Indonesian-Ahmadiyya Studies
Wednesday, June 16, 2021
Sunday, July 19, 2020
“It's a Jihad”: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia
Mencoba melihat “dapur teologis” kelompok garis keras (FPI, GARIS, & GERAM) dalam memahami Ahmadiyah.
Ahmad Najib Burhani, "“It's a Jihad”: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia", TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia DOI: https://doi.org/10.1017/trn.2020.8
Published online by Cambridge University Press: 19 June 2020
Abstract
The concept of al-wala’ wa-l-bara’ (loyalty and disavowal) has become the ideology of modern Salafism; it is used to justify unfriendly relationships with non-Muslims. This concept is usually implemented by reserving love only for fellow Muslims and showing insularity towards non-Muslims. What is the ideological concept that guides some Muslims in their relationship with groups that are considered heretics? This article intends to scrutinize the theological matrix used by vigilante groups in their anti-heresy campaign or attacks on the Ahmadiyya. It also aims to determine why some people believe that persecuting the Ahmadiyya is a theologically justifiable idea. What theological and ideological reasons can be used to justify attacks against the Ahmadiyya community? How do they cope with the conflict between divine law and human/state law? This article argues that instead of feeling guilty, the perpetrators of faith-based violence often feel they have just fulfilled a good religious duty. Committing violence against religious groups deemed heretics is believed to be more than al-amr bi al-màrūf wa al-nahy `an al-munkar (“commanding right and forbidding wrong”)—it is a jihad. Violence is seen not as an illegal act, but as a “virtue” or an effort to save them from the punishment of God in Hell. In justifying the breaching of state law, the idea of a hierarchy in the law is constructed, i.e. state/human law is hierarchically lower than divine law, so attacking the Ahmadiyya is seen as a transgression of human law for the sake of upholding the divine view.
Link
Ahmad Najib Burhani, "“It's a Jihad”: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia", TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia DOI: https://doi.org/10.1017/trn.2020.8
Published online by Cambridge University Press: 19 June 2020
Abstract
The concept of al-wala’ wa-l-bara’ (loyalty and disavowal) has become the ideology of modern Salafism; it is used to justify unfriendly relationships with non-Muslims. This concept is usually implemented by reserving love only for fellow Muslims and showing insularity towards non-Muslims. What is the ideological concept that guides some Muslims in their relationship with groups that are considered heretics? This article intends to scrutinize the theological matrix used by vigilante groups in their anti-heresy campaign or attacks on the Ahmadiyya. It also aims to determine why some people believe that persecuting the Ahmadiyya is a theologically justifiable idea. What theological and ideological reasons can be used to justify attacks against the Ahmadiyya community? How do they cope with the conflict between divine law and human/state law? This article argues that instead of feeling guilty, the perpetrators of faith-based violence often feel they have just fulfilled a good religious duty. Committing violence against religious groups deemed heretics is believed to be more than al-amr bi al-màrūf wa al-nahy `an al-munkar (“commanding right and forbidding wrong”)—it is a jihad. Violence is seen not as an illegal act, but as a “virtue” or an effort to save them from the punishment of God in Hell. In justifying the breaching of state law, the idea of a hierarchy in the law is constructed, i.e. state/human law is hierarchically lower than divine law, so attacking the Ahmadiyya is seen as a transgression of human law for the sake of upholding the divine view.
Link
Sunday, March 8, 2020
Alternative Voices in Muslim Southeast Asia: Discourse and Struggles
“Suara-suara Islam Alternatif di Asia Tenggara”. Buku ini mengkaji ttg berbagai pandangan kelompok2 Islam non-mainstream spt. Ahmadiyah, Syiah, dll. Mengulas hal-hal yg selama ini tak terpikirkan.
Tulisan saya dalam buku ini berjudul: "Ahmadiyah and Islamic Revivalism in Twentieth-Century Java, Indonesia: A Neglected Contribution" (h. 199-220).
