Wednesday, July 13, 2011

Berebut Label Islami

Koran Tempo, 4 Juli 2010

Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Ketika Front Pembela Islam (FPI) tiarap dalam sepekan pertama setelah peristiwa Monas, sebaliknya pihak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan ormasnya hiruk-pikuk mengibarkan bendera di jalan-jalan bersama sejumlah warga masyarakat menuntut pembubaran FPI. Namun, sepekan kedua kemudian, FPI dan aliansinya kembali bangkit mengibarkan bendera. Mereka menuntut balik, baik melalui jalur hukum maupun jalanan. Di pihak lain, muncul kekhawatiran terjadi bentrokan di antara golongan muslim di Jawa dan sebagian kecil luar Jawa.

Bagaimana kita melihat peristiwa Monas dalam konteks panggung politik Indonesia? Mungkinkah terjadi bentrok di antara golongan muslim, sebagaimana pernah terjadi bentrokan di antara kaum nasionalis pada periode 1965-1967? Apakah keunikan konflik internal kaum muslim terhadap konflik kaum nasionalis itu? Bagaimanakah wajah gerakan Islam pasca-Monas dan dampak politiknya bagi Indonesia ke depan?

Peristiwa Monas itu juga memperlihatkan kegamangan para pemain politik dalam mengambil sikap. Bahkan para pengamat politik di Indonesia pun bingung melihat suasana yang cepat bergerak itu. Mungkin karena pengamat juga bagian dari pemain yang terlibat di Monas, sehingga mereka cenderung bersikap diam.

Masalahnya, bisakah apa yang telah tergelar sejak peristiwa Monas itu dilihat sebagai konflik yang terjadi di antara aliran yang telah ditipekan oleh Clifford Geertz? Yaitu, konflik antara aliran abangan, santri, dan priayi, baik yang berada di luar maupun dalam tempurung partai-partai nasional? Mungkinkah ada cara alternatif untuk melihat itu semua, misalnya sebagai konflik di antara aliran santri yang memang memiliki antipodanya tersendiri yang belum dibedah oleh Geertz?

Keunikan
Jakarta adalah daerah bagi multietnis, ideologi, dan agama, juga bagi aneka organisasi agama. Dalam rumpun nasionalisme, masih terdapat sejumlah varian yang berlandaskan agama dan non-agama. Wajarlah bila konflik 1965-1967 dilangsungkan di Jakarta.

Peristiwa '65 bukanlah konflik antara kaum nasionalis, komunis, dan agama, melainkan konflik internal kaum berumpun nasionalis. Sebab, kaum komunis Indonesia adalah salah satu varian dari kaum nasionalis yang fanatik, yang dibuktikan oleh keterlibatan mereka dalam membangun Indonesia awal (1945), serta sikapnya yang menyerang gerakan pemberontakan di daerah (1950-an), dan hasratnya merebut Irian (1960-an).

Ketika konflik berdarah itu terjadi, kaum agama berada di pinggiran lingkaran konflik. Bahkan golongan ini cenderung--mungkin juga karena mereka menganut paham nasionalisme berbasis agama--tak sadar diperlakukan sebagai eksekutor oleh kaum nasionalis militeristik. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa peristiwa '65 merupakan perebutan siapa yang paling nasionalis di antara varian nasionalis yang berbasis budaya, agama, dan ideologi seperti komunisme dan militerisme.

Sedangkan peristiwa Monas 2008 sebenarnya hanya merupakan pemicu konflik internal di dalam agama yang serumpun, yakni Islam. Keunikannya terletak pada bagaimana kaum nasionalis memposisikan dirinya dalam konflik internal ini. Ternyata, kaum serdadu, kaum nonmuslim, kaum nasionalis, dan negara berupaya meletakkan diri di luar dan di pinggir pusaran konflik.

Sementara itu, kaum serdadu sebagai kaum nasionalis militeristik yang kental, yang dalam konflik '65 keluar sebagai hero dan berkuasa menjadi sebuah rezim, dalam konteks sekarang mereka cenderung tiarap, dan beroperasi intelijen dengan aksi penyusupan, atau aksi misterius penempelan stiker di Sukabumi untuk menerbitkan teror.

Sudah pasti, sebagai kaum marginal, pihak nonmuslim mengambil posisi di luar konflik internal ini. Mereka pun tak dijadikan kelompok target oleh kaum yang berkonflik, tidak sebagaimana kala konflik internal kaum nasionalis terjadi pada 1965-an. Dan tidak ada kekuatan yang memaksa mereka melakukan konversi keagamaan. Dari sudut pandang ini, konflik internal kaum muslim menjadi sangat eksklusif, yang sangat berbeda manakala konflik internal kaum nasionalis terjadi.

