Friday, September 23, 2011

Anak Ahmadiyah di Pengungsian Transito

Peace Dika (Foto: Yohana Purba)

Peace Dika (Foto: Yohana Purba)

KBR68H, Wednesday, 06 April 2011 09:59 Yohana Purba

KBR68H, Lombok - Belasan anak lahir di Asrama Transito, sejak orangtua mereka dipaksa mengungsi ke sana. Karena mereka Ahmadiyah. Pada 2007 lalu KBR68H mengangkat cerita soal Transita dan Transiti yang lahir di Transito. Bagaimana kabar mereka sekarang? Bagaimana pula orangtua lain mengasuh anak-anak mereka di tempat pengungsian dengan fasilitas yang serba terbatas? Reporter KBR68H Johana Purba mencari lagi kedua bocah ini, juga berbincang dengan anak-anak lainnya.

Munikah tengah menimang bayinya yang gelisah karena cuaca begitu panas. Sesekali bayi digendongannya itu menangis. Perempuan berkerudung biru itu adalah salah satu penghuni Asrama Transito di Mataram, NTB.

Di samping Munikah, Transita Sinta Nuriyah tampak tenang. Balita 3 tahun itu sibuk bermain dengan kertas gambarnya. Sinta yang kurus dan berkulit hitam ini jarang tersenyum meski sudah diberikan sebatang cokelat. Kata Munikah, Sinta memang bukan anak yang periang.

“Kebetulah dia lahir di dalam Transito, di ruangan Transito, makanya dia kasih nama Transita. Trus itu bertepatan dia lahir di dalam Transito, kebetulan Ibu Gus Dur datang ke sini, waktu puasa mungkin, sudah datang Ibu Gus Dur. Terus pas lahir dia lahir dua hari setelah Lebaran. Makanya itu dia dikasih nama panjang sekali”, kata Munikah mengawali ceritanya.

Munikah beserta suami dan tiga anaknya tinggal di bilik bagian depan asrama seluas lapangan bola ini. Transita alias Sinta, lahir tiga tahun lalu di sini. Asrama Transito sejak 2006 menjadi rumah bagi 30-an keluarga Jemaat Ahmadiyah yang terusir dari kampung mereka di Desa Ketapang.

Hidup Serba Pas-pasan

Cat warna krem di asrama ini sudah tampak kusam. Setiap keluarga menempati bilik, yang dibatasi kain, tripleks atau karton. Dalam setiap bilik ada dipan, meja, lemari, layaknya rumah mini. Penerangan hanya berasal dari cahaya alami lewat jendela, atau lampu pijar ukuran 5 watt. Listrik hanya menyala di malam hari. Seluruh penghuni asrama harus berbagi kamar mandi yang terletak di belakang asrama. Tanpa lampu.

Ahmadi kecil disela kaki ibundanya (Foto: Yohana Purba)

Ahmadi kecil disela kaki ibundanya (Foto: Yohana Purba)

Teman sebaya Sinta, namanya Transiti Mariam Sidikah, disapa Dikah. Putri ketiga pasangan Sahidin dan Ida Masnah lahir di tahun yang sama, setahun sejak diusir dari kampung sendiri. Mereka adalah generasi pertama anak yang lahir di pengungsian.

Perawakan Dikah kecil dan kurus, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Kata Sahidin, sulit membesarkan anak di asrama ini. Jangankan soal sandang, soal pangan dan gizi saja sulit dipenuhi Sahidin.

“Terus terang aja dia enggak pernah minum susu. Cuma itu, nasi saja. Tidak pernah seperti anak lain, minum susu, karena saya tidak mampu dari penghasilan ngojek untuk belikan susu. Jadi apa adanya aja”, kata Sahidin.

Padahal ketika masih tinggal di Desa Ketapang, Sahidin sanggup memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Munikah juga kesulitan membesarkan ketiga anaknya di Asrama Transito.

