Wednesday, July 13, 2011

Sikap Beragama: Inklusivisme vs Radikalisme


Oleh: Ali Masykur Musa

Kekerasan atas nama agama masih saja mewarnai bangsa ini.Penyerangan FPI/KLI terhadap AKKBB adalah buktinya.Tidak sedikit korban terluka.Sungguh menjadi tragedi kelam dalam membangun toleransi beragama di Indonesia.

Tragedi itu menuai kritik tajam dari berbagai kalangan,yang berakibat derasnya tuntutan pembubaran FPI. Pada saat bersamaan dilaksanakan istighosah kubro di Pesantren Al- Ashriyyah Nurul Iman di Parung bersama empat puluh ribuan umat Islam dan ratusan kiai.Pada akhir acara,Habib Saggaf al-Mahdi mengajak ribuan umat Islam, santri,dan para kiai yang hadir untuk berikrar kesetiaan kepada Gus Dur serta kecintaan pada bangsa dan negara.

Kontradiktif

Dua kejadian tersebut kontras sekali. Peristiwa pertama mengindikasikan betapa kekerasan dan radikalisme agama tampak begitu nyata di ruang publik. Sementara peristiwa kedua menunjukkan betapa istigasah dan ikrar terhadap bangsa dan negara menjadi semacam kerinduan hadirnya Islam sebagai rahmatan lil alamin. Seusai istigasah, secara verbal Gus Dur mengutuk tragedi Monas.

Gus Dur menjadi tokoh pertama yang marah oleh aksi kekerasan itu.Kecaman keras Gus Dur itu tidak lepas dari dua aspek. Pertama,korban pemukulan adalah warga NU dan sebagian pengurus PKB. Secara ideologis dan kultural,Gus Dur adalah simbol nahdliyin. Sementara aspirasi politik warga nahdliyin adalah PKB, sehingga dapat digambarkan bahwa Gus Dur, NU, dan PKB merupakan tiga serangkai yang saling mengukuhkan.

Sejarah keberadaan PKB tidak dapat dilepaskan dari jamaah NU.Dan,Gus Dur adalah pendiri PKB sekaligus pewaris khazanah pemikiranNU.Halitudimotivasiikatan batin yang terjalin dengan warga NU. Kedua, pemahaman holistis Gus Dur sebagai bapak bangsa dalam mengayomi keragaman kultural dan ideologi. Hal ini searah dengan semangat ke-Indonesia-an dan kebinekaan.

Di pihak lain,sebagai kiai dan ulama, pandangan Gus Dur tentang Islam sangatlah mendalam. Kedalaman itu di antaranya muncul ke permukaan dalam bentuk Islam yang toleran, Islam yang dialogis dan antikekerasan. Sejak dulu, Gus Dur adalah tokoh yang konsisten memerangi bermacam bentuk radikalisme dan kekerasan atas nama agama.

Dalam beragam momen orasinya, Gus Dur kerap menyodorkan fakta bahwa gelombang kekerasan dan radikalisme dalam faktanya menjadi ancaman yang serius terhadap kemajemukan bangsa. Sebuah fenomena kekerasan yang lahir dari rahim absolutisme akut menghendaki pemaksaan ”kebenaran” kepada yang lain.

Sekelompok orang dan ormas yang mengatasnamakan Tuhan dan agama sebagai dalilnya, seolah ingin mem benarkan diri dan melakukan justifikasi sesat kepada yang lain, bahkan hingga menggunakan logika banalitas kekerasan.

Faktor Gus Dur

Kecaman Gus Dur ternyata memantik reaksi keras Ketua FPI Rizzieq Shihab, dengan cara melontarkan cacian kepada Gus Dur. Hal ini memancing puluhan ribu warga nahdliyin di daerah-daerah dengan merapatkan barisan untuk pembubaran FPI. Perlawanan warga NU terhadap radikalisme agama ini menunjukkan dua sisi pada domain sosiologis.

Di satu sisi, hal itu menunjukkan betapa kekuatan yang dimiliki Gus Dur adalah kekuatan mondial dan substantif. Selain ikatan ideologis, ikatan kultural antara sang kiai dan warga NU menjadikan harmonisasi antara reaksi Gus Dur dan reaksi massal warga NU. Di sisi lainnya, fenomena ini menunjukkan betapa ikatan kultural merupakan modal sosial sangat signifikan bagi seorang figur pemimpin.

