Oleh Achmad Munjid*
Nestapa yang harus kembali ditanggung kelompok Ahmadiyah di Indonesia adalah sinyal kritis betapa ruang kebebasan beragama di Tanah Air yang belakangan menyempit kini telah menjepit eksistensi kaum minoritas. Peristiwa kekerasan Manislor menggambarkan secara vulgar betapa ambigunya "aturan main" kita dalam soal kebebasan beragama, betapa lemahnya sistem penegakan hukum kita. Sekaligus betapa tak berdayanya posisi kelompok minoritas begitu konflik pecah.
Meski dengan gagah konstitusi kita menjamin kebebasan individu untuk memeluk dan mempraktekkan keyakinan masing-masing, dalam kenyataan, kelompok-kelompok tertentu justru bebas memaksakan keyakinan diri mereka atas orang lain. Karena itu, penanganan kasus Ahmadiyah ini akan menjadi indikator penting bagi prospek pengaturan relasi antarkelompok agama dalam kehidupan berbangsa. Ia perlu kita kawal bersama, karena di sini hakikat demokrasi sedang dipertaruhkan.
Memaksakan Keyakinan
Untuk mengatasi kemelut Ahmadiyah yang tampak kian pelik, sejumlah tokoh muslim, termasuk Menteri Agama Maftuh Basyuni sejak 2006, mengusulkan agar kaum Ahmadi keluar saja dari Islam dan membentuk agama baru. Sebab, Ahmadiyah dianggap telah menyimpang terlalu jauh dari prinsip-prinsip Islam. Dalam kalimat yang lebih terus terang, kalau masih mau mengaku Islam, segeralah bertobat. Tinggalkan doktrin Ahmadiyah yang "sesat" dan ikuti ajaran Islam (arus utama) yang "benar". Kalau tidak, jangan lagi mengaku-ngaku Islam.
Argumen semacam itu mengandung sejumlah cacat mendasar. Pertama, atas dasar apa kita secara sepihak bisa mengklaim berhak memaksakan identitas suatu kelompok yang mereka sendiri tidak mau terima? Terlebih lagi, ini adalah identitas agama yang bersifat sangat pribadi dan fundamental. Memeluk, mendefinisikan, mempraktekkan, termasuk menyebarkan keyakinan adalah hak asasi setiap orang yang tak bisa dihalang-halangi ataupun dipaksa-paksa. Jika dipraktekkan, justru penonislaman Ahmadiyah inilah contoh pelanggaran kebebasan beragama yang sesungguhnya.
Kedua, jika dicermati, usul membuat agama baru tersebut sebetulnya lebih merupakan siasat politik "mengeluarkan duri dalam daging", untuk melucuti kekuatan posisi tawar pihak yang dilemahkan. Bukankah memaksa secara sepihak agar kaum Ahmadi menyandang identitas non-Islam sebetulnya adalah upaya penyingkiran agar "mereka" secara tegas bukan lagi bagian dari "kita"? Dengan demikian, begitu timbul perkara, kedua belah pihak akan berhadapan sebagai "orang lain", dengan si mayoritas berdiri gagah perkasa, sedangkan si minoritas nglimpruk tanpa daya.
Kita mafhum, itulah yang terjadi di Pakistan, terutama sejak 1974. Dengan menyandang predikat non-Islam, dalam cukup banyak kasus, kaum Ahmadi bahkan diseret ke pengadilan "hanya" karena membaca syahadat, bismillah, atau sekadar mengucap "assalamualaikum" (Antonio Gualtieri, 2004: 140). Karena klaim serupa, di Afrika Selatan jenazah penganut Ahmadiyah dilarang dikubur dalam kompleks pemakaman muslim. Jika penonislaman itu mau kita adopsi, situasi lebih buruk sangat mungkin bisa terjadi di Indonesia.
Ketiga, kecuali klaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) adalah Imam Mahdi (Messiah) dan nabi "tanpa syariah"--klaim kenabian ini bahkan ditolak oleh Ahmadiyah Lahore--aspek fundamental doktrin Ahmadiyah sebetulnya bisa dikatakan relatif serupa dengan mayoritas Islam Sunni. Rukun Islam dan rukun iman mereka sama, dengan kecenderungan fikih pada mazhab Hanafi. Mereka berpedoman kepada kitab suci Al-Quran dan menjadikan Muhammad SAW sebagai teladan utama. Tidak benar mereka menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci. Meski isinya mereka yakini diturunkan Allah kepada MGA, Tadzkirah tidaklah berposisi memodifikasi, apalagi menggantikan Al-Quran (Yohanan Friedmann, 2003: 137-40). Betapapun, bagi saya, ketaksediaan mereka bermakmum salat kepada seorang imam non-Ahmadi adalah bentuk keangkuhan teologis yang berimplikasi serius dalam relasi sosiologis dengan umat Islam lain. Tapi menonislamkan kaum Ahmadi secara sepihak adalah tindakan semena-mena yang secara doktriner tak cukup berdasar.