Kaum nasionalis mengambil posisi berdiri di pinggiran konflik, dan memanfaatkan konflik untuk menohok pemerintah. Seperti PDIP, yang menggunakan fenomena ini untuk menyatakan bahwa sikap pemerintah gagal menjaga kebinekaan. Sedangkan PKS curiga adanya agenda asing di balik peristiwa Monas. Adapun PBB mengecam semua pihak dan meminta pemerintah bertanggung jawab atas kejadian tersebut, serta meminta agar kegiatan Ahmadiyah dihentikan.

Memang Negara dijadikan pemegang bola api oleh multipihak muslim yang turut berada di tengah-tengah konflik internal ini. Namun Negara, sebagaimana tecermin pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, berupaya berada di luar wilayah substansi keagamaan, dengan mengambil posisi menyikapi struktur keagamaannya semata. Tentunya, hal ini tidak memuaskan kaum yang berkonflik, yang berusaha menggunakan tangan negara untuk menghilangkan eksistensi keagamaan lawannya. Sebaliknya, bagi Ahmadiyah, SKB Tiga Menteri itu dapat diterima, karena paling tidak memberikan perlindungan substansi keagamaannya untuk beberapa saat, yang bisa menjadi modalitas untuk keberlanjutan eksistensinya.

Belahan baru
Masuk minggu kedua setelah peristiwa Monas, FPI bangkit kembali dari sikap tiarapnya. Sebaliknya, sikap Gus Dur dan PKB-nya mulai melunak, sekalipun ada dukungan dari kalangan kiai dari seluruh Jawa yang menyampaikan aspirasinya agar Ahmadiyah dilindungi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono.

FPI mendapat dukungan dari mana-aman. Organisasi komunal, baik berbasis suku maupun agama, mulai menyatakan dukungannya pada FPI. Misalnya, Forum Betawi Tolak Ahmadiyah (FBTA) juga cenderung menyentil sentimen etnis dan agama dengan pernyataannya bahwa FPI sebagai ormas Islam yang lahir di Betawi telah membantu masyarakat Aceh saat tsunami dan masyarakat Tanah Abang saat banjir di Jakarta. Organisasi komunal lain adalah Forum Betawi Rempug (FBR) dan jawaranya, yang siap menghadapi Garda Bangsa dan GP Ansor yang hendak ke Jakarta untuk membubarkan FPI. Dukungan juga datang dari Aliansi Umat Islam (Alumi) Jawa Barat.

Semua fenomena itu menjelaskan garis belahan kaum muslim yang baru di Indonesia, yang tak terlepas dari segregasi etnis atau kesukuan serta geografis di pulau Jawa. Kaum yang pertama mendominasi ruang geografis Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Kaum yang lain mendominasi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kaum yang pertama terdiri atas migran yang berasal dari Hadramaut, Betawi, Banten, dan Sunda yang kini mendominasi Jakarta. Sedangkan kaum muslim lainnya berbasis utama pada suku Jawa dengan pusatnya di Jawa Timur.

Penutup
Memang pantas untuk dipertimbangkan bahwa Islam di Indonesia berkembang di dua konteks yang berbeda. Sekalipun Islam masuk dan pada awalnya berkembang di pesisir, lama-lama ditarik ke pedalaman Jawa sehingga Islam berkembang di pusat Indianisasi--meminjam istilah yang digunakan oleh Denys Lombard. Islam yang terakhir inilah yang diperbandingkan oleh Geertz dengan Islam di Maroko. Namun, bila kita lihat perkembangan Islam di Banten, khususnya di Betawi, mungkin dapat dikatakan mereka Islam yang tumbuh di pinggiran Indianisasi.

Bahkan Islam di Betawi bersimbiosis dengan Islam yang datang dan dibawa oleh para habib dari Hadramaut, Yaman. Simbiosis itu tecermin dari nama KH Habib Alwi Jamalullail, yang terkenal pada 1970-an. Afiliasi politik mereka cenderung pada Masyumi, dan kemudian PPP.

Ada banyak habib yang belajar pada kiai Betawi, dan sebaliknya, sehingga secara sosial habib dan kiai di Betawi tidak hierarkis. Habib Ali Kwitang dan Habib Ali Bungur adalah guru dari sejumlah ulama Betawi seperti KH Abdullah Syafi`i. Sebaliknya, Habib Abdullah Syami mengaji pada KH M. Syafi`i Hadzami.

Kembali kepada peristiwa Monas, apakah kebangkitan FPI dan berbagai organisasi agama dan komunal yang mendukungnya itu merupakan pertanda kebangkitan Islam yang bercorak Betawi-Hadrami di Jakarta? Akankah ke depan Islam yang bercorak Jawi menjadi marginal di Jakarta? Antipoda itu semakin tampak jelas pascaperistiwa Monas.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2008/07/04/Opini/krn,20080704,54.id.html

Otto Syamsuddin Ishak
Peneliti Senior Imparsial

No comments:

Post a Comment