Tuesday, July 31, 2012

Mencari Sosok Calon Pemimpin Alternatif



Oleh Ahmad Najib Burhani*

Pemilihan gubernur DKI putaran kedua akan berlangsung beberapa waktu lagi. Dua tahun lagi kita juga akan memilih pemimpin nasional yang baru. Ada satu kriteria pemimpin yang baik yang sering terabaikan selama ini, yaitu kepedulian dan pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Tentu saja kelompok ini tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, diantaranya, pada bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas.

Selama ini sering terjadi, seorang walikota, bupati, gubernur, atau presiden merasa ketakutan untuk memberikan pembelaan terhadap hak-hak minoritas hanya karena takut akan kehilangan suara dari kelompok yang mengklaim sebagai representasi mayoritas. Pada pemilihan lurah di desa Umbulan, Cikeusik, misalnya, ada calon yang berjanji akan mengusir Ahmadiyah dari desa itu jika ia terpilih menjadi kepada desa. Begitu terpilih, dengan beragam upaya ia mencoba mewujudkan janji itu.

Peristiwa seperti itu terjadi juga di tempat-tempat lain seperti di Kuningan, Jawa Barat. Bahkan pada tingkat nasional pun hal yang serupa juga terjadi. Untuk menjaga agar tak kehilangan dukungan dari kelompok yang seakan-akan mewakili suara mayoritas, seorang pemimpin pemerintahan tunduk pada tuntutan kelompok ini meski ia harus melanggar hak-hak beragama dari kelompok minoritas.

Negara dan Agama
Mengenai peran negara dalam kaitannya dengan kelompok agama minoritas, John Locke pernah berkata bahwa setiap keyakinan keagamaan itu ortodok (benar) untuk dirinya sendiri meski mereka mengklaim bahwa hanya kelompoknya saja yang benar (2003, 215). Karena itu, dalam konteks ini, negara tidak memiliki otoritas untuk menghakimi mana paham keagamaan yang benar dan salah. Inilah posisi yang semestinya diambil oleh negara sekuler seperti Indonesia.

Tentu saja sudah menjadi hak institusi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU untuk mengelaurkan fatwa yang memberikan rambu-rambu tentang keyakinan keagamaan yang bisa diterima atau harus ditolak. Namun pemerintah tak memiliki kewajiban untuk mentaati satu fatwa tertentu atau berpihak pada paham keagamaan tertentu. Tugas dari negara sesuai konstitusi adalah memberikan ketenteraman kepada rakyat dan melindungi warganya untuk secara aman menjalankan kegiatan keagamaan yang mereka anut.

Jika pemimpin atau pemerintah berpihak pada paham teologi tertentu, maka lembaran hitam sejarah akan terulang. Pada masa kekhilafahan Al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah di Baghdad, pemerintah mengadopsi Mu’tazilah sebagai paham resmi negara. Akibatnya, kelompok Sunni mengalami persekusi. Salah satu tokoh Sunni yang menderita penyiksaan adalah Ahmad bin Hanbal.

Dalam dunia kontemporer, Saudi Arabia adalah contoh lain. Hanya Wahhabi yang boleh hidup di sana, sementara paham Islam lain tak boleh ada. Jika Indonesia meniru Saudi Arabia atau Pakistan dalam memperlakukan Ahmadiyah, maka inkuisisi (mihnah) terhadap kelompok ini dan kelompok kecil lain tak akan pernah ada habisnya. Maka, satu-satunya solusi adalah bahwa pemimpin atau negara tak boleh berpihak pada teologi tertentu.

Demokrasi Angka-angka
Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.” Sabda ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.

Kemenangan dalam pemilu itu memang ditentukan oleh jumlah angka pemilih. Namun itu semua pada hakikatnya hanyalah permulaan. Pada ujungnya, nilai demokrasi itu dihitung pada bagaimana pemenang pemilu itu bisa melindungi minoritas. Jika tidak, maka demokrasi kita barulah pada tahap demokrasi angka-angka.
--oo0oo--

Wednesday, July 25, 2012

Suatu Hari di Markas Ahmadiyah

Saturday, June 14, 2008


Oleh: Muhammad Iqbal (Wartawan biasa, tinggal di Pulau Batam. Pernah menang Mochtar Lubis Award 2010 dan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2010).


