Wednesday, July 13, 2011

Bubarkan FPI Dan Ahmadiyah

,Harian Waspada, 25 Jun 08

Oleh: Umar Syadat Hasibuan

Surat keputusan bersama dua menteri dan Jaksa Agung tentang Ahmadiyah akhirnya keluar, Senin (9/6/2008). Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) No 3/2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat.

SKB itu mengandung enam hal. Pertama, memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan semua penganut dan pengurus JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam umumnya, seperti pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan itu dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan.

Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

Kelima, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

Keenam, memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB ini.

Dari enam poin itu, tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktivitasnya. Aktivitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktivitas komunal atau aktivitas individu. Secara formal, memang SKB ini tidak menyatakan pembubaran Ahmadiyah, tetapi di sana ada klausul yang sangat ambigu dan sekaligus berbahaya. Dalam item nomor dua, surat itu menyatakan bahwa sejak keluarnya dokumen itu seluruh penganut dan pengurus JAI diperingatkan untuk menghentikan seluruh kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya.

Redaksi SKB ini sangat buruk, ambivalen, dan bisa ditafsirkan macam-macam, sehingga membuka kemungkinan untuk ditarik secara semena-mena untuk memberangus kelompok-kelompok yang dianggap 'sesat' menurut penafsiran agama Islam 'pada umumnya'. SKB ini juga telah meresmikan argumen kaum fundamentalis-kekerasan selama ini bahwa penafsiran Islam yang menyimpang dari pandangan mereka adalah sama dengan penghinaan pada agama.

Pertegas SKB
Turunnya SKB ini memang tidak lepas dari aksi penyerangan massal terhadap aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh Laskar Pembela Islam, sayap organisasi Front Pembela Islam (FPI), di Monas, Jakarta, pada 1 Juni lalu yang sangat jelas jelas merupakan anarkisme. Selain menganiaya fisik para korban, penyerangan itu mencederai akal sehat, melukai nurani, dan mencabik moralitas yang dijunjung tinggi oleh setiap agama dan sistem keyakinan.

Kekerasan yang dilakukan FPI memang pantas untuk dikecam. Namun, pembiaran terjadinya aksi-aksi balasan juga tidak bisa dibenarkan. Siapa pun pelakunya, penegakan hukum tetap harus dilakukan secara adil. Penuntasan aksi kekerasan harus dilakukan dengan jalan penegakan hukum. Bukan membalas dengan kekerasan serupa. Yang jelas, persoalan ini tidak bisa disepelekan. Sebab, serangkaian kekerasan yang terjadi merupakan indikasi adanya kejumudan atau kebekuan dalam proses kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi dan bertoleransi. Jika kebekuan itu tidak dipecahkan, maka bangsa ini tidak akan pernah dewasa dan ketenteraman menjadi sesuatu yang langka.

Telah kita ketahui bersama bahwa kekerasan itu terjadi akibat lambannya pemerintah mengambil keputusan tentang JAI sehingga akibatnya terjadi kekerasan di mana-mana yang dilakukan oleh ormas Islam seperti FPI, Laskar Islam dan lainnya. Tidak pula bisa dinafikan, kekerasan dalam insiden Monas terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum, dalam hal ini terkait status JAI yang tidak ada kejelasannya.

Soal JAI dan SKB, pemerintah memang berada dalam kondisi yang dilematis karena dihadapkan dengan semangat kebebasan, juga tekanan dari kalangan Islam yang menganggap terjadi penistaan agama oleh JAI. Namun jika pemerintah tidak arif dan tepat dalam menyelesaikan ini, maka budaya kekerasan akan terus tumbuh dan semakin mengakar di tengah-tengah masyarakat. Indonesia pun akan selamanya menjadi wilayah yang penuh dengan konflik budaya kekerasan yang beranak-pinak. Melihat ambigunya SKB terbesit jelas akan menimbulkan kembali kekerasan sepihak atas nama agama kepada JAI.

Karena itulah demi menjaga kedamaian dan ketenteraman sudah seharusnya pemerintah mempertegas SKB tersebut membubarkan atau mengizinkan JAI berdakwah. Sementara substansi SKB yang dikeluarkan pemerintah tidak cukup kuat untuk membubarkan JAI. SKB hanya membuat posisi Ahmadiyah dalam posisi 'setengah mati', hidup juga tidak, mati juga susah.

Membubarkan FPI dan JAI
Dalam konteks demokrasi, tindakan main paksa, apalagi dalam bentuk penyerangan seperti yang dilakukan oleh FPI terhadap golongan yang tak disukai, sungguh tak bisa ditenggang. Itu pelanggaran serius atas tatanan bersama dalam kehidupan bernegara. Itu gempuran terhadap fondasi dan pilar bangunan kita sebagai bangsa. Karena itu, proses hukum yang cepat, adil, dan transparan atas para pelaku kekerasan Monas wajib segera dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab minimal. Dalam hal ini tindakan profesional Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang telah menangkapi puluhan tersangka di markas FPI, patut kita puji dan dukung.

