Friday, July 15, 2011

Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu Tanggapan terhadap Tanggapan Dr. Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi

Islamlib.com, 22/03/2011
Oleh Akhmad Sahal*

Penting untuk dicatat, paparan Ibn Hisyam tentang laporan Ibn Ishaq tersebut adalah dalam konteks pembahasannya tentang fenomena munculnya dua Nabi palsu: Musailamah dan al-Aswad. Dari situ bisa disimpulkan sekurang-kurangnya dua hal: gejala kemunculan nabi palsu pada masa itu sangat erat kaitannya dengan gerakan pembangkangan terhadap pembayaran Zakat, yang sudah berlangsung semenjak masa Nabi, dan semakin membesar pada masa khalifah Abu Bakr. Kedua, al-Aswad al-‘Unsi jelas jelas melakukan penyerangan terhadap delegasi Nabi bernama al-Muhajir bin Umayyah bin al-Mughirah.

Tulisan saya di Koran Tempo, “Nabi Palsu, Sikap Nabi dan Ahmadiyah” ditanggapi secara keras oleh Dr. Syamsuddin Arif di Hidayatullah.com dan Ahmad Rofiqi di notes facebook-nya.
( Untuk tulisan saya, lihat: http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html
Untuk tulisan Dr. Syamsuddin Arif, lihat: http://www.hidayatullah.com/read/15606/28/02/2011/-menyikapi-%E2%80%98nabi-palsu%E2%80%99-dan-ahmadiyah-%281%29.html
Untuk tulisan Ahmad Rofiqi, lihat:
http://www.facebook.com/#!/notes/ahmad-rofiqi/kasus-nabi-palsu-dan-sikap-rasulullah-saw-tanggapan-terhadap-akhmad-sahal-di-maj/10150121665244681
Juga lihat:
http://pemikiranislam.multiply.com/journal/item/26 )

I

Kedua penanggap tersebut pada intinya menegaskan bahwa gerakan murtad apapun bentuknya harus diperangi dengan tanpa kompromi, dan kaum murtad harus dibunuh. Dr. Syamsuddin Arif mengklaim bahwa sikap Nabi Muhammad SAW dan khalifah Abu Bakr sangatlah tegas dalam memerangi gerakan nabi palsu, baik yang membangun kekuatan militer seperti dalam kasus Musailamah al-Kazzab, maupun yang tidak, seperti kasus al-Aswad al-‘Unsi dan Thulaikhah bin Khuwailid. Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip surat ayat al-Qur’an ( al Ma’idah 33:34) dan hadist: “barang siapa menukar agamanya, maka bunuhlah.”

Senada dengan itu, Ahmad Rofiqi menganggap saya melakukan manipulasi dan distorsi ketika menyitir Tarikh al-Tabari dalam paparan saya tentang korespondensi antara Musailamah dan Rasulullah SAW, karena saya tidak menyertakan pernyataan lisan Rasul kepada utusan Musailamah: “Kalau bukan karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku memenggal leher kalian berdua.” Menurut hematnya, pernyataan lisan Rasulullah tersebut dengan jelas menunjukkan ketegasan sikap Nabi Muhammad dalam memerangi dan membunuh nabi palsu. Rofiqi juga menyatakan bahwa bahwa: (1) Rasul menjelang wafatnya mengirim pasukan untuk menumpas gerakan al-Aswad al-‘Unsi; (2) pidato khalifah Abu Bakr secara tegas menyatakan bahwa gerakan nabi palsu wajib diperangi tanpa terkecuali karena mereka telah keluar dari Islam.

Betulkah tuduhan Rofiqi bahwa saya telah melakukan distorsi dalam mengutip Tarikh al-Tabari? Benarkah klaim-klaim Dr. Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi bahwa Nabi dan para sahabat memerangi nabi palsu karena semata-mata karena kemurtadannya?

Untuk menjawab pertanyaan2 tersebut, saya akan memeriksa satu persatu data dan dalil yang mereka ajukan, dengan mengacu langsung pada Tarikh al-Tabari dan sumber-sumber primer lain, selain juga sumber sekunder yang relevan.

A. Musailamah Al-Kazzab:

Bagi Rofiqi, sikap Rasulullah terhadap nabi palsu dan para pengikutnya secara jelas tercermin dari pernyataan beliau yang hendak memenggal kepala utusan Musailamah. Menurut Rofiqi, Rasul tidak membunuh utusan Musailamah semata-mata karena beliau menghormati etika diplomasi yang melarang utusan dibunuh. Dari sinilah Rofiqi menyimpulkan, Rasul dari awal hendak memerangi Musailamah karena telah murtad dari Islam.
Pertanyaan saya: kalau memang sikap Rasul dari awal seperti itu, mengapa beliau tidak mendeklarasikannya secara eksplisit dalam surat balasannya ke Musaylamah, yang justru lebih resmi dan langsung tertuju kepada Mu’awiyah? Mengapa justru hanya melalui pernyataan lesan ke kurirnya? Surat balasan Rasul, seperti saya kutip dalam tulisan saya di Koran Tempo, sama sekali tidak mengandung nada peringatan atau ancaman perang terhadap Musailamah. Rasul hanya menyebutnya al-Kazzab (pendusta).

Satu hal yang diabaikan oleh Rofiqi, Musaylamah tidak semata-mata mengaku Nabi, tapi juga dengan kejamnya telah membunuh seorang sahabat Rasulullah bernama Habib bin Zaid, utusan Nabi yang ditangkap oleh Musailamah saat melakukan perjalanan dari Bahrain ke Makkah. Peristiwa ini direkam dalam Al-Sirah Al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam (Vol. 2 halaman 57):

قال ابن اسحاق: فجمىع من شهد العقبة من الاوس والخزرج ثلاثة وسبعون رجلا وامراءتان منهم...ومن بني مازن بن النجار: نسيبة بنت كعب... وهى ام عمارة, كانت شهدت الحرب مع رسول الله, وشهدت معها اختها. وزوجها زيد بن عاصم بن كعب. وابناها: حبيب بن زىد وعبدالله بن زىد. وابنها حبيب الذي اخذه مسيلمه الكذاب الحنفي, صاحب اليمامة, فجعل يقول له: اتشهد ان محمدا رسول الله؟ فيقول نعم. فيقول: افتشهد اني رسول الله؟ فيقول: لا اسمع. فجعل يقطعه عضوا عضوا حتى مات في يده...

Ibn Ishaq berkata: maka keseluruhan orang yang menjadi saksi ‘aqabah dari suku Aus dan Khazraj ada 37, dua dia ntaranya perempuan. Dari Bani Mazin bin al-Najjar adalah Nusaibah bin Ka’ab..Dan dialah ibu Umarah. Dia dan saudara perempuannya ikut berperang bersama Nabi. Suaminya bernama Zaid bin Ashim bin Ka’b, dan dua putranya adalah Habib dan Abdullah bin Zaid. Musailamah sang pendusta (al-Kadzdzab), pemimpin Yamamah, menangkap Habib bin Zaid dan bertanya kepadanya: apakah kamu bersaksi Muhammad adalah utusan Allah? Habib menjawab ya. Lalu Musailamah melanjutkan, “apakah kamu bersaksi Musailamah adalah utusan Allah? Habib menjawab, saya tidak pernah dengar (tentang itu). Lantas Musailamah memutilasi tubuh Habib sampai dia meninggal.”

Pembunuhan sadis yang dilakukan oleh Musaylamah terhadap Habib bin Zaid ini jelas menandakan adanya aksi makar dari pihak Musaylamah terhadap otoritas Nabi, yang kemudian berkembang menjadi pemberontakan terhadap pemerintahan khalifah Abu Bakr. Ini jelas suatu ancaman serius terhadap pemerintahan pusat di madinah, mengingat Yamamah, dengan lokasi geografisnya yang strategis secara politik dan ekonomi di jazirah Arab, memang sejak awal cenderung “mbalelo” terhadap Madinah. Untuk diketahui, sebelum Musaylamah tampil ke permukaan, Yamamah dipimpin oleh seorang kafir bernama Hawdzah bin ‘Ali. Hawdhah termasuk dalam sejumlah pemimpin yang disurati Nabi untuk diajak masuk Islam. Ini terjadi pasca perjanjian Hudaibiah. Dan respon Hawdzah penuh dengan sikap antipati thd Islam. Ketika Musaylamah tampil menggantikannya, kecenderungan untuk “mbalelo” dari pemerintahan pusat masih kuat tertanam di Yamamah.

Itulah kenapa gerakan Musailamah kemudian ditumpas oleh Khalifah Abu Bakr. Penyebabnya bukan semata-mata karena ia mengaku menjadi nabi, tapi juga membunuh seorang duta Nabi SAW, dan membangun armada militer yang mengancam kedaulatan Madinah.

B. Al-Aswad al-‘Unsi

Dr. Arif dan Rofiqi menyatakan bahwa al-Aswad ibn Ka’b al-‘Unsi dibunuh oleh detasemen khusus yang dikirim oleh Nabi karena ia mengaku jadi nabi. Menurutnya, meski al-Aswad tidak memberontak dan tidak membangun kekuatan militer, ia tetap dibunuh karena telah murtad.

Betulkah demikian? Mari kita periksa Tarikh al-Tabari. Pada halaman 189, Volume 3, Imam al-Tabari bertutur tentang Al-Aswad demikian:

ان اول ردة كانت فى الاسلام باليمن كانت علي عهد رسول الله علي يدي ذي الخمار عبهله بن كعب وهو الاسود في عامة مذحج خرج بعد الوداع كان الاسود كاهنا شعباذا و كان يريهم الاعاجيب ويسبي قلوب من سمع منطقه وكا ن اول ما خرج ان خرج من كهف خبان وهى كانت داره وبها ولد ونشاء فكاتبه مذحج ووعده نجران فوثبوا بها واخرجوا عمرو بن حزم وخا لد بن سعيد العاص وانزلوه منزلهما ووثب قيس بن عبد يغوث يلي فروه بن مسيك وهو على مراد فاجلاه ونزل منزله ولم ينشب عبهله بنجران ان سار الي صنعاء فاخذ ها وكتب بذالك الي النبي من فعله ونزوله صنعاء وكان اول خبر وقع به عنه من قبل فروه بن مسيك ولحق بفروه من تم علي الاسلام من مذحج وكانوا بالاحسية ولم ىكاتبه الاسود ولم يرسل اليه لانه لم يكن احد ىشاغبه وصفا له ملك اليمن.

“Kemurtadan dalam Islam terjadi pertama kali di Yaman ketika Rasululullah SAW masih hidup, yakni oleh Dzu al-Khimar Abhahah bin Ka’b ( al-Aswad) di tengah khalayak Madzhij, setelah haji Wada.’ Al-Aswad adalah seorang dukun; dia acapkali mempertontonkan hal2 ajaib, memikat hati para pendengar pembicaraannya. Pertama kali dia mengaku jadi Nabi saat muncul dari gua Khubban, tempat dia lahir dan dibesarkan. Madzhij berkorespondensi dgn Al-Aswad, menjanjikan tanah Najran utknya. Mereka berdua lalu menyerang Najran dan mengusir ‘Amr bin Hazm dan Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash (yang diangkat Nabi sebagai penguasa Najran, AS), dan al-Aswad tampil sebagai penggantinya. Qays bin Abd. Yaghuts menyerang dan mengusir Farwah bin Musayk (deputi Nabi) di Murad, dan menempatkan al-Aswad sebagai penggantinya. ‘Abhalah al-Aswad tidak hanya berhenti di Najran tapi juga menguasai San’a.’ (huruf tebal dari saya, AS). Berita tentang kemunculan al-Aswad dan tindakannya merebut San’a’ tersebut akhirnya sampai ke telinga Nabi SAW. Itulah berita pertama yang diterima beliau dari Farwah bin Musayk. Orang2 Madzhij yang masih setia pada Islam lalu bergabung dengan Farwah, dan mereka berada di al-Ahsiyyah. Al-Aswad tidak mengontak Farwah dan tidak mengirimkan kurir, karena dia merasa Farwah tidak menjadi ganjalan buatnya. Al-Aswad menguasai Yaman secara utuh.”

Masih dalam kitab yang sama, al-Tabari menyatakan bahwa al-Aswad membunuh gubernur Yaman, putera Badham yang diangkat oleh Nabi untuk menjadi gubernur wilayah Yaman. Bukan hanya itu, Aswad juga merebut istri sang raja yang dibunuh tersebut (Tarikh al-Tabari 3:218).

Data lain tentang Al-Aswad juga bisa kita temukan dalam Al-Sirah Al-Nabawiyah karya Ibn Hisyam (w.312 H/834). Pada halama 189, Volume IV, Ibn Hisyam memaparkan perkataan Ibn Ishaq tentang betapa Al-Aswad melakukaan penyerangan terhadap delegasi yang ditugaskan Nabi untuk memungut shodaqoh/zakat di pelbagai wilayah Arab yang sudah dikuasai Islam. Coba simak kutipan berikut:

قال ابن اسحاق: وكان رسول الله صلي الله عليه وسلم قد بعث امراءه وعماله علي الصدقات الي كل ما اوضاء الاسلام من البلدان. فبعث المهاجر بن ابي امىه المغىره الى صنعاء. فخرج عليه العنسى وهو بها. وبعث زىاد بن لبيد اخا بنى بياضة الانصاري الي حضرموت وعلى صدقاتها, وبعث عدي بن حاتم على طيء وصدقاتها وعلي بنى اسد, وبعث مالك بن نوىزه—قال ابن هشام: الىربوعي—علي صدقات بني حنظلة. وفرق صدقة بنى سعد على رجلىن منهم. فبعث الزربقان بن بدر على ناحية منها وقيس بن عاصم علي ناحىة . وكان قد بعث العلاء بن الحضرمى على البحرين. وبعث علي بن ابي طالب الي اهل نجران ليجمع صدقتهم وىقدم علىه بجزىتهم.

Ibn Ishaq berkata: “Nabi mengirim sejumlah gubernur dan agen beliau untuk memungut dan mengumpulkan zakat ke segenap penjuru tanah Arab yang sudah dikuasai Islam. Beliau mengirim al-Muhajir bin Umayyah bin al-Mughira ke San’a, dan al-Aswad al-‘Ansi tampil menyerangnnya ketika ia berada di sana (huruf tebal dari saya, AS). Beliau mengirim Ziyad bin Labid, saudara Bani Bayadha al-Anshari ke Hadramaut. Nabi mengirim Adiy bin Hatim ke Tayyi dan Bani Asad; Malik bin Nuwairah al-Yarbu’I ke Bani Hanzala. Beliau membagi tugas penarikan zakat dari Bani Sa’d ke dua orang: Zibriqan bin Badr dan Qays bin Ashim, masing2 bertanggungjawab dgn bagiannya. Nabi juga mengirim al-Ala’ bin al-Hadrami ke Bahrain, dan Ali bin Abu Thalib ke penduduk Najran untuk mengumpulkan zakat mereka dan membawa ke Nabi jizyah mereka.”

