Oleh Anick HT
Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Koran Tempo, 12 Februari 2011
Kitapun perlu mengingat, bahwa Islam memiliki sejarah panjang perbedaan pandangan dan penafsiran, bahkan pada tingkat akidah yang sangat prinsipil. Sejarah polemik dan pengkafiran oleh dan terhadap Mu’tazilah, Khawarij, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan seterusnya sepeninggal Nabi Muhammad SAW dengan gamblang memberi pelajaran kepada kita tentang hal itu.
Lagi-lagi, kekerasan dan persekusi terhadap warga Ahmadiyah membawa pada kesimpulan polemik yang mengarah pada solusi yang musykil: menjadikan Ahmadiyah sebagai agama baru di luar Islam. Tak kurang, Direktur Lembaga Pertahanan Nasional Muladi, dan Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding, mengusulkan solusi tersebut. Begitu juga Menteri Agama Suryadharma Ali. Muladi merujuk kasus Pakistan yang menurutnya menjadikan Ahmadiyah sebagai agama baru, untuk mencegