Thursday, September 22, 2011

Yang Terdampar di Transito

anbti.org, Fri, 03/25/2011 - 10:24

Senja memayungi langit Mataram. Di asrama Transito, Majeluk, sekitar 10 kilometer dari kota Mataram, suara riuh anak-anak yang bermain di halaman sudah tak terdengar lagi. Tinggal lantunan azan magrib yang menutup sore itu, 15 Februari 2011 lalu.

Penghuni asrama bergegas menunaikan salat magrib. Satu per satu mereka mendatangi ruangan di depan kamar mandi salah satu barak asrama. Di ruangan itu, sejak 2005 lalu, 33 keluarga Ahmadiyah biasa menunaikan salat berjamaah. Tak hanya orang dewasa. Anak-anak pun terbiasa salat bersama di ruangan seluas ruangan kelas.

Magrib itu, tubuh kurus Hibatunur tampak menyempil di deretan paling belakang bersama ibu-ibu dan anak-anak lainnya. Gerakan imam dia ikuti dengan tertib. Begitu imam mengucapkan salam, Hiba, panggilan murid kelas enam sekolah dasar itu, tak langsung bangkit. Duduk bersimpuh, bocah berperawakan kurus itu menyempatkan diri memanjatkan doa.

“Saat kejadian itu saya lari ke sawah depan rumah, lihat orang teriak-teriak membawa jerigen dan batu,“ kata Hiba memulai pembicaraan selepas magrib itu. “Takut lihat banyak orang datang, saya diam lama di sawah depan rumah.”

Hiba mengisahkan petaka yang terjadi pada 26 Desember 2010. Malam itu, rumah keluarga dia di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, kembali menjadi sasaran amuk masa anti Ahmadiyah. Tembok belakang rumah jebol, kaca jendela pecah, pintu rumah hancur berkeping-keping. Peralatan sekolah dan buku milik bocah itu pun tak luput dari keberingasan massa.

Sebelum penyerangan itu, Hiba mendengar suara lantang seorang ustad di masjid kampung Ketapang. Ceramah dengan pengeras suara sang ustad isinya melulu hujatan terhadap Ahmadiyah. Tak lama setelah ceramah itu, orang-orang mendatangi rumah anggota Ahmadiyah. “Mereka bilang Ahmadiyah kafir dan harus diusir,” Kata Hiba dengan mata menerawang jauh.

Serangan di pengujung tahun lalu itu merupakan peristiwa kedua yang membuat trauma bocah seusia Hiba. Sebelumnya, pada 2005, rumah Hiba di wilayah Lombok Barat nyaris rata dengan tanah, setelah diamuk warga anti Ahmadiyah. Setelah serangan pertama itulah, keluarga Hiba dan warga Amadiyah lainnya mengungsi ke Transito.

Dua tahun kemudian, harapan untuk bisa hidup normal sempat bersemi ketika keluarga Hiba membangun rumah baru di Ketapang. Tapi, mereka hanya menempati rumah selama dua tahunan. Serangan massa anti Ahmadiyah kembali meluluhlantakkan rumah yang dibangun dengan menjual harta warisan keluarga itu.

Setelah serangan kedua, Hiba kembali terdampar di Transito. Dia bersama dua orang kakaknya tinggal berdesakan dengan sepuluh keluarga Ahmadiyah di salah satu dari tiga barak di sana.

Tempat Hiba dan kedua kakaknya melepas penat hanya disekat dengan kain sarung dan bekas spanduk dari tempat keluarga lain. Di 'bilik sarung' Hiba, tempat tidur berebut tempat dengan sebuah kompor minyak tanah. Buku dan pakaian anak itu menumpuk begitu saja di atas tempat tidur. Tak ada lemari atau meja untuk menyimpannya.

“Pulang sekolah saya biasa masak sendiri. Kalau belum ada sayur, masak apa sajalah,” Kata Hiba sambil membuka wajan kecil di atas kompor itu. Malam itu Hiba lebih beruntung. Di wajan masih ada sisa sayur sawi hijau bercampur bakso. “Kadang kakak yang masak kalau nggak lagi ke sawah,” kata Hiba.

