Wednesday, July 13, 2011

Meneguhkan Komitmen Kebebasan Beragama


Oleh: Ahmad Fuad Fanani

Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak mendatangkan konflik di tengah masyarakat.

Hal ini misalnya tampak pada problem eksistensi Ahmadiyah yang hingga kini masih menggantung. Beberapa ormas Islam konservatif,dengan semangat yang atraktif,meminta agar Presiden segera mengeluarkan keputusan (keppres) yang melarangAhmadiyah.

Bahkan,mereka mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam berjihad untuk memurnikan ajaran Islam yang telah dicemarkan Ahmadiyah.Yang lebih ironis, di berbagai daerah, yang terbaru di Sumatera Selatan, pemerintah daerah mengeluarkan surat keputusan yang melarang Ahmadiyah dan aktivitas para pengikutnya.

Meski pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan SKB No 3 Tahun 2008 pada bulan Juni lalu mengenai eksistensi Ahmadiyah,namun menurut sebagian kalangan Islam itu belum cukup dan sama sekali tidak tegas.Dalam SKB itu Ahmadiyah tidak secara jelas dinyatakan dilarang dan harus dibubarkan.

Karenanya, sampai hari ini banyak ormas Islam konservatif yang terus-menerus berdemonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyah. Bagi mereka,pembubaran Ahmadiyah adalah harga mati yang tidak bisa ditawartawar lagi.Tidak jarang jalan kekerasan menjadi cara mereka untuk membubarkan jamaah Ahmadiyah ini.

Setelah SKB keluar,semakin banyak warga Ahmadiyah di berbagai daerah yang menjadi korban anarkisme. Bahkan, tragedi penyerangan massa AKKBB oleh FPI pada Hari Jadi Pancasila juga didasarkan alasan bahwa mereka (AKKBB) membela Ahmadiyah.

Menguatnya Konservatisme Islam

Kalau kita kaji lebih dalam, sebetulnya ada hubungan yang erat antara tuntutan sekelompok organisasi keagamaan itu dengan menguatnya arus konservatisme Islam di Indonesia. Reformasi 1998, selain melahirkan kebebasan berpolitik dan pers yang menjadikan Indonesia mempunyai banyak alternatif pilihan partai dan memiliki pers yang relatif bebas juga melahirkan kebebasan berekspresi yang mempunyai dua macam konsekuensi.

Di satu sisi kebebasan berekspresi itu menjadikan masyarakat bebas mengemukakan pendapat,termasuk mengkritik pemerintah tanpa dihantui ketakutan untuk dipenjara atau dipidana.

Di sisi lain,kebebasan berekspresi juga melahirkan banyak organisasi-organisasi keagamaan garis keras seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia(HTI), Laskar Jihad, dan sebagainya yang pasti dilarang muncul pada era Soeharto karena dianggap bisa mengganggu ketertiban umum.

Nah, organisasi-organisasi kecil yang rajin bersuara dan aktif berkampanye untuk menyosialisasikan pahamnya itulah yang sejak 1998 sering mengklaim diri sebagai penyalur aspirasi umat dan pejuang kepentingan Islam.

Mereka menganggap organisasinya lebih tegas dan lebih aktif menyuarakan kepentingan umat Islam dibandingkan organisasi Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Untuk membuktikan klaim ini,mereka juga sangat aktif di MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang banyak diyakini orang sebagai representasi tunggal pejuang kepentingan umat Islam.

Ketika mereka aktif inilah MUI mengeluarkan fatwa No 7/2005 yang mengharamkan paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Pada saat yang sama,MUI juga mengelu-arkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah (Lahore dan Qadiyan), adalah paham yang sesat dan menyesatkan serta keluar dari Islam.

Untuk operasinya di lapangan, kelompok Islam konservatif ini juga mendirikan FUI (Forum Umat Islam) yang rajin menggalang massa untuk pertemuan besar. Pada berbagai respons yang diberikan oleh berbagai tokoh intelektual dan ormas Islam, berdasarkan studi yang dilakukan Piers Gillespie (2007), kita melihat bagaimana menguatnya arus konservatisme Islam di Indonesia.

Fatwa MUI secara garis besar diterima secara berbeda oleh dua kelompok, bagi Islam moderat dan liberal, fatwa MUI justru bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi visi bangsa kita. Selain itu,fatwa MUI menunjukkan ketidakpahaman para eksponen MUI dalam memahami istilah-istilah yang difatwakan.

