Friday, July 1, 2011

Ahmadiyah tak bertemu ruas


". . . atas perintah Allah melalui Hazrat Mirza Chulam Ahmad. "

SEPENGGAL kalimat di atas terbit berkenaan dengan 100 tahun lalu berdirinya Jemaat Ahmadiyah. Itu ditulis dalam selebaran. Pada 23 Maret silam kelompok ini memasuki usia abad keduanya. Perayaannya dipusatkan di Parung (Bogor) selain di Bandung, Padang, dan Medan.

Di Qadian, sebuah desa kecil dan terpencil di Punjab, India, lahir kejadian menakjubkan. "Suatu peristiwa yang ditakdirkan akan mengubah masa depan sejarah umat manusia. Di sana muncul seorang pemimpin agama yang khusus diutus Tuhan untuk membimbing umat manusia, sebagai Pembaru Yang Dijanjikan di akhir zaman." Demikian sambutan Mirza Tahir Ahmad, khalifah keempat, yang dibacakan di setiap tempat peringatan "seabad Ahmadiyah" di 120 negara. Sementara itu, hampir lima ribu jemaat yang sebagian besar lelaki memiara Jenggot (ini "sunah nabi") meramaikan Kampus Mubarak, Parung. Ceramah demi ceramah malah mengalir setelah didului, antara lain, pembacaan Pancasila. Dan yang khas di tengah Ahmadiyah, sewaktu ceramah berlangsung, salah seorang berteriak "nara-i takbir" (bahasa Urdu: nara-i artinya "mari"). Seruan Allahuakbar membahana. Mereka antusias. Dan pada malam sebelumnya mereka sudah salat tahajud bersama.

Memang tidak terkesan riuh. Tak ada umbul-umbul atau poster yang dipasang, bukan seperti di Padang ada enam umbul-umbul merah, kuning, hitam. Baliho besar bertuliskan ucapan selamat diletakkan di tanah. "Khawatir ribut lagi kalau dipasang," kata seorang anggota panitia. Kekhawatiran itu wajar. Perjalanan sejarah aliran ini diwarnai dengan penolakan umat Islam lain terhadap mereka, dan terkadang mengarah ke fisik. Di antaranya, pusat Ahmadiyah di Parung itu pernah diporakporandakan beberapa waktu lalu. Sebelumnya telah terjadi di Garut. Dan dari sekian banyak tekanan tadi, yang paling pahit adalah di Pakistan.

Selebaran Berita Seabad Ahmadiyah menuduh bahwa serangan itu didalangi oleh Jenderal Zia sebelum almarhum. Kaum Ahmadi dicegahnya mengucapkan syahadat, mengumandangkan azan, dan tak boleh menyebut "masjid" untuk tempat ibadatnya. Bila larangan itu dilanggar, berarti mereka dapat dituntut hukuman penjara sampai tiga tahun, selain dikenakan denda yang tidak ditentukan batasnya. Orang-orang Ahmadiyah sering menjadi korban kekerasan secara beramai-ramai, pembunuhan, penghinaan.

Pada 1984, Dr. Muzaffar Ahmad ditembak di hadapan istri dan anak-anaknya di rumahnya di Detroit. Di Trinidad, seorang anggota Ahmadiyah bernasib serupa. Kurang jelas motif penembakan itu, walau kalangan Ahmadiyah menuding bahwa pemerintah Pakistan yang bertanggung jawab. "Kami ini muslim yang mempunyai Rukun Iman dan Rukun Islam seperti dipercayai muslim lainnya," kata Khaerudin Barus, ketua misi Sumatera bagian utara. Pernyataan ini agaknya belum cukup untuk menyingkirkan soal mendasar yang menjadi ganjalan, sehingga kaum Ahmadiyah dan umat Islam lainnya ketemu ruasnya. Yakni status Mirza Ghulam Ahmad.

Bagi penganut Ahmadiyah, ia dianggap nabi. Ghulam Ahmad lahir pada 1835 di Qadian. Ia dikaruniai lidah fasih, otak cemerlang, kharismanya kuat. Bahkan terkesan hebat ketimbang Nabi Muhammad, yang "biasa saja dan tak pintar berpidato". Konon, ia memang mahir menjelaskan pemahaman tentang Islam secara baru dan rasional. Ketika hampir semua muslim menganggap Nabi Isa bukan mati disalib tetapi "diangkat ke arasy" misalnya, waktu itu Ghulam mengatakan, Nabi Isa mati biasa. Malah "atas petunjuk Allah" ia menunjuk sebuah kuburan di Srinagar (India) sebagai makam Isa. Karena ia piawai, umat lalu berduyun datang padanya. Qadian berkembang menjadi pusat kajian Islam. Bahasa Urdu bahkan ikut naik status.