Untuk isi bab lain dari buku ini, sekilas bisa dilihat di sini: https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2417
Thursday, January 16, 2020
313 Darwish
17 Januari 2020
Oleh Dahlan Iskan
Oleh Dahlan Iskan
Azan tetap berkumandang lima kali sehari. Termasuk sekarang ini. Di saat Islam merasa menjadi minoritas yang sulit di India.
Azan itu terdengar dari jauh. Dari masjid aliran Ahmadiyah di Qadian. Yang menaranya sangat tinggi itu.
Pun azan di situ tetap dikumandangkan di masa tersulit Islam di India.
Itu tahun 1947. Ketika umat Islam di Punjab Timur harus tergopoh-gopoh lari ke Punjab Barat.
Dan umat Hindu di Punjab Barat tergopoh harus pindah ke Punjab Timur.
Hari itu India merdeka dengan amat rusuhnya. Merdeka dalam bentuk dua negara. Hindu di Timur. Islam di Barat. India dan Pakistan.
Masjid-masjid di Punjab Timur ditinggalkan. Pun madrasah. Pura di Barat ditinggalkan. Perang agama terjadi. Jutaan orang tewas.
Di tengah suasana kalut itu terjadi diskusi di Desa Qadian. Apakah masjid besar di situ juga harus ditinggalkan. Padahal ada makam Mirza Ghulam Ahmad di dekatnya. Ada juga masjid kecil yang bersejarah. Masjid pertama. Yang didirikan junjungan mereka. Termasuk ada pula rumah tempat kelahiran Mirza.
Mereka pun sepakat untuk mempertahankan Masjid Qadian. Apa pun yang terjadi. Sampai pun kalau nyawa harus melayang.
Kesepakatan itu lantas menjadi putusan khalifah mereka.
Tapi semua wanita harus mengungsi. Demikian juga anak di bawah 18 tahun. Dan laki-laki di atas 55 tahun.
Hanya para pemuda yang ditugaskan tetap tinggal di Qadian.
Jumlah mereka pun ditentukan: 313 orang. Sesuai dengan yang ikut perang Badr --di zaman Nabi Muhammad.
Semangat Perang Badr memang mewarnai jiwa 313 orang itu.
Tapi mereka bertekad hanya bertahan untuk menjaga masjid.
Seperti juga di Perang Badr mereka tidak punya niat perang.
Semua yang bertugas di Qadian diberi surat tugas langsung oleh khalifah mereka. Termasuk seorang pemuda yang terlanjur berangkat mengungsi.
Surat khalifah itu ia terima di perjalanan. Saat mengantar ibunya ke perbatasan.
Begitu menerima surat itu justru sang ibu yang berkeras. Agar anaknya kembali ke Qadian.
Sang ibu mengatakan bahwa dia bisa mengungsi bersama pengungsi lainnya.
Itulah salah satu dokumen yang sempat saya baca. Yakni kesaksian mereka yang termasuk 313 itu.
Air mata saya berlinang beberapa kali membaca dokumen itu.
Dari 313 orang tersebut kini masih dua orang yang hidup. Saya tidak sempat menemui keduanya.
Sebenarnya mereka masih tinggal di Qadian. Tapi sudah amat tua.
Selama mempertahankan Qadian itu mereka menjalani kehidupan sufi: sedikit makan sedikit bicara dan sedikit tidur.
Mereka berjaga 24 jam dalam kelompok-kelompok kecil.
Semua sudut jalan masuk desa Qadian diblokade. Massa tidak bisa masuk ke kampung Ahmadiyah itu.
Desa ini lantas menjadi tempat persembunyian yang aman. Orang yang tidak bisa mengungsi ke Pakistan mencari perlindungan di sini.
Pemuda yang 313 orang itu lantas disebut para Darwish. Yakni orang yang dengan tulus menjalani hidup sengsara. Mereka rela meninggalkan keinginan hidup normal.
Di tengah suasana perang itu para Darwish tetap teguh: mereka tetap mengumandangkan azan lewat menara. Lima kali sehari.
