Koran Sindo, 30 Agustus 2013
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Dari delapan asnaf (kelompok yang berhak menerima
zakat), satu kelompok yang sering dipermasalahkan haknya untuk menjadi penerima
zakat adalah muallaf atau lengkapnya muallafati
qulubuhum. Secara harfiah muallaf berarti orang yang dilunakkan (hatinya).
Namun secara istilah, kata ini sering dimaknai sebagai mereka yang baru masuk
Islam. Tulisan ini, pertama, ingin mempersoalan definisi umum dari muallaf dan,
kedua, ingin mempertegas hak penerimaan zakat bagi kelompok yang disebut
sebagai muallaf.
Pada zaman
khalifah Umar bin Khattab, khalifah kedua pengganti Nabi Muhammad, zakat untuk
muallaf ini ditiadakan. Alasan dari kebijakan ini adakah karena Umar
berkeyakinan bahwa Islam sudah kuat dan tidak perlu lagi merayu orang lain
untuk masuk Islam atau menjinakkan hati orang yang baru masuk Islam. Dalam
konteks sekarang, golongan muallaf ini juga sering tak diberi zakat jika mereka
berasal dari kelompok yang hidupnya sudah berada.
Jika kita mengikuti
kategori asnaf yang dibuat oleh Amin Suma (Kamil 2003, 66), hak muallaf untuk
menerima zakat itu sebetulnya setara dengan fakir, miskin, dan amil atau
lembaga yang mendistribusikan zakat semisal LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan BAZ
(Badan Amil Zakat). Dalam kategori yang dibuat oleh Amin Suma itu, delapan
asnaf yang disebut dalam Al-Qur’an itu bisa diklasifikasikan menjadi dua
kelompok berdasarkan awalan penyebutannya dalam Al-Qur’an (Q. 9:60; 60:8). Kelompok
pertama adalah mereka yang berawalan “li”
(untuk) dan kelompok kedua adalah mereka yang berawalan “fi” (dalam). Kelompok “li”
terdiri dari fakir, miskin, amil, dan muallaf, sementara kelompok “fi” terdiri dari riqab (budak), gharim
(orang yang terlilit hutang), musafir, dan sabilillah
(untuk berjuang di jalan Allah). Pemberian harta zakat untuk kelompok kedua
ini, menurut Suma, adalah tak sepenting kelompok pertama. Pemberian untuk
mereka hanyalah untuk kemasalahatan saja, bukan sesuatu yang primer.
Jika kita setuju
dengan pengkategorian menjadi dua kelompok itu, pertanyaannya adalah mengapa
pemberian zakat untuk muallaf justru sering dipermasalahkah, bahkah oleh Umar
bin Khattab sekalipun?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sangat penting untuk melihat
kembali definisi tentang muallaf. Apakah muallaf berarti orang yang baru masuk
Islam sebagaimana yang sering dipahami saat ini? Ataukah ia bisa berarti
non-Muslim yang berpotensi masuk Islam? Ataukah ia juga bisa berarti orang
Muslim yang berpotensi keluar dari Islam karena persoalan ekonomi, politik, dan
seterusnya? Ini sebetulnya isu sensitif dalam hubungan antar agama yang ketika
dibuka di ruang publik seperti tulisan ini bisa menyinggung perasaan orang yang
berbeda agama. Namun tulisan ini bertujuan positif untuk membuka aspek
humanisme dari Islam dan karena itu dengan sengaja mendiskusikan isu sensitif
ini di ruang publik.
Seperti disebut di atas, meski secara terminologi yang biasa
dipahami muallaf berarti orang yang baru masuk Islam, tapi secara bahasa makna
muallaf adalah orang yang dilunakkan atau dirayu atau dijinakkan (hatinya). Dalam
konteks harfiah ini maka non-Muslim yang berpotensi masuk Islam dan orang Islam
yang berpotensi keluar dari Islam adalah masuk dalam kategori muallaf. Bahkan
dalam definisi yang dibuat oleh Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud muallaf
adalah “kaum Muslim yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya
atau masuk agamanya dan pemerintahan non-Muslim yang kemungkinan dapat
berafiliasi dengan barisan kaum Muslim” (Kamil 2003, 61).