“Kita kalau ada rejeki kita bagi bagi sama-sama. Kita kasih tahu enggak boleh bertengkar. Apalagi yang kecil ini suka berantem aja sama adiknya. Namanya masih anak anak. Kita maklumi aja, kan tempatnya begini, masa ribut sama anak sendiri. Gak minum susu, cuman ASI saja dulu, tapi sudah satu tahun saya hamil lagi, dia brenti minum ASI. Cuman saya beliin susu SGM dua kotak saja. Brenti, gak mampu saya beli susu. Adiknya juga gak minum susu. Kalau sekarang sudah bisa makan nasi, ya makan nasi saja”, lanjut Munikah.

Penghasilan suami Munikah sebagai tukang pangkas rambut tak memadai. Seharian bekerja, kadang hanya dapat uang 50 ribu rupiah. Itu pun kalau banyak pelanggan. Padahal ada lima mulut yang harus diberi makan.

Mayoritas pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito bekerja serabutan. Semula mereka berdagang atau bertani di kampung asal, tapi kini harus menjadi kuli atau tukang ojek. Belum lagi mereka harus kehilangan harta benda, setelah pembakaran rumah mereka di Ketapang, pada 2006 silam.

Ingin Kembali Ke Kampung

Munikah bercerita, bukan sekali ini ia dipaksa jadi pengungsi hanya karena ia Ahmadiyah.

“Kalau saya sudah berapa kali buat rumah. Pertama di Sambil Elen, di Lombok Timur, Sumbawa, kena juga di sana. Terus balik ngontrak di BTN Swite. Sudah ngontrak ada anggota yang beli rumah di Ketapang, bangun rumah di sana, sekadar rumah bedeng. Lalu kejadian. Nah Desember kemarin saya buat rumah lagi, saya bawa Sinta dan Azis ini masih kecil-kecil”, kata Munikah.

Masita dan anaknya Hazain (Foto: Yohana Purba)

Masita dan anaknya Hazain (Foto: Yohana Purba)

Munikah mencoba membangun rumahnya kembali di Ketapang. Tapi dihancurkan lagi oleh para penyerang pada November tahun lalu.

Sahidin bercerita, Dikah anaknya kerap bertanya, kapan mereka bisa pulang ke rumah. Mereka beberapa kali kembali ke Ketapang menjenguk kondisi rumah.

“Kadang dia bertanya sama saya, ayah di mana sih rumah kita. Oh di Ketapang, ayok ke sana, dia bilang. Saya ajak dia ke Ketapang. Sampai dia ajak pulang kesana. Saya perbaiki rumah, perbaiki pintu, kan rumahnya sudah habis dirusak”, lanjut Sahidin.

Warga Ahmadiyah di pengungsian terus memelihara harapan mereka untuk pulang. Menjalani kehidupan normal, membesarkan anak sebaik mungkin.

Munikah menyimpan impian untuk berkumpul dengan anggota keluarganya yang terpecah, dalam rumah mungil mereka di Ketapang. Saat ini dua anaknya tinggal di tempat lain. Salah satunya Agus Zamroni yang dikirim untuk sekolah dan tinggal di Panti Asuhan Khasanah Al Kautsar, Tasikmalaya sejak tahun 2002 lalu.

“Kalau bisa kita sekolahin di sini, sama-sama kita ajak di sini. Kita kan belum tahu rencana belakangan. Kalau diijinin kita pulang (ke Ketapang-red)”, kata Munikah.

Kehidupan yang berat dan sulit bagi Jemaat Ahmadiyah di Asrama Transito ternyata bukan hambatan bagi anak-anak itu untuk berprestasi. Apa saja prestasi mereka?

Anak-Anak Transito Menimba Asa

Anak-anak ini terlihat menikmati hidup mereka di Asrama Transito. Kata Sera, kelas 3 SD, hidup memang serba kekurangan, tapi senang karena ada banyak teman.

Wajah secantik ini ditempat sekumuh ini (Foto: Yohana Purba)

Wajah secantik ini ditempat sekumuh ini (Foto: Yohana Purba)

“Enak tinggal disini, banyak teman, senang, enggak BT. Enggak kesepian juga”, kata Sera malu-malu.

