Tuesday, July 12, 2011

SKB

Tempo, 16 Juni 2008

Nono Anwar Makarim
Pengamat Politik

SURAT Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah bukan siasat pemerintah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kenaikan harga bahan bakar minyak. Munarman dan Rizieq bukan "Pollycarpus" yang ditanam badan intelijen ke dalam Front Pembela Islam sebagai agents provocateur. Affair Monas bukan operasi intelijen. Masalahnya jauh lebih besar dari itu semua: surat keputusan bersama adalah teokratisasi tersembunyi dari Pancasila.

Dalam tata susun aturan sistem hukum Indonesia, surat itu termasuk aturan kelas empat, di bawah konstitusi, di bawah perjanjian internasional, dan di bawah undang-undang. Ia turun pangkat ke kelas lima jika ketetapan MPR masuk hitungan, dan ambles ke kelas enam bila peraturan pemerintah pengganti undang-undang diselipkan dalam tangga tatanan hukum. Menurut ahli hukum pemerintahan, surat keputusan bersama sekadar executive ruling, salah satu instrumen kegiatan pemerintahan. Sebelum timbul kesimpulan, "Oh, kalau begitu, ga usah dituruti, dong...!" saya cepat-cepat menganjurkan agar dipatuhi saja. Sebab, polisi bertindak diskriminatif dalam menghadapi ekspresi sosial: civil disobedience atau ketidakpatuhan damai cenderung ditindak keras dan cepat; civil disturbance atau huru-hara ditindak keesokan harinya.

Suatu perintah eksekutif tidak bisa nyelonong sendiri. Dalam negara hukum, ia harus didasari aturan yang lebih tinggi kelasnya. Keputusan bersama berlindung di bawah payung Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 serta anak-anak dan cucu-cucunya yang lahir di masa Orde Baru. Dalam masyarakat negara hukum, pemerintahan tidak dijalankan secara rule by law, melainkan rule of law. Yang dimaksudkan dengan rule by law adalah gaya memerintah dengan dukungan hukum pesanan yang dibuat oleh parlemen nun-inggih, perwakilan rakyat yang berfungsi sebagai stempel dari segala yang dikehendaki penguasa. Rezim Orde Lama memerintah dengan rule by law. Parlemen Orde Lama adalah perwakilan rakyat stempelan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 adalah contoh legislasi berdasarkan rule by law. Dewan Perwakilan Rakyat di bawah Presiden Seumur Hidup/Pemimpin Besar Revolusi/Penyambung Lidah Rakyat bagaikan perusahaan catering undang-undang pesanan Presiden Soekarno.

Lalu Indonesia bergolak. Rakyat bergolak jika perubahan sosial berlangsung lebih cepat daripada kesadaran penguasanya. Revolusi dibuat dari perubahan seperti itu. Dalam Orde Baru, kesejahteraan rakyat berkembang. Bayi kelas menengah menggeliat. Sekali lagi rakyat bergolak. Perubahan sosial sekali lagi melompat lebih cepat ketimbang kesadaran pemimpin negara. Perjanjian-perjanjian internasional ditandatangani, dan diratifikasi oleh parlemen. Konvensi internasional yang ditandatangani pemerintah dan diratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat menjadi hukum Indonesia yang kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945, kuda tunggangan diktator, diubah, dan ditransfusi dengan darah baru dalam bentuk hak-hak asasi manusia.

Ada surat keputusan bersama, ada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 cs, ada Konvensi Hak-hak Asasi Manusia yang sudah menjadi hukum nasional, dan ada Undang-Undang Dasar 1945 dengan 10 pasalnya tentang hak asasi manusia. Dalam 10 pasal hak asasi manusia tersebut termasuk pasal 28-i yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak asasi yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Dalam hukum internasional, hak asasi semacam itu disebut non-derogable rights. Jadi, non-derogable rights kebebasan beragama ada dalam konstitusi kita, dan ada juga dalam perjanjian internasional yang sudah menjadi hukum positif Indonesia. Jelas Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 akan kalah bila dikonfrontasikan dengan hukum konvensi internasional dan undang-undang dasar kita. Berhadapan dengan perjanjian internasional/traktat saja sudah kalah, apalagi dengan konstitusi. Namun pertimbangan yuridis semacam itu hanya laku dalam masyarakat madani, dalam negara demokratis yang menjunjung tinggi dan bertekad menegakkan rule of law.

Yang sudah kadung terbiasa dengan rule by law cari akal untuk mengelak dari disiplin dan integritas yang disyaratkan oleh rule of law. Mereka nemu pasal 28-j konstitusi kita dan dengan riang gembira berseru, "Horeee, ini dia, hak asasi bisa dibatasi dengan undang-undang!" Mereka juga bilang bahwa "Ga ada tuh derogable dan non-derogable; pasal-pasal hak asasi jangan dilihat satu per satu; sepuluh pasal itu merupakan satu paket, dan paket itu tunduk pada Pasal 28-j UUD!" Dengan lain perkataan, sembilan pasal hak asasi setiap saat bisa dimasukkan ke laci bila mayoritas parlemen membuat undang-undang pembatas pasal-pasal hak asasi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yang sudah diberi bisa diambil kembali. Pandangan ini dianut oleh pemerintah dan partai-partai aliran agama. Juga Mahkamah Konstitusi cenderung ke arah pandangan ini bila putusan tentang hukuman mati dijadikan patokan. Pandangan ini secara moral salah, yuridis salah, dan politis salah besar.