Qadian berhasil utuh. Sampai sekarang.
Qadian berhasil utuh. Sampai sekarang.
Pusat aliran Islam Ahmadiyah memang ikut pindah ke Lahore, Pakistan. Lalu pindah lagi ke London (DI's Way:313 Ahmadiyah).
Tapi Qadian masih menjadi salah satu basis Ahmadiyah.
Di samping tetap berani azan apakah juga berani menyembelih sapi untuk kurban?
"Ini bukan soal berani atau tidak," ujar Saifullah Mubarak, yang menemani saya di Qadian. "Kami ini selalu patuh pada pemerintah," tambahnya.
Menyembelih sapi dilarang di Punjab. Ada UU-nya. Untuk menghormati keyakinan orang Hindu.
"Kami kan masih bisa memotong kambing dan domba. Tidak ada masalah," ujar Saifullah yang asal Solok, Sumbar, yang sudah kawin dengan wanita Punjab itu.
Banyak sekali pertanyaan ke saya: mengapa Ahmadiyah dimusuhi oleh mainstream Islam? Sampai mengungsi ke London?
Semua ajaran Ahmadiyah sama dengan Islam pada umumnya. Terutama mazhab Hanafi. Syahadatnya sama. Qurannya sama. Haditsnya sama. Rukun Islamnya sama. Rukun Imannya sama.
Yang tidak sama hanya satu: Mereka yakin Mirza Ghulam Ahmad adalah manusia seperti yang dijanjikan di ajaran Islam maupun Kristen.
Yang diturunkan ke bumi sebagai ratu adil di akhir zaman.
Dan begitu banyak orang yang mengaku mendapat tugas seperti itu. Di Islam. Di Kristen. Dulu, kini dan masih akan ada lagi.(Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/805/313-darwish?
Saturday, January 4, 2020
Sundanese Ahmadiyya's Pupujian of the Mahdi in West Java
Ulul Albab: Jurnal Studi Islam, Vol. 20 No. 2 2019: 203-232
Jajang A Rohmana
UIN Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia
ABSTRACT
Jajang A Rohmana
UIN Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia
ABSTRACT
This article focuses on the local tradition of Ahmadiyya in West Java in the form of Sundanese oral literature entitled Pupujian Imam Mahdi, the song of praise of the Mahdi. It is not only related to strengthening the so-called “Sundanese Ahmadiyya” identity through cultural acculturation, but also an important channel in their acceptances in regions with the largest adherents in Indonesia. Through literary and cultural identity analysis, I argue that the literary and cultural channels contributed to the acceptance of minority groups in Indonesia. Through pupujian Imam Mahdi, for instance, Ahmadiyya teachings on the messianistic figure were acculturated into the Sundanese literary tradition. It becomes a frame of movement towards the formation of the Sundanese Ahmadiyah identity. The pupujian is used to support their existences through the same cultural representation as other Sundanese people. It is a cultural strategy carried out by the most controversial minority group among the rejection of the most groups. This study is also important in revealing Ahmadiyya's contribution to the Sundanese local culture which may not be recognized by others. It actually becomes a peculiarity of Ahmadiyya identity in the Indonesian archipelago which is different from other cultural representation of Ahmadiyya in various regions in the world.
Friday, January 3, 2020
Ahmadiyah and Islamic Revivalism in the Twentieth Century Java, Indonesia: A Neglected Contribution
APA KONTRIBUSI AHMADIYAH KE INDONESIA?
Bbrp org menyebut Ahmadiyah sbg benalu, kanker, & sebutan negatif lain. Berbeda dg itu, Howard Federspiel (2001) & Justus van der Kroef (1962) menulis bahwa Ahmadiyah berkontribusi pada "revival of Islam" (kebangkitan Islam) & modernisme Islam di Indonesia.