Penting untuk dicatat, paparan Ibn Hisyam tentang laporan Ibn Ishaq tersebut adalah dalam konteks pembahasannya tentang fenomena munculnya dua Nabi palsu: Musailamah dan al-Aswad. Dari situ bisa disimpulkan sekurang-kurangnya dua hal: gejala kemunculan nabi palsu pada masa itu sangat erat kaitannya dengan gerakan pembangkangan terhadap pembayaran Zakat, yang sudah berlangsung semenjak masa Nabi, dan semakin membesar pada masa khalifah Abu Bakr. Kedua, al-Aswad al-‘Unsi jelas jelas melakukan penyerangan terhadap delegasi Nabi bernama al-Muhajir bin Umayyah bin al-Mughirah.

Dari tiga bukti tekstual tentang al-Aswad yang saya paparkan di atas, jelas bahwa nabi palsu Al-Aswad Al-‘Unsi dan pengikutnya ditumpas bukan semata-mata karena murtad, tapi karena al-‘Unsi melakukan makar: menyerang agen pengumpul zakat dan membunuh gubernur yang dua-duanya diangkat Nabi Muhammad. Ini sekaligus memuktikan bahwa klaim Dr. Arif dan Dr. Rofiqi tentang Al-Aswad sama sekali keliru.

C. Tulaikhah bin Khuwailid

Dr. Syamsuddin Arif menyebut kasus Thulaikhah bin Khuwailid sebagai contoh nabi palsu yang tetap diperangi oleh Nabi dan para Khalifah-nya meski dia tidak membangun kekuatan militer.

Betulkah begitu? Tarikh al-Tabari Volume 3 halaman 232 ternyata secara telak meruntuhkan klaim Dr. Arif tersebut. Al-Tabari menulis:

فلم ىعد ان انهزموا فاقروا جميعا بالاسلام خشية علي الذراري واتقوا خالدا بطلبته واستحقوا الامان ومضي طليحه حتى نزل في كلب علي النقع واسلم ولم ىزل مقىما في كلب حتي مات ابو بكر وكان اسلامه هنالك حين بلغه ان اسدا وغطفا ن وعامرا قد اسلموا ثم خرج نحو مكة معتمرا في امارة ابي بكر ومر بجنبات مدينة فقيل لابي بكر هذا طليحة فقال ما اصنع به خلوا عنه فقد هداه الله للاسلام ومضي طليحة نحو مكة فقضي عمرته ثم اتي عمر الي البيعة حىن استخلف فقال عمر انت قاتل عكاشه وثابت والله لا احبك ابدا فقال ىا امير المؤمنين ماتهم من رجلين اكرمهما الله بيدي ولم ىهني بايديهما فبايعه عمر ثم قال له ىاخدع ما بقي من كهانتك نفخة او نفختان بالكير ثم رجع الى دار قومه فاقام بها حتى خرج الى العراق

Tidak lama setelah ditaklukkan, nabi palsu dan sejumlah pengikutnya kembali memeluk Islam karena cemas akan nasib keturunan mereka, dan karena melindungi diri mereka sendiri dari Khalid bin Walid dengan cara memenuhi tuntutannya. Dengan begitu mereka mendapatkan jaminan keamanan. Thulayhah bin Khuwailid pun bertahan dgn cara itu. Dia pindah tempat di kalangan Kalb di Naqa,’ memeluk Islam dan tetap berdiam di sana sampai Abu Bakr wafat. Dia kembali ke Islam lagi setelah tahu bahwa Asad, Ghothfan, dan ‘Amir juga kembali ke Islam lagi. Lalu Thulayhah pergi ke Makkah untuk menjalankan umrah dengan melewati Madinah. Saat itu Khalifah Abu Bakr RA masih hidup. Sang khalifah diberi tahu kalau Thulayhah sedang di Madinah, tapi beliau hanya menjawab, “Saya mesti berbuat apa ke dia? Biarkan saja, toh Allah sudah memberinya petunjuk utk kembali ke Islam.” Thulayhah akhirnya bisa menuju ke Makkah dan ber-umrah. Lalu pada saat Umar bin al-Khattab menjadi khalifah, Thulayhah datang untuk menyatakan sumpah setia ke Umar. Lalu ‘Umar bilang ke Thulayhah, “kamu pembunuh ‘Ukkasyah dan Tsabit, demi Tuhan, aku sama sekali tidak suka kamu.” Mendengar itu, Thulayhah menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, mengapa engkau risau dengan dua orang yang justru dimuliakan oleh Allah di akhirat lantaran perbuatanku, sementara Allah tidak menghinakan daku melalui tangan mereka berdua?” Akhirnya ‘Umar menerima sumpah kesetiaan Thulayhah. Lalu ‘Umar bertanya, “hai mantan nabi palsu, apa yang masih tersisa dari keahlian dukunmu?” Jawab Thulaihah, “satu atau dua tiupan pada alat peniup.” Setelah peristiwa tersebut, Thulayhah kembali ke wilayah suku asalnya dan tetap berada di sana sebelum menuju Irak.

Kutipan di atas menarik karena menggambarkan bagaimana Abu Bakr dan Umar bin al-Khattab memberi kesempatan kepada nabi palsu Thulaikhah bin Khuwailid untuk kembali memeluk Islam dan bahkan dibiarkan melakukan ‘umrah. Patut diingat, Thulaikhah bukanlah nabi palsu yang tidak punya pasukan militer. Ketika digempur pasukan Islam pimipinan Khalid bin Walid, Thulaikhah berhasil membunuh sahabat dekat Nabi, Ukkasyah bin Mihsan. Tapi Thulaikhah lolos. Dalam keadaan terdesak dan tidak punya kekuatan menyerang, Thulaikhah kemudian masuk Islam.

Kalau memang kemurtadan langsung diganjar dengan hukuman mati seperti ditegaskan Dr. Arif dan Rofiqi, Khalifah Abu Bakr tentu tidak akan memberi kesempatan orang seperti Thulaihah bin Khuwailid untuk kembali ke Islam—apalagi masuk Islamnya demi alasan keamanan, seperti dinyatakan al-Tabari—, tapi langsung memenggalnya. Tapi nyatanya Thulaikhah dibolehkan masuk Islam lagi. Artinya apa? Seorang murtad yang tidak melakukan penyerangan dan pemberontakan terhadap umat Islam tidak lantas dikenai hukuman mati. Pintu tobat tetap terbuka baginya, seperti kasus Thulaikhah. Lagi-lagi pendapat Dr. Arif dan Rofiqi terbantahkan.

II

Ahmad Rofiqi juga merujuk pada surat diplomatik Abu Bakr untuk menopang pendapatnya bahwa kaum murtad wajib diperangi dan dibunuh semata-mata karena kemurtadannya. Rofiqi menulis:

“Surat diplomatik Khalifah Abu Bakar ra ini berbunyi jelas, ketika menggambarkan alasan perang yang ia lakukan adalah: “…keluarnya orang-orang diantara kalian dari agamanya setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya”. Jadi alasannya adalah: “keluar dari agama” atau murtad. …..Abu Bakar ra tidak membicarakan tentang masalah isu keamanan negara dan sejenisnya. Beliau hanya menyebutkan alasan utama perang adalah memberantas kemurtadan nabi palsu.”