Adapun bagi Islam konservatif dan fundamentalis seperti MMI, FPI, HTI, DDII, dan sebagian ICMI, fatwa itu justru harus ditaati karena ia menunjukkan fungsi MUI sebagai penjaga akidah dan penyambung aspirasi umat Islam.

Di kalangan NU dan Muhammadiyah ada tanggapan yang beragam,kalangan tua umumnya menerima fatwa itu, golongan mudanya dengan semangat menolak dan mengkritik fatwa tersebut (”Current Issues in Indonesian Islam”, Journal of Islamic Studies 18: 2 [2007]).

Nah,tuntutan pembubaran Ahmadiyah tentu saja tidak bisa dilepaskan konteksnya dari pengaruh fatwa MUI. Kita bisa melihat, bahwa banyak kalangan ormas Islam yang menyandarkan dan melegitimasi pendapat serta tindakannya untuk membubarkan Ahmadiyah berdasarkan fatwa MUI.

Karenanya,meski MUI menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara aksi kekerasan dengan fatwa MUI,fatwa di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.Bahkan,ketika MUI didesak untuk mengeluarkan fatwa yang melarang tindakan anarkisme dan kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah, MUI seperti enggan melakukannya.

Melanggar Konstitusi Negara

Sebetulnya tuntutan kelompok konservatif untuk membubarkan Ahmadiyah dan organisasi yang dianggap menyimpang bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Sebab, Konstitusi kita dengan jelas menjamin setiap warga negara memeluk agama dan keyakinan mereka masing- masing tanpa ada paksaan.

Selain itu,bila kita merujuk kembali pada Pancasila dan UUD 1945,secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler,tapi Indonesia adalah negara Pancasila, yaitu sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama.

Dari situ, Indonesia mengakui dan melindungi hak warga negaranya untuk memeluk agama apa pun, asal berkeadaban, berkeadilan,dan tanpa diskriminasi. Secara lebih jelas, jaminan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan ini dapat kita simak pada tujuan nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan bersama tentang tujuan atau cita-cita bersama sebagai dasar konstitusionalisme Indonesia.

Salah satu tujuan nasional itu adalah ”melindungi segenap bangsa Indonesia”.Menurut Jimly Asshiddiqie, kata ”segenap” menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku,ras,agama,dan perbedaan lain,yang semuanya harus dilindungi.

Dalam hal ini, tampak jelas bahwa semua agama dan keyakinan yang dipeluk oleh warga negara Indonesia harus dilindungi eksistensinya sebagai perwujudan pelaksanaan tujuan nasional ini. Pancasila,sebagai dasar konstitusi kita,juga menjamin hak segenap warga negara.

Selain itu,Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memuat ketentuan yang terkait dengan perlindungan terhadap kebhinnekaan yang tersurat pada jaminan terhadap kemerdekaan tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pascaamendemen UUD 1945, jaminan terhadap kebhinnekaan semakin jelas dan kuat.Khusus tentang kemerdekaan beragama dan beribadat, tertuang dalam dua ketentuan, yaitu Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.

Selain itu,masih menurut Jimly (2005), jika negara bangsa yang didirikan disandarkan pada prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama seperti Indonesia, mekanisme demokrasi harus menjadi satu-satunya pilihan dalam pembentukan kesepakatan bersama.

Kita harus menyadari bahwa demokrasi tidak akan terwujud dengan baik jika masih ada absolutisme dan sikap mau menang sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ormas Islam konservatif yang suka mengafirkan dan menghakimi pihak lain yang berbeda pendapat dengan mereka.

Demokrasi juga mengharuskan adanya sikap saling percaya dan saling menghargai demi untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak. Maka,tuntutan kelompok Islam konservatif di Indonesia yang ingin membubarkan jamaah Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dan sesat, tampak jauh dari sikap demokratis.

Sebab, pengikut Ahmadiyah adalah juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi dan diberi kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan. Agar lonceng kematian yang menandakan kondisi darurat kebebasan beragama tidak semakin berbunyi,kita semua harus teguh, setia, dan pantang menyerah mengawal konstitusi yang jelas-jelas menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jangan sampai kasus Ahmadiyah menjadi bola salju pertama bagi organisasi lain yang bisa jadi menjadi korban Islam konservatif berikutnya. Wallahu a’lam bish-shawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/meneguhkan-komitmen-kebeb



Ahmad Fuad Fanani
Peneliti di Pusat Studi Agama dan
Peradaban (P

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 09 Okt 08
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10685&coid=1&caid=34
Copyright © 2008 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

No comments:

Post a Comment