Artikel berikut ini bermaksud untuk (1) mempelajari peran Ahmadiyah dalam kebangkitan Islam di Indonesia pada paruh pertama abad ke-20; (2) menggambarkan perbedaan antara inteligensia Muslim yang berpendidikan Arab dan Belanda dalam melihat Ahmadiyah; dan (3) menguraikan daya tarik Ahmadiyah bagi intelektual Muslim dan peran gerakan ini dalam revivalisme Islam.
Ahmad Najib Burhani. 2020. “Ahmadiyah and Islamic Revivalism in the Twentieth Century Java, Indonesia: A Neglected Contribution”, in Alternative Voices in Muslim Southeast Asia: Discourse and Struggles, eds. Norshahril Saat & Azhar Ibrahim, pp. 199-220 (Singapore: ISEAS).
Buku ini penting dibedah, bersanding dg "Contentious Belonging: The Place of Minorities in Indonesia" (ISEAS 2019), "Menemani Minoritas" (Gramedia 2019), & "Dilema Minoritas di Indonesia" (Gramedia 2020)
Tuesday, December 24, 2019
313 Ahmadiyah (1)
23 Desember 2019
Oleh Dahlan Iskan
Oleh Dahlan Iskan
Ada 30 orang Indonesia di sini --sebagian besar untuk kuliah.
Desa Qadian memang tidak lagi menjadi pusat aliran Islam Ahmadiyah. Tapi masih tetap dipertahankan sebagai salah satu pusatnya.
Bahkan ketika umumnya orang Islam mengungsi ke Pakistan tempat ini dipertahankan mati-matian.
"Waktu itu pimpinan Ahmadiyah menugaskan 313 orang untuk mempertahankan tempat ini," ujar Saifullah Mubarak, asal Solok Sumbar.
"Jumlah itu sama dengan pasukan yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk perang Badr," tambahnya. "Sebenarnya kan tidak ada niat untuk perang. Hanya mempertahankan diri. Tapi akhirnya terjadilah perang Badr itu," tambahnya.
Saifullah sudah menetap di Qadian. Sudah kawin dengan wanita Punjab.
Waktu itu umumnya orang Islam di Punjab (India) mengungsi ke Pakistan. Semua orang Hindu di Punjab (Pakistan) mengungsi ke India.
Terjadinya begitu mendadak. Dalam satu hari. Kisruh dan rusuh. Saling bunuh. Jutaan orang meninggal.
Itu tahun 1947. Ketika Inggris memutuskan memerdekakan wilayah itu menjadi dua negara: India dan Pakistan.
Itu tahun 1947 --ketika di Indonesia berlangsung perundingan Linggarjati --di pegunungan Kabupaten Kuningan dekat Cirebon.
Di perundingan itu Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia sebatas untuk Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Di Punjab, kemerdekaan itu berarti kesengsaraan.
Itu tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di dunia.
Orang-orang Ahmadiyah juga mengungsi ke Pakistan. Pusat Ahmadiyah pun di pindah ke Lahore --sekitar 100 km di balik garis yang ditentukan Inggris sebagai perbatasan.
Pasca pengungsian masal ini nasib Ahmadiyah tidak lebih baik. Dari minoritas di negara Hindu ke minoritas di negara Islam.
Yakni setelah mayoritas Islam di Pakistan memusuhi Ahmadiyah habis-habisan.
Terjadilah tragedi kemanusiaan yang lain. Di sesama orang Islam. Begitu banyak yang meninggal.
Ahmadiyah pun terusir lagi. Kali ini mereka mengungsi jauh --ke Inggris. Menjadi minoritas lagi --di negara Kristen.
Bagi Ahmadiyah menjadi minoritas di negara Hindu ternyata lebih baik daripada menjadi minoritas di negara Islam.
Demikian juga ketika menjadi minoritas di negara Kristen.
Di Inggris Ahmadiyah bisa berkembang. Sampai mendirikan TV Islam.
Saya sempat salat Jumat di masjid Ahmadiyah dekat Wimbledon. Yang tertua di sekitar London.
