Oleh: Ahmad Rofiqi
(Alumni Pasca Sarjana Ibnu Khaldun, Jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam)
Baru-baru ini Majalah Tempo (Rabu, 11/2) menurunkan sebuah artikel perihal nabi palsu. Dibawah judul “Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah” Akhmad Sahal mengkritik umat Islam yang dinilainya telah keliru dalam menghadapi fenomena nabi palsu khususnya Ahmadiyah karena sangat bertentangan dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Mengutip al-Thabari dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Thabari, Sahal mengatakan bahwa nabi palsu zaman dulu yang paling diperhitungkan, yakni Musailamah bin Habib, tidak mendapat satu tindak kekerasan apapun dari Rasulullah Saw. Katanya, “Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi”.
Adapun peristiwa peperangan melawan nabi palsu yang terjadi di era kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq ra, ditafsirkan olehnya sebagai sebuah penumpasan separatisme daripada sebuah penyimpangan aqidah. Menurutnya, “Perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak”. Itulah sebabnya, semata-mata murtad menurutnya tidak bisa menjadi alasan terjadinya kekerasan jika tidak diiringi ancaman disintegrasi atau pemberontakan. Tulisnya, “Karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat”.
Lebih jauh lagi, dengan nada sinkretis Sahal ingin memberikan pembelaan pada keyakinan Ahmadiyah dengan cara menolak segala macam intervensi hukum di dunia, menurutnya “…karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti”. Bahkan, secara halus Sahal hendak memberikan hak kebenaran pada Ahmadiyah dengan cara mengkritik kalangan Islam yang meyakini murtadnya sekte ini. Dengan bernada gugatan pada kalangan Islam tersebut dia menulis, “Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam”.
Diatas argumen ini, penulis tersebut membangun kritikan terhadap pemerintah, ulama dan ormas Islam. Khusus pada ulama dan umat Islam, dia mengatakan—tidak seperti dirinya—mereka semua memiliki pemahaman yang rendah terhadap agama. Dia berujar bahwa tindakan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah selama ini adalah, “tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya”. MUI dan pemerintah telah gegabah dalam menyikapi Ahmadiyah karena telah menciderai prinsip demokrasi, HAM dan konstitusi. Meskipun sebenarnya tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun MUI pun tak luput dianggap bagian dari kelompok pelaku kekerasan karena telah melakukan “pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah”.
Walhasil, secara keseluruhan tulisan ini mengarah kepada apa yang selama ini dituju oleh para pembela nabi palsu dan aliran sesat yaitu, pertama, delegitimasi terhadap MUI, ormas Islam dan lembaga atau kalangan Islam lain yang terlibat dalam perkara pembendungan aliran sesat. Kedua, pembelaan terhadap hak kebebebasan beragama termasuk hak untuk menyimpang dari ajaran pokok Islam. Ketiga, penolakan terhadap segala intervensi negara baik secara hukum apalagi politis dalam penyimpangan aliran-aliran tersebut.
Tulisan ini, dengan demikian, telah menampilkan apa yang selama ini diulang-ulang oleh kalangan pembela aliran sesat. Bukan hanya dari segi kesimpulan dan hasil yang hendak dituju, secara metode dan kerangka berfikirnya pun juga sama. Aroma liberalisme sinkretis tulisan ini pun tercium jelas. Sama seperti para pendahulunya, meski tulisan ini dibungkus dengan retorika ilmiyah yang rapi, namun fakta manipulasi dan distorsinya tak dapat disembunyikan.
Kekeliruan fatal pertama tulisan ini akan mudah tertangkap manakala kita merujuk pada Tarikh al-Thabari tentang peristiwa nabi palsu Musailimah (bukan Musailamah). Kesimpulan Sahal bahwa Rasul Saw tidak memerangi nabi palsu dizamannya, adalah sebuah klaim yang bertentangan dengan laporan kitab tersebut.