Kesimpulan Rofiqi: perang yang dilakukan Khalifah Abu Bakr, yang belakangan disebut dengan “perang melawan kemurtadan” (huruub al-ridda), adalah murni masalah teologis, dan tidak ada sangkut pautnya dengan isu-isu keamanan negara seperti separatism, pemberontakan, dan sejenisnya.

Benarkah begitu? Untuk menguji apakah kesimpulan Rofiqi berdasar atau tidak, mari kita lihat apa yang dipaparkan Imam al-Thabari tentang bagaimana ekspedisi militer yang dipimipin oleh Khalid bin Walid ini sesungguhnya berlangsung , misalnya pada kasus pembunuhan terhadap Malik bin Nuwairah dan kelompoknya dari suku al-Buthah. Di mata Khalid bin Walid, gerakan Malik bin Nuwairah termasuk dalam daftar gerakan murtad yang harus diperangi. Tapi kelompok tersebut dengan tegas menolak disebut murtad karena mereka merasa tetap sebagai muslim. Meskipun begitu, Khalid tetap membunuh mereka semua, dan menikahi janda Malik bin Nuwairah, Umm Tamim binti al-Minhal, setelah pembunuhan itu. Mendengar peristiwa ini, Umar bin al-Khattab langsung murka dan mengecam keras tindakan Khalid, langsung di depan orangnya. ‘Umar juga menuntut agar ia dipecat sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata kaum muslim. Tapi Abu Bakr memaafkan tindakan Khalid dan tidak menjatuhi hukuman apapun terhadapnya.


Peristiwa ini direkam dalam Tarikh Al-Tabari Vol.3 hal: 242-243:

ان ابا بكر كان من عهده الي جيوشه ان اذا غشيتم دارا من دور الناس فسمعتم فىها اذانا للصلاة فامسكوا عن اهلها حتي تساءلوهم ماالذي نقموا وان لم تسممعوا اذانا فشنوا الغارة فاقتلوا واحرقوا وكان ممن شهد لمالك بالاسلام ابو قتادة الحارث بن ربعي اخو بنى سلمة وقد كان عاهد الله ان لا يشهد مع خالد بن الوليد حربا ابدا بعدها وكا ن يحدث انهم لما غشواالقوم راعوهم تحت الىل فاخذ القوم السلاح قال فقلنا انا مسلمون فقالوا ونحن المسلمون قلنا فما بال السلاح معكم قالوا لنا فما بال السلاح معكم قلنا فا ن كنتم كما تقولون فضعوااسلاح قال فوضعوها ثم صلينا وصلوا وكان خالد بن الوليد يعتذر في قتله انه قال وهو يراجعه ما اخال صاحبكم الا وقد كان ىقول كذا وكذا قال او ما تعده لك صاحبا ثم قدمه فضرب عنقه واعناق اصحابه فلما بلغ قتلهم عمر بن الخطاب تكلم فيه عند ابي بكر فاكثر فقال عدوالله عدا علي امريء مسلم فقتله ثم نزا علي امراءته واقبل خالد بن الوليد قافلا حتى دخل المسجد وعلىه قباء له عليه صداء الحديد معتجرا بعمامة له قد غرز في عمامته اسهما فلما ان دخل المسجد قام الىه عمر فانتزع الاسهم من راءسه فحطمها ثم قال ارءاء قتلت امراء مسلما ثم نزوت علي امراءته والله لارجمنك باحجارك ولا ىكلمه خالد بن الولىد ولا يظن الا ان راءى ابي بكر علي مثل راءي عمر فيه حتى دخل علي ابي بكر فلما ان دخل علىه اخبره الخبر واعتذر الىه فعذره ابو بكر وتجاوز عنه ما كان في حربه تلك قال فخرج خالد حين رضي عنه ابو بكر وعمر جالس فى المسجد فقال هلم الى ىا ابن ام شملة قال فعرف عمر ان ابا بكر قد رضي عنه ولم يكلمه ودخل بيته.


Sesungguhnya salah satu wejangan Abu Bakr kepada para pasukannya adalah ini: “Ketika kalian memasuki wilayah pemukiman orang-orang itu (maksudnya kelompok yang dianggap murtad, AS), and lalu mendengar suara adzan, berhentilah bertindak terhadap orang-orang itu dan tanyakan apa alasan sikap permusuhan mereka terhadap kita. Tapi jika kalian tidak mendengar suara adzan, maka serbulah mereka, bunuh dan bakar mereka.”

Nah di antara para sahabat Nabi yang menjadi saksi bahwa Malik (bin Nuwairah) itu muslim adalah Abu Qatadah al-Harits bin Rib’i, saudaranya Banu Salimah. Makanya dia bersumpah tidak akan sudi berperang lagi bersama Khalid bin Walid setelah kejadian itu. Abu Qatadah mengacu pada kejadian ketika dia bersama pasukan muslim lain pada suatu malam hendak menyerbu satu kelompok yang sudah siap dengan senjata mereka. Ketika kita bilang, “kami semua orang muslim,” mereka membalas, “kami juga muslim.”Lalu kami berkata, “lantas apa artinya senjata kalian.“ Mereka menimpali, “apa artinya juga senjata kalian?” Kami menukas, “Kalau kalian memang seperti yang kalian bilang, letakkan senjata!!” Lantas mereka meletakkan senjata mereka. Kami lalu melakukan sholat, dan mereka pun melakukan sholat.

Namun Khalid bin Walid memberi alasan atas pembunuhannya (atas Malik), bahwa Malik suatu kali pernah bilang begini ke dia: “kawanmu (maksudnya Nabi Muhammad) berkata begini-begini.” Khalid langsung menimpali, “kenapa kamu tidak menganggap beliau sebagai kawanmu juga?” Atas dasar itu Khalid lalu memengal kepala Malik dan kelompoknya.”

Ketika kabar pembunuhan tersebut sampai ke ‘Umar bin al-Khattab, beliau sontak mengecamnya di depan khalifah Abu Bakr dan tak henti2 berujar, “Si musuh Allah (maksudnya Khalid bin al-Walid, AS) telah melakukan kekerasan terhadap seorang Muslim dengan membunuhnya dan mengambil istrinya.”

Tak lama kemudian Khalid bin Walid kembali ke Madinah. Dia memasuki masjid dengan mengenakan pakaian perangnya yang dililit dengan panah. Seketika itu juga ‘Umar mendekatinya dan menarik beberapa anak panah yang menempel di kepalanya lalu memukulkannya ke Khalid. Umar berkata, “dasar munafik, membunuh seorang muslim dan lalu mengambil istrinya! Demi Allah, akan saya rajam kamu dengan batu-batu kamu sendiri.” Khalid tidak berucap sepatah katapun. Dia pikir Abu Bakr pasti akan sependapat dengan Umar. Tapi ketika Abu Bakr datang dan Khalid bin al-Walid menceritakan kepadanya ttg kronologi peristiwanya, Abu Bakr langsung memaklumi Khalid dan mengampuninya atas apa yang terjadi dalam perang yang dipimpinnya. Begitu tahu Abu Bakr berada di pihaknya, Khalid berkata ke Umar, yang saat itu duduk2 di masjid, “datanglah ke sini, wahai Ibn Ummi Syamlah.” Seketika itu Umar tahu bahwa Abu Bakr telah merestui Khalid, jadi Umar tidak bicara kepadanya, dan langsung pulang ke rumahnya.”