Karena itu, saya sepakat dengan argumen Buya Hamka dalam Peladjaran Agama Islam (1956: 196-8) bahwa aktifnya kelompok seperti Ahmadiyah di Tanah Air hendaknya lebih menjadi "cemeti" buat para ulama dan dai dalam meningkatkan kualitas ilmu, kepemimpinan, dan komunikasi mereka dengan umat, untuk berlomba menunaikan kebajikan.
Posisi Negara
Jika dilihat secara terisolasi, boleh jadi fatwa "sesat" Majelis Ulama Indonesia adalah perkara biasa-biasa saja. Di berbagai belahan dunia muslim, otoritas lain, baik individu maupun lembaga, telah lama dan berulang melakukan hal yang sama dalam menanggapi kasus Ahmadiyah. Tapi, dalam konteks kehidupan bangsa kita sekarang, fatwa "sesat" MUI itu menjadi problem mendasar yang tak bisa dibiarkan.
Semua orang paham bahwa meskipun MUI dibentuk oleh pemerintah Soeharto, ia adalah organisasi (sebetulnya bukan, karena tidak punya) massa yang berada di luar struktur hukum dan produknya sama sekali tidak punya otoritas hukum. Tapi, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam Rapat Kerja Nasional MUI November 2007 terang-terangan menyatakan bahwa dalam menangani isu aliran sesat, pemerintah akan memohon fatwa MUI sebagai landasan bagi aparat negara untuk bertindak.
Pada kenyataannya, menurut laporan SETARA Institute mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2007, itulah yang terjadi. Fatwa MUI adalah rujukan yang paling sering dipakai kepolisian untuk menangkapi, menahan, dan membiarkan tindakan kekerasan atas pihak yang dicap sesat. Tak mengherankan jika kelompok-kelompok tertentu pun kemudian merasa mendapat pembenaran untuk melakukan kekerasan.
Jika ketakjelasan prosedur hukum ini tidak segera dibenahi, pembubaran MUI seperti diusulkan Gus Dur dan sejumlah ormas lain memang beralasan. Tapi, jika penyelesaian kasus Ahmadiyah ini hendak didudukkan dalam bingkai kehidupan beragama yang sehat secara menyeluruh, menurut saya, institusi antidemokratis yang lebih mendesak untuk digugat adalah Badan Koordinasi Pengawas Agama dan Kepercayaan (Bakor Pakem).
Lembaga "militeristik" yang dibentuk pada 1984 dan terdiri atas anasir kejaksaan, kepolisian, Departemen Agama, dan tentara menurut berbagai tingkat pemerintahan ini memang dirancang oleh rezim Orde Baru sebagai satuan pengintai keyakinan. Di mata rezim otoriter, setiap warga memang dianggap selalu berpotensi menjadi ancaman negara. Jelas, lembaga ini bertentangan, terutama dengan Pasal 28-E dan 29 (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Kebebasan Beragama. Selama masih ada Bakor Pakem, kelompok minoritas apa saja akan rentan terhadap represi, baik dari pihak negara maupun kelompok mayoritas.
Dalam negara demokrasi, setiap orang paham bahwa keyakinan adalah urusan amat pribadi yang bukan hanya tidak boleh dicampuri, tapi juga harus dijamin pelaksanaannya oleh negara. Tapi bagaimana mungkin warga memiliki jaminan kebebasan beragama jika ternyata negara berhak menentukan keyakinan mana yang benar dan mana yang sesat untuk dihukum? Bahkan pada Abad Pertengahan, lembaga Inkuisisi Gereja Katolik pada akhirnya gagal menertibkan aliran-aliran yang dianggap sesat meski telah menghabisi jutaan nyawa. Lagi pula, jika dalam hal keyakinan yang sangat bersifat pribadi ternyata warga negara bisa dipaksa, bagaimana sektor kehidupan sosial yang lain hendak dikelola?
Di tengah arus lalu lintas kehidupan sosial yang kian mengalir deras, intens, beragam, dan kompleks, yang kita perlukan adalah kesiapan hidup bersama "siapa saja" secara adil, sederajat, dan bermartabat. Karena itu, kita membutuhkan tatanan sosial yang terbuka dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Hanya dengan demikian potensi masing-masing pribadi bisa teraktualisasi dan persoalan bersama bisa diatasi secara optimal. Negara tidak perlu terlalu repot merecoki wilayah keyakinan yang sesungguhnya bukan menjadi urusannya, sedangkan kewenangan utamanya sendiri malah terbengkalai.[]
Penulis adalah Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat
(Koran Tempo, Kamis, 17 Januari 2008)
No comments:
Post a Comment