Lebih dari itu, dengan melihat rekam jejak kekerasan FPI selama ini, plus kian meluasnya tuntutan dari banyak kalangan, termasuk Gus Dur dan sejumlah anggota DPR, sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk membubarkan FPI. Kecuali dilakukan sendiri secara sukarela seperti oleh FPI Jember dan Surabaya, perlu dicatat bahwa pembubaran organisasi seperti FPI hanya sah dilakukan oleh pemerintah dan harus didasarkan pada akibat tindakan, bukan pada paham, aliran, atau ideologi kelompok yang bersangkutan.

Jika terus dibiarkan, keberadaan kelompok pemaksa seperti FPI hanya akan menimbulkan sejumlah akibat negatif bagi semua pihak. Pertama, FPI bisa kian merajalela. Di satu sisi, ini dapat berarti bahwa FPI dan segala perilaku kekerasannya mendapat 'legitimasi' pemerintah. Di sisi lain, kelompok lainnya, termasuk yang berseberangan dengan FPI, juga mendapat justifikasi, bahkan inspirasi, untuk meniru apa yang dilakukan FPI. Akibatnya, begitu timbul perselisihan, konflik horizontal sangat potensial untuk pecah. Segera setelah insiden Monas, gejala itu telah kita saksikan merebak di sejumlah wilayah, termasuk Cirebon, Purwokerto, dan Yogyakarta.

Kedua, dengan membiarkan FPI atau kelompok serupa bermain hakim sendiri, pemerintah makin kelihatan tidak mampu mengelola kehidupan berbangsa, kepercayaan rakyat pun kian anjlok. Ketiga, dalam situasi tanpa kepastian hukum demikian itu, setiap pihak cenderung saling memanfaatkan demi kepentingan sempit dirinya. Begitu ada persoalan, masing-masing hanya 'lempar batu sembunyi tangan'. Ujung-ujungnya, rakyat awamlah yang paling dirugikan.

Kita semua tahu, termasuk dalam kasus JAI, ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil tindakan strategis telah menciptakan ruang gelap yang kosong, ruang hampa hukum, yang tak terkontrol. Dalam impitan krisis yang terus menekan dari segala penjuru, kombinasi antara ruang-ruang kosong tanpa hukum dan pernyataan 'abu-abu' sejumlah tokoh mengenai pelanggaran hukum dan moral adalah ladang subur bagi berkembangbiaknya anarkisme seperti yang dipraktikkan FPI.

Sebagai sebuah agama, Islam mengutuk keras tindakan kekerasan terhadap orang lain, termasuk komunitas nonmuslim. Jangankan menodai Islam dengan kekerasan yang mengalirkan darah, memaksa kehendak dalam beragama dan keyakinan adalah larangan yang menjadi proyek besar Islam demi terciptanya kesejukan antarmanusia yang berbeda.

Mengatasnamakan agama dalam tindakan kekerasan, keonaran serta teror yang berlebihan sebenarnya akan menebarkan stereotip agama (Islam) sebagai pemicu kekerasan. Padahal ruh Islam, adalah adanya proses perwujudan sikap ramah, sejuk serta damai sebagaimana semangat ini dimaknai dari kata Islam yang berakar dari kata salima (selamat). Islam mengajarkan proses dakwah tidak dengan kekerasan dan memaksa, karena Islam adalah kearifan, kesejukan dan kedamaian.

Prinsip-prinsip dakwah niscayanya diajarkan melalui sikap bijaksana (al hikmah), tutur kata yang santun (al mauidhah hasanah) dan dialog yang sejuk. Kekerasan akan semakin menjauhkan nilai-nilai dakwah dapat diterima dengan baik, hanya ketakutan yang akan timbul bukan kesadaran yang tumbuh dengan dipaksakan.

Oleh karena itulah pemerintah dalam hal ini haruslah mengambil jalan tegas dengan membubarkan FPI dan JAI agar konflik dalam antarumat Islam dapat reda. Jangan sampai dengan berdalih amar ma'ruf nahy an al munkar, FPI dan organ-organ sejenisnya, yang selalu mendewakan dimensi simbol-simbol agama, menghalalkan segala bentuk tindakan kekerasan yang merusak tatanan kemanusiaan. Begitu juga dengan JAI yang sudah dianggap sesat oleh MUI dan semua ormas keagamaan, harus juga diberikan keputusan tegas oleh pemerintah dengan cara membubarkannya. Bila Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Komunitas Eden bisa dilarang dan diadili, mengapa Ahmadiyah tidak? Padahal sama-sama meyakini nabi palsu.

Dalam UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan PP No 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8 tahun 1985 yang mengatur secara detail keberadaan Organisasi Masyarakat di Indonesia. Selain itu Penpres No 1 Tahun 1965 juga mengatur tentang pembekuan dan pembubaran suatu organisasi yang diduga melakukan penghinaan terhadap agama. Sementara pembubaran ormas diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 jo Pasal 16 UU No 8 Tahun. Dengan melihat pada peraturan hukum yang berlaku maka tidak ada alasan lain bagi pemerintah untuk membubarkan FPI dan JAI, karena kedua organisasi ini secara aturan hukum dan ajaran agama jelas telah melanggar dan menyimpang.

URL Source: http://www.waspada.co.id/Opini/Artikel/Bubarkan-FPI-Dan-Ahmadiyah.html

Umar Syadat Hasibuan
Penulis adalah kandidat Doktor Ilmu Politik UI dan mantan Aktivis PMII

No comments:

Post a Comment