Ada beberapa poin penting dari kutipan di atas yang sangat relevan untuk topik pembahasan kita di sini:

Pertama, Abu Bakr menyatakan dalam instruksinya kepada para pasukannya bahwa jika mereka mendengar suara adzan dari kelompok yang dianggap murtad, maka mereka harus menahan diri untuk tidak menyerang dan ber-tabayyun (memperjelas duduk perkaranya) dulu tentang sikap permusuhan mereka. Tapi kalau para pasukan tidak mendengar bunyi adzan, mereka boleh langsung menyerang. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa yang kaum murtad diperangi Abu Bakr adalah mereka yang punya sikap permusuhan terhadap kaum Muslim.

Kedua, menurut ‘Umar bin al-Khattab, kalau ada satu kelompok yang ditengarai telah murtad, tapi kelompok tersebut masih mengaku sebagai muslim, mereka sama sekali tidak boleh diperangi dan dibunuh. Karena itu, ‘Umar sangat berang ketika mendengar panglima tertinggi “perang melawan kemurtadan” membunuh Malik bin Nuwairah dan kelompoknya karena dianggap murtad, padahal mereka jelas-jelas mengaku muslim. Tak tanggung-tanggung, ‘Umar menyebut Khalid bin Walid sebagai “musuh Allah” karena perbuatannya itu. Dan Khalid diam seribu bahasa, tak berani menyangkal ‘Umar. Tidak hanya ‘Umar yang bersikap demikian. Abu Qatadah juga bersumpah tidak mau lagi menjadi pasukan di bawah kendali Khalid bin Walid.

Pendirian ‘Umar ini, dalam hemat saya, sangat penting untuk digarisbawahi karena ia menegaskan satu pedoman fundamental dari kacamata Islam tentang bagaimana menentukan apakah seseorang itu muslim atau tidak. Bagi ‘Umar, tolok ukur ke-Islaman adalah yang lahiriah, bukan apa yang ada dalam hati, yaitu pengakuan orang itu sendiri. Sejauh ia mengaku muslim, maka ia terhitung muslim. Soal apakah dalam batinnya ia musyrik atau kafir itu urusan dia pribadi.

Dalam hal ini, sikap ‘Umar sesuai dengan semangat hadits yang bertutur tentang marahnya Rasulullah terhadap Usamah bin Zaid pada suatu kali. Kenapa? Karena dalam satu pertempuran melawan kaum kafir, Usamah memutuskan untuk membunuh seorang musuh, yang setelah kalah dalam duel dan terdesak, kemudian menyerukan kalimat syahadat. Usamah beralasan, syahadat-nya si musuh hanyalah akal-akalan saja, agar tak dibunuh. Rasul tidak terima dengan alasan Usamah, dan bertanya: “apa kamu sudah periksa hatinya untuk memastikan dia jujur atau pura-pura.” Rasul kemudian bersabda:

نحن نحكم بالظواهر والله ىقضى السرائر
“Kita berhukum berdasarkan ukuran-ukuran lahiriah, dan Allahlah yang memutuskan apa yang sejatinya yang tersembunyi dalam batin.” (Lihat Baihaqi, Kitab Sunan al-Kubro, vol 8: 196).


Di samping itu, pelajaran penting yang bisa dipetik dari sikap ‘Umar bin al-Khattab dalam kasus ini adalah perlunya kehati-hatian dalam menyikapi kelompok yang ditengarai telah murtad, padahal pada saat yang sama kelompok itu masih mengaku sebagai muslim. Dari cerita al-Thabari di atas kita bisa menyimpulkan, gerakan Malik bin Nuwairah memang semula dikategorikan sebagi kelompok murtad agresif yang mesti diperangi—buktinya, mereka mempersenjatai diri. Tapi ternyata terbukti Malik dan pengikutnya menolak dikategorikan sebagai murtad. Mereka mengaku muslim dan menjalankan sholat.

Bagi ‘Umar bin Khattab, pengakuan dan tindakan lahiriah Malik danpengikutnya cukup menjadi bukti bahwa mereka masih muslim, dan karena itu sama sekali tidak boleh diperangi. Makanya beliau marah besar dengan Khalid bin Walid yang menurut ‘Umar main hantam kromo saja dengan membunuh Malik bin Nuwairah dan kelompoknya.


Ketiga, yang menarik untuk dicatat adalah sikap Khalifah Abu Bakr terhadap perbuatan Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah. Tadinya Khalid menyangka Abu Bakr akan bersikap sama dengan ‘Umar. Tapi ternyata Abu Bakr mengampuni kesalahan Khalid dan malah justru berada di pihaknya.

Mengapa Khalifah Abu Bakr pada akhirnya mengampuni kesalahan Khalid bin Walid dan berada di pihaknya, suatu posisi yang berbeda secara diametral dengan ‘Umar bin Khattab? Patut dicatat, dengan tindakannya mengampuni Khalid bin Walid, secara implisit Khalifah Abu Bakr sebenarnya juga menganggap Khalid bersalah dalam tindakannya memenggal kepala Malik bin Nuwairah dan pengikutnya. Tapi Abu Bakr ternyata memutuskan untuk mempertahankan posisinya sebagai panglima tertinggi “perang melawan kemurtadan.” Mengapa?

Menurut pendapat saya, keputusan Abu Bakr tersebut menunjukkan bahwa “perang melawan kemurtadan” tidak bisa dilihat semata-mata sebagai persoalan teologis semata-mata. Sebab kalau memang begitu, tentunya Khalifah Abu Bakr tidak akan mengampuni tindakan Khalid membunuh Malik dan menikahi janda almarhum. Kalau pertimbangannya murni teologis, Abu Bakr tentunya akan bersikap sama dengan ‘Umar bin al-Khattab, yakni menghukum Khalid yang telah membunuh seorang muslim.

Tapi kenyataannya, Abu Bakr justru memaafkan Khalid dan tetap mempertahankan jabatannya. Karena itu, perang melawan kemurtadan pimipinan Khalid mesti dilihat juga sebagai perang yang sangat kental nuansa politiknya, yakni sebagai bagian dari upaya mengukuhkan fondasi kedaulatan politik kekhilafahannya. Dan karena Khalid bin Walid dianggap berjasa besar untuk itu, Abu Bakr pun kemudian memaafkannya. Tindakan Abu Bakr ini tentu saja bisa dimengerti, apalagi beliau baru terpilih sebagai khalifah di tengah goncangan psikologis umat akibat ditinggal wafat Rasulullah. Di tengah situasi demikian, maraknya gerakan nabi palsu yang rame-rame murtad, membangkang dari kewajiban membayar zakat dan menolak mengakui legitimasi pemerintahan pusat di Madinah menjadi identik dengan aksi makar dan pemberontakan.

Itulah saya kira alasan utama kenapa ‘Umar bin Khattab tidak menentang keputusan Abu Bakr untuk tetap mempertahankan Khalid bin Walid sebagai panglima tertinggi. Meskipun tetap menganggap Khalid layak dihukum atas pembunuhannya terhadap Malik bin Nuwairah, ‘Umar tetap setia mendukung keputusan yang diambil sang Khalifah. Tapi ketika ‘Umar menjabat sebagai khalifah kedua dan melihat fondasi kedaulatan kekhalifahan sudah cukup kokoh, Umar akhirnya memecat Khalid dan menempatkan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah sebagai penggantinya.

