Monday, September 5, 2011

Mengunjungi Kampung Ahmadiyah di Cisalada, Bogor



FEATURES
JPPN.com, Selasa, 06 September 2011 , 08:08:00

TEKUN: Para calon mubaligh Ahmadiyah saat belajar di ruang bahasa dan komputer di kampus Jamiah Ahmadiyah Indonesia di Parung, Bogor, Jawa Barat. Foto: Agung Putu Iskandar/Jawa Pos
Jumlah jamaah Ahmadiyah di Indonesia diklaim mencapai 500 ribu orang. Mereka tersebar di 330 cabang di seluruh wilayah Nusantara. Para penganut Ahmadiyah terkonsentrasi di Jawa Barat. Salah satunya di Desa Cisalada di Bogor.
------------------------
AGUNG P. ISKANDAR, Jakarta
-----------------------
Cisalada sejatinya adalah kampung historis bagi masyarakat Ahmadiyah di Indonesia. Kampung tersebut merupakan salah satu kampung yang menjadi daerah pertama masuknya dakwah Ahmadiyah ke Indonesia.

Para pendakwah Ahmadiyah masuk dari Padang, Jakarta, kemudian ke Bogor. Salah satu monumen masuknya Ahmadiyah ke kampung tersebut adalah Masjid At Taufik yang didirikan pada 1935.

Masjid itu cukup sederhana. Luasnya tak lebih dari 150 meter persegi dan terletak tepat di tikungan jalan desa. Masjid tersebut memiliki parabola untuk menangkap siaran khusus jamaah Ahmadiyah melalui Muslim Television Ahmadiyah (MTA). "Kadang-kadang, kami nonton bareng di masjid untuk menyimak pidato tahunan khalifah," kata Ahmad Hidayat, mubalig yang bertugas di Cisalada.

Ahmad Zaini, salah seorang warga, menuturkan, masuknya masyarakat Cisalada ke Ahmadiyah bukan tanpa alasan. Jauh sebelum para pendakwah Ahmadiyah datang, salah seorang sesepuh kampung meramalkan akan datangnya pemuka agama di tengah-tengah kampung. "Ikutilah apa yang dia katakan meskipun dia pandai memainkan ular," ungkapnya.

Makna pandai memainkan ular itu, kata Zaini, merujuk pada asal para pendakwah. Mereka yang membawa Ahmadiyah tersebut berasal dari India. Di sana, permainan ular dengan seruling memang cukup populer. Karena itu, begitu mubalig Ahmadiyah tersebut datang, mereka langsung berbaiat dan mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang diramalkan datang.

Suasana kampung tersebut cukup tenang. Jalan desa hanya berupa jalan kerikil selebar dua meter. Selain pegawai negeri dan guru, kebanyakan penduduk bekerja sebagai petani serta buruh tani. Di sejumlah jalan menuju desa tersebut, terdapat beberapa rumah dengan kaca jendela pecah dan tembok-tembok rumah yang hancur. Umpatan dan makian tertulis di dinding-dinding rumah.

"Itu rumah jamaah. Mereka dilempari batu dan terusir dari kampungnya," kata Firdaus, salah seorang jamaah yang tinggal di Cisalada.

Desa Cisalada dihuni 350 jiwa. Seluruh warga kampung adalah penganut Ahmadiyah. Sekitar 25 orang merupakan para pengungsi yang tinggal di desa tersebut untuk berlindung karena terusir dari kampung sendiri. Kendati sudah menjadi kampung Ahmadiyah, tidak berarti desa tersebut aman dari para perusak.

Beberapa insiden sempat terjadi. Sekelompok warga menyerbu kampung tersebut dengan menyerang gedung TK-SD, rumah dinas mubalig, serta Masjid At Taufik. "Saat itu terjadi, kami semua berlindung di belakang rumah atau ke sawah," jelas Zaini.