Tidak bayar utang cenderung menjadi epidemi di negeri kita. Setiap alasan, baik yang masuk akal maupun yang menggelikan, digunakan untuk mengelak dari kewajiban membayar utang. Sistem hukum kita dan para hakimnya mendukung upaya kolektif untuk lolos dari kewajiban bayar utang. Ada hakim yang bilang tidak ada utang sebab perjanjian utang tidak didaftarkan pada Bank Indonesia; ada hakim yang bilang obligasi yang dijual di luar negeri merupakan penyelundupan pajak dan hukum. Alangkah gembiranya kita bila muncul suatu studi yang mengatakan bahwa yang salah bukan kita. Yang salah adalah sistem hukum yang kita anut.

Ada suatu studi yang dilakukan oleh para sarjana Harvard dan Universitas Chicago mengenai sistem hukum mana yang paling melindungi penanam modal dan kreditor. Menurut mereka, yang paling protektif adalah sistem common law, disusul oleh sistem Eropa Kontinental, tapi yang berkultur germanik. Baru kemudian menyusul sistem hukum Eropa Kontinental gaya Prancis. Sialnya, itulah nenek moyang sistem hukum kita. Seorang sarjana Belanda bilang studi itu terlalu banyak main pukul rata, main generalisasi, tidak mendalam. Saya setuju dengan pendapatnya, dengan tambahan bahwa moral hakim yang bejat di mana pun, dalam sistem hukum apa pun, akan lemah melindungi penanam modal dan kreditor.

Pada hakikatnya, ngemplang utang sama dengan ngemplang janji. Seribu satu alasan yuridis dan kuasi-yuridis digali untuk mendukung perbuatan ingkar janji. Yang dikejar adalah posisi yang tidak jujur tapi tampak sah, yaitu secara formal tidak melanggar undang-undang tapi secara spirit membantai tujuan undang-undang. Mengatakan bahwa seluruh hak asasi bisa dijinakkan setiap saat oleh undang-undang tanpa menyebut syarat yang harus dipenuhi undang-undang tersebut merupakan contoh ketidakjujuran seperti itu. Pasal 28-j bukan pasal serampangan. Benar, ia mengizinkan pembatasan hak asasi oleh undang-undang, tapi ia melekatkan syarat-syarat amat jelas pada undang-undang pembatas hak-hak asasi. Undang-undang semacam itu harus dibuat "... dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain!" Yang dimaksud dengan istilah orang lain adalah individu, orang-perorangan, bukan organisasi, golongan, kelompok laskar atau vigilante, ataupun kolektivitas lain.

Masih ada syarat lain yang dibebankan pada undang-undang yang membatasi hak asasi: "... dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." Yang dimaksud dengan istilah nilai agama bukan aturan-aturan acara, bukan hukum ritual, bukan teknis ajarannya, melainkan nilai budi luhur suatu religi, yang pada hakikatnya ada pada setiap agama. Dua syarat harus dipenuhi bila mau membatasi hak asasi dengan undang-undang: harus menghormati hak asasi orang lain, dan tidak boleh melanggar nilai-nilai luhur keagamaan. Maaf, ada syarat yang terlupa, semua itu harus berlangsung dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Syarat-syarat ini disembunyikan di balik derasnya keinginan menarik kembali kebebasan yang sudah diberikan kepada manusia Indonesia. Perlu dicatat juga di sini bahwa pasal seperti 28-j itu ada pada setiap sistem hukum, di setiap negara, di setiap yurisdiksi peradilan di mana pun di dunia. Yang akan lebih mengecewakan golongan rule by law adalah pasal 28-j dipetik dari Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights. Di situ syarat-syaratnya lebih terperinci, lebih tegas, lebih jelas, dan memang berlaku juga bagi non-derogable rights, termasuk kebebasan beragama.

Janji kita kepada bangsa Indonesia, dan kepada bangsa-bangsa lain yang turut serta dalam ikrar konvensi hak-hak asasi manusia, tidak berhenti di situ. Ada 76 butir pedoman yang kita setujui bersama masyarakat dunia. Pedoman itu memberikan petunjuk kepada masyarakat yang beradab bagaimana melakukan pembatasan tanpa mengalahkan seluruh maksud dan tujuan konvensi. Di Pekalongan, kota kelahiran saya, dihitung ada delapan aliran sesat pada 2005. Waktu ditanyakan, "... Tahunya aliran sesat gimana, Pak?" kepala kejaksaan negeri lokal menjawab, "Ya, masyarakat yang harus memberikan masukan jika memang ada kegiatan yang mencurigakan dari sebuah kelompok...." Biasanya masukan seperti itu terjadi pada hari Jumat, setelah salat jemaah, setelah khotbah yang memecut emosi. Massa dibawa ke sasaran yang mencurigakan. Di situ rumah dibakar, masjid dihancurkan, perempuan dan anak diusir. Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, fatwa Majelis Ulama, dan surat keputusan bersama memecut emosi rudimenter dan kasar dari bangsa kita. Ia tidak melembagakan rule of law, ia bahkan tidak menghormati majority rule lokal, ia hanya merangsang mob rule, pemerintahan yang bertindak atas desakan massa yang mengamuk. Demokrasi cacat bila tunduk pada mob rule. Demokrasi pincang bila hanya tunduk pada suara mayoritas. Demokrasi berdiri di atas dua kaki yang membumi bila menyimak suara mayoritas, dan sekaligus mencegah persekusi, pengejaran, kekerasan, dan teror terhadap minoritas.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/06/16/KL/mbm.20080616.KL127452.id.html (Accessed 7/12/2011)

No comments:

Post a Comment