Apa yang dipaparkan oleh al-Qaradhawi itu menunjukkan bahwa
makna muallaf lebih luas dari sekadar mereka yang baru masuk Islam. Dalam
konteks yang lebih kongkrit di masyarakat Indonesia sekarang, pertanyaannya
adalah, jika kita berpikir sektarian, apakah orang-orang Syi’ah yang terusir
dari rumah dan kampung halamannya di Sampang, Madura, dan orang-orang Ahmadiyah
yang lebih dari tujuh tahun tinggal di Asrama Transito, Mataram, bisa
dikategorikan sebagai muallaf (orang yang perlu dirayu hatinya) dan berhak
menerima zakat? Mereka jelas masuk kategori fakir dan miskin, tapi
lembaga-lembaga zakat di Indonesia, baik LAZ maupun BAZ, enggan memberikan
harta zakat ke mereka karena dianggap orang sesat. Bagaimana kalau cara
berpikirnya dibalik; mereka bukan orang sesat, tapi orang yang perlu dirayu
hatinya atau dianggap sebagai muallaf?
Menurut penuturan orang-orang Ahmadiyah di Transito setahun
yang lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, semua fakir miskin di Mataram
mendapatkan pembagian zakat, kecuali para penghuni Asrama Transito ini. Jika
menengok ayat tentang zakat, definisi tentang fakir-miskin di ayat itu bersifat
umum, tidak dipersempit berdasarkan agamanya. Siapapun dan dari agama apapun yang masuk kategori fakir miskin maka mereka
berhak menerima zakat. Pemahaman seperti ini juga yang dipahami oleh Yusuf
al-Qaradhawi dengan mengacu kepada beberapa pendapat ulama seperti Ibn Sirin,
Ikrimah, Jabir Ibn Zaid, dan sebagainya (Kamil 2003, 60). Jika toh masyarakat
di sekitar Sampang dan Transito menganggap zakat hanya untuk orang Islam,
mengapa tidak dicoba berpikir bahwa orang Syiah dan Ahmadiyah bisa masuk dalam
kategori orang yang perlu dilunakkan hatinya tentang Islam dan karena itu perlu
dibantu dengan harta zakat?
Jawaban yang
berkembang di masyarakat dan disampaikan oleh beberapa ulama dalam menanggapi
persoalan ini ternyata berbeda dari asumsi-asumsi di atas. Rumor yang
berkembang, orang Ahmadiyah di Transito itu meskipun terlihat miskin namun
sebetulnya mereka itu kaya. Mereka memiliki kekayaan dalam lembaga Ahmadiyah yang
berpusat di London dan mereka sudah mendapat bantuan material dari lembaganya. Jadi
mereka tak perlu menerima zakat lagi. Logika ini tentu sulit diterima mengingat
fakir miskin itu lebih dilihat sebagai individu, bukan pada organisasi. Apakah
jika ada warga Muhammadiyah yang miskin lantas dia tak berhak menerima zakat
hanya karena ada anggapan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya? Tentu
saja tidak. Fakir-miskin itu tetap harus menerima zakat apapun afiliasi
organisasinya.
Argumen lain yang
dipakai untuk menolak pemberian zakat kepada orang Ahmadiyah dan Syiah adalah
karena masih banyak orang Islam (Sunni) yang fakir-miskin. Jadi, mereka harus
didahulukan sebelum berpikir tentang orang lain. Cara berpikir seperti ini adalah
rasial dan diskriminatif, hanya mau menolong orang lain jika mereka seagama.
Ini sama dengan cerita umum tentang orang yang mengalami kecelakaan di jalan
raya. Ketika melihat orang mengalami kecelakaan, orang yang diskriminatif akan
bertanya dulu tentang agama orang yang mengalami kecelakaan. “Apakah
anda Muslim? Jika anda Muslim, maka akan saya tolong. Tapi jika anda
non-Muslim, maka akan saya biarkan.” Tentu ini adalah cara berpikir yang tidak
bijaksana dan jauh dari semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Namun sebetulnya cara berpikir bahwa orang Ahmadiyah dan
Syiah sebagai muallaf juga problematik. Cara berpikir seperti ini
mengindikasikan bahwa bantuan yang diberikan tidaklah tulus. Ia hanya bertujuan
agar penerimanya pindah agama. Dan umat Islam Indonesia perlu belajar dari
kemarahannya sendiri ketika melihat orang-orang Islam berpindah agama hanya
karena diberikan indomie oleh misionaris agama lain. Jadi, sebetulnya bantuan,
zakat, dan kegiatan humanitarianisme itu harus ikhlas dan universal, tanpa
pandang agama. Namun daripada tidak memberikan sama sekali kepada orang
Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi fakir-miskin, maka memasukkan mereka sebagai
kategori muallaf adalah langkah yang perlu dipertimbangkan.
-oo0oo-
*Aktivis Muhammadiyah & Doktor dari Univ. Califonia,
Santa Barbara.
http://www.koran-sindo.com/node/319664
No comments:
Post a Comment