepilis –sekuleris, pluralis agama dan liberalis, sebagian pejabat-pejabat, AKKBB dan kaum munafiqin) tadinya saat belum mendukung Ahmadiyah, mereka masih belum tampak secara jelas kesesatannya. Namun begitu mereka membela Ahmadiyah, maka jelaslah kesesatan mereka. Hingga orang awam pun (bila teguh Islamnya) maka faham betul bahwa ternyata mereka sesat.
2. Upah yang mereka terima di dunia ini, atau kedudukan yang mereka pertahankan, sama sekali tidak sebanding dengan dahsyatnya ancaman neraka kelak di Akherat. Karena sebagai pendukung kesesatan apalagi nabi palsu seperti Ahmadiyah itu, pendukungnya sangat diancam keras.
Mengenai pembela nabi palsu (terkena juga bagi orang yang membela pengikut nabi palsu, seperti membela Ahmadiyah hakekatnya membela nabi palsu pula), dalam Musnad Al-Humaidi diriwayatkan:
3. – حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِىُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ ظَبْيَانَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِى حَنِيفَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ قَالَ لِى أَبُو هُرَيْرَةَ : أَتَعْرِفُ رَجَّالاً؟ قُلْتُ : نَعَمْ. قَالَ : فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« ضِرْسُهُ فِى النَّارِ أَعْظَمُ مِنْ أُحُدٍ ». فَكَانَ أَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ وَلَحِقَ بِمُسَيْلِمَةَ.)مسند الحميدي – مكنز – (3 / 409)(
Dari Imran bin Dhabyan dari seorang dari Bani Hanifah (suku yang ada nabi palsunya, Musailimah Al-Kadzdzab) bahwa ia mendengarnya, dia berkata, Abu Hurairah berkata kepadaku: Kenalkah kamu (seorang bernama) Rajjal? Aku jawab: ya. Dia (Abu Hurairah) berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Gigi gerahamnya (Ar-Rajjal) di dalam neraka lebih besar daripada Gunung Uhud”. Dia dulunya masuk Islam kemudian murtad dan bergabung dengan Musailimah (Nabi palsu). (Musnad Al-Humaidi).
Para pembela nabi palsu diancam siksa neraka sangat dahsyat. Termasuk para pembela Ahmadiyah pada hakekatnya adalah pembela nabi palsu, karena Ahmadiyah adalah pengikut nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad.
Saef bin Umar meriwayatkan dari Thulaihah dari Ikrimah dari Abu Hurairah dia berkata, “Suatu hari aku duduk di sisi Rasulullah bersama sekelompok orang, di tengah kami hadir Ar-Rajjal bin Anfawah. Nabi bersabda,
4. إنفيكم لرجلا ضِرْسُهُ فِى النَّارِ أَعْظَمُ مِنْ أُحُدٍ
“Sesungguhnya di antara kalian ada seseorang yang gigi gerahamnya di neraka lebih besar dari Gunung Uhud.”
Kemudian aku (Abu Hurairah) perhatikan bahwa seluruh yang dulu hadir telah wafat, dan yang tinggal hanya aku dan Ar-Rajjal. Aku sangat takut menjadi orang yang disebutkan oleh Nabi tersebut hingga akhirnya Ar-Rajjal keluar mengikuti Musailimah dan membenarkan kenabiannya. Sesungguhnya fitnah Ar-Rajjal lebih besar daripada fitnah yang ditimbulkan oleh Musailimah.” Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Is-haq dari gurunya, dari Abu Hurairah ra. (Lihat Ibnu Katsir,Al-Bidayah wan-Nihayah, dalam bahasan nabi palsu Musailimah Al-Kadzdzab, atau lihat buku Hartono Ahmad Jaiz,Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,Pustaka Al-Kautsar, Jakrta, 2007, bab Nabi Palsu Musailimah Al-Kadzdzab).
Bagi yang bukan Ahmadiyah, kasus ini adalah ujian bagi Ummat, mau jadi munafiq alias kufur yang membela Ahmadiyah pemalsu Islam atau tetap mu’min dengan membela Islam. Juga pelajaran bagi Ummat Islam yang teguh bahwa mereka yang mengaku sebagai Muslim, baik jembel maupun tokoh bahkan bersorban atau berjulukan ulama atau kyai atau duduk di ormas yang ada lafal ulama-nya namun belum tentu pengakuannya itu benar sesuai dengan Islam. Bahkan ada yang lebih cinta kepada pemalsu Islam daripada Islam yang dipeluknya. Hingga terhadap pemalsu Islam, mereka keberatan kalau disebut sesat atau dilarang, namun terhadap yang memurnikan Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih justru dianggap berbahaya dan bahkan sesat.
Sikap seperti itu (kepada Ahmadiyah mereka membela dengan aneka cara, termasuk tak rela Ahmadiyah dibubarkan; namun kepada yang menegakkan sunnah atau syari’ah maka mereka memusuhi) pada dasarnya mereka hampir sama dengan Ahmadiyah pemalsu Islam itu sendiri, makanya mereka lebih nyaman bersama pendusta-pendusta agama itu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Itulah pada dasarnya musuh-musuh Islam namun mengaku Muslim.
Pantas saja, Ahmadiyah yang memalsu Islam itu banyak pembelanya di sini. Lha wong jeroan mereka –hinga lego lilo / tulus ikhlas membela pengikut nabi palsu– kurang lebihnya seperti itu. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tiada daya (untuk melaksanakan perintah-perintah Allah) dan tiada kekuatan (untuk menjauhi larangan-Nya) kecuali karena Allah.
*Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede, penulis buku Kuburan-Kuburan Keramat di Nusantara, insya Allah dibedah di IBF Senayan Jakarta, Ruang Anggrek, Kamis 10 Maret 2011 jam 13.00.