November 2009 lalu, forum pengajian mahasiswa muslim Indonesia yang sedang belajar di Thailand (Ngaji-khun) berkolaborasi dengan Majelis Taklim KBRI Bangkok mengadakan semacam kuliah terbuka bertema Halal Food in Thailand. Yang menarik adalah bahwa pemberi materi kuliah terbuka ini adalah Assoc. Prof. Dr. Winai Dahlan yang adalah cucu pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan. Saat ini Khun Winai Dahlan menjabat Direktur Halal Science Center,
Chulalongkorn University di Bangkok. Posting ini bukan orisinil tulisan
saya tapi merupakan kutipan berita dari media yang bercerita tentang
profil Khun Winai Dahlan. Posting ini juga sebagai informasi bahwa ada
keturunan tokoh besar Indonesia yang tinggal di Thailand dan mengambil
peran kunci dalam urusan halal-nonhalal (tak cuma makanan) tak hanya di
Thailand, tapi juga dunia.
Sumber:
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Metropolis&id=154818
Kakek Pendiri Muhammadiyah, Cucu Pendiri Riset Halal
Di tengah sulitnya mencari makanan yang tidak mengandung babi di Bangkok, ternyata di ibu kota
Thailand terdapat pusat riset makanan halal yang diklaim sebagai yang pertama dan terbesar di dunia. Yang menarik, pusat riset itu didirikan Winai Dahlan, cucu pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
SELAIN menyaksikan langsung dinamika konflik di Thailand Selatan dengan mengunjungi Pattani, Yala, dan Narathiwat, Jawa Pos berkesempatan mengenal tokoh-tokoh intelektual muslim di Negeri Gajah Putih itu. Salah satu yang mengundang penasaran adalah saat diperkenalkan takmir Masjid Akbar Yala dengan keluarga Ahmad Dahlan, tokoh pembaru Islam asal Jogjakarta yang mendirikan Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Dalam acara silaturahmi yang diadakan takmir Masjid Yala pada Senin (24/3) sore itu, hadir puluhan undangan, mulai pengusaha, nelayan, dokter, hingga guru sekolah di sana. Namun, saat Ketua Takmir Masjid Yala Mokhtar Hadi menyebut nama Phaisal Dahlan, dosen Yala University, Jawa Pos langsung tertarik. Sebab, Mokhtar menyebut Phaisal berasal dari keluarga tokoh muslim terpandang di Indonesia, KH Ahmad Dahlan.
Usai acara, Jawa Pos langsung mendekat dan memperkenalkan diri kepada Phaisal yang murah senyum itu. Phaisal ternyata tidak bisa berbahasa Melayu. Dia hanya menguasai bahasa Siam dan Inggris. Karena itu, perbincangan sambil makan malam pun terjadi. Yang langsung ditanyakan Jawa Pos adalah bagaimana keturunan KH Ahmad Dahlan bisa bermukim di Thailand.
Menurut Phaisal, ayahnya, almarhum Irfan Dahlan -anak keempat KH Ahmad Dahlan- dikirim belajar ke luar negeri sejak muda. Sepulang dari belajar di Lahore, Pakistan, sekitar 1940-an, Irfan tidak dapat masuk ke Indonesia karena situasi politik yang tidak memungkinkan. Sebab, saat itu Lautan Hindia menjadi medan tempur Perang Dunia II antara sekutu dan Jepang.
“Maka, bapak kami (Irfan Dahlan, Red) memutuskan untuk tinggal di Thailand, membangun keluarga di sana, dan dikarunia sepuluh anak,” kata Phaisal.
Irfan adalah anak KH Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah yang dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri pergerakan Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mempunyai enam orang anak. Yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
Meski tidak bermukim di tanah air, Irfan Dahlan aktif mengembangkan dakwah dan selalu mendorong anak-anaknya tetap memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam.
“Jadi, tidak masalah di Thailand atau Indonesia, kita bisa memberikan apa yang kita mampu bagi dunia muslim,” ujar Phaisal, mengutip pesan mendiang ayahnya. Kini seluruh keturunan keluarga Irfan Dahlan sudah menjadi warga negara Thailand.