Di Asrama Transito, Sera tinggal bersama ibu, paman, bibi dan kakeknya. Mereka beruntung karena bisa tinggal di sebuah kamar tersendiri, dekat mushola. Ibunya bekerja sebagai pedagang.

Tinggal serba kekurangan di sini tak membuat semangat belajar mereka pudar. Kebanyakan anak-anak di sana duduk di bangku SD.

Hibatul Nur alias Hibah termasuk anak yang berprestasi. Siswa kelas 6 SD ini selalu jadi juara kelas, juga juara umum di sekolah. Baginya, orangtuanya adalah pahlawan. Meski Sehabudin dan Sontah hanyalah buruh tani, mereka bekerja keras untuk menyekolahkan Nur dan dua saudaranya.

Nur tinggal di Asrama Transito bersama kakaknya, sementara orangtuanya tinggal di sebuah rumah, dekat Desa Ketapang, supaya dekat dengan sawah mereka. Hibah tahu persis mengapa ia harus tinggal di Transito.

”Orang-orang sering mengolok-ngolok. (Disebut) anak Ahmadiyah, (disebut) Al Qurannya lain, nabinya lain. Kamu orang kafir. (Tapi) dulu pas baru baru kelas satu (diolok) tetapi sekarang udah enggak ada lagi” ujar Nur.

Kata Nur, anak-anak berhenti mengolok-olok karena dia galak. Apalagi karena ia pintar, Hibah juga jadi kesayangan guru di sekolah. Kepala SD Negeri 42, Mataram, Muhidin menerangkan, dari awal masuk Nur memang sudah terlihat menonjol. Anaknya pendiam, tetapi sigap dalam menerima pelajaran.

Area dapur dan sumur yang kumuh (Foto: Yohana Purba)

“Hibahtul Nur memang andalan kita. Anaknya memang cerdas, teliti. Karena kita anggap mereka murid kita, jadi kita perlakukan sama dengan yang lain”, kata Muhidin.

Tinggal terpisah dari orang tua di penampungan yang tidak memadai, tidak lantas membuat Nur putus asa. Ada teman, saudara, guru yang selalu memberi dia semangat, katanya.

“Belajar sendiri kan orang tua di Ketapang. Di sini kan sama saudara aja. Gitu ya dulu terganggu belajarnya, waktu baru baru datang dari Ketapang. Kalau ada lampu belajar di ruangan, kalau enggak, ya di mushola”, lanjut Nur.

Nur kecil sudah punya rencana untuk hidupnya. Masuk ke SMP Favorit, lantas keluar dari Lombok, mencari tempat kuliah yang bergengsi. Melihat dunia luar, katanya.

“Kalau bisa sekolah yang tinggi ke tempat lain. Bisa keluar dari Lombok, yang (sekolah) lebih (tinggi) ilmunya”, lanjut Nur.

Sera kecil juga punya cita-cita setinggi langit. Jadi dokter.

“Ingin jadi dokter. Kalau ada Ahmadiyah yang sakit kita sembuhin, biar enggak perlu ke dokter susah-susah”, kata Sera tertawa.

Orang tua Ahmadiyah di Asrama Transito berusaha keras untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Sahidin, ayah Transiti, berharap bisa menghantarkan keempat anaknya ke bangku sekolah.

“Mudah-mudahan ada rejeki untuk menyekolahkan anak anak saya, mudah mudahan kami cepat keluar dari transito dan punya rumah sendiri. kami jadi pengungsi ditanah kelahiran sudah enam tahun. Ya mudah mudahan anak saya tidak jadi anak dijalanan, itu yang saya doakan”, kata Sahidin.

Sementara Masita, ibu Transita, ingin anaknya jadi mubaligh atau guru agama. Agar bisa mengabdi bagi jamaah dan agamanya.

“Pasrah aja, soalnya mau kemana lagi. Pasrahkan sama Allah. Ya sekolah. mau satu itu aja, anaknya dua duanya jadi mubaligh”, kata Masita.

Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Johana Purba.

Retrieved from: http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/4656-anak-ahmadiyah-di-pengungsian-transito

No comments:

Post a Comment