Kompas, 10 Feb 10
Oleh Musdah Mulia
Akhir-akhir ini, ramai dibicarakan tentang kebebasan beragama terkait judicial review terhadap UU No 1 Tahun 1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Adalah kelompok pro demokrasi Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan atau AKKBB yang mengajukan judicial review terhadap UU tersebut karena dinilai tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus juga tidak sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia.Alih-alih jadi alat perlindungan bagi kelompok agama, yang terjadi justru sebaliknya. UU itu malah dijadikan alat pembenaran bagi perilaku penodaan, bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. UU itu lebih banyak dipakai mendiskreditkan kelompok yang memiliki pemahaman berbeda dengan arus utama.
Meski telah ada jaminan dalam konstitusi dan sejumlah UU, seperti UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 12/2006 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, upaya perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia belum memperlihatkan kemajuan berarti.
Setidaknya ada tiga kendala, pertama, kebebasan beragama cenderung disalahpahami sebagai upaya menghilangkan identitas suatu agama atau menyamakan semua agama (nihilisme) atau upaya mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme). Akibatnya, gagasan kebebasan beragama menimbulkan ketakutan yang tidak beralasan.
Kedua, kebebasan beragama cenderung ditafsirkan sebagai gagasan kebebasan tanpa batas yang akan mengakibatkan konflik di masyarakat. Ketiga, kebebasan beragama cenderung dimaknai sebagai upaya penodaan terhadap agama yang ”sudah diakui”. Akibatnya, pendukung kebebasan beragama diberi stigma sebagai kelompok ”tak agamis”.
Sebetulnya tidak sedikit warga masyarakat menginginkan terpenuhinya hak kebebasan beragama, tetapi karena takut distigma sebagai ”tidak agamis” memilih diam supaya aman. Adanya silent majority ini sangat merugikan tatanan demokrasi kita sebab ruang publik lalu didominasi oleh kelompok yang lantang menyuarakan sikap antikebebasan beragama. Sikap yang berseberangan dengan visi demokratis, dan fatalnya dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan.
Makna kebebasan
Istilah kebebasan beragama di dalam berbagai dokumen HAM tak berdiri sendiri, melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lain, yaitu kebebasan berpikir dan berkesadaran atau berhati nurani. Pada konteks ini, hak kebebasan beragama bersifat mutlak, berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be), dan itu termasuk hak non-derogable (tak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun).
Adapun hak mengekspresikan ajaran agama atau keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya menyebarkan ajaran agama dan mendirikan tempat ibadah, masuk dalam kategori hak bertindak (freedom to act). Hak ini dapat ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya. Akan tetapi, penangguhan atau pembatasan itu hanya boleh dilakukan dengan UU dan dengan alasan perlindungan atas lima hal, yaitu keselamatan publik, ketertiban publik, kesehatan publik, kesusilaan, dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Jadi, tujuan utamanya, perlindungan secara adil terhadap semua kelompok agama.
Menarik dicatat bahwa semakin demokratis sebuah negara semakin berkurang UU yang membatasi kebebasan beragama. Namun, itu tak berarti telah ada kecenderungan melakukan dekriminalisasi terhadap penodaan agama. Yang terjadi adalah karena UU itu dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat yang semakin menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Secara normatif kebebasan beragama mengandung delapan unsur. Pertama, kebebasan bagi setiap orang menganut agama atau kepercayaan atas dasar pilihan bebas, termasuk bebas berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam bentuk ritual dan peribadatan. Ketiga, kebebasan dari segala bentuk pemaksaan. Keempat, kebebasan dari segala bentuk diskriminasi. Negara wajib menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, jender, pilihan politik, dan sebagainya.
Kelima, kebebasan yang mengakui hak orang tua atau wali. Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka adalah sesuai dengan pemahaman agama mereka. Keenam, kebebasan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat. Ketujuh, kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan ajaran agama hanya dapat dibatasi oleh UU. UU dibuat demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. Kedelapan, negara menjamin pemenuhan hak kebebasan internal bagi setiap orang, dan itu bersifat non-derogability.
Kedelapan unsur jika diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan masyarakat akan terwujud suasana damai penuh toleransi. Setiap komunitas agama akan menghormati komunitas lain, dan mereka dapat berkomunikasi dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian, penuh cinta kasih. Dalam konteks Indonesia yang multi-agama, prinsip kebebasan beragama tak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan UU nasional, melainkan juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang hidup ribuan tahun di Nusantara.
Menjamin perdamaian
Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada penghargaan dan penghormatan martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama membawa kepada penghapusan segala bentuk penodaan dan penistaan terhadap kelompok agama, termasuk kelompok agama minoritas.
Yang terpenting, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama menjamin terciptanya toleransi dan perdamaian. Selanjutnya, perdamaian menjamin terwujudnya perlakuan setara dan sederajat bagi semua manusia, tanpa perbedaan. Perdamaian mendorong adanya tanggung jawab individual.
Kedepan dibutuhkan dua syarat bagi upaya pemenuhan hak kebebasan beragama. Pertama, setiap penganut atau kelompok agama harus memiliki kepercayaan diri yang kuat berdasarkan komitmen dan keyakinan kuat pada agama masing-masing. Ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil, ketakutan, dan penuh prejudice. Kedua, para penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami secara utuh ajaran agamanya serta memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/0412102/ada.apa.dengan..kebebas
Musdah Mulia Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
No comments:
Post a Comment