Phaisal juga merekomendasikan agar Jawa Pos menjumpai kakaknya, Winai Dahlan, yang mengepalai The Halal Science Center di Chulalongkorn University, Bangkok. Perjanjian lewat telepon pun dibuat saat itu juga. Namun, sayang, saat dihubungi, Winai mengatakan akan berangkat ke Paris, Prancis. Dia mendapat tugas dari pemerintah menghadiri konferensi tentang makanan halal dan baru balik ke Bangkok awal April.
Dengan ramah, Winai meminta Jawa Pos tidak kecewa dan menyarankan agar mengirimkan daftar pertanyaan tentang Halal Center ke email-nya. “Saya akan menjawab pertanyaan Anda semampu saya dari Paris,” ujarnya.
Winai juga mempersilakan datang ke Laboratorium Halal Science Center di Chulalongkorn University, Bangkok. “Saya akan meminta kepala laboratorium di sana untuk mewakili saya mengantar Anda melihat fasilitas dan menjelaskan semua hal tentang Halal Center,” tambahnya.
Kunjungan itu pun akhirnya terjadi pada Kamis (27/3) siang lalu, sekitar pukul 11.30. Jawa Pos langsung disambut hangat oleh Sirichai Adisakwattana, kepala Laboratorium Halal Center. Seperti sudah diberi tahu oleh Winai, Sirichai langsung mengajak Jawa Pos meninjau fasilitas pusat riset halal.
Gedung dua lantai di samping pintu masuk kampus Chulalongkorn University itu sarat dengan peralatan yang modern dan canggih untuk mengidentifikasi status makanan apakah halal atau tidak. Sirichai dengan didampingi para staf berbahasa Melayu pun menjelaskan secara singkat latar belakang berdirinya pusat kajian halal tersebut. “Pusat kajian halal ini didirikan pada 2005 untuk menganalisis tentang halal dan najis dengan instrumen ilmiah,” jelas periset 35 tahun yang baru sebulan lalu menikah itu.
Selanjutnya, Jawa Pos diajak ke ruangan berukuran 4 x 6 meter, tempat alat berbentuk kotak dengan monitor dan panel yang menyatu seperti komputer ukuran jumbo zaman dahulu. Alat yang bernama Gas Chromatography Coupled with Mass Spectrometry (GC-MS) itu mampu mengetahui kandungan organik yang terdapat dalam makanan.
“Selain itu, alat ini mampu mengidentifikasi kandungan lemak yang ada dalam makanan sampai spesifik di ukuran milimikron,” jelasnya.
Dengan GC-MS, lemak dari binatang haram, seperti babi, bisa diketahui secara jelas. “Objek penelitian kami adalah molekul organik dalam makanan yang tidak dapat dianalisis oleh GC analisis konvensional,” kata Sirichai dengan bahasa Inggris fasih.
Lalu, Jawa Pos diajak mengunjungi ruangan yang berisi alat untuk menguji apakah suatu makanan atau minuman mengandung alkohol. Alat berupa tabung mirip rice cooker itu diberi nama Gas-Liquid Chromatography (GLC). “Alat ini mampu menganalisis kandungan kimia yang kompleks seperti alkohol,” terang Sirichai.
Satu lagi alat yang ditunjukkan Sirachai adalah Liquid Chromatography. Kotak yang di salah satu sudutnya berongga untuk tempat pipet sampel uji coba itu mampu menganalisis kandungan peptin, sakarin, atau pemanis buatan yang terdapat dalam makanan.
Di Halal Center bukan hanya potensi barang haram dan najis dalam makanan dan minuman yang diteliti. Alat untuk menganalisis kandungan merkuri yang terdapat dalam kosmetik atau sabun pun tersedia. Namanya, Inductively Coupled Plasma Spectrometry.