Modal inilah yang menjadikan Gus Dur masih dielu-elukan kehadirannya oleh rakyat. Gus Dur menjadi representasi khazanah kekayaan intelektual dan paradigmatik di satu sisi dan pada saat yang sama sebagai representasi figur pembela demokrasi dan hakhak minoritas. Pada posisi ini, sungguh tepat jika Nahdlatul Ulama dan Gus Dur sebagai tokoh gerakan Islam lokal ”bergegas” melakukan perlawanan terhadap gerakan radikalisme tersebut.

Gus Dur telah mengambil peran meluruskan kembali tata cara ber-Islam dalam kondisi Indonesia saat ini. NU telah mampu menghadirkan sikap sosialnya dalam wilayah yang moderat (tawassut), keseimbangan (tawazun), toleran (tasamuh) dan tengah-tengah (i’tidal), berkebalikan dengan kekerasan (tathorruf) dan teror (irhab) adalah harapan seluruh umat islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Dalam menjaga keberlangsungan hidup berbangsa,Gus Dur telah mampu mereinterpretasikan Islam menuju gerakan rahmatan lil alamin. Meminjam istilah Fazlurrahman (1993), model keberagamaan yang harus ditempuh adalah proses yang dilalui lewat pairtnership antara Tuhan dan manusia dalam menulis sejarah (partnership of God and man in history).

Model keberagamannya yang dibangun haruslah berdasarkan pada dialog antara agama dan peradaban yang sudah ada, sehingga eksistensinya tidak tercerabut dari identitas lokal ke-Indonesia-an tanpa adanya ketegangan sosial.

Toleransi Gus Dur

Islam adalah agama yang toleran. Demikian ungkap Gus Dur di acara halaqahkebangsaan di Pesantren Ciganjur beberapa waktu lalu. Gus Dur seolah ingin berpesan bahwa Islam harus menjadi teman bagi agama dan keyakinan lain. Dia harus rukun, hidup damai, dan mau berdialog dalam perbedaan.

Gus Dur menginginkan sebuah pendewasaan kehidupan beragama yang mengedepankan semangat kejujuran. Menjadi fa’al urgen bagi agamawan untuk meneguhkan kembali semangat transendensi-humanis agama yang dianutnya di tengah masyarakat. Agama harus diamalkan sebagai perangkat penting dalam menegakkan kebajikan yang membawa kemaslahatan bagi manusia, bukan malah sebaliknya dengan menjadi ”monster” bagi kehidupan manusia.

Belajar dari Gus Dur,wajah agama yang tidak sejuk selama ini harus digantikan nilai persaudaraan dan kebangsaan. Umat beragama harus melakukan introspeksi diri dengan membenahi cara beragamanya untuk bersama- sama menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam segala aspek kehidupan.

Guna tercapainya ekualitas antara normativitas agama dan realitasnya, cukup signifikan jika penafsiran agama harus sebagai pemecah masalah (problem solver),bukan malah sebagai kekuatan kelabu (dark force) dalamkehidupanmanusia.Langkahini mutlak dilakukan guna terwujudnya peran agama dalam dialektika kehidupan dengan tampilan pemeluknya yang santun,damai,serta tidak anarki.

Lebih dari itu, agamawan harus menggali sumber-sumber dan riwayat hidup agamanya yang autentik,di mana mereka mampu menjadi agenagen perdamaian.Agama harus dijadikan sebagai kebijaksanaan dan daya yang mengusahakan kedamaian, bukan perang, kekerasan, permusuhan, teror,serta atribut dehumanisme lainnya.

Sebab,perdamaian dunia yang menjadi cita-cita seluruh umat manusia di jagat raya tentu membutuhkan kesadaran umat beragama yang memahami nilai-nilai dasarnya. Karena itu, radikalisme atas nama agama harus dihapuskan dari negara Pancasila ini.Tidak hanya melalui perjuangan ideologis maupun kultural, juga melalui pembangunan demokrasi danpolitik.JalanpolitikGusDuradalah pilihan pembenahan demokrasi melalui PKB.

Jutaan masyarakat pun bisa menilai siapa dan bagaimana Gus Dur, hingga kecamannya menjadi amarah puluhan ribu demonstran di daerah-daerah untuk pembubaran FPI.Bagi saya, inklusivisme beragama adalah sebuah pilihan.Bagaimana dengan Anda? (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/inklusivisme-vs-radikalis

Ali Masykur Musa
Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB


Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 12 Jun 08
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10275&coid=1&caid=34
Copyright © 2008 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

No comments:

Post a Comment