Pertama, saat menerima utusan Musailimah yang membawa surat berisi deklarasi kenabiannya, Rasul Saw langsung bereaksi tegas dengan mengatakan, “Kalau saja para utusan boleh dibunuh, tentu akan aku potong leher kalian berdua”. Ungkapan “aku potong leher kalian berdua” merupakah terjemah harfiyah dari bunyi arabnya yaitu, “laqatha’tu a’naaqakuma”. Riwayat ini memberikan fakta bahwa Nabi bersikap tegas untuk menghukum mati pelaku aliran sesat. Namun, karena Rasul Saw menjunjung tinggi hak jaminan keamanan bagi para utusan, hukuman tersebut tidak beliau lakukan. Disitu tergambar jelas reaksi Nabi Saw. Tatakrama dan etika diplomasi yang beliau pegang, tidak menghalangi untuk menyatakan kebenaran bahwa nabi palsu serta pengikutnya wajib dihukum mati. Sayang sekali, Sahal meninggalkan potongan riwayat ini.
Kedua, riwayat al-Thabari ini juga memberikan kesimpulan bahwa yang menghalangi kedua pengikut nabi palsu itu untuk dihukum mati bukan karena kebebasan beragama (seperti yang dikatakan Sahal) tapi karena jabatan keduanya sebagai utusan. Artinya, jika mereka tidak jadi utusan mereka sudah pasti dihukum karena nabi tidak pernah mengatakan, “Kalau saja tidak ada kebebasan beragama, tentu aku akan potong leher kalian berdua”. Dalam riwayat lain akhirnya ucapan Nabi ini terbukti. Salah satu dari dua utusan Musailimah tersebut akhirnya benar-benar dihukum mati. Nama utusan tersebut Ibnu Nuwahah. Abu Daud (hadits no. 2381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no. 2391) menceritakan Ibnu Nuwahah ini masih setia menjadi pengikut Musailimah dan menyebarkan ajarannya. Ia akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh Ibnu Mas’ud yang saat itu menjadi hakim di era Umar bin Khattab ra. Sebelum dijatuhi hukuman mati, Ibnu Mas’ud menjelaskan alasannya. Ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw dulu bersabda "Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu", nah, sekarang ini engkau tidak berstatus sebagai utusan". Maka Ibn Mas'ud menyuruh petugas untuk melaksanakan hukuman mati terhadap Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud mengumumkan, "Siapa yang ingin melihat hukuman Ibn Nuwahah saksikan ia di pasar!". Eksekusi itu akhirnya terjadi didepan khalayak ramai.
Ketiga, Sahal memang benar, bahwa Nabi Saw memang tidak pernah memberangkatkan pasukan dari Madinah untuk memerangi nabi palsu. Namun, hal itu disebabkan kemunculan nabi palsu disaat Rasul Saw tengah sakit keras yang berakhir dengan kewafatan beliau serta tidak tersisa pasukan yang cukup untuk diberangkatkan. Klaim Sahal bahwa di Madinah tersedia kekuatan besar utuk berperang tidak sesuai dengan fakta yang ditulis oleh al-Thabari sendiri. Laporan Ibnu Abbas membantah anggapan Sahal tersebut. Ibnu Abbas menyaksikan bahwa, "Rasulullah Saw telah mengirimkan pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam dan beliau dalam keadaan sakit sehingga tidak sanggup mengultimatum Musailamah dan Al Aswad untuk bertaubat atau mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka” (al-Thabari, jilid 3, hal. 186). Berangkatnya pasukan Usamah dalam jumlah besar serta sakit keras yang mendera menghalangi Rasul Saw menjalankan ekspedisi militer untuk memberangus nabi palsu. Maklum, nabi-nabi palsu itu menunggu waktu yang tepat untuk mendeklarasikan kenabiannya yaitu setelah beliau mengalami sakit keras sepulang haji penghabisan (haji wada).
Namun begitu, berbeda dengan perkataan Sahal, tekad Rasul Saw untuk memerangi nabi palsu tidak padam. Beliau akhirnya menulis surat kepada semua gubernurnya agar melakukan langkah sekuat mungkin untuk memerangi nabi palsu. Hal ini dicatat oleh al-Thabari sendiri melalui laporan shahabat nabi, Urwah bin Zubeir ra: “Rasul Saw memerangi para nabi palsu melalui misi diplomatik untuk seluruh gubernurnya” (jilid 3, hlm. 187). Perintah Rasul melalui para diplomatnya ini menyebabkan terbunuhnya nabi palsu Yaman bernama al-Aswad al-Ansi ditangan salah satu shahabat setianya, Fairuz al-Dilami ra. Menurut al-Thabari dalam riwayat tersebut, kabar kematian nabi palsu Yaman sampai pada Rasul Saw satu malam sebelum wafatnya beliau.