Dalam konteks semacam itulah “perang melawan kemurtadan” mendapatkan signifikasni politiknya . Karena itu sungguh keliru ketika Ahmad Rofiqi menyatakan bahwa Abu Bakr memerangi kaum murtad melulu karena kemurtadannya.

Bukti lain yang menunjukkan betapa tak berdasarnya klaim Rofiqi bisa kita temukan dalam kasus bagaimana Abu Bakr bersikap terhadap pemimpin gerakan murtad dari suku Kindah di Hadramaut bernama al-Asy’ats bin Qays.

Seperti dituturkan Al-Tabari dalam Tarikh al-Thabari, dan Baladhuri dalam Futuh al-Buldan, Banu Wali’ah dari suku Kindah yang dipimipin oleh al-Asy’ats rame-rame murtad tidak lama setelah Nabi wafat, karena mereka beranggapan bahwa gubernur muslim di Hadramaut saat itu, Ziyad bin Labid, tidak menepati apa yang telah dijanjikan oleh Nabi Muhammad kepada mereka saat masih hidup. Menurut pengakuan mereka, saat delegasi suku Kindah berbai’at masuk Islam di hadapan Nabi, Nabi setuju kalau suku Kindah mendapatkan tu’ma (porsi yang telah ditentukan) dari hasil penarikan shadaqah/zakat di Hadramaut. Tapi setelah Nabi wafat, gubernur Hadramaut ternyata menolak untuk memberikan tu’ma kepada mereka. Akhirnya mereka rame-rame menyatakan keluar dari Islam dan berbuat makar (misalnya membunuh membunuh utusan yang dikirim gubernur Hadramaut untuk menemui mereka). Merespon gerakan tersebut, Abu Bakr akhirnya mengirim pasukan yang dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahl di bawah koordinasi panglima Khalid bin Walid untuk mengepung markas gerakan murtad tersebut di Nujair. Pasukan ‘Ikrimah akhirnya berhasil menumpas gerakan murtad dari suku Kindah, menangkap pentolannya dan menyerahkannya kepada Abu Bakr untuk dihukum.

Tapi menariknya, Abu Bakr tidak lantas langsung menjatuhkan hukuman mati terhadap sang pemimpin gerakan murtad dari Kindah. Yang terjadi justru ini: al-Asy’ats menyatakan masuk Islam lagi, dan lalu dinikahkan oleh Abu Bakr dengan saudari kandungnya, Umm Farwah. Simaklah Tarikh al-Tabari, Vol.3, hal 276:

ان الاشعث لما قدم به على ابي بكر قال ما تراني اصنع بك فانك قد فعلت ما علمت قال تمن علي فتفكنى من الحدىد وتزوجني اختك فاءنى قد راجعت واسلمت قال ابو بكرقد فعلت فزوجه ام فروة ابنة ابي قحافة فكان بالمدىنة حتي فتح العراق

Sesungguhnya al-Asy’ats ketika dibawa ke hadapan Abu Bakr, Abu Bakr bertanya, “menurutmu, apa yang mesti kulakukan terhadapmu mengingat apa yang telah kamu perbuat?” Lalu al-Asy’ats menjawab, “saya harap paduka bersikap baik terhadap saya. Bebaskan saya dari besi-besi ini dan nikahkan saya dengan saudara perempuan paduka, karena telah kembali dan memeluk Islam lagi.” Abu Bakr kemudian mengiakan permintaannya dan menikahkannya dengan Umm Farwah binti Abi Qahafah. Setelah itu al-Asy’ats berada di Madinah sampai saat penaklukan Iraq.

Kalau memang orang murtad harus dihukum mati semata-mata karena kemurtadannya seperti dikatakan oleh Ahmad Rofiqi dan Dr. Syamsuddin Arif, mestinya begitu al-Asy’ath tertangkap, ia langsung dipenggal kepalanya. Tapi hal itu sama sekali tidak terjadi. Al Asy’ath justru masih diberi kesempatan untuk menjadi muslim lagi, dan setelah itu malah menjadi ipar Khalifah Abu Bakr. Lagi-lagi klaim tuan Arif dan Rofiqi secara telak terbantahkan.

III

Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya di bagian kedua merumuskan pandangannya tentang status orang murtad menurut Islam sebagai berikut:

“Maka ahli-ahli hukum Islam yang disebut fuqaha sepakat bahwa orang yang murtad (keluar dari Islam) mesti dijatuhi hukuman mati. Ini dikukuhkan oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam an-Nasa’i: “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu fa-uqtuluhu).” Maka tatkala Mu‘adz ibn Jabal berkunjung ke kediaman Abu Musa al-Asy‘ari di Yaman dan melihat seorang Yahudi diikat lantaran masuk Islam tetapi kemudian keluar lagi (murtad), beliau berkata: “Aku tidak akan duduk sebelum orang ini dieksekusi. Demikianlah ketentuan Allah dan RasulNya (la ajlisu hatta yuqtala, qadha’Allahi wa rasulihi).” Pendapat ini yang dipegang antara lain oleh Imam at-Thahawi dan sebagian ulama salaf. Sementara mayoritas ahli fiqih empat mazhab menyatakan perlunya kesempatan terakhir diberikan kepada yang si murtad untuk bertaubat dalam tempo maksimal tiga hari. Dasarnya adalah kebijakan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab dan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib dalam menangani kasus murtad.”

Apakah kesimpulan Dr. Arif di atas bisa dipertahankan dari sudut pandang doktrin Islam? Marilah kita periksa satu persatu bukti-bukti tekstual yang ada tentang pokok soal ini:

Poin pertama, tidak betul bahwa ahli-ahli hukum Islam (fuqaha) telah bersepakat dalam soal hukuman mati untuk orang murtad, seperti ditengarai Dr. Arif. Telaah yang dilakukan oleh Mohammad Hashim Kamali, profesor hukum Islam pada International Islamic University of Malaysia, terhadap literatur fiqh dan hadits tentang hukum apostasy (irtidad) dalam Islam setidaknya membantah adanya ijma’ (konsensus) para ulama dalam soal ini sejak dulu sampi sekarang. Profesor Kamali menyebut sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati, melainkan mesti terus menerus diberi kesemptan untuk kembli ke Islam, karena selalu ada harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertaubat. Sebut saja nama-nama seperti Ibrahim al-Nakha’i , faqih (ahli fiqh) generasi tabi’in; Sufyan al-Tsauri, ahli hadist generasi tabi’ al-tabi’in yang digelari amir al-mu’minin dalam soal hadits dan pengarang buku kompilasi hadist tekenal, Jami’ al-Shaghir dan Jami’ al-Kabir; juga ahli fiqh empat mazhb seperti Imam Sya’roni dan Imam Syarakhsyi. (Lihat Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, hal. 93). Dengan kata lain, ahli-ahli hukum Islam sejak dulu berbeda pendapat tentang soal status orang murtad.