CAHAYA matahari menyusup ke dalam sebuah ruko warna biru di kawasan Nagoya, Jumat (13/6) menjelang siang. Tapi kesan gelap masih saja terasa di ruang seluas lapangan bulu tangkis itu. Dari celah pintu yang dibuka tak sampai setengah, tiga bocah melongokkan kepala.

''Cari siapa ya?'' tanya mereka. ''Pak Muslim Barus. Ada?'' jawab saya. ''Ada di atas. Naik saja,'' kata seorang bocah perempuan yang terlihat lebih tua dari dua lainnya. Di pojok depan sebelah kanan pintu masuk ruko, tempat para bocah itu bermain, sepatu dan sandal berserakan, meski rak tiga tingkat warna putih yang ada di sana terlihat kosong.

Menginjakkan kaki di lantai dua, langkah dihadang sebuah ruang tamu sederhana. Satu set sofa sudut warna merah tua mengapit televisi layar datar 21 inchi. Kipas angin mini yang ditaruh di atas tv berputar mendinginkan suhu ruangan yang terasa agak gerah.

Inilah markas organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Batam. "Yah, beginilah. Seperti inilah tempat kami,'' kata Muslim Barus, pembina JAI Batam. Barus lalu duduk di sofa merah tua. Di atas kepalanya terpajang potret Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Di bawah gambar Mirza, ikut pula dipasang lima potret tokoh lainnya. "Mereka ini para kalifahnya,'' kata Barus sembari menunjuk satu per satu foto itu.

Saat turun dari kamar tinggalnya di lantai tiga, Barus membawa sebuah handycam, yang lalu ditaruh di meja depan sofa. Seorang anggotanya bernama Sultan, yang lebih dulu menemui saya, kemudian menyalakan alat perekam itu di atas tripod warna hitam. Lensanya mengarah ke wajah saya. "Maaf ya, semua pembicaraan ini harus saya rekam. Untuk dokumentasi kami,'' ujar Sultan. Barus meminta alamat lengkap markas JAI Batam tidak dikorankan. ''Demi keamanan,'' ujarnya. Inilah kali pertama aktivitas mereka diliput media.

Ruko tiga lantai ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal Barus dan keluarga, kantor organisasi, juga sebagai tempat ibadah. Musala yang diberi nama Baitul Dzikir terletak berdampingan dengan ruang tamu.

Menurut Barus, kecuali warga sekitar dan polisi, tak banyak yang tahu bahwa di sanalah anggota JAI melaksakan ibadah berjamaah, minimal saban Jumat. Padahal, menurut Harlin, salah satu anggota Ahmadiyah terlama di Batam, aktivitas Ahmadiyah di ruko itu sudah berjalan sejak 1995. ''Ruko ini dipinjamkan salah satu anggota kita,'' kata Harlin.

Barus sendiri baru sepuluh bulan jadi pembina sekaligus mubaligh Ahmadiyah di Batam. Meski usianya baru 35 tahun, Barus sudah punya jam terbang tinggi. Pria asal Tanah Karo, Sumatera Utara itu sebelumnya bertugas di Tanjungpinang. ''Sebelum di Pinang, saya ditugaskan di daerah eks transmigrasi di Indragiri Hilir,'' katanya.

Ia juga sudah mengunjungi beberapa daerah lain di Indonesia yang ada pengikut Ahmadiyah-nya. Ayah dua anak ini mengaku bergabung dengan Ahmadiyah tahun 1994. Ia kemudian menempuh pendidikan khusus Ahmadiyah di Parung, Jawa Barat. ''Itu lho, tempat yang dulu dihancurkan massa,'' katanya. Saat penyerangan terjadi 15 Juli 2005, Barus sudah tak di sana. ''Saya sudah tamat,'' ungkapnya.

Pukul 12.09 WIB adzan berkumandang dari musala. Berbeda dengan musala-musala lainnya, suara Muchtar, sang muadzin, hanya terdengar di ruang itu saja. Tidak ada pengeras suara di luar ruko. Satu per satu jamaah masuk ke dalam musala. Beberapa di antaranya menyempatkan diri mandi terlebih dahulu "Maklumlah mereka rata-rata dari jauh,'' kata Barus. Ruang musala disekat jadi dua bagian dengan menggunakan tripleks yang diberi cat warna cokelat. ''Bagian yang satunya untuk jamaah wanita,'' kata Barus.

