Saturday, July 9, 2011

Kasus Ahmadiyah dan Problematika Kebangsaan di Indonesia

The Wahid Institute, Kamis, 17 April 2008 12:42

Oleh Ahmad Suaedy*

Pasang-naik kekerasan antar kelompok atau communal violence di ujung tahun 2007 dan awal 2008 di Indonesia menunjukkan eskalasi yang memprihatinkan. Kriminalisasi kelompok agama dan keyakinan tertentu melalui pengadilan, penyerangan dan pengusiran terus terjadi (Suaedy dkk., 2007. Lihat pula Monthly Report on Religious Issues- the Wahid Institute selanjutnya disebut MRORI-WI No. 1-7, tersedia lengkap di website www.wahidinstitute.org).

Kalau coba dirunut aksi-aksi itu dari tahun-tahun sebelumnya, maka ada gejala bahwa pertama-tama yang dimusuhi adalah kelompok-kelompok baru yang dianggap aneh dan menyimpang dari arus umum. Misalnya kelompok Lia Eden di Jakarta, Yusman Roy di Malang, dan sebagainya (Rumadi, 2007). Belakangan penyerangan dan kekerasan itu merembet ke kelompok-kelompok lain yang relatif sudah tua dan puluhan tahun hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kelompok yang menjadi korban penyerangan ini sangat bervariasi, mulai dari kelompok tarekat sufi seperti Naqsyabandiyah di Bulukumba, Sulawesi Selatan (MRORI-WI, No. 5); sampai pesantren dan kelompok pengajian biasa Miftahul Huda di Banten (MRORI-WI, No. 6), kelompok indigenous belief seperti Dayak Losarang di Indramayu (MRORI-WI, No. 5).

Kelompok yang disebut terakhir tidak mengklaim diri sebagai Islam, sehingga sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan sesat dan tidak sesat dalam kategori MUI (Majelis Ulama Indonesia) (MRORI, No. 4). Sehingga tudingan aliran sesat cenderung liar dan membabi buta. Yang lebih belakangan, tampaknya penyerangan dan kekerasan lebih difokuskan kepada kelompok Ahmadiyah. Eskalasi kekerasan terhadap Ahmadiyah sangat tinggi, terjadi pengusiran di Lombok NTB, Manis Lor Kurningan, Parung dan Bogor, Jawa Barat secara berturut-turut. Aparat negara khususnya Polisi dibuat tidak berdaya menghadapi kebringasan kelompok penyerang Ahmadiyah di berbagai daerah tersebut. Padahal, Ahmadiyah telah tercatat ada sejak 1920an di Indonesia dan tercatat dalam Departemen Dalam negeri serta Lembaran Negara sedikitnya sejak 1953 (Zulkarnaen, 2005).

Pemerintah beberapa waktu lalu melalui BAKOR PAKEM (Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat), sebuah badan pemerintah yang diberi wewenang untuk memantau aliran-aliran agama dan kepercayaan dan memiliki legitimasi formal untuk memberikan rekomendasi sebuah aliran boleh atau tidak boleh ada di Indonesia, baru-baru ini menguji Ahmadiyah. Karena desakan kelompok-kelompok Islam tertentu yang menuntut pemerintah melarang Ahmadiyah karena dianggap menodai Islam yang “benar” versi mereka, badan itu bertindak. Tetapi hasilnya, Bakor Pakem meloloskan Ahmadiyah untuk tidak dilarang karena 12 pernyataan mereka dianggap tidak melanggar atau tidak menodai Islam (Lihat MRORI-WI No. 6). Meski demikian, keputusan ini mendapatkan protes keras dari sebagian kelompok Islam fanatik dan fundamentalis yang juga didukung oleh juru bicara paling vokal dari MUI, KH. Ma’ruf Amin yang tidak lain adalah anggota Dewan Penasehat Presiden (Wantimpres) bidang agama.

Kini kalangan Ahmadiyah dan juga para kelompok pro demokrasi pembela kebebasan beragama dan berkeyakinan dibuat tidak nyenyak tidur karena Departemen Agama dan MUI masih terus memantau Ahmadiyah dan mengevaluasi berdasarkan 12 pernyataan Ahmadiyah. Jika para pemantau dan evaluator itu menilai ada penyimpangan, bukan tidak mungkin pemerintah akan nekad melarangnya. Situasi demikian akan sangat buruk bagi masa depan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan akan melemahkan daya perlindungan pemerintah terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Antara Konstitusi dan Praktik Hukum
Ada beberapa masalah mendasar yang perlu dikaji berkaitan dengan pasang naiknya kekerasan antar agama dan makin brutalnya para penyerang terhadap kaum minoritas, khususnya yang kini sedang mengancam Ahmadiyah. Sebab, nasib seperti dialami Ahmadiyah bisa juga terjadi pada kelompok lain yang tidak sepaham dengan kelompok yang gemar menyerang dan berlaku kekerasan terhadap kelompok lain tersebut di masa depan.