Di Transito, ada 20 anak Ahmadiyah yang masih duduk di bangku sekolah dasar seperti Hiba. Satu anak duduk di bangku sekolah menengah pertama Lima anak lainnya belajar di sekolah menengah kejuruan.

Meski banyak anak usia sekolah, di barak-barak penampungan transmigran itu tak ada ruangan khusus untuk belajar. Di malam hari, barak yang ditinggali Hiba, misalnya, hanya diterangi lampu bohlam lima watt yang menggantung di tengah ruangan. “Kalau mau belajar lebih terang, saya harus ke musala,” kata Hiba.

Sejak awal Februari lalu, ruang solat itu memang mulai dipasangi lampu neon. Sebelumnya, lampu teplok berbahan bakar minyak tanah lebih sering menerangi musola plus tempat belajar itu.

Meski didera segala keterbatasan, lama-lama Hiba mengaku terbiasa tinggal di Transito. Tapi, gadis mungil ini tak kuasa menyembunyikan keinginan untuk berkumpul dengan ibu dan bapaknya. “Senang rasanya bisa ketemu bapak dan ibu di sana,” kata Hiba.

Lalu, di mana orang tua Hiba? Bocah ini sering terdiam ketika menuturkan kisah orang tuanya.

Saat semua warga Ahmadiyah kembali terusir dari Ketapang, ayah dan ibu Hiba rupanya memilih bertahan di sana. Untuk menghidupi keluarga, mereka bekerja sebagai penggarap lahan milik satu keluarga beragama Hindu di Ketapang. Mereka pun diizinkan menempati salah satu ruangan di rumah peristirahatan keluarga bernama Tutut itu.

Warga anti Ahmadiyah pernah mempersoalkan keberadaan orang tua Hiba di Ketapang. Beruntung, keluarga Tutut bisa meyakinkan mereka dan menjamin keselamatan orang tua Hiba.

Bila musim liburan tiba, Hiba sesekali berkunjung ke rumah tempat orang tuanya menumpang. Dari rumah yang hanya terpisah sungai dari perumahan Ketapang itu, Hiba bisa melihat reruntuhan rumah dia dan keluarga Ahmadiyah lainnya. “Saya suka mengintip dari sawah,” kata Hiba. “Rasanya ingin kembali ke sana.”

Tapi, sejauh ini, Hiba harus memendam keinginannya. Soalnya, sang ibu lebih yakin akan keselamatan anak-anaknya bila berkumpul dengan warga Ahmadiyah lain di Transito. Di luar Transito, “Ibu bilang, banyak orang tidak suka karena kami Ahmadiyah,” ujar Hiba.

Kekhawatiran sang ibu tak berlebihan. Hingga kini, pemerintah setempat pun tak kunjung menjamin keselamatan warga Ahmadiyah. Bupati Lombok Barat, Zaini Aroni, misalnya, malah mengingatkan agar warga Ahmadiyah tidak memaksa kembali ke kampung halaman mereka.

Zaini mengakui, sejak serangan terhadap Ahmadiyah kembali terjadi pada 2005, warga Ahmadiyah dan warga anti Ahmadiyah belum pernah bertemu untuk berdialog. Pemerintah pun baru bisa mengajak kedua pihak berbicara secara terpisah. Jadi, kata Zaini, "Terlalu berrisiko jika mereka memaksa pulang kampung."

***

Siang masih menyisakan panasnya, ketika anak-anak Sekolah Dasar Negeri 42 Majeluk meninggalkan ruang kelas. Sebelum pulang, Hiba dan teman-teman menyempatkan bersenda gurau di halaman sekolah yang rindang.

Setelah puas bercanda, Hiba baru pulang menuju asrama Transito, sekitar 100 meter dari sekolah. Dia berjalan beriringan dengan dua temannya: Sopia dan Jihan.

Sopia merupakan teman sekelas Hiba yang juga tinggal di Transito sejak 2005. Meski tinggal di barak terpisah, Sopia sering belajar bersama Hiba.

Adapun Jihan bukanlah anak anggota Ahmadiyah. Namun, dia sering bermain dan mengerjakan pekerjaan rumah bersama Hiba di Transito. “Anaknya baik-baik di sini,” kata Jihan. Apalagi, orang tua Jihan pun tak melarang anaknya bergaul dengan anak-anak Ahmadiyah. “Kita semua manusia, sama kok,” ujar gadis berambut panjang itu.

