Menengok Masjid Jawa di Bangkok
Benny Rhamdani
Tidak berasa di Bangkok. Foto: benny rhamdani |
Setiap kali berkunjung
ke luar negeri, saya selalu mencari masjid. Begitu pula ketika
bertandang ke Bangkok, Thailand. Setelah menelusuri di Internet,
ternyata dari tempat saya tinggal di Lumphini, bisa mendatangi masjid
Jawa hanya 10 menit dengan naik taksi. Maka Jumat dini hari, saya keluar
hotel dan mencari taksi menuju Masjid Jawa. Warga Bangkok biasa menyebut masjid dengan nama hong lamat muslim atau surau.
Letak Masjid Jawa di distrik Sathorn Jalan Soi Rangnamkeang 707, Yanawa. Setelah turun dekat tangga stasiun BTS Surasak, saya berbelok ke jalan yang lebih kecil menuju kawasan perkampungan penduduk. Begitu mentok, saya belok ke kanan, masuk gang yang tak bisa dilalui mobil. Saat itulah saya mendengar syahdunya azan subuh. Pencarian mencari pun menjadi lebih mudah.
Rasanya lega ketika menemukan bangunan masjid dengan desain jawa klasik berukuran
12 x 12 meter. Seperti pada bangunan rumah jawa pada umumnya, masjid
ini juga masih menggunakan saka guru (empat tiang penyangga) yang
menopang atap .
Saya pun berwudlu di
deretan keran yang disertai tempat duduk. Di serambi terdapat 4 pintu
yang terbuat dari jeruji besi. Begitu masuk ke dalam masjid, hati saya
terasa teduh. Senang rasanya berada di dalam masjid di kota yang
mayoritas penduduknya bukan muslim.
Setelah cukup lama
menunggu jemaah, akhirnya suara qomat berkumandang. Jemaah hanya ada dua
baris. Itu pun terdiri dari orang dewasa dan lima anak-anak. Tidak
tampak remaja yang ikut shalat subuh. Karena saat itu adalah hari
Jum’at, imam membaca surat dengan ayat sajadah, sehingga kami pun
melakukan sujud tambahan di awal. Di itidal terakhir, imam pun membaca
qunut.
Usai shalat, saya
ditawari minum kopi oleh penjaga masjid. Tapi dengan berat hati saya
menolak karena harus segera bergegas menuju ke tempat lainnya.
Kampung Jawa
Masjid jawa yang
dijadikan tempat ibadah sekaligus belajar dan mengajar ilmu agama islam
di bangkok,khususnya seperti bulan ramadhan seperti waktu ini selalu
ramai dikunjungi, lokasinya berada di Kampung Jawa dengan ribuan
penduduk dari etnik jawa yang masih punya ikatan darah atau leluhur di
pulau jawa.
Menurut informasi yang saya dapatkan, setelah Raja Chulalongkorn (Rama V) mengunjungi Jawa sekitar tahun 1901 dan tertarik dengan sebuah taman di Jawa. Rama
V membawa beberapa orang untuk dibuatkan taman di istananya. Dan
kampung jawa yang sekarang dihuni oleh ribuan orang jawa itu adalah anak
cucu generasi kesekian dari orang jawa pertama yang dibawa oleh Raja
Chulalongkorn ke bangkok thailand. Dan sejarah ini dibuktikan dengan
peninggalan gajah hitam Raja Rama v yang sekarang jadi nama museum gajah
yang berada di Jakarta.
Versi lain
menyebutkan, penduduk Jawa dibawa tentara jepang untuk bekerja di
perkebunan Thailand. Entah mana yang benar, ketika saya konfirmasi ke
warga setempat pun tidak tahu.
Penduduk Jawa itu
kemudian mendirikan masjid yang tanahnya merupakan wakaf dari Almarhum
Haji Muhammad Shaleh. Akad wakaf tercatat pada 16 Juni 2440 diberikan
pada masyarakat muslim pada umumnya. Ameen Mudpongtua, imam Masjid Jawa
menjelaskan, masjid itu terbuka bagi siapa saja meski berada di
tengah-tengah kampung Jawa.
Saya sendiri sempat
dihampiri seorang jemaah, bertanya kepada saya dalam bahasa Indonesia.
Dia menyebutkan tanah leluhurnya berasal dari Klaten, jawa tengah. Tapi
dia mengaku sudah tidak bisa berbahasa jawa. Jemaah lainnya bernama
Billy, malah lancer berbahasa Sunda. Ternyata, dia warga kampong Jawa
yang sempat kuliah di ITB, Bandung, dan tinggal di Bekasi. Sekejap saya
benar-benar lupa sedang berada di Bangkok.
Kegiatan di Masjid
Jawa, tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Selain ibadah wajib,
seperti salat lima waktu dan salat Jumat, juga ada pengajian dan
pembagian zakat. Setiap hari selepas salat Magrib, giliran anak-anak
yang belajar mengaji. Di depan masjid terdapat sebuah madrasah.
Bangunannya berlantai dua dengan ruangan terbuka. Biasanya, waktu
belajar dari jam 19.00 hingga 20.00. Pesertanya adalah anak-anak dan
remaja.
Selain itu, di
seberang jalan, terdapat area pemakaman muslim yang mampu menampung
sekitar seribu makam. Masjid Jawa memang khas Jawa. Selain bangunan dan
beberapa perangkatnya, rumah-rumah yang ada di sekitarnya juga mirip
perkampungan Kauman yang biasanya terletak di sekitar masjid besar di
Jawa.
Yang menarik, di
perkampungan itu juga tinggal salah satu keluarga besar dari KH Ahmad
Dahlan. Dia adalah tokoh pembaharu Islam asal Jogja yang mendirikan
Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Dia adalah
Walidah Dahlan yang merupakan anak dari almarhum Irfan Dahlan, anak
kelima KH Ahmad Dahlan.
Rencananya saya ingin
bertamu ke sana. Tapi karena masih terlalu pagi, saya urungkan niat
saya. Semoga pada kunjungan berikutnya ke Masjid jawa ini, saya bisa
bertandang ke rumah keturunan KH Ahmad Dahlan.
(Benny Rhamdani, penejalajah tinggal di Bandung)
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/04/20/menengok-masjid-jawa-di-bangkok-548358.html
Berita Terkait:
Menengnok Masjid Jawa di Bangkok
http://melayuonline.com/eng/news/read/7800/menengok-masjid-jawa-di-bangkok
Fom: http://travel.okezone.com/read/2011/02/09/409/423101/menengok-komunitas-jawa-di-bangkok
Berita Terkait:
Menengnok Masjid Jawa di Bangkok
http://melayuonline.com/eng/news/read/7800/menengok-masjid-jawa-di-bangkok
Fom: http://travel.okezone.com/read/2011/02/09/409/423101/menengok-komunitas-jawa-di-bangkok
No comments:
Post a Comment