Wednesday, July 6, 2011

Tengoklah Sejarah Ahmadiyah

Seputar Indonesia, Monday, 21 February 2011

Terdapat beberapa keganjilan dalam menyikapi Ahmadiyah. Berbagai pertanyaan timbul. Pertama, ajaran ini sudah masuk ke Tanah Air sejak 1920-an dan selama hampir seabad tidak mengalami konflik kekerasan dengan kelompok lain.

Mengapa sekarang kelompok ini diserang dan dibunuhi? Mengapa pada zaman penjajahan, aliran ini mendapat dukungan dari Pemerintah Belanda. Apa sebab pada era pemerintahan Soekarno dan Soeharto boleh dikatakan tidak ada penyerangan fisik terhadap penganut Ahmadiyah? Reaksi yang cukup keras agar aliran menyatakan diri bukan agama Islam muncul dari beberapa tokoh seperti Hasyim Muzadi dan Slamet Effendi Jusuf. Ali Maschan Musa dari PKB tampil di sebuah saluran televisi swasta bersama seorang mantan dai Ahmadiyah yang pernah mengembangkan ajaran itu selama 10 tahun namun kemudian menyatakan keluar dari kelompok tersebut. Mengapa terkesan bahwa belakangan ini reaksi keras justru muncul dari kalangan NU, bukan dari Muhammadiyah?

Kalau dilihat proses kedatangan Ahmadiyah ini ke Indonesia, memang kelompok ini bersinggungan langsung dengan Muhammadiyah, bukan dengan NU. Utusan Ahmadiyah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad menghadiri Kongres Muhammadiyah Ke-13 di Yogyakarta Maret 1924. Mereka diberi kesempatan berbicara dalam pertemuan tersebut dan mengatakan bahwa Messias atau Al Masih yang disebut-sebut akan datang ke bumi sepeninggal Nabi Muhammad tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad.Pemikiran ini gampang dicerna karena konsep Ratu Adil kita ketahui juga berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, Mirza Ghulam Ahmad dianggap mujjadid (pembaharu),sedangkan aliran Qadiyan memosisikannya sebagai nabi. Sebab itu, secara historis di kalangan umat Islam terdapat perbedaan sikap terhadap dua aliran Ahmadiyah tersebut.

Tampaknya dalam wacana anti-Ahmadiyah akhir-akhir ini tidak dibedakan lagi antara kelompok Lahore dan Qadiyan tersebut. Sumber lain di internet menyebutkan bahwa Ahmadiyah dikembangkan sejak 1926 di Padang oleh beberapa pemuda Sumatera Thawalib yang sebelumnya merantau ke India. Jadi menurut versi ini, ajaran tersebut mulai berkembang dari Sumatera. Perbedaan ini apakah menyangkut aliran yang mereka kembangkan, di Padang aliran Qadiyan sedangkan di Yogyakarta aliran Lahore? Mengapa Ahmadiyah didukung oleh penjajah Belanda? Pertama, ini kaitan dengan pandangan mereka yang khas tentang jihad.Bagi penganut Ahmadiyah, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib kecuali untuk mempertahankan diri.Kedua,kalangan Ahmadiyah bersifat loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Ini pulalah yang menyebabkan hubungan yang semula erat antara Ahmadiyah dan HOS Tjokroaminoto menjadi renggang karena Syarikat Islam bersikap keras terhadap Pemerintah Belanda. Walaupun secara kelembagaan Ahmadiyah pada masa awal tidak bersinggungan dengan NU, secara garis keturunan,para perintis organisasi ini memiliki hubungan darah. Pendiri Ahmadiyah pada 1928 adalah tokoh Muhammadiyah,Raden Ngabehi H M Djojosoegito,saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari (kakek dari Abdurrachman Wahid) dan Wahab Chasballah. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) pada 1926.Selain dari ketua Djojosoegito terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus Ahmadiyah.

Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore (Herman L Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 2005: 210- 246). Sikap Muhammadiyah tegas terhadap Ahmadiyah. Pada 1925, Haji Rasul,ayah dari Buya Hamka, mengatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam. Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh sang putra ketika memimpin Majelis Ulama Indonesia. Pernyataan bahwa barangsiapa yang mempercayai nabi setelah Muhammad adalah kafir sudah dikeluarkan Muhammadiyah pada 1929. Sebelumnya bahkan disampaikan larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mengikuti ceramah Ahmadiyah.Walaupun demikian, ada nuansa perbedaan sikap terhadap aliran Qadiyan dengan aliran Lahore.

Tidak ada penyerangan dan pembunuhan terhadap kelompok Ahmadiyah pada masa Orde Baru tentu terkait faktor keamanan yang sangat ketat.Unsur SARA dicegah menjadi konsumsi publik. Pada masa Soekarno,Ahmadiyah justru diperlakukan dengan baik. Yang menarik dicatat bahwa Soekarno ketika diasingkan Belanda di Ende, Flores pernah diisukan sebagai pendiri Ahmadiyah cabang Sulawesi. Bung Karno menolak tuduhan tersebut, dia bukan penganut Ahmadiyah dan menolak Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Meskipun tidak setuju dengan beberapa aspek ajaran Ahmadiyah itu, Soekarno tidak lupa memberikan apresiasi secara tulus kepada golongan ini yang dianggapkan cukup berjasa dalam mendakwahkan Islam di Eropa.

“Ahmadiyah tentu ada cacatcacatnya, dulu pernah saya terangkan di dalam surat kabar Pemandangan apa sebabnya misalnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah, tetapi satu hal adalah nyata sebagai batu karang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah satu faktor penting dalam pembaruan pengertian Islam di India dan satu faktor penting di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan intelektual seluruh dunia umumnya.” (tulisan Soekarno dalam Panji Islam pada 1940). Dalam tulisannya sebelumnya yang berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi”yang ditulis dari Ende,25 November 1936, Soekarno telah mengupas kekurangan dan kelebihan Ahmadiyah itu lebih rinci. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas.

Pertama, Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan yang usianya di Tanah Air tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, Syarikat Islam,dan NU.Pendiri Ahmadiyah itu bersaudara sepupu dengan pendiri NU. Sebab itu, persoalan yang timbul seyogianya diselesaikan dengan persaudaraan pula. Kedua, Muhammadiyah dari semula memiliki sikap yang jelas terhadap Ahmadiyah yakni tegas, namun tidak beringas.Di kalangan Ahmadiyah terdapat beda keyakinan antara aliran Lahore dan Qadiyan yang belakangan ini dipukul rata saja oleh para pengkritisi ajaran ini. Ketiga, sikap Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah itu dapat disederhanakan menjadi “sepakat untuk tidak bersepakat”. Belakangan ini pemaksaan kehendak secara sepihak terlihat dari pernyataan yang menyuruh agar warga Ahmadiyah pindah agama atau menyatakan mereka tidak beragama Islam.

Bilamana hal itu dilakukan, mereka justru akan lebih sering diserang karena memiliki masjid, padahal bukan beragama Islam dan mengerjakan salat padahal beragama lain. Keempat, sikap Soekarno sebagai seorang negarawan patut dicontoh, dia mengeritik Ahmadiyah dalam kasus Mirza Gulam Ahmad, namun memuji jasa kelompok ini dalam mempropagandakan Islam di Eropa.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=383284&pop=1&page=0 (Accessed 7/6/2011)

No comments:

Post a Comment