Firdaus menuturkan, massa tak hanya merusak tempat-tempat strategis untuk beribadah. Mereka juga menjarah rumah warga. Bahkan, salah seorang anak jamaah Ahmadiyah pernah mendapati tasnya yang hilang setelah penyerbuan dipakai anak tetangga kampung. "Mau diminta kembali juga bagaimana," ujar lelaki yang akrab dipanggil Daus itu lantas terkekeh.

Intimidasi terhadap Ahmadiyah tak hanya diterima orang-orang dewasa. Anak-anak jamaah juga sering diintimidasi guru-guru serta teman sebaya di sekolah. Mereka dicemooh dan bahkan dilempari batu. Salah seorang anak perempuan sempat diteriaki hendak diperkosa.

Beberapa pengurus desa memang sempat menawarkan keamanan bagi mereka. Tapi, syaratnya, mereka harus meneken surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah dan menyatakan diri masuk Islam. Padahal, itu tidak mungkin bagi mereka. Akhirnya, beberapa jamaah terpaksa bertanda tangan meski tetap meyakini kepercayaannya.

"Karena itu, kami selalu mewanti-wanti kalau ada jamaah hendak keluar desa. Kalau orang biasa umumnya bilang, hati-hati di jalan. Kami bilang, hati-hati tanda tangan," kata Hidayat lantas tersenyum.

Sementara itu, jamaah Ahmadiyah juga bukan sekadar perkumpulan penganut agama. Mereka juga merupakan organisasi yang rapi. Bahkan, mereka memiliki struktur hingga ke daerah-daerah. Struktur itu terbagi dalam dua divisi besar. Yakni, bidang rohani dan organisasi.

Bidang rohani diisi para mubalig dan bidang-bidang pendidikan. Sementara itu, bidang organisasi adalah struktur mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga tingkat kampung-kampung. Bahkan, kendati hanya beranggota tiga jamaah, mereka bisa mengangkat kepala cabang.

"Seperti kata Rasulullah, bila ada tiga orang di antara kamu, maka harus mengangkat salah satunya sebagai pemimpin," ungkap principal atau Direktur Jamiah Ahmadiyah Indonesia Munirul Islam.

Kepala cabang di setiap kampung dipilih oleh majelis pembayar candah. Mereka dipilih setiap tiga tahun sekali dan boleh dipilih kembali untuk periode selanjutnya. Candah merupakan kontribusi yang dibayarkan jamaah. Besarnya adalah 1/16 dari penghasilan mereka. Candah dikumpulkan dan digunakan untuk kepentingan umat.

Munirul menuturkan, struktur yang rapi itu bertujuan untuk memudahkan pergerakan Ahmadiyah. Mereka yang mengurusi agama dan struktur harus dibedakan. Pemuka agama dan pemimpin jamaah adalah dua tugas yang berbeda.

"Rasulullah pernah mengatakan, salah satu tanda-tanda kehancuran adalah ketika ulama (pemuka agama) berusaha jadi umara (pemerintah). Karena itu, di Ahmadiyah, itu dibedakan," tegas Munirul yang menjadi principal Jamaah Ahmadiyah Indonesia sejak 2009 tersebut.

Dia menyatakan, jamaah Ahmadiyah bukan sekadar jamaah. Mereka juga memiliki nizam atau struktur organisasi yang rapi. Tatanan tersebut tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Di dunia, mereka dipimpin khalifah. Yakni, Khalifah Masroor Ahmad. Masroor merupakan khalifah kelima yang berkedudukan di markas Ahmadiyah sedunia di Fazl Mosque, London, Inggris.

Untuk meng-up date ajarannya, jamaah Ahmadiyah di seluruh dunia disatukan oleh siaran televisi MTA alias Muslim Television Ahmadiyah yang disiarkan dari Inggris. Siaran itu disampaikan dalam tiga bahasa. Yakni, Urdu, Inggris, dan Arab. Muatan lokal siaran juga muncul dalam bahasa Indonesia yang disiarkan pukul 05.00 setiap hari.