Sedangkan alat termahal dan tercanggih di Halal Center berada di ruangan lantai II yang hanya berukuran 3 x 3 meter. Harganya, menurut Sirichai, USD 8 juta atau sekitar Rp 73,6 miliar. Alat yang dinamakan Real Time Polymerase Chain Reaction itu mampu menganalisis DNA binatang dalam produk makanan, apakah berasal dari babi, sapi, atau bebek.
Alat termahal berikutnya adalah Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) yang digunakan untuk menganalisis produk. Terutama yang mengandung minyak, seperti minyak babi. “Alat yang menggunakan teknik inframerah ini merupakan cara yang murah dan cepat untuk mengidentifikasi material organik. Sebuah produk Anda bawa ke sini, sejam kemudian bisa kami sebutkan material organiknya secara rinci,” jelasnya. Dia menambahkan, harga FTIR saat diimpor dari Jerman tahun lalu USD 5 juta atau Rp 46 miliar.
Seluruh biaya pengadaan alat laboratorium dan fasilitas gedung itu, kata Surachai, bantuan dermawan dari negera-negara muslim di seluruh dunia, khususnya Timur Tengah. “Sebagian lagi berasal dari pemerintah Kerajaan Thailand. Bahkan, tahun depan kami akan mendapatkan gedung baru dua lantai yang lebih besar di depan kampus,” tuturnya.
The Halal Science Center menyediakan 15 periset muda yang berusia 21-35 tahun. Meskipun hasil penelitian sangat bermanfaat bagi masyarakat muslim, tidak semua peneliti beragama Islam. “Ada dua periset yang nonmuslim, termasuk saya yang beragama Buddha,” ungkap Surachai yang membuat kaget Jawa Pos.
Surachai termotivasi bergabung dengan Dr Winai Dahlan karena tertarik dengan manfaat riset halal yang dilakukan seniornya. “Saya menjadi tahu bahwa halal adalah inti dari sehat. Jika kita konsisten mengonsumsi produk halal, kita pasti juga sehat,” terangnya.
Selain periset tetap, Halal Science Center juga menjadi lokasi kerja praktik periset dari mancanegara. “Kami sedang memberikan training kepada mahasiswa dari Malaysia dan serta perwakilan enam provinsi di Thailand,” ungkapnya.
Dengan sumber daya tersebut, Halal Science Center Chulalongkorn University, Bangkok, telah mengkaji lebih dari dua ribu produk yang direkomendasikan untuk dimintakan fatwa Majelis Ulama setempat. “Selain itu, kerja sama dengan lembaga sejenis dan perusahaan telah dilakukan untuk memajukan pangsa pasar makanan halal di dunia,” tambah Surachai.
Sementara itu, Dr Winai Dahlan mengatakan, upayanya mendirikan Halal Center hanya sebagian di antara cara untuk memajukan dunia Islam “Saya berpikir, apa yang bisa saya buat untuk dunia Islam dengan ilmu yang dianugerahkan kepada saya,” tulis Winai dalam email-nya. Winai mengaku tidak menyangka bahwa dengan pemikiran sederhana itu, pusat kajian yang didirikannya menjadi pusat kajian pertama dan terbesar di dunia.
Winai yang juga menjabat dekan Fakultas Ilmu Kesehatan di Chulalongkorn University mengatakan mendapat dukungan penuh Kerajaan Thailand setelah berhasil menunjukkan besarnya potensi ekonomi produk halal di Thailand dan pasar global.
“Populasi muslim di Thailand terus tumbuh rata-rata 12,47 persen pada 2000-2007. Dari sini muncul potensi pasar hingga 11 miliar baht (Rp 3,3 triliun),” ujar Winai yang mengaku sudah tidak bisa berbahasa Melayu itu.
Tidak hanya di dalam negeri Thailand. Pasar produk halal juga terus meluas di mancanegara. “Selain pasar yang pasti (captive market) yang berjumlah 1,9 miliar populasi muslim dunia, produk halal merambah Eropa dan AS,” ujarnya.