Kedua, hadits yang dikutip Dr. Symsuddin Arif memang hadits sahih dan dimuat dalam kitab Sahih Bukhari. Imam Bukhori menyebut pernyataan Nabi tersebut dalam kaitannya dengan tindakan khalifah ‘Ali bin Abu Thalib yang menghukum bakar beberapa orang zindiq (heretik) atas kejahatan yang mereka perbuat. Ketika kabar itu sampai ke telinga Ibn ‘Abbas, ia diriwayatkan menyatakan bahwa kalau seandainya ia adalah Khalifah ‘Ali, ia tidak akan membakar mereka karena adanya larangan dari Nabi terhadap hukuman bakar. Kalau Ibn ‘Abbas yang jadi khalifah, yang ia lakukan adalah membunuh orang-orang zindiq tersebut, berdasar hadits Nabi: “barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah.” (Qastallani, Irshad al-Sari li Sharh Shhih Al-Bukhari, vol. 14: hal. 395-396).

Persoalannya, apakah dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa orang murtad harus dihukum mati karena kemurtadannya, seperti dinyatakan Dr. Arif? Saya kira pendapat semacam ini dengan mudah dibantah kalau kita mengacu pada prinsip-prinsip metodologi dalam hukum Islam (Ushul al-Fiqh).

Siapapun yang mempelajari Ushul al-Fiqh tentu tahu bahwa penetapan hukuman hudud ( hukuman mati termasuk hudud) haruslah didasarkan pada ketentuan nash (teks rujukan) yang qath’iy (bersifat pasti), baik dalam hal pengertian yang dikandungnya (qath’iyyu al-dalalah) maupun dalam hal rangkaian sanad/rantai transmisinya (qath’iyyu al-wurud). Yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh puluhan orang dalam setiap mata rantai transmisinya).

Nah, hadits-hadits tentang hukuman mati terhadap orang murtad sejatinya termasuk dalam kategori hadits ahad (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau segelintir orang saja), dan bukan hadits mutawatir. Dan harus diingat, hadits ahad, meskipun sahih statusnya, bukanlah suatu nash yang qath’iy (pasti) melainkan dzanniy (bersifat sangkaan) belaka. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan sebagai dasar bagi penetapan hukuman hudud. Walhasil, dilihat dari sudut pandang Ushul al-Fiqh, argumen Dr. Arif yang memakai hadits ahad sebagai dalil untuk menegakkan hukuman mati terhadap kaum murtad terbukti rontok dengan sendirinya.

Ketiga, klaim Dr. Syamsuddin Arif dan juga Ahmad Rofiqi bahwa kaum murtad harus dibunuh karena kemurtadannya jelas bertentangan dengan spirit sejumlah ayat al-Qur’an tentang orang murtad ( seperti QS 3:90, 4:137, dan 2:217). Ayat-ayat ini memang menegaskan bahwa perbuatan murtad adalah suatu dosa yang serius, dan orang murtad akan dihukum Allah di akhirat. Tapi ayat-ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung adanya hukuman mati di dunia buat mereka.

Simak misalnya ayat 4:137: “Sesungguhnya orang-orang yang telah menyatakan beriman kemudian menjadi kafir, lalu beriman lagi, lalu menjadi kafir lagi, kemudin bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan memberi mereka petunjuk kepada jalan (yang lurus).” Perhatikan, ayat ini berbicara tentang orang yang bolak-balik murtad. Tapi hukuman yang disebut dalam ayat ini hanya hukuman yang berlaku nanti kalau di akhirat. Tidak disinggung adanya hukuman mati buat mereka di dunia. Logikanya, kalau tindakan murtad serta merta harus diganjar hukuman mati, tentu statemen Al-Qur’an tentang fenomena bolak-balik murtad menjadi tidak bermakna, karena si murtad tentunya sudah dipenggal sejak pertamakali keluar dari Islam. Dari ayat itu kita bisa menyimpulkan, tindakan murtad memanglah suatu dosa besar. Kalau si murtad tidak bertobat sampai meninggal, maka Allah tidak akan memberinya ampunan. Meskipun demikian, si murtad tetap punya hak untuk hidup dan selalu diberi kesempatan untuk bertobat hingga ajal menjemputnya.

Kesimpulan semacam ini juga didukung oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang tidak adanya paksaan dalam agama; tentang prinsip bahwa setiap orang punya tanggungjawab sendiri-sendiri untuk memilih mana jalan yang benar dan mana yang sesat; dan bahwa tugas Rasul hanyalah menyampaikan risalah kenabian dan bukan untuk memaksa orang untuk menjadi mu’min, karena kalau Allah menghendaki, niscaya semua orang bisa saja Dia bikin menjdi beriman.

Anehnya, baik Syamsuddin Arif maupun Ahmad Rofiqi dalam tulisannya sama sekali bungkam terhadap ayat-ayat yang saya sebut di atas. Dr. Arif malah mengutip ayat Ma’idah 33-34, yang berbicara tentang hukuman bagi “orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya.” Pihak yang melancarkan perang terhadap Allah dan Rasulnya bisa saja kaum murtad, tapi bisa juga kaum kafir ataupun musyrik. Dus, sungguh keliru kalau memakai ayat ini sebagai dalil hukuman mati terhadap orang murtad semata-mata karena kemurtadannya.

Keempat, Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi juga mengabaikan sejumlah hadist sahih lain yang bercerita tentang sejumlah orang yang keluar dari Islam pada masa Nabi, tapi beliau tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap mereka. Misalnya, ketika Nabi masih tinggal di Makkah, ada seorang muslim bernama Ubaidillah bin Jahsh ikut serta dalam hijrah sejumlah sahabat Nabi dari Makkah ke Ethiopia. Sesampai di sana, Ubaidillah pindah ke agama Kristen dan tetap tinggal di Ethiopia. Nabi tentu tahu akan hal itu, tapi beliau ternyata tidak membunuhnya.

Contoh kasus lain: ketika di Madinah, ada seorang Arab badui datang menemui Nabi untuk menyatakan masuk Islam. Tapi beberapa saat kemudian, si badui minta supaya bai’at Islam-nya dibatalkan. Pada mulanya Nabi menolak, tapi si badui ngotot, dan akhirnya meninggalkan Madinah untuk kembali ke keyakinan pra-Islamnya. Meskipun demikian, Nabi juga tidak menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Kisah ini termuat dalam Sahih Bukhari:

عن جابر رضى الله عنه: جاء اعرابي الى النبي صلي الله علىه وسلم فباىعه علي الاسلام فجاء من الغد محموما فقال: اقلني, فابى- ثلاث مرار. فقال: المدىنة كالكىر تنفي خبثها وىنصع طىبها.


Diriwayatkan dari Jabir R.A: seorang badui datang menemui Nabi dan melakukan bai’at masuk Islam. Tapi keesokan harinya dia datang dalam keadaan demam: batalkan bai’at Islamku, tapi Nabi menolak—berulang sampai tiga kali. Akhirnya Nabi berkata: Madinah ibarat alat peniup api, membuang yang kotor dan menjernihkan yang bersih darinya.

Dalam kaitan dengan empat poin yang saya paparkan di atas, ada baiknya di sini kita menyimak pandangan Mahmud Syalthut, pemikir Islam Mesir yang pernah menjadi rektor Universitas al-Azhar pd dekade 1950-an. Dalam kitabnya Al Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun, Mahmud Syaltut menulis:

“Mengenai hukuman mati untuk perbuatan murtad, para ahli fiqh mendasarkan diri pada hadits yng diriwayatkan Ibn Abbas:” Man baddala dinahu faqtuluhu” (Barang siapa berganti agama maka bunuhlah.) Hadits ini memunculkan pelbagai respon dari ulama. Banyak di antara mereka bersepakat bahwa hukuman hudud tidak bisa didasarkan pada hadits ahad.