Beberapa menit berselang, Barus naik ke mimbar mengucapkan salam. Adzan kedua berkumandang. Barus tampil sebagai khatib dengan tema kotbah: "Persaudaraan dalam Islam". Hanya sekitar 15 menit saja ia di atas mimbar. Salat berjamaah kemudian digelar. Kali ini Barus maju sebagai imam. Setelah lantunan al fatihah rakaat pertama ia membaca surat al baqarah, dan di rakaat kedua Barus melafalkan surat al isra. Hanya 20 orang jamaah saja, termasuk empat anak-anak, yang dipimpin Barus dalam salat Jumat itu. "Tidak semua anggota datang,'' ucapnya.

Baitul Dzikir merupakan satu-satunya sarana ibadah Ahmadiyah di Batam. Karena itulah, para pengikut dari seluruh pelosok, seperti Batuaji dan Tanjunguncang harus menempuh perjalanan berpuluh kilometer untuk bisa menunaikan salat Jumat berjamaah. Sebagian tak bisa datang karena terbentur sempitnya waktu. Selain salat Jumat, berkumpul sesama pengikut Ahmadiyah biasa dilakukan saat pengajian bulanan yang waktunya jatuh pada Sabtu malam, pekan pertama awal bulan. ''Tapi sejak SKB terbit kita vacum dulu,'' ungkap Barus.


***
KAPAN Ahmadiyah pertama kali ada di Batam? Ketua Pengurus Ahmadiyah Batam Ahmad Agung Nugroho, tidak punya jawaban pasti. "Kalau itu agak sulit menjawabnya. Sebelum ada kepengurusan beberapa anggota sudah ada yang tinggal di sini,'' kata Agung yang memimpin Ahmadiyah untuk periode 2007-2010.

Menurut Harlin, pengikut Ahmadiyah yang lama tinggal di Batam, sejak awal 1990-an beberapa anggota Ahmadiyah sudah mukim di pulau ini. ''Tapi masih tersiar (tersebar, red). Belum ada struktur,'' katanya. ''Keberadaan kita waktu itu masih di bawah pantauan pengurus Sumatera Bagian Utara,'' katanya.

Struktur resmi terbentuk pada tahun 1995. Agus Yusuf terpilih sebagai ketua pertama. ''Itu dia orangnya,'' kata Harlin menunjuk seorang pria 50-an tahun berkaca mata dengan postur agak kurus. Agus tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia duduk dekat tiang di dalam musala. ''Waktu itu hanya ada tiga keluarga saja,'' kata Agus mengenang.

Sejak itu, roda organisasi bergulir sebagaimana organisasi lainnya. Pemilihan pengurus dilakukan secara periodik tiga tahun sekali. Kini jumlah pengikut di Batam, kata Barus, sekitar 70 orang. ''Tidak lebih dari itu. Dari yang baru lahir sampai yang sudah uzur,'' katanya.

Barus mengatakan, jumlah anggota sangat fluktuatif. Tidak menentu. Sebab tidak seluruh anggota menetap selamanya di Batam. "Ada yang bekerja di instansi pemerintah kadang tugas di Batam hanya setahun saja,'' ujarnya.

Di organisasi Ahmadiyah, ada semacam hukum tak tertulis yang dijalankan para pengikut. Setiap kali ada anggota yang akan mengunjungi atau pindah ke daerah lain, ia akan mengontak kantor pusat untuk menanyakan, apakah daerah yang dituju ada pengikut dan kantor cabang Ahmadiyah. Jika ada, maka kantor pusat akan memberikan alamatnya. ''Dari situlah kita biasanya tahu ada anggota yang baru datang atau pergi,'' kata Barus.

Para anggota yang datang silih berganti inilah yang menghidupi organisasi. Barus menjelaskan, dalam anggaran dasar Ahmadiyah, setiap anggota wajib menginfakkan seper enambelas pendapatan mereka tiap bulan. Infak dalam organisasi Ahmadiyah disebut "candah".