Dia juga mengaku telah merintis kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia untuk mewujudkan Halal Science Center di tanah air kakeknya. “Kami aktif menjalin kontak dengan IPB dan Universitas Hasanuddin. Kami berharap, Halal Center juga berkembang di Indonesia dan negara-negara muslim lain di seluruh dunia,” katanya.
http://papayapokpok.wordpress.com/2010/02/24/winai-dahlan-direktur-the-halal-science-center-di-chulalongkorn-university-bangkok-cucu-k-h-ahmad-dahlan-pendiri-muhammadiyah/
Sumber:
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Metropolis&id=154818
Kakek Pendiri Muhammadiyah, Cucu Pendiri Riset Halal
Di tengah sulitnya mencari makanan yang tidak mengandung babi di Bangkok, ternyata di ibu kota
Thailand terdapat pusat riset makanan halal yang diklaim sebagai yang pertama dan terbesar di dunia. Yang menarik, pusat riset itu didirikan Winai Dahlan, cucu pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
SELAIN menyaksikan langsung dinamika konflik di Thailand Selatan dengan mengunjungi Pattani, Yala, dan Narathiwat, Jawa Pos berkesempatan mengenal tokoh-tokoh intelektual muslim di Negeri Gajah Putih itu. Salah satu yang mengundang penasaran adalah saat diperkenalkan takmir Masjid Akbar Yala dengan keluarga Ahmad Dahlan, tokoh pembaru Islam asal Jogjakarta yang mendirikan Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Dalam acara silaturahmi yang diadakan takmir Masjid Yala pada Senin (24/3) sore itu, hadir puluhan undangan, mulai pengusaha, nelayan, dokter, hingga guru sekolah di sana. Namun, saat Ketua Takmir Masjid Yala Mokhtar Hadi menyebut nama Phaisal Dahlan, dosen Yala University, Jawa Pos langsung tertarik. Sebab, Mokhtar menyebut Phaisal berasal dari keluarga tokoh muslim terpandang di Indonesia, KH Ahmad Dahlan.
Usai acara, Jawa Pos langsung mendekat dan memperkenalkan diri kepada Phaisal yang murah senyum itu. Phaisal ternyata tidak bisa berbahasa Melayu. Dia hanya menguasai bahasa Siam dan Inggris. Karena itu, perbincangan sambil makan malam pun terjadi. Yang langsung ditanyakan Jawa Pos adalah bagaimana keturunan KH Ahmad Dahlan bisa bermukim di Thailand.
Menurut Phaisal, ayahnya, almarhum Irfan Dahlan -anak keempat KH Ahmad Dahlan- dikirim belajar ke luar negeri sejak muda. Sepulang dari belajar di Lahore, Pakistan, sekitar 1940-an, Irfan tidak dapat masuk ke Indonesia karena situasi politik yang tidak memungkinkan. Sebab, saat itu Lautan Hindia menjadi medan tempur Perang Dunia II antara sekutu dan Jepang.
“Maka, bapak kami (Irfan Dahlan, Red) memutuskan untuk tinggal di Thailand, membangun keluarga di sana, dan dikarunia sepuluh anak,” kata Phaisal.
Irfan adalah anak KH Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah yang dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri pergerakan Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mempunyai enam orang anak. Yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
Meski tidak bermukim di tanah air, Irfan Dahlan aktif mengembangkan dakwah dan selalu mendorong anak-anaknya tetap memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam.
“Jadi, tidak masalah di Thailand atau Indonesia, kita bisa memberikan apa yang kita mampu bagi dunia muslim,” ujar Phaisal, mengutip pesan mendiang ayahnya. Kini seluruh keturunan keluarga Irfan Dahlan sudah menjadi warga negara Thailand.
Phaisal juga merekomendasikan agar Jawa Pos menjumpai kakaknya, Winai Dahlan, yang mengepalai The Halal Science Center di Chulalongkorn University, Bangkok. Perjanjian lewat telepon pun dibuat saat itu juga. Namun, sayang, saat dihubungi, Winai mengatakan akan berangkat ke Paris, Prancis. Dia mendapat tugas dari pemerintah menghadiri konferensi tentang makanan halal dan baru balik ke Bangkok awal April.