Tapi kebangkitan Ghulam juga berarti konflik. Para pemeluk agama samawi, waktu itu, sedemikian percaya pada konsep Mahdi atau Almasih, yakni bakal turunnya seorang juru selamat. Sejumlah hadis -- masih bisa didebat kesahihan dan maknanya -- dipakai untuk rujukan, berikut dengan tanda-tanda turunnya Sang Mahdi. Dalam kondisi pemahaman seperti itu, Ghulam mengumumkan bahwa dialah "Mahdi dan Almasih yang dijanjikan" itu. Apalagi nama Ahmad ada disebut di Quran, sekalipun nama itu oleh ahli tafsir diartikan sebagai Muhammad.

Jemaat Ahmadi berpendapat, umat Islam harus mengimani Mahdi Ghulam Ahmad. Kalau tidak, menurut mereka, orang itu termasuk yang oleh hadis Nabi disebut "72 dari 73 golongan Islam yang masuk neraka". Padahal, dalam konteks ini, Nabi Muhammad tak menyebutkan ciri "satu golongan itu yang termasuk umatku". Umat Islam lalu menyimpulkan: Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai "nabi baru" sesudah Muhammad. Meledaklah heboh. Umat yakin bahwa Muhammad adalah nabi terakhir, yang oleh Quran disebut khataman-nabiyyi. Tentang anggapan ini, dalam Hamamatul Busyro 13 Ghulam Ahmad berkata "Ketahuilah, hai saudaraku, sesungguhnya saya tidak pernah mendakwakan diri saya jadi Nabi. Dan tidak pernah saya berkata saya ini Nabi."

Tapi pembelaan pengikut Ahmadiah sering menyoalkan status Nabi Muhammad. Khataman-nabiyi, kata mereka bukanlah "nabi terakhir" melainkan "nabi yang mulia". Mereka hanya setuju Muhammad itu nabi terakhir sebagai nabi hakiki, nabi pembawa syariat. Begitu klasifikasi kenabian itu menurut versi mereka. Dan sesudah itu dimungkinkan ada "nabi zilli" alias nabi yang tidak membawa syariat. Dialah Mirza Ghulam Ahmad. Dalam tubuh Ahmadiyah juga terdapat tantangan.

Sejumlah kaum Ahmadi pimpinan Maulana Muhammad Ali menampik anggapan Ghulam Ahmad itu nabi. Bagi mereka, tokoh ini hanya mujaddid. Pembaru, bukan nabi. Mereka lalu menamai kelompoknya sebagai Ahmadiyah Lahore. Sebaliknya Ahmadiyah lama (disebut Qadian) memojokkan mereka. Lahirnya Ahmadiyah Lahore, kata yang Qadian semata-mata karena Maulana Muhammad Ali gagal jadi khalifatul masih atau pemimpin umat setelah sepeninggal Ghulam Ahmad.

Di Indonesia, soal Ahmadiyah adalah debat lama, setelah 2 Februari 1925. Rachmat Ali dari Qadian tiba di Tapak Tuan Aceh Selatan. Ia diundang oleh Abubakar Ayyub, Zaini Dahlan, dan Ahmad Nuruddin. Tiga pemuda Minang itu semula hendak pergi haji. Tapi kapal kandas, dan mereka, karena mencoba lewat darat tertahan di Qadian. Perdebatan sengit dan disaksikan sekitar dua ribu hadirin terjadi akhir September 1933. Abubakar Ayyub "ketemu batu" sewaktu berdebat dengan A. Hassan. Hingga kini debat Ayyub dan Hassan seperti tak akan pernah selesai.

Ahmadiyah Lahore, yang menyebutkan organisasinya serupa Muhammadiyah atau NU, agaknya tak banyak masalah. Lain dengan Jemaat Qadian. Mereka mengatakan Ahmadiyah didirikan "atas perintah Ilahi" (Muhammadiyah dan NU dibentuk atas kehendak manusia, Syiah, dan Sunah karena "proses perubahan pikiran"). Ganjalan makin berkepanjangan. Karena itu K.H. Hasan Basri, Ketua Majelis Ulama Indonesia, tegas menyebutkan Ahmadiyah "sesat dan menyesatkan". Beda sudut pandang ini sulit ditumpulkan karena pendapat boleh ada "nabi bayangan" sesudah Nabi Muhammad, lalu muncul Mirza Ghulam Ahmad. Padahal, di zaman Rasulullah memang tak pernah ada risalah demikian. Inilah yang membuat umat Islam layak curiga. Zaim Uchrowi Ahmadie Thaha (Jakarta) Mukhlizardy Mukhtar (Medan)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/04/01/AG/mbm.19890401.AG20565.id.html (Accessed on 6/23/2011)

No comments:

Post a Comment