Berkat 313 orang itulah pusat Ahmadiyah di Qadian bertahan sampai sekarang. Saya pun tidak menyangka ada 30 orang Indonesia belajar di sini.
Untuk ke Desa Qadian saya harus melakukan perjalanan 35 km. Dari hotel saya di pusat kota suci agama Sikh Amritsar --ke arah luar kota.
Setelah tiba di satu kota kecamatan saya harus benar-benar masuk desa. Lewat jalan kecil yang meliuk-liuk di tengah sawah.
Dari sawah ini terlihat pagar tembok panjang sekali. Dari bentuk temboknya saya pikir di baliknya ada situs sejarah kuno.
Sopir saya tidak tahu bangunan apa di balik pagar panjang itu.
Ternyata kami berbelok ke arah pagar itu. Google Map justru mengarahkan kami ke situ.
Di balik pagar itulah kampung Ahmadiyah.
Ups... Salah.
Di balik pagar itulah makam pendiri Ahmadiyah --Mirza Ghulam Ahmad.
Untuk memasuki pagar ini kami harus melewati pos pemeriksaan. Harus pula ada izin dari pengurus.
Saya pun berjalan kaki sekitar 200 meter. Ke kampung dekat makam itu.
Saya dipersilakan masuk ke salah satu bangunan di situ. Oh... Kantor Ahmadiyah. Yang dari depan terlihat kecil. Di dalamnya ternyata ruang besar.
Saya diminta masuk ke ruang yang lebih dalam lagi. Juga besar. Dengan kursi-kursi tamu yang banyak.
Di situlah saya ditemui ustadz muda asal Uttar Pradesh. Ramah dan cerdas. Ia kelihatan ingin menjelaskan panjang lebar apa itu Ahmadiyah.
"Saya sudah tahu itu. Saya ingin tahu soal lain," sela saya.
Ia tidak tersinggung oleh selaan saya itu. "Saya hanya punya waktu setengah jam di sini. Maafkan," kata saya.
"Alhamdulillah kalau sudah tahu Ahmadiyah," katanya.
"Saya pernah salat Jumat di masjid Ahmadiyah di London," kata saya.
Ia kian ramah.
"Maukah bertemu orang yang asal Indonesia di sini?" katanya.
"Lho, ada? Mau sekali."
Ia pun merogoh saku baju panjang khas Indianya --ambil ponsel. Bicara-bicara.
"Lima menit lagi ia bisa tiba di sini," katanya.
Anak muda itu terus memohon agar saya mau bermalam di situ. Ada guest houseuntuk saya. Bahkan ia minta saya di situ selama satu minggu.
Yang dipanggil pun tiba.
"Masyaallah...Pak menteri...," sapanya. Kaget. "Alhamdulillah bisa bertemu justru di sini," tambahnya.
Itulah Saifullah Mubarak. Asal Solok, Sumbar. Yang kawin dengan wanita setempat itu.
Saifullah lantas memperkenalkan siapa saya --ke anak muda itu.
Saya langsung menyela: gak usah disebut-sebut siapa saya.
Tapi kata minister sudah sempat didengar anak muda itu.
"Kalau begitu silakan berdua saja pakai bahasa Indonesia," katanya.
Lalu pamit.
Masih banyak tamu yang harus ia layani.
Belum lama ini, katanya, juga ada rombongan tamu dari Makassar. Para guru besar dari universitas di Makassar.
Maka Saifullah-lah yang membawa saya 'Tour de Qadian'. Masuk-masuk ke kampung padat itu. Yang semuanya Islam. Semuanya Ahmadiyah.
Saya juga diantar ke rumah tempat Mirza Ghulam Ahmad lahir. Dari orang tuanya yang kaya raya --masih keturunan keluarga kerajaan zaman dulu.
Sebenarnya sang ayah kecewa. Kok Mirza tidak mau meneruskan usaha bapaknya. Mirza justru mendalami agama. Sangat intens.