Tindakan murtad semata tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukuman mati. Faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan (dari si murtad, AS) terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara. Kesimpulan ini didasarkan pada banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang melarang paksaan dalam beragama.” (dikutip dalam Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, 1994, hal. 94-95).

Terdapat sekurang-kurangnya dua hal penting yang bisa kita garisbawahi dari pernyataan Mahmud Syalthut ini.

Pertama, hadits “barang siapa mengubah agamanya maka bunuhlah” adalah hadits ahad, yang meskipun sahih, tidak bisa digunakan sebagai dasar penetapan hudud, sepertihalnya hukuman mati buat kaum murtad. Poin ini sudah saya paparkan sebelumnya.

Kedua, statemen Syalthut “faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan (dari si murtad, AS) terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara” sangat penting untuk ditekankan karena statemen itu menegaskan ‘illat (ratio legis, alasan hukum) yang menjadi alasan diterapkannya hukuman mati buat orang murtad. Yakni, bahwa hukuman itu terkait erat dengan adanya unsur agresi dan permusuhan dari si murtad. Dengan kata lain, kaum murtad memang wajib diperangi kalau kemurtadan mereka dibarengi dengan tindakan memusuhi dan menyerang kaum beriman. Adapun kalau mereka keluar dari Islam tanpa disertai dengan tindakan semacam itu, maka hukuman mati dengan sendirinya tidak berlaku buat mereka. Ini sesuai dengan satu diktum al-qawa’id al-fiqhiyyah (legal maxims): Al-hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa ‘adaman (berlaku atau tidaknya suatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat (alasan hukum) yang mendasarinya).

Yang menarik, pendapat Mahmud Syalthut ini juga digemakan kembali oleh Tariq Ramadan, pemikir Islam Eropa kontemporer yang sekaligus juga cucu Hasan Al-Banna, pendiri garakan Ikhwanul Muslimin. Dalam satu wawancarnya yang pernah dimuat di Nesweek dan Washington Post, Tariq Ramadan menyampaikan pandangannya tentang apostasy dalam Islam sebagi berikut:

In the Islamic legal tradition, “apostasy” known as “ridda” is related to changing one’s religion and its injunction is mainly based on two prophetic sayings (ahadith) both quoted in sahih Bukhari (9,83 and 84): “The one who changes his religion, kill him” and another tradition noting that among the three categories of people who can be killed is “the one who leaves the community”. The great majority of the Muslim scholars, from all the different traditions and throughout history, have been of the opinion that changing one’s religion is prohibited in Islam and should be sanctioned by the death penalty.

Nevertheless we find, in very early studies and writings, several Muslim scholars having a different approach. The jurist Ibrahîm al-Nakha’î (8th), Sufyân ath-Thawrî (8th) in his renowned work on the prophetic tradition (Al-Jâmi’ al Kabîr, Al-Jâmi’ al-Saghîr) as well as the hanafi jurist Shams ad-Dîn as-Sarakhsî (11th) – among others- hold other views. They question the absolute authenticity of the two prophetic traditions quoted above. They also argue that nothing is mentioned in the Qur’an pertaining to this very sensitive issue and add that there is no evidence of the Prophet killing someone only because he/she changed his/her religion.

The Prophet took firm measures, only in time of war, against people who had falsely converted to Islam for the sole purpose of infiltrating the Islamic community to obtain information they then passed on to the enemy. They were in fact betrayers engaging in high treason who incurred the penalty of death because their actions were liable to bring about the destruction of the Muslim community and the two prophetic traditions quoted above should be read in this very specific context.

In light of the texts (Qur’an and prophetic traditions) and the way the Prophet behaved with the people who left Islam (like Hishâm and ‘Ayyash) or who converted to Christianity (such as Ubaydallah ibn Jahsh), it should be stated that one who changes her/his religion should not be killed. In Islam, there can be no compulsion or coercion in matters of faith not only because it is explicitly forbidden in the Qur’an but also because free conscious and choice and willing submission are foundational to the first pillar (declaration of faith) and essential to the very definition of “Islam”. Therefore, someone leaving Islam or converting to another religion must be free to do so and her/his choice must be respected. (Untuk wawancara lengkapnya, lihat: http://www.tariqramadan.com/Muslim-Scholars-Speak-Out.html ).

Penutup

Telaah saya terhadap aspek historis (bagian pertma dan kedua) dan aspek doktrinal (bagin ketiga) menyangkut gerakan nabi palsu dan status orang murtad menurut Islam pada prinsipnya ingin menunjukkan betapa klaim Dr. Syamsuddin Arif dan Ahmad Rofiqi bahwa orang murtad wajib diperangi dan dihukum mati semata-mata karena kemurtadannya terbukti sama sekali tidak ditopang oleh fakta historis dan dalil syar’i yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ahmad Rofiqi dalam tulisnnya menyebut artikel saya di Koran Tempo yang ia tanggapi sebagai mengandung “aroma liberalisme sinkretis” (saya nggak paham maksud istilah ini, AS) yang “mendistorsi dan memanipulasi” data historis. Rofiqi juga menuduh saya sebagai “menghalalkan segala cara,” “pembela nabi palsu dan aliran sesat,” dan “berdusta kepada masyarakat Islam di negerinya sendiri.” Sungguh ironis bahwa seorang yang mengaku sebagai intelektual begitu gampangnya memberikan label-label yang penuh prasangka terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Ironis bahwa tuduhan2 serem ini keluar dari kalangan akademisi, “alumni pasca-sarjana Ibnu Khaldun,” yang mestinya menjunjung soal adab dalam berpolemik. Kalau sudah begitu, saya tidak bisa menahan diri untuk punya pikiran semacam ini: perbedaan antara posisi saya dan Rofiqi sesungguhnya bukanlah antara “liberal” versus “salafis,” melainkan antara sikap yang mengakui pentingnya kritik ilmiah dan kesadaran historis dalam mendaras agama dengan sikap yang berlumur dengan prasangka dan dogmatisme.

Yang juga tak kalah ironis, Dr. Syamsuddin Arif menyebut dirinya sebagai pakar orientalis. Tapi anehnya, pandangan keislamannya—setidaknya tercermin dalam tanggapannya terhadap artikel saya—justru memperkukuh stereotip tentang Islam yang dulu sering didengungkan sejumlah orientalis, yakni stereotip tentang Islam sebagai agama yang penuh kekerasan dan intoleransi, Islam yang sama sekali jauh dari kesan damai dan tanpa paksaan. Bukankah gambaran Islam yang seperti itu yang dulu sering dilantunkan oleh sejumlah orientalis Barat, dengan maksud untuk memojokkan Islam, untuk senantiasa memposisikan Islam sebagai “the other” dari Barat? Dengan demikian, disadari atau tidak, dalam hal pandangannya tentang Islam, pakar orientalis dari International Islamic University (IIU) Malasyia ini justru mengamini kaum orientalis.

Wallahu A’lam bi-al Shawab.

*Aktivis Komunitas Nahdlatul ‘Ulama (KNU) di Amerika Serikat

http://islamlib.com/id/artikel/sikap-nabi-terhadap-nabi-palsu

No comments:

Post a Comment