Sejarawan Ibnu Khaldun menguatkan, "Sepulangnya Nabi Saw dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Ansi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah ibn al-Khuwailid dari Bani Asad; mereka semua mengaku nabi. Rasulullah Saw segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah Saw menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga al-Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat. Adapun sakit keras yang dialami tidak menyurutkan Rasulullah Saw untuk menyampaikan perintah Allah dalam menjaga agama-Nya. Beliau menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka untuk melakukan jihad (melawan kelompok murtad—pen)".( Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1992 cet. 1 Jilid 1, hal 474-475.).
Berikutnya, anggapan Akhmad Sahal bahwa Abu Bakar hanya mengirimkan pasukan karena kasus nabi palsu telah berkembang menjadi ancaman disintegrasi juga tidak benar. Karena, jika melihat kepada surat yang ditulis Abu Bakar untuk seluruh nabi palsu saat itu, beliau menyatakan perang dengan alasan bukan pemberontakan tapi karena kemurtadan. Lebih jelasnya, al-Thabari mencatat bunyi surat Abu Bakar sebagai berikut: "Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah pesan dari Abu Bakar khalifah Rasulullah Saw kepada orang yang diutusnya memimpin pasukan memerangi mereka yang keluar dari Islam. Telah sampai kepadaku berita mengenai keluarnya orang-orang diantara kalian dari agamanya setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya disebabkan lalai dari Allah, alpa dari perintah-Nya dan memenuhi seruan syaithan. Dan (karena itu) aku telah mengirimkan untuk kalian panglima perang dengan pasukan yang terdiri dari Muhajirin, Anshar serta orang-orang tabi'in. Aku telah memerintahkan pemimpin pasukan ini supaya tidak memerangi atau membunuh siapapun sebelum ia mengajak kepada ajakan penyeru Allah. Siapa yang memenuhi seruannya, mengakui (Islam), menyerah dan beramal shaleh, dia akan diampuni dan akan diberi perlindungan Tidak akan diterima alasan apapun selain Islam. Maka barangsiapa yang mengikuti Islam, itu adalah kebaikan bagi dirinya. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia tidak akan bisa melawan kekuatan Allah.” (jiid 3, hlm. 250).
Surat diplomatik Khalifah Abu Bakar ra ini berbunyi jelas, ketika menggambarkan alasan perang yang ia lakukan adalah: “…keluarnya orang-orang diantara kalian dari agamanya setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya”. Jadi alasannya adalah: “keluar dari agama” atau murtad. Jelas sekali dalam surat tersebut bahwa kemurtadan inilah yang membuat Abu Bakar ra memutuskan untuk. “mengirimkan untuk kalian panglima perang dengan pasukan yang terdiri dari Muhajirin, Anshar serta orang-orang tabi'in”. Demikian pula tugas yang diemban oleh komandan ekspedisi militer ini sangat tegas yaitu, “memimpin pasukan memerangi mereka yang keluar dari Islam”. Perintah diplomatik itu tidak menyebut sama sekali alasan disintegrasi, pemberontakan atau separatisme. Abu Bakar ra tidak membicarakan tentang masalah isu keamanan negara dan sejenisnya. Beliau hanya menyebutkan alasan utama perang adalah memberantas kemurtadan nabi palsu.
Ini belum ditambah dengan berbagai riwayat yang bertebaran dalam Tarikh al-Thabari tentang kesepakatan seluruh shahabat senior untuk memberantas nabi palsu dengan alasan murtad. Demikian seriusnya Abu Bakar ra dan para shahabat, sampai menurut hitungan Dr Hamidullah dalam penelitiannya sebagaimana yang beliau catat dalam kitab al-Watsaiq al-Siyasiyah fi ‘Ahdi al-Rasul wa al-Khilafah al-Rasyidah (Dokumen-dokumen politik era Rasul dan Khalifah Rasyidin), ekspedisi militer untuk menumbangkan kaum murtad ini berjumlah 11 pasukan.