Pertama, masalah konstitusi. Amandemen UUD 1945 telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara hukum yang tidak membedakan warga negara berdasarkan apapun, agama, aliran, etnis, jender dan lainnya atau mengikuti prinsip-prinsip citizenship (kewarganegaraan). Konstitusi juga mengukuhkan HAM sebagai satu landasan kuat bagi implementasi konstitusi, serta memberikan amanat kepada negara, khususnya pemerintah, sebagai penanggung jawab utama implementasi tersebut.

Namun dalam implementasinya, masih banyak Undang-Undang, peraturan pemerintah dan aturan di bawahnya yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan semangat konstitusi tersebut. Misalnya aturan yang cenderung membedakan antar mereka yang beragama tertentu, berkeyakinan serta agama yang diakui dan tidak diakui. Mestinya UU dan peraturan apapun yang tidak sesuai dengan konstitusi yang telah diamandemen, seharusnya dihapus atau terhapus dengan sendirinya demi konstitusi, seperti UU PNPS No. 1 Tahun 1965 yang cenderung memberikan pengakuan resmi dan tidak resmi kepada agama tertentu dan meniadakan aliran kepercayaan. UU itu menjadi landasan berbagai UU dan aturan lainnya secara luas setelahnya bahkan paska terjadinya amandemen UUD 1945. Pemerintah mustinya menyelaraskan semua UU dan aturan-aturan tersebut sesuai dengan konstitusi paska amandemen.

Selanjutnya, ternyata tidak hanya UU dan aturan lahir sebelum amandemen konstitusi melainkan juga muncul UU dan aturan-aturan baru paska amandemen yang tidak selaras dan bahkan bertentangan dengan konstitusi, yang anehnya disahkan oleh pemerintah. Ini ironi, karena UU dan aturan-aturan yang menyimpang itu didasarkan pada UU dan aturan yang lahir sebelum amandemen konstitusi. Dengan demikian, perubahan konstitusi baru sampai pada perubahan teks tetapi belum pada praktik.

Masalah berikutnya adalah impelementasi dari konstitusi yang berlandaskan prinsip citizenship dan HAM tersebut. Lemahnya penegakan hukum adalah biang dari masalah kekerasan tersebut. Pada banyak kasus kekerasan, misalnya, polisi justeru menangkap mereka yang menjadi korban kekerasan dan mereka dipersalahkan karena dianggap menodai agama, sementara para penyerang yang brutal malah dibiarkan dan terkadang diberi perlindungan. Gejala ini sungguh-sungguh berbahaya bagi kelangsungan sebuah negara hukum.

Perlu dicatat, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengangkat seorang juru bicara paling vokal tentang anti aliran sesat dan haramnya pluralisme, sekularisme dan liberalisme dari MUI sebagai anggota Badan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang agama, yaitu KH. Ma’ruf Amin. Pengangkatan ini, saya kira, bukan kebetulan melainkan menunjukkan cara pandang presiden dan kebijakannya dalam masalah agama yang mengikuti arus penyesatan, anti kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tidak heran jika pemerintah tidak bersikap tegas terhadap penyesatan, kekerasan dan penyerangan terhadap mereka.

Ini pun sangat ironi. Sebagai bekas perwira militer, mustinya nasionalisme dan wawasan kebangsaan menjadi dasar pemikiran dan policy seorang kepala negara. Tetapi, dilihat dari kepedulian dan wawasannya dalam policy sangat jauh dari harapan itu. Bahkan bisa dikatakan SBY memberikan angin segar bagi brutalitas kekerasan antar agama. Berkaitan dengan keputusan BAKOR PAKEM yang menganggap Ahmadiyah bukan sebagai aliran sesat, dilandaskan pada argumen yang sangat sumir. Argumen itu tidak mendasarkan pada penegakan konstitusi dan perlindungan warga negara melainkan karena Ahmadiyah dianggap tidak menyimpang dari Islam dan karena itu tidak menodai agama.

Sikap yang lemah terhadap pelanggaran hukum yang mendasarkan pada agama akan berimplikasi sangat jauh bagi tata pergaulan antar kelompok di Indonesia yang plural dan multikultural, dan bahkan pada keutuhan bangsa. Karena siapa yang merasa kuat akan bisa mendikte pemerintah untuk melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Hal demikian, disamping akan mengancam Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi prinsip dasar keberadaan bangsa dan negara Indonesia, juga berbahaya bagi terbangunnya kebijakan “apartheid” atau diskriminasi formal dalam mengelola negara dan pemerintahan, di mana warga negara bisa dibedakan berdasarkan warna kulit, dan mungkin perbedaan agama dan keyakinan.