Dengan ramah, Winai meminta Jawa Pos tidak kecewa dan menyarankan agar mengirimkan daftar pertanyaan tentang Halal Center ke email-nya. “Saya akan menjawab pertanyaan Anda semampu saya dari Paris,” ujarnya.
Winai juga mempersilakan datang ke Laboratorium Halal Science Center di Chulalongkorn University, Bangkok. “Saya akan meminta kepala laboratorium di sana untuk mewakili saya mengantar Anda melihat fasilitas dan menjelaskan semua hal tentang Halal Center,” tambahnya.
Kunjungan itu pun akhirnya terjadi pada Kamis (27/3) siang lalu, sekitar pukul 11.30. Jawa Pos langsung disambut hangat oleh Sirichai Adisakwattana, kepala Laboratorium Halal Center. Seperti sudah diberi tahu oleh Winai, Sirichai langsung mengajak Jawa Pos meninjau fasilitas pusat riset halal.
Gedung dua lantai di samping pintu masuk kampus Chulalongkorn University itu sarat dengan peralatan yang modern dan canggih untuk mengidentifikasi status makanan apakah halal atau tidak. Sirichai dengan didampingi para staf berbahasa Melayu pun menjelaskan secara singkat latar belakang berdirinya pusat kajian halal tersebut. “Pusat kajian halal ini didirikan pada 2005 untuk menganalisis tentang halal dan najis dengan instrumen ilmiah,” jelas periset 35 tahun yang baru sebulan lalu menikah itu.
Selanjutnya, Jawa Pos diajak ke ruangan berukuran 4 x 6 meter, tempat alat berbentuk kotak dengan monitor dan panel yang menyatu seperti komputer ukuran jumbo zaman dahulu. Alat yang bernama Gas Chromatography Coupled with Mass Spectrometry (GC-MS) itu mampu mengetahui kandungan organik yang terdapat dalam makanan.
“Selain itu, alat ini mampu mengidentifikasi kandungan lemak yang ada dalam makanan sampai spesifik di ukuran milimikron,” jelasnya.
Dengan GC-MS, lemak dari binatang haram, seperti babi, bisa diketahui secara jelas. “Objek penelitian kami adalah molekul organik dalam makanan yang tidak dapat dianalisis oleh GC analisis konvensional,” kata Sirichai dengan bahasa Inggris fasih.
Lalu, Jawa Pos diajak mengunjungi ruangan yang berisi alat untuk menguji apakah suatu makanan atau minuman mengandung alkohol. Alat berupa tabung mirip rice cooker itu diberi nama Gas-Liquid Chromatography (GLC). “Alat ini mampu menganalisis kandungan kimia yang kompleks seperti alkohol,” terang Sirichai.
Satu lagi alat yang ditunjukkan Sirachai adalah Liquid Chromatography. Kotak yang di salah satu sudutnya berongga untuk tempat pipet sampel uji coba itu mampu menganalisis kandungan peptin, sakarin, atau pemanis buatan yang terdapat dalam makanan.
Di Halal Center bukan hanya potensi barang haram dan najis dalam makanan dan minuman yang diteliti. Alat untuk menganalisis kandungan merkuri yang terdapat dalam kosmetik atau sabun pun tersedia. Namanya, Inductively Coupled Plasma Spectrometry.
Sedangkan alat termahal dan tercanggih di Halal Center berada di ruangan lantai II yang hanya berukuran 3 x 3 meter. Harganya, menurut Sirichai, USD 8 juta atau sekitar Rp 73,6 miliar. Alat yang dinamakan Real Time Polymerase Chain Reaction itu mampu menganalisis DNA binatang dalam produk makanan, apakah berasal dari babi, sapi, atau bebek.