Dengan fakta-fakta sederhana tersebut, jelas runtuhlah seluruh argumen dasar yang dibuat oleh Akhmad Sahal, penulis ini diikuti dengan seluruh analisa yang dibangun diatasnya. Maka, dengan sendirinya semua kritikan yang ia buat untuk mendiskreditkan langkah umat Islam selama ini dalam kasus nabi palsupun tidak bisa dipertahankan lagi.
Namun, perlu dicatat hal-hal yang perlu disayangkan dari penulis tersebut. Dengan meletakkan titel “Kandidat PhD dari Universitas Pennsylvania” dibelakang namanya, seharusnya Sahal memberikan jaminan bahwa bobot ilmiah tulisan ini begitu tinggi. Tanggung jawab ilmiyah ini cukup berangkat dari hal-hal yang sederhana seperti kejujuran dalam mengutip dan menyampaikan fakta dari buku. Sayang sekali, harapan itu tak tercapai manakala secara tidak jujur dan tidak terhormat, sang “kandidat PhD” tersebut memotong riwayat yang ia nukil dari Tarikh al-Rusul wa al-Muluk secara gegabah bahkan distorsif. Ia memutus isi riwayat hanya sampai teks yang sesuai dengan pendapatnya pribadi kemudian membangun argumen diatasnya. Secara tidak fair, ia enggan menyampaikan teks riwayat tersebut secara lengkap karena akan berlawanan dengan selera opininya yang ingin membela nabi palsu.
Dalam kasus nabi palsu di zaman Abu Bakar ra, Sahal yang kandidat PhD ini kembali melakukan distorsi. Dia mengabaikan berbagai fakta keseriusan Abu Bakar ra memberantas nabi palsu dengan alasan kemurtadan. Sebagai gantinya, isu disintegrasi dipilihnya. Dengan dasar manipulatif seperti ini, dia mengkritik tajam bahwa langkah umat Islam, MUI dan negara untuk menyelesaikan masalah nabi palsu tidak punya referensi dalam sejarah Islam. Lebih berani lagi, penulis ini menggunakan data sejarah tak otentik ini untuk disesuaikan dengan rumusan fiqih, “hukum berporos pada alasan” atau “al hukmu yaduru ma’a al-‘illah”. Mengkritik, dengan cara memanipulasi. Membangun argumen diatas dasar yang sengaja dikelirukan.
Faktanya, di Indonesia saat ini seluruh aliran sesat yang termasuk didalamnya kelompok nabi palsu telah kehilangan legitimasi dari segala arah. Baik dari segi konstitusi (ada SKB 3 menteri, ada pasal penodaan agama), penerimaan sosial apalagi argumen teologis, semuanya membantah dan menolak keberadaan nabi palsu. Sikap para pembela nabi palsu dan aliran sesat (kaum LSM, aktifis liberal dan seterusnya) yang gigih membela setiap kasus penodaan agama selalu dapat dipatahkan oleh kesadaran umat Islam di negeri ini.
Walhasil, usaha-usaha menghalalkan segala cara (termasuk memanipulasi dan mendistorsi sejarah) seperti yang dilakukan oleh Akhmad Sahal kandidat PhD dari Pennsylvania ini, akan berakhir sia-sia. Malah, semakin mempertajam bukti bagaimana untuk membela kesesatan, kaum akademik bertaraf tinggi melalui media seperti Tempo yang juga konsisten membela setiap tindak penodaan agama, ternyata tidak malu dan segan untuk berdusta kepada masyarakat Islam di negaranya sendiri.
Jatinangor, 25 Februari 2011
(Dimuat dalam Majalah Risalah, edisi Maret 2011)
tulisan sdr. akhmad sahal selengkapnya dapat dilihat di situs tempo:
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/02/16/Opini/krn.20110216.227192.id.html
Available at: http://www.facebook.com/notes/ahmad-rofiqi/kasus-nabi-palsu-dan-sikap-rasulullah-saw-tanggapan-terhadap-akhmad-sahal-di-maj/10150121665244681 (Accessed 7/15/2011)
No comments:
Post a Comment