Tuesday, September 20, 2011

Asrama Transito sebagai "Emperan Surga"

Cerita Penganut Ahmadiyah Hidup di Asrama Transito
Tribunnews.com - Senin, 13 Juni 2011 18:15 WIB

TRIBUNNEWS.COM - Erna sedang memasak nasi siang itu, perempuan yang sedang hamil tua itu membetulkan letak kayu bakar di tungku. Tak ada kompor minyak tanah ataupun kompor gas yang menyentuh kehidupannya. Ia tinggal di Transito, Lombok, Nusa Tenggara Barat, bersama 3 orang anak, 1 orang anak sudah bersekolah dan 2 anak masih balita.

Ia memasak di deretan dapur yang menempel di asrama Transito. Bangunan dari bambu berjajar di samping tempat tinggal mereka. Dapur itu dibangun masing-masing penghuni untuk keperluan memasak. Selain karena ruangan di dalam hanya cukup untuk tidur, mereka memilih untuk menggunakan halaman samping agar lebih aman.

Keceriaan wajah para perempuan Transito yang sedang memasak terlihat dari sapa yang mereka berikan, meskipun mereka tidak mengenal siapa yang datang, namun sapa ramah tetap mereka sampaikan.

"Selamat datang di emperan surga," sapa Erna ketika saya temui di Transito, 17 Februari 2011. Erna menyebut Transito sebagai emperan surga karena menurutnya di sinilah mereka merasakan kehidupan bersama dan saling berbagi. (Agnes Dwi)

"Hanya yang punya kompor minyak tanah memasak di dalam," kata Erna. Menurut Erna adalah di dalam bilik kain yang menjadi penanda antar keluarga. Hidup di Transito harus dinikmati sebagai kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang Ahmadi, sebutan untuk penganut Ahmadiyah.

Asrama Transito terdiri dari tiga bangunan gedung yang berjajar. Tiap gedung dihuni sekitar 10 keluarga, mereka berbagi tempat dengan menyekat ruangan menjadi "rumah pribadi" mereka. Satu keluarga rata-rata terdiri dari orang tua dan anak tinggal dalam satu bilik bersama.

Erna telah melahirkan 1 orang anak di Transito, bahkan kali ini ia tengah hamil anak yang ketiga. Balita yang lahir di Transito mencapai 17 anak. Dalam suasana terbatas mereka tetap mengembangkan suka cita. Seperti anak-anak yang tetap bermain meskipun dalam ruang-ruang sempit dan lorong gelap.

Saya pun bertemu dengan keluarga Transita, bilik bersekat yang berada di depan gawang bola. Begitu orang nenandakan tempat tinggal keluarga Sita. Tempat tinggalnya memang berseberangan dengan lapangan bola. Di situlah Sita lahir dan kini telah berusia 3 tahun. Ia pun telah memiliki seorang adik perempuan. Keceriaan khas anak-anak tidak melunturkan canda dan tawa mereka.

"Anak-anak pernah bertanya kapan kita pulang bu?" ungkap orangtua Sita. Namun mereka selalu berusaha untuk mencari alasan agar anak-anak tidak kecewa. Dari alasan rumah yang belum selesai dibangun hingga menunggu orangtua punya dana.

Saya bertemu dengan Ida Zenah, perempuan itu sedang menggendong Muhammad anak paling kecil. Beberapa kali Muhammad merengek di gendongan ibunya. Ida kemudian menunjukkan tempat ia masak. Ia menggunakan sebuah dapur bersama keluarga lain. Sebuah ketel (tempat menanak nasi) sedang bertengger diatas perapian yang menggunakan kayu bakar. Kayu itu didapatkan dari pohon-pohon yang tumbuh di luar pagar Transito.

Ida hanya pasrah menjalani kehidupan saat ini, baginya apapun yang terjadi adalah perjalanan hidup yang mesti terjadi. Di penampungan itu Ida melahirkan dua anak, Transito 3 tahun dan Muhammad 1 tahun. Kegetiran jelas tergambar di wajah perempuan itu. "Saya hanya katakan sabar ke anak-anak". Kata Ida. Saat ini anak-anak Ida masih 3 orang yang tinggal bersamanya, sementara 2 anak lain tinggal terpisah. "Ada yang sudah menikah, tapi ada yang sedang belajar ditempat lain," kata Ida.

Transito menjadi saksi sejarah bagi keterangsingan Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah lebih dari 5 tahun mereka menempati penampungan Transmigrasi, mereka menjadi bersabahat dengan penderitaan. Bagi mereka Transito mengajari mereka untuk tidak membalas, tidak dendam dan menjalani kehidupan dengan lebih iklas. "Kalau kami tidak iklas ya sulit menjalani hidup" kata Erna.

Iklas menjadi Ahmadi bagi perempuan di Transito termasuk mereka harus mendampingi anak-anak bermain dan bertanya tentang situasi yang mereka hadapi. Lima tahun menjadikan mereka ibu yang kuat bagi anak-anak dan keluarga. Bagi mereka Transito sudah menjadi bagian dari hidup mereka "Dijadikan bahagia saja disini, jangan dibuat mikir sedih, bahkan kami sering mengatakan di emperan surga ini kami belajar untuk sabar dan tidak dendam," kata Erna.

Erna dan Ida kembali melanjutkan memasak ketika terdengar riuh anak-anak pulang sekolah, setiap hari mereka berusaha untuk menyiapkan makan bagi anak-anaknya. Di emperan surge itu mereka ingin menjadi bidadari bagi keluarga, memberikan rasa aman dan damai bagi keluarga. Karena bagi mereka kedamaian itu ada dihati, meskipun tempat mereka saat ini sangat terbatas dan sengaja dibatasi karena mereka seorang Ahmadi. (Hening Ratri)

Retrieved from: http://www.tribunnews.com/2011/06/13/cerita-penganut-ahmadiyah-hidup-di-asrama-transito

No comments:

Post a Comment