Alat termahal berikutnya adalah Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) yang digunakan untuk menganalisis produk. Terutama yang mengandung minyak, seperti minyak babi. “Alat yang menggunakan teknik inframerah ini merupakan cara yang murah dan cepat untuk mengidentifikasi material organik. Sebuah produk Anda bawa ke sini, sejam kemudian bisa kami sebutkan material organiknya secara rinci,” jelasnya. Dia menambahkan, harga FTIR saat diimpor dari Jerman tahun lalu USD 5 juta atau Rp 46 miliar.
Seluruh biaya pengadaan alat laboratorium dan fasilitas gedung itu, kata Surachai, bantuan dermawan dari negera-negara muslim di seluruh dunia, khususnya Timur Tengah. “Sebagian lagi berasal dari pemerintah Kerajaan Thailand. Bahkan, tahun depan kami akan mendapatkan gedung baru dua lantai yang lebih besar di depan kampus,” tuturnya.
The Halal Science Center menyediakan 15 periset muda yang berusia 21-35 tahun. Meskipun hasil penelitian sangat bermanfaat bagi masyarakat muslim, tidak semua peneliti beragama Islam. “Ada dua periset yang nonmuslim, termasuk saya yang beragama Buddha,” ungkap Surachai yang membuat kaget Jawa Pos.
Surachai termotivasi bergabung dengan Dr Winai Dahlan karena tertarik dengan manfaat riset halal yang dilakukan seniornya. “Saya menjadi tahu bahwa halal adalah inti dari sehat. Jika kita konsisten mengonsumsi produk halal, kita pasti juga sehat,” terangnya.
Selain periset tetap, Halal Science Center juga menjadi lokasi kerja praktik periset dari mancanegara. “Kami sedang memberikan training kepada mahasiswa dari Malaysia dan serta perwakilan enam provinsi di Thailand,” ungkapnya.
Dengan sumber daya tersebut, Halal Science Center Chulalongkorn University, Bangkok, telah mengkaji lebih dari dua ribu produk yang direkomendasikan untuk dimintakan fatwa Majelis Ulama setempat. “Selain itu, kerja sama dengan lembaga sejenis dan perusahaan telah dilakukan untuk memajukan pangsa pasar makanan halal di dunia,” tambah Surachai.
Sementara itu, Dr Winai Dahlan mengatakan, upayanya mendirikan Halal Center hanya sebagian di antara cara untuk memajukan dunia Islam “Saya berpikir, apa yang bisa saya buat untuk dunia Islam dengan ilmu yang dianugerahkan kepada saya,” tulis Winai dalam email-nya. Winai mengaku tidak menyangka bahwa dengan pemikiran sederhana itu, pusat kajian yang didirikannya menjadi pusat kajian pertama dan terbesar di dunia.
Winai yang juga menjabat dekan Fakultas Ilmu Kesehatan di Chulalongkorn University mengatakan mendapat dukungan penuh Kerajaan Thailand setelah berhasil menunjukkan besarnya potensi ekonomi produk halal di Thailand dan pasar global.
“Populasi muslim di Thailand terus tumbuh rata-rata 12,47 persen pada 2000-2007. Dari sini muncul potensi pasar hingga 11 miliar baht (Rp 3,3 triliun),” ujar Winai yang mengaku sudah tidak bisa berbahasa Melayu itu.
Tidak hanya di dalam negeri Thailand. Pasar produk halal juga terus meluas di mancanegara. “Selain pasar yang pasti (captive market) yang berjumlah 1,9 miliar populasi muslim dunia, produk halal merambah Eropa dan AS,” ujarnya.
Dia juga mengaku telah merintis kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia untuk mewujudkan Halal Science Center di tanah air kakeknya. “Kami aktif menjalin kontak dengan IPB dan Universitas Hasanuddin. Kami berharap, Halal Center juga berkembang di Indonesia dan negara-negara muslim lain di seluruh dunia,” katanya.
http://papayapokpok.wordpress.com/2010/02/24/winai-dahlan-direktur-the-halal-science-center-di-chulalongkorn-university-bangkok-cucu-k-h-ahmad-dahlan-pendiri-muhammadiyah/
No comments:
Post a Comment