Siaran televisi tersebut sangat penting bagi jamaah Ahmadiyah. Melalui siaran itulah ajaran-ajaran atau update tafsir Alquran disampaikan. Bahkan, televisi tersebut selalu menyiarkan secara langsung setiap Jalsah Salanah alias pidato tahunan khalifah Ahmadiyah dari Inggris. "Rasulullah dulu berkata bahwa siarkanlah agama melalui berbagai penjuru hingga melalui udara. Ini merupakan bentuk berdakwah lewat udara," kata Munirul.

Yang terbaru, jamaah tersebut kini sedang mengembangkan kartu elektronik bernama Aims. Kartu itu seperti KTP elektronik. Setiap dipindai, data-data pemegang KTP langsung muncul. KTP tersebut berlaku secara internasional dan bisa dibawa ke mana saja. "Misalnya, saya ke Jerman atau ke Inggris, saya tunjukkan saja kartu itu, langsung muncul data-data saya," jelasnya.

Semua "infrastruktur" Ahmadiyah itu diciptakan agar mereka bisa secara detail mengetahui kondisi jamaah. Mulai potensi ekonomi, jumlah, dan persebaran jamaah. Dengan semua sistem itu, kesadaran berjamaah mereka semakin erat. "Kami juga bisa langsung mengetahui jumlah jamaah Ahmadiyah," katanya.

Jamaah Ahmadiyah Indonesia juga memiliki pusat pendidikan. Namanya Jamiah Ahmadiyah Indonesia. Kampusnya terletak di Parung, Bogor, Jawa Barat. Mereka menyiapkan calon-calon pendakwah Ahmadiyah untuk dididik dan disalurkan ke berbagai daerah yang membutuhkan. Kampus tersebut pernah diserbu masyarakat pada 15 Juli 2005.

Jawa Pos berkunjung ke kampus tersebut pada Minggu lalu (28/8). Kondisi kompleks itu sudah lebih baik daripada saat baru diserang. Beberapa bangunan tampak megah berdiri di atas lahan seluas sekitar 5 hektare. Bangunan utama adalah Masjid An Nashr yang berdiri di tengah-tengah lahan. Masjid dua lantai itu juga merangkap perkantoran. Lantai satu digunakan untuk administrasi, lantai dua untuk tempat beribadah jamaah.

Di sisi timur kompleks, terletak laboratorium komputer dan bahasa, asrama mahasiswa, serta perpustakaan. Di pinggir sisi utara, dibangun deretan rumah dinas para mubalig. "Sebenarnya, di sini hendak kami bangun SMA, SMP, dan puskesmas. Tapi, mengingat kondisinya begini, kami belum berani," tuturnya.

Munirul menuturkan, para mubalig menjalani pendidikan selama lima tahun setara S-1. Kurikulumnya, antara lain, perbandingan agama, fikih kontemporer, fikih Ahmadiyah, dan bahasa. Khusus untuk bahasa, mereka mewajibkan tiga bahasa sebagai mata kuliah yang wajib dikuasai. Yakni, bahasa Urdu, Inggris, dan bahasa Arab.

Dapat Rumah Dinas

Mubalig jamaah Ahmadiyah sangat berperan dalam penyebaran Ahmadiyah di Indonesia. Karena itu, Jamaah Ahmadiyah Indonesia mendidik dengan serius para penyebar keyakinan mereka tersebut.

Mubalig Ahmadiyah direkrut dari anak-anak jamaah Ahmadiyah. Mereka diambil dari kantong-kantong kampung Ahmadiyah yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. "Prinsipnya kan dari Ahmadiyah untuk Ahmadiyah," tegas Direktur Jamiah Ahmadiyah Indonesia Munirul Islam.

Dia menjelaskan, para mubalig Ahmadiyah tak hanya disiapkan untuk berdakwah di Indonesia, tapi juga di negara-negara di Asia Tenggara. Karena itu, mereka minimal bisa berbahasa Inggris, Urdu, dan Arab. Setiap ditugaskan ke luar negeri, bisa dipastikan mereka mampu berbahasa daerah setempat.