Candah adalah bahasa Urdu, bahasa ibu Mirza Gulam Ahmad. Candah yang terkumpul dari para anggota itu kemudian dikirimkan ke Pengurus Pusat Ahmadiyah. ''Dana itu pusat yang kelola. Nanti pusat kirim lagi ke kita untuk operasional,'' kata Barus yang mengaku digaji Ahmadiyah sebagai mubaligh sebesar Rp160 ribu sebulan.

Apa bedanya situasi dulu, saat pengurus baru terbentuk dengan sekarang? "Sama saja. Datar-datar saja. Ibarat air, tak ada riaknya,'' kata Agus Yusuf. Sejauh ini, para pengurus dan pengikut mengaku tidak ada masalah dengan lingkungan tempat tinggal dan kerja mereka.

Edi Darsono, pengikut yang tinggal di Tiban misalnya, mengaku seluruh tetangga dekatnya tahu kalau ia anggota Ahmadiyah. ''Biasa-biasa saja. Hubungan kami seperti hubungan dengan warga lainnya,'' katanya. Begitu juga dengan Sultan. ''Kalau ada kegiatan di lingkungan, gotong royong misalnya, kita biasa ikut,'' kata pria asal Bandung ini.

Pengakuan yang sama juga disampaikan Ardi. Bahkan, kata dia, dulu mereka juga sering mengelar aksi sosial seperti donor darah dan bagi sembako. ''Tapi tidak atas nama Ahmadiyah, dan tidak ada atribut Ahmadiyah. Para penerima malah nggak tahu kalau itu dari Ahmadiyah,'' kata Ardi, yang kerap didapuk sebagai ketua panitia kegiatan sosial.

Para pengikut Ahmadiyah, kata Ardi, juga sudah membuat semacam janji akan mendonorkan kornea mata mereka ke Bank Mata, kelak bila mereka wafat. ''Anggota di Batam sudah sepuluh orang yang bersedia. Semuanya wanita,'' kata Ardi.

Barus mengungkapkan, meski semua bejalan biasa saja, sejumlah petugas polisi rutin memantau dan melakukan kontak dengan mereka. Komunikasi makin intensif sejak kontroversi soal keberadaan organisasi Ahmadiyah menguat di masyarakat. ''Kadang polisi tanya, bagaimana keadaan kami,'' ujarnya. ***

Retrieved from: http://iqbalfile.blogspot.com/2008/06/suatu-hari-di-markas-ahmadiyah.html

Friday, July 20, 2012

Ahmad Hariadi: Tugas saya menyadarkan jemaat Ahmadiyah

Ahmad Hariadi (Mantan Mubaligh Ahmadiyah) : Tugas saya menyadarkan jemaat Ahmadiyah
Kiriman: Rumanto <rumanto_nurul@yahoo.com.sg

Tak banyak orang mengenal sosok yang satu ini. Mubaligh senior yang sempat 10 tahun bergabung dengan Ahmadiyah ini, kemudian menyadari dan insaf bahwa Ahmadiyah keliru dan sesat. Ia pun lantas meninggalkan Ahmadiyah. Meskipun awalnya pertemuan dengan tokoh sekaliber Buya Hamka dan M Natsir tak membuatnya goyah untuk tetap memeluk Ahmadiyah.

Tekadnya sekarang adalah menghabiskan sisa hidupnya untuk melakukan penyadaran bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar kembali pada Islam yang kaffah. Ia tegaskan lagi janjinya saat tabligh akbar di Masjid Al Barkah, Matraman, Jakarta. Pemimpin Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin di Garut, Ahmad Hariadi, memaparkan kisahnya kepada wartawan Republika, Rachmat Santosa Basarah. Berikut petikannya.

Bagaimana awalnya, Anda bisa tertarik masuk Ahmadiyah?

Tahun 1971, saat itu usia saya 19 tahun, saya mendatangi cabang Ahmadiyah Surabaya, membaca buku-buku Ahmadiyah, termasuk yang dikarang oleh Mirza Ghulam Ahmad. Setelah saya pelajari, akhirnya saya tertarik dan saya simpulkan, inilah yang saya cari. Setelah itu, saya hadapkan pada guru-guru saya yang sebelumnya saya pun belajar pada mereka. Ada yang dari Muhammadiyah, NU, Persis, dan lainnya. Saya kan sebelum kenal Ahmadiyah belajar lama pada para alim ulama itu. Saya juga mubaligh, dan jauh sebelum itu sudah mengisi ceramah di salah satu radio di Jombang.