Aspek Internasional
Pasang naiknya penyerangan dan kekerasan terhadap Ahmadiyah dan juga aliran-aliran Islam tertentu, tampaknya tidak terpisah dari perkembangan internasional, yaitu kian eratnya hubungan kelompok-kelompok Islam tertentu dengan negara-negara yang dominan di dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagaimana diketahui umum, OKI didominasi negara-negara kaya minyak di Timur Tengah yang memiliki kepentingan menyebarkan Islam sesuai dengan cara pandang mereka, yang pada umumnya Wahabi, ke seluruh dunia.

Mereka juga berambisi untuk menjadi representasi dunia Islam dibanding wilayah lain dan kelompok Islam lain manapun. Ahmadiyah adalah salah satu aliran Islam yang memiliki kepemimpinan (Amir) dunia yang berkedudukan di London. Struktur organisasi internasional yang kuat dan kepercayaan belahan dunia kepada Ahmadiyah yang cukup meyakinkan, menjadikan negara-negara dominan di dalam OKI kuatir. Mereka berupaya keras menindas aliran Islam yang menjadi pesaing mereka, terutama secara internasional.

Bukan saja mereka melarang aliran Ahmadiyah di negara mereka, melainkan hendak mempengaruhi dunia Islam seluas mungkin untuk melarang keberadaan Ahmadiyah. Mereka mengeluarkan banyak dana untuk tujuan tersebut yang masih harus diteliti seberapa besar jumlahnya, namun yang terpenting adalah pengesahan terhadap kekerasan untuk melakukannya. KH. Ma’ruf Amin berkali-kali menyatakan bahwa ada dua jenis aliran sesat, sesat lokal dan sesat global. Ahmadiyah, kata dia, adalah aliran sesat global karena aliran ini telah dilarang di sebagian besar negara anggota OKI dan oleh OKI secara resmi. Mereka ingin agar Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia melarangnya sehingga menjadi kredit point tersendiri bagi pengaruh mereka terhadap dunia Islam.

Simpulan
Dengan demikian, lemahnya penegakan hukum pada kasus kekerasan antar agama, penyerangan dan kekerasan bukan hanya simpton yang bersifat sementara akibat dari adanya keterbukaan, melainkan ia bisa menjadi faktor penting dalam disintegrasi bangsa. Pemerintah tidak bisa lepas tangan dan tanggungjawab terhadap pasang naiknya eskalasi kriminalisasi dan kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Tudingan aliran sesat oleh MUI dan kelompok Islam tertentu, misalnya, tidak hanya ditujukan kepada kelompok Islam yang dianggap menyimpang dari kelompok-kelompok anti itu, melainkan juga cenderung liar dan membabi buta. Sayangnya, sikap pemerintah bukan saja tidak tegas melainkan cenderung menunjukkan kesetujuannya terhadap kecenderungan tersebut. Ini bisa dilihat dari presiden yang mengangkat juru bicara paling vokal dari penyesatan dan anti pluralisme menjadi anggota penasehat presiden bidang agama dan pembiaran terhadap berbagai kasus semacam itu.

Gejala keterlibatan anasir internasional juga cukup jelas dan pemerintah tidak memedulikan hal ini. Di masa yang agak panjang akan menjadi problem mendasar bagi tegaknya prinsip citizenship dan HAM. Konstitusi cenderung tidak lagi menjadi dasar bertindak dan penerapan hukum dalam bernegara, melainkan siapa yang menang maka akan mampu mendikte arah dan kebijakan pemerintah.[]

Senggigi, 10 Maret 2008.

*Penelitian ini pernah dimuat Jurnal NINJA, Jepang, dalam bahasa Jepang, Maret – April 2008.

**Penulis adalah Executive Director the Wahid Institute, Jakarta

Beberapa Bacaan Pokok:

  1. Amin Muzakir, “Menjadikan Minoritas di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay,” dalam Mashudi Noorsalim dkk . (ed), Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Interseksi, Jakarta 2007.
  2. Iskandar Zulkarnaen, Dr., Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, LKiS, Yogyakarta 2005.
  3. Moh. Sulhan dkk., Kontestasi Tafsir Agama, Akar Kekerasan Minoritas dan Problem Pluralisme, CRISIS Pres, Kuningan 2007.
  4. Rumadi, Dr., Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam R-KUHP, The Wahid Institute-TIFA, Jakarta 2007.
  5. Suaedy dkk., 2006, Kala Fatwa Jadi Penjara, The Wahid Institute, Jakarta 2006.
  6. Suaedy dkk., 2007, Politisasi Agama Dan Konflik Komunal, The Wahid Institute,
  7. Van Zorge Report, January 29 th 2008.
  8. Monthly Report V (english)
  9. Monthly Report IV (english)
  10. Monthly Report VI (bahasa)
Retrieved from: http://www.wahidinstitute.org/Program/Detail/?id=50/hl=id/Kasus_Ahmadiyah_Dan_Problematika_Kebangsaan_Di_Indonesia (Accessed 7/9/2011)

No comments:

Post a Comment