"Sebab, mereka pasti akan bertemu mubalig yang sudah sembilan tahun menetap di sana. Mereka akan belajar berbahasa kepada mubalig senior untuk kemudian berdakwah ke wilayah lain," ungkap Munirul.

Salah seorang mubalig yang pernah bertugas ke luar negeri adalah Ahmad Hidayat. Lelaki 47 tahun itu sudah berkeliling untuk berdakwah mulai Thailand, Kamboja, Sulawesi, dan beberapa daerah di Jawa. Dia menguasai bahasa Inggris, Khmer, dan Urdu. "Sekarang, saya di sini sudah dua tahun," jelas Hidayat saat ditemui di kediamannya di kampung Ahmadiyah di Desa Cisalada pekan lalu.

Dia lantas mengambil buku besar berwarna pink. Buku tersebut terlihat aus dengan cover plastik yang sedikit robek dan kertas yang menguning. "Ini kamus bahasa Khmer dalam bahasa Inggris. Ini pegangan saya waktu berdakwah di Kamboja," ungkap bapak tiga anak tersebut.

Hidayat menuturkan, sebagai mubalig, dirinya harus siap ditugaskan ke mana pun. Ada satu bidang dalam struktur Ahmadiyah yang bertugas memutasi para mubalig. Setiap diperintah untuk bertugas ke daerah-daerah, mereka tidak boleh menolak. Sebab, penugasan tersebut sudah pasti dipertimbangkan. "Kami harus sami?na wa ato?na (kami dengar, kami taat, Red)," tegasnya.

Mubalig Ahmadiyah bertugas menyampaikan ajaran Ahmadiyah. Yakni, tentang kehadiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang tanpa membawa syariat baru. Mereka biasanya mengajak masyarakat berdiskusi. Kalau tidak tertarik, mereka tidak akan memaksa. "Kami membawa Islam dengan kedamaian," katanya.

Di Cisalada, Hidayat tinggal bersama istrinya. Dia menempati rumah seluas 120 meter persegi dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu ruang tengah. Rumah bercat kuning kalem tersebut merupakan rumah dinas. Seluruh mubalig yang ditugaskan di daerah-daerah pasti mendapat fasilitas tersebut.

Rumah Hidayat didirikan di atas lahan seluas sekitar 400 meter persegi. Selain rumah Hidayat, di atas lahan itu dibangun gedung mungil untuk playgroup, taman kanak-kanak (TK), serta tempat pendidikan untuk anak SD kelas 1?3 setara madrasah ibtidaiyah. Di antara rumah dan gedung TK-SD itu terdapat lapangan badminton. "Buat olahraga sama teman-teman sekampung," ujarnya.

Selain rumah dinas, mubalig mendapat gaji. Sayangnya, Hidayat enggan membeberkan jumlah gajinya. Tapi, kisarannya Rp 2 juta. "Sekitar segitu lah. Pokoknya cukup untuk kebutuhan sehari-hari," ungkap lelaki asli Cisalada tersebut.

Hidayat menjadi jamaah Ahmadiyah karena faktor keturunan. Ayah dan ibunya merupakan penganut aliran dari Qadiyan, India, itu saat pertama muncul di daerah Bogor. Dia kemudian memutuskan untuk menjadi mubalig saat berusia 23 tahun.

"Yang kami lakukan hanya menyeru kepada umat untuk percaya terhadap kehadiran Imam Mahdi yang sudah datang. Yakni, Mirza Ghulam Ahmad. Disebutkan bahwa kita harus berbaiat meski harus mendaki gunung bersalju," ujarnya. (*/c5/iro)

Retrieved from: http://www.jpnn.com/read/2011/09/06/102060/Mengunjungi-Kampung-Ahmadiyah-di-Cisalada,-Bogor-

No comments:

Post a Comment