Ketertarikan saya saat itu karena melihat organisasi Ahmadiyah adalah organisasi dunia. Mereka menerjemahkan Alquran ke dalam berbagai bahasa dan organisasinya rapi. Pendirinya adalah Imam Mahdi, Isa yang dijanjikan. Jadi, menurut saya, saat itu ada daya tarik khusus yang tidak ada pada kelompok-kelompok Islam lainnya.
Kemudian dari ajarannya, Ahmadiyah membuat definisi bahwa Rasul itu dibagi dua. Yaitu, yang membawa syariat dan yang tidak membawa syariat dan pakai dalil Alquran–yang memang kalau dilihat sepintas memang benar. Menurut Ahmadiyah, rasul yang tidak membawa syariat itu bisa saja datang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Kalau seandainya para guru saya atau para ulama mengatakan definisi dalam Ahmadiyah bahwa rasul dibagi dua, itu tidak benar. Tentu, saya tidak akan masuk Ahmadiyah saat itu. Memang ada ayat di dalam Alquran. Namun, bukan berarti nabi-nabi Bani Israil tidak membawa syariat. Memang, dalam hal-hal prinsip berinduk pada Taurat. Tapi, dalam hal-hal lain yang sifatnya sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu nabi-nabi itu berada, mereka juga membawa syariat. Itu kunci jawabannya. Kalau saya dapatkan itu sebelum saya masuk Ahmadiyah, saya tidak akan masuk Ahmadiyah.

Bagaimana tanggapan para alim ulama (guru Anda) setelah mengetahui Anda tertarik Ahmadiyah?

Saya menemui mereka dan saya hadapkan hujjah-hujjah Ahmadiyah pada mereka. Terutama, yang menyangkut tiga masalah pokok. Pertama, Nabi Isa AS masih hidup atau sudah mati. Kedua, akankah datang rasul atau nabi lagi yang tidak membawa syariat. Ketiga, benar atau tidakkah bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini sebagai Imam Mahdi, sebagai Nabi Isa yang dijanjikan.

Mungkin, karena mendadak dan mereka belum mempelajari secara mendalam, mereka akhirnya cukup kelabakan juga. Akhirnya, saya simpulkan bahwa hujjah-hujjah Ahmadiyah ini tidak bisa dipatahkan. Akhirnya, mereka bahkan menyimpulkan bahwa kalau memang Ahmadiyah benar, mengapa Buya Hamka dan Muhammad Natsir tidak masuk Ahmadiyah.

Setelah menghadap para ulama yang sebelumnya adalah guru-guru Anda itu, apa yang Anda lakukan?

Dua tahun kemudian, tahun 1973, saya sempatkan untuk pergi ke Jakarta mendatangi Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Saya ditanya Buya, ada apa datang ke sini? Saya katakan, saya dari Pare, Kediri. Saya katakan, ada problem dengan Ahmadiyah. Langsung spontan, Buya Hamka memegang pundak saya dan meminta saya untuk tiga hari tinggal di rumah beliau, di samping Masjid Al Azhar itu. Selama tiga hari dengan beliau, kami dialog tentang tiga masalah pokok hujjah Ahmadiyah.

Namun, saya merasa jawaban-jawaban beliau belum memuaskan. Akhirnya, saya mendatangi Ustadz Muhammad Natsir dengan rekomendasi dari Buya Hamka. Pak Natsir kemudian memberikan hasil debat antara Al Hasan dari Persis dengan dua mubaligh Ahmadiyah, yaitu Rahmad Ali dan Abubakar Ayub. Dalam hasil debat yang sudah berbentuk buku itu, dibahas juga tiga masalah tadi. Saya masih belum puas juga.

Dua ulama besar tidak bisa membuat Anda goyah. Kemudian, apa yang Anda lakukan?

