Friday, July 15, 2011

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah

Oleh Akhmad Sahal*

Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran Tempo, 16 Februari 2011

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan Muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan muculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, melainkan juga sebentuk aksi makar.

Pada tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar al-Riyad). Dalam suratnya Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu…”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan Muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriyah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal dengan Tarikh Al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas ke-Rasul-annya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya untuk menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru. Apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum Muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Makkah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (Al Kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hambaNya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun setelah Nabi wafat ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimipinan khalifah pertama, Abu Bakr Al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain seperti al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurutnya telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al ridda).”

Tampaknya, “Perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai dengan pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu yang menewaskan tiga warga Ahmadi tersebut secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jamaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, MUI, Menteri Agama dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah tapi terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan antara MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama yang berlabel “Indonesia” di belakang ternyata merubuhkan prinsip kebhinnekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, presiden SBY membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan Muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan muculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, melainkan juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah sholat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Khaliqnya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tesebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang 40 ribu pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jamaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan kayakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?
Dalam ilmu qawa’id al fiqh ada diktum yang berbunyi: “hukum berporos pada iIllat (ratio legis) dalam hal keberlakuan dan ketidakberlakuannya” (al hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa adaman). Hukum Islam bukanlah seperangkat aturan baku yang beku yang lahir dari suatu ruang kosong, melainkan senantiasa bertolak dari adanya illat atau alasan hukum tertentu yang mendasarinya. Logikanya, kalau illatnya hilang, maka hukum tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Dan kalau illatnya muncul lagi, hukum tadi berlaku lagi.

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh di atas, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekedar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dengan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan dan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuasi dengan ajaran syari’at, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagipula, satu-satunya dalil Al-Qur’an tentang kemurtadan sama sekali tidak menyerukan kaum Muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90: “Sesungguhnya mereka yang menjadi kafir setelah iman mereka, lalu bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan menerima taubat mereka; Dan mereka adalah orang-orang yang tersesat.” Ayat ini tidak menyinggung tentang perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qur’ani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah yang tanpa tedeng aling-aling mengaku nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya—toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al Kazzab.” Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena dalam Al-Qur’an, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah mengapa Al-Qur’an menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya FPI, MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jama’ah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladani sikap Rasulullah.

*Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

No comments:

Post a Comment