Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika
Ada satu hadits bernada murung yang cukup populer di kalangan kaum
muslim: “umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang
berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”
Ramalan Nabi dalam hadits tersebut terasa murung bukan hanya karena
perpecahan umat ke dalam beragam aliran digambarkan sebagai sesuatu yang
tak terelakkan, melainkan juga karena sebagian besar dari mereka oleh
hadits tersebut divonis sesat dan bakal masuk neraka. Hanya satu
kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga.
Dalam
hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa satu
kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya membuka
peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai
satu-satunya kelompok yang selamat.
Kosekuensi logisnya,
mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi
dalam ranah teologi Islam, di mana aliran-aliran yang saling bertikai
kerap melempar tuduhan kafir satu sama lain.
Yang paling
terkenal adalah sekte khawarij yang mengaku sebagai para pembela Islam
yang hendak menegakkan kedaulatan hukum Allah (dengan slogannya la hukma
illa lillah-tidak ada hukum kecuali hukum Allah), tapi ujung-ujungnya
mengkafirkan kubu Ali bin Abu Thalib maupun kubu Mu'awiyah bin Abu
Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin, yang berarti mengkafirkan
mayoritas sahabat Nabi.
Di mata kaum khawarij, kedua kubu
tesrebut telah keluar dari Islam karena menempuh arbitrase demi
mengakhiri perang saudara di antara mereka. Dan arbitrase (tahkim)
semacam ini dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia,
bukan aturan Allah, suatu bentuk kekufuran di mata kaum khawarij.
Di masa sekarang, kaum Wahhabi tak segan-segan menuduh muslim lain yang
tidak mengikuti ajaran tauhid mereka sebagai telah jatuh dalam
kemusyrikan.
Singkat kata, ramalan Nabi dalam hadits di atas
secara selintas justru terkesan menjadi dalil pembenar bagi intoleransi
antar sesama muslim dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul
kesan selintas ini?
Kalau yang kita tanya Imam al-Ghazali,
barangkali ia akan dengan tegas menjawab tidak betul. Dalam traktat
tipisnya, Faysal al Tafriqah baina al-Muslim wa al-Zandaqoh, Al-Ghazali
membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan di atas menyuburkan
intoleransi dan eksklusivisme dalam berislam dengan sejumlah alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam
yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang
langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan
kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian”
dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga.
Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya
akan terselamatkan semua di akhirat. Alasan kedua, hadits di atas
bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain
yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya
begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan, semuanya
selamat kecuali satu kelompok.”
Al-Ghazali selanjutnya
berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya
tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan
kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut
kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di
luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar
cabang-cabang agama (furu’), yang apabila seorang muslim menyangkalnya
sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Al-Ghazali di sini
sebenarnya hendak mengatakan bahwa hampir semua pertikaian pendapat
dalam soal-soal teologi antara kaum mu’tazilah yang rasionalis versus
ahlul hadits yang tesktualis, atau antara kaum Sunni dan Syi’ah, adalah
pertikaian soal-soal sekunder yang masih dalam koridor keIslaman.
Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut tidak menjadikan mereka
sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar ranah toleransinya,
apalagi dalam soal syari’ah dan fiqh.
Pandangan Al-Ghazali ini
menarik karena ia membalikkan nada murung ramalan Nabi dalam hadits di
atas menjadi lebih rileks dan cerah. Keragaman aliran Islam diterima
sebagai rahmat, bukan kutukan. Selama mereka masih percaya pada tiga
pilar iman di atas, maka silang pendapat di antara mereka tidak akan
menjerumuskannya ke dalam kekafiran.
Spirit toleransi yang
disuarakan Al-Ghazali ini tampaknya diamini dan bahkan diperluas oleh
Muhammad Abduh. Abduh menulis dalam kitabnya Al-Islam wa
al-Nashraniyyah: “apabila seorang muslim menyatakan satu pendapat yang
kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satu sisi saja
yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap
sebagai kafir.”
Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang.
Dimuat di KORAN TEMPO, 3/8/2011
Blog kamu sangat bagus, saya harap ada improvisasi, dan perkembangan berlanjut untuk kedepannya, jazakumullah :)
ReplyDelete