Setelah itu, saya ke Bandung karena ada saudara saya di sana. Kemudian, saya datang ke cabang Ahmadiyah di Bandung. Dan, saya utarakan mau dibaiat masuk Ahmadiyah (Ahmad Hariadi menuturkan dengan mata memerah dan berkaca-kaca- -Red). Itu bulan Desember 1973. Saya mengisi formulir baiat masuk Ahmadiyah. Jadi, sebelum mengisi formulir itu ada 10 persyaratan baiat. Dan, itu sampai sekarang masih diterapkan di Ahmadiyah.
Setelah dibaiat, ada tiga hal dipesankan kepada saya. Pertama, saya tidak boleh makmum di belakang orang yang bukan Ahmadiyah. Kedua, tidak boleh kawin dengan orang yang bukan Ahmadiyah. Dan ketiga, saya harus membayar seperenambelas dari penghasilan per bulan. Itu namanya Candah Am, atau iuran umum bagi anggota Ahmadiyah.

Sepekan setelah saya dibaiat, ada pertemuan tahunan pemuda Ahmadiyah se-Indonesia di Jakarta. Saat itu, saya menang juara satu lomba pidato. Akhirnya, saya ditawari oleh para mubaligh Ahmadiyah untuk menjadi mubaligh, dan tawaran itu saya terima. Bahkan, saat itu ada rencana saya dikirim ke Robuah, Pakistan, pusatnya Ahmadiyah dunia saat itu, untuk dididik menjadi mubaligh internasional.

Saat saya akan berangkat, ternyata di Pakistan ada huru-hara besar antara kaum Muslim dengan Ahmadiyah. Saya pun tidak jadi ke sana. Akhirnya, pimpinan mubaligh Ahmadiyah pusat Indonesia mengatakan agar saya langsung diangkat menjadi mubaligh senior dan tugas pertama saya ke kota Medan. Setelah dua tahun di Medan, saya dipindah ke Jakarta. Dan, di Jakarta sekitar 3,5 tahun. Setelah itu, dipindah lagi ke Bali selama enam bulan dan terakhir ke Lombok, NTB. Saya masuk bertugas di Lombok tahun 1983.

Kabarnya, ada kewajiban bagi setiap jemaat Ahmadiyah untuk merekrut satu orang setiap harinya. Apakah itu benar?

Waktu itu, saat saya tugas di Lombok, ada instruksi dari khalifah Ahmadiyah dunia keempat. Ia menginstruksikan pada jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masing-masing negara ditarget, misalnya dalam tahun 1984, bisa menambah sekian ribu jemaat. Untuk mengejar target itu, pusat Ahmadiyah Indonesia bikin moto, ‘Tiada hari tanpa tabligh (dakwah)’. Sejak saat itu, diinstruksikan kepada setiap jemaat melakukan dakwah minimal pada satu orang setiap harinya.

Siapa pemimpin Ahmadiyah sedunia sekarang?

Mirza Ghulam Ahmad, lahir pada 1835 dan meninggal pada 1908. Dia mendirikan Ahmadiyah tahun 1889. Setelah meninggal, dia diganti oleh khalifah Ahmadiyah pertama. Kemudian, bertutur-turut diganti oleh khalifah kedua, ketiga, dan keempat. Khalifah keempat ini adalah cucunya Mirza Ghulam Ahmad, namanya, Tahir Ahmad.

Pada 1984 itu, berapa kira-kira jemaat Ahmadiyah sedunia dan di Indonesia?

Saat itu, di Indonesia ada sekitar 20 hingga 30 ribuan. Kalau di seluruh dunia, sekitar satu juta atau kurang dari satu juta orang.

Tapi, kabar yang beredar menyatakan anggota JAI mencapai 500 ribu orang?

Menurut data Balitbang Depag, sekitar 80 ribu. Tapi, menurut pengakuan Ahmadiyah, satu juta orang, di antaranya 500 ribu sudah membayar iuran. Tapi, menurut saya, sebetulnya anggota jemaat Ahmadiyah di Indonesia ini tidak lebih dari 100 ribu orang. Untuk tingkat dunia, jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia, menurut laporan Hasan Aodah (orang kedua dari khalifah keempat yang sudah sadar dan keluar dari Ahmadiyah) sekitar dua juta orang.
Hasan Aodah ialah orang Arab Palestina dan guru bahasa Arab khalifah ke empat. Ia dari kalangan intelektual dan berada, yang juga akhirnya sadar dan keluar dari Ahmadiyah. Sementara itu, menurut klaim dari Ahmadiyah sendiri mencapai 200 juta orang. Itu bohong.

Peristiwa apa yang kemudian membuat Anda sadar dan keluar dari Ahmadiyah. Padahal, Anda saat itu sudah 10 tahun lebih menjadi mubaligh senior Ahmadiyah?

Saat saya bertugas di Lombok Timur, NTB, saya kenal dengan Ustadz Irfan, pimpinan salah satu pondok pesantren di sana. Kami pun berdebat keras soal Ahmadiyah. Namun, tidak ada titik temu dan akhirnya kami sepakat melakukan mubahalah atau perang doa. Jadi, perjanjiannya, kalau selama tiga bulan lawan saya, yaitu Ustad H Irfan tidak diazab oleh Allah SWT, berarti saya kalah dan saya bersedia dipotong leher saya. Sementara itu, H Irfan juga mengatakan bersumpah pada Allah SWT bahwa kalau memang benar Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, maka ia bersedia diangkat nyawanya oleh Allah dengan cara yang mengerikan sehingga diketahui banyak orang.
Namun, setelah tiga bulan H Irfan sehat walafiat. Dan, itu artinya saya kalah dalam perang doa itu. Tak lama setelah itu, sejumlah massa mendatangi rumah saya untuk menagih janji saya, yaitu penggal kepala saya. Saat situasi ribut-ribut, aparat polisi pun datang dan mengamankan.

Sejak saat itu, saya mulai guncang dan mulai ragu. Keraguan itu berjalan dua tahun hingga saya putuskan bahwa Ahmadiyah ini tidak benar. Saya pun sempat belajar dan memperdalam ilmu agama ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Karena, sifat saya adalah selalu ingin mengetahui dan ingin bukti dalam menjalankan agama Islam ini.
Akhirnya, saya buat pernyataan saya keluar dari Ahmadiyah pada April 1986 di Malaysia dan Singapura. Setelah keluar dari Ahmadiyah, saya pun menantang khalifah keempat Ahmadiyah, Tahir Ahmad, yang merupakan pemimpin Ahmadiyah dunia untuk melakukan mubahalah (perang doa), seperti yang saya lakukan dengan Ustad H Irfan. Tantangan saya pun diterima oleh dia. Mestinya, kaum Ahmadiyah bisa berpikir bahwa sampai sekarang alhamdulillah saya sehat walafiat. Dan, bahkan bisa ada kegiatan membuat sejumlah buku.

Sementara, karena memang sudah takdir Allah SWT, beberapa saat setelah mubahalah, khalifah Keempat, Tahir Ahmad, meninggal dunia di tempat pelarian di London. Saya tidak pernah mendoakan jelek pada dia. Namun, itu semua sudah takdir Allah SWT.

Sebelum itu, saya sempat tiga kali berusaha menemui khalifah keempat ini. Namun, ia tidak mau menerima saya. Ia takut. Sejak itu, pusat Ahmadiyah pindah dari pakistan ke London. Karena, di Pakistan sudah dilarang.

Kegiatan Anda saat ini. Kabarnya, Anda sibuk dengan upaya-upaya penyadaran kaum Ahmadiyah untuk kembali ke Islam yang kaffah?

Ya, sekarang tugas saya adalah melakukan penyadaran-penyadar an. Percayalah bahwa saya sudah pernah mengalami apa yang saat ini kaum Ahmadiyah alami. Saya mengakui saat itu memang saya merasa yang paling benar dan orang lain pasti salah.

Saya tegaskan di sini, itu semua adalah salah. Saya tinggal di Garut, dan saya banyak menulis terutama tentang bagaimana kesesatan dari Ahmadiyah ini. Karena, penyadaran yang efektif adalah melalui buku. Saya sudah terbitkan buku yang judulnya Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah, Seruan untuk Mencampakkan Agama Manusia, yakni Ahmadiyah, serta Oleh-oleh dari London. Juga buku berjudul 100 Lebih Pemahaman
Kaum Muslimin perlu Direformasi. Selain itu, saya juga sudah menerjemahkan Alquran yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Agama.

Proses penyadaran ini, puncaknya ada di buku (100 Lebih Pemahaman Kaum Muslimin perlu Direformasi) . Ini bersifat umum. Bahkan, Ketua Ahmadiyah Malang, Waji, pernah SMS ke saya. Dia baru selesai baca buku ini dan dia bilang buku saya bagus sekali.

Saya belum tahu kalau Waji ini ternyata ketua Ahmadiyah Malang. Lantas, saya katakan ke dia, kalau memang buku itu bagus, tolong sosialisasikan ke ustadz-ustadz dan masyarakat Muslim. Barulah di situ dia mengaku bahwa ia ketua Ahmadiyah Malang.

Sejumlah negara sudah melarang keberadaan Ahmadiyah. Menurut Anda?

Memang, di Pakistan tahun 1984 sudah dilarang. Sementara itu, di Malaysia dan Brunei Darussalam sudah dilarang, bahkan sudah puluhan tahun yang lalu. Juga di negara-negara lain.

Bagaimana pendapat Anda soal rencana keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri?

Memang, seharusnya kan sudah keluar SKB itu. Ini memang agak lambat. Beberapa waktu lalu sudah mengerucut-mengeruc ut dan katanya sudah akan keluar. Tapi, kok tampaknya susah juga. Kelihatannya, pemerintah melakukan pertimbangan-pertimbangan. Namun, saya yakin kelihatannya pemerintah masih akan tetap mengakomodasi Ahmadiyah. Entah diakomodasi berapa persen. Namun, yang jelas kelihatannya umat Islam akan diakomodasi jauh lebih banyak.

Kalau pendapat Anda, sebaiknya sikap pemerintah seperti apa?

Tugas saya saat ini adalah penyadaran. Kalau menurut saya, mari kita kumpulkan dulu tokoh-tokoh pimpinan dari Ahmadiyah ini dan dilakukan proses penyadaran. Saya bersedia untuk itu. Biarlah nanti terjadi debat yang panjang sekalipun. Saya siap dan bersedia.

Saya pernah dalam posisi mereka karena saya pernah 10 tahun lebih di Ahmadiyah. Bahkan, sampai tingkatan bersedia potong leher. Artinya, kan saat itu saya sudah benar-benar menjalankan dan mengamalkan ajaran Ahmadiyah. Jadi, kumpulkan mereka dan disaksikan pihak pemerintah, saya akan menjelaskan dan sejelas-jelasnya di mana letak kesesatan Ahmadiyah ini. Mari kita bicara. Yang penting mereka terbuka dan bersedia bertemu. Jadi, akhirnya mereka juga bisa sadar bahwa Ahmadiyah ini keliru.***

Available at: http://gp-ansor.org/5208-25062008.html and also at: http://www.mualaf.com/index.php/info-liberalisme/item/597-ahmad-hariadi-mantan-mubaligh-ahmadiyah-tugas-saya-menyadarkan-jemaat-ahmadiyah

Monday, July 16, 2012

Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah di Indonesia
Sukarno merangkulnya, Gus Dur membebaskannya dan MUI mengharamkannya.

OLEH: BONNIE TRIYANA

SEORANG lelaki telungkup bersimbah darah. Sekarat tak berdaya. Seperti belum puas, beberapa orang beringas yang berdiri mengelilinginya memukulkan lagi sebilah bambu. Plak!! Sebuah pukulan mengenai bagian belakang kepala lelaki malang itu sekaligus mengakhiri riwayat hidupnya. Pekik takbir terus menggema, merayakan kematiannya.    Adegan itu tampak dari sebuah tayangan video insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6/2) lalu dan sekaligus terparah semenjak tiga tahun terakhir.

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.

Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.

Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.

Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.

Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.

Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. “Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”

Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”

Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.

Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,  tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.

Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.
Dari Ensiklopedi Islam yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Masih dari Ensiklopedi Islam, sebagaimana dikutip dari buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatamul Anbiya (nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim Penyusun, “Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.

Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.

Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas.

Retrieved from: http://www.historia.co.id/artikel/2/716/Majalah-Historia/Ahmadiyah_di_Indonesia