Tapi, tak semua teman Hiba seperti Jihan. Pernah suatu waktu, Hiba Menuturkan, ada teman yang mengolok-olok dia. “Kamu Ahmadiyah, kafir kan,” kata Hiba menirukan ucapan sang temannya.

Hiba tak tahu dari siapa temannya meniru istilah seperti itu. Tapi, ejekan itu lebih dari cukup untuk membenarkan ucapan ibu Hiba bahwa di luar sana, ada orang yang membenci anak yang kebetulan lahir dari rahim orang Ahmadiyah.

Olok-olok dari teman sekolah menjadi beban tersendiri bagi anak-anak Ahmadiyah. Agar tak jadi korban ejekan, Seira Yulia, anak Transito lainnya, sampai menyembunyikan latar belakang keluarganya. Hingga kini, teman-teman sekolah Seira umumnya tak tahu bahwa dia berasal dari keluarga Ahmadiyah. “Waktu ditanya tinggal di mana, saya bilang di Jalan Transmigrasi,” kata Seira.

Rauhun, ibunda Seira, membenarkan keterangan anaknya. Gara-gara berstatus anak Ahmadiyah, Seira pernah mendapat perlakuan berbeda. Misalnya, waktu pertama kali masuk sekolah. Bersama anak-anak Ahmadiyah, Seira dikumpulkan di satu kelas, tidak dicampur dengan murid lainnya.

Begitu musim bagi rapor tiba, buku yang diterima anak Ahmadiyah pun berbeda dari buku rapor murid lainnya. “Anak saya diberi selembar kertas saja, bukan rapor biasa,” kata Rauhun.

Warga Ahmadiyah pun melaporkan perlakuan itu ke Dinas Pendidikan. “Akhirnya anak-anak punya rapor yang sama,” kata Rauhun.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Madjdi, menceritakan hal berbeda soal pendidikan bagi warga Ahmadiyah. Katanya, di mana pun anak Ahmadiyah berada, pemerintah menjamin mereka bisa mengakses pendidikan.

Pemerintah, menurut Gubernur, sudah menganggarkan bantuan siswa miskin (BSM) dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk mereka. “Silakan saudara-saudara kita Ahmadiyah memanfaatkannya,” kata Zainul.

Masalahnya, menurut Koordinator Pengungsi Transito, Sahdidin, warga Ahmadiyah punya kendala tersendiri untuk memperoleh dana bantuan itu. Setelah sekian lama terbuang ke Transito, warga Ahmadyah banyak yang tidak memiliki kartu tanda penduduk. Anak-anak mereka pun umumnya tak memiliki akta kelahiran. Padahal, kedua dokumen itu merupakan syarat memperoleh dana BSM dan Jamkesmas.

Bersama warga Ahmadiyah lainnya, Sahidin pernah mengurus dokumen kependudukan itu ke kantor kelurahan terdekat. Tapi hasilnya nihil. “Kami tidak diberi dengan alasan kami hanya titipan di Transito.” Sahidin lalu mengurus dokumen itu ke kelurahan di Ketapang. “Tapi, di sana pun tidak diberi,” Kata Sahidin.

Sekolah-sekolah dasar negeri di Majeluk memang tidak memungut biaya bulanan. Tapi, menurut Sahidin, setiap semester orang tua murid wajib membeli buku-buku pelajaran. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu. “Dengan penghasilan tidak menentu, uang sebesar itu pun tak mudah didapat,” kata Sahidin.

Ya, di Transito, Hiba dan teman-temanya terus bergumul dengan segala keterbatasan. Mereka mencoba merakit masa depan yang tak kunjung terang. “Saya ingin tetap bersekolah,” kata Hiba yang sejak kelas satu meraih peringkat pertama di kelasnya. "Tapi, kalau orang-orang masih memusuhi kami, tidak tahu harus bagaimana lagi." (editor Jajang Jamaludin, Tempo)

===AGNES D R==

Retrieved from: http://anbti.org/content/yang-terdampar-di-transito

No comments:

Post a Comment