Umur 9 tahun Mirza sudah menguasai soal agama. Ketika muda pun ia sangat sibuk mencari lawan debat. Terutama dari kalangan misionaris Kristen. Yang pusatnya di Kota Ludhiana, sekitar 120 km dari Qadian.
Mirza menjadikan Kota Ludhiana sebagai pusat kegiatan misionarisnya. Termasuk di situlah Mirza membaiat para pengikutnya. Untuk kali pertama.
Di situlah Mirza memproklamasikan prinsip-prinsip keagamaannya. Misalnya: Isa (Yesus) itu memang nabi tapi manusia biasa. Tubuh Isa tidak ditarik ke surga --sebagaimana diyakini dalam Islam maupun Kristen.
Menarik jasad ke surga itu ia anggap tidak masuk akal.
Jenazah Isa itu dikuburkan seperti manusia biasa. Entah di mana dan oleh siapa. Saat itu keadaan kacau.
Mirza terus menantang debat misionaris Kristen. Dengan topik itu. Lama-lama orang Islam juga menentang prinsipnya itu.
Suatu saat Mirza melawat jauh ke Delhi. Nama Mirza sudah terkenal pun sampai ke Delhi.
Di ibu kota itu Mirza pasang iklan: menantang siapa pun untuk berdebat terbuka.
Yang ia tantang ulama Islam. Juga ulama Kristen.
Tempat debatnya Mirza sudah menentukan: di Masjid Jama Old Delhi (DI's Way: Indah Kumuh).
Cara debatnya pun Mirza yang menentukan. Agar tidak terjadi debat kusir. Juga agar tidak ada yang salah dalam mengutip apa yang sudah diucapkan.
Ucapan semua orang di arena itu harus ditulis. Untuk dibacakan. Ada bukti --siapa mengucapkan apa.
Syarat lain: topiknya satu persatu. Satu dulu yang diperdebatankan. Tidak boleh melebar ke topik lain.
Kali pertama itu topiknya soal kematian Isa (Yesus) tadi.
Kian mendekati hari debat suasana kian panas. Terutama dari kalangan Islam.
Mereka tidak mau topik debat dibatasi. Harus juga membahas topik lain: mengapa Mirza menyebut dirinya sebagai nabi.
Padahal, menurut keyakinan Islam, nabi terakhir adalah Muhammad.
Setelah itu memang diyakini akan ada orang hebat yang diturunkan ke bumi. Di akhir zaman nanti. Tapi itu adalah Isa yang diangkat ke surga dulu. Bukan Mirza.
Pro-kontra terjadi. Kian keruh. Di hari perdebatan masa sangat besar. Sulit diatur. Berpotensi bentrok.
Polisi Inggris membubarkan mereka.
Saya juga diajak Saifullah ke masjid pertama. Yang dibangun Mirza di dekat rumah bapaknya.
Awalnya tidak ada yang mau salat. Lingkungan ini semua beragama Sikh. Atau Hindu.
"Makmum pertama Mirza adalah orang yang dibayar untuk mau ikut salat," kata Saifullah.
Lama-lama Islam berkembang di situ. Ayahnya kian khawatir anaknya tidak mau jadi pengusaha.
Di akhir hidupnya sang ayah bangga pada anaknya itu.
Kini sudah ada masjid besar di situ. Dengan menara-menara tinggi.
Saya lantas minta diantar ke komplek pagar tembok panjang itu. Waktu saya sudah habis.
Ternyata itulah komplek makam Mirza Ghulam Ahmad. Suasana di dalamnya seperti Taman Makam Pahlawan. Luas dan indah. Dengan pohon-pohon besar dan taman yang luas.
Di ujung sana ada ribuan makam lain. Itulah para pejuang Ahmadiyah.
Yang dimaksud pejuang adalah termasuk mereka yang mau sedekah 10 persen dari penghasilannya.
Perpuluhan.
Kisah tentang 313 orang yang mempertahankan Qadian sebenarnya sangat dramatik. Tapi apakah pembaca DI's Way mau? (Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/776/313-ahmadiyah
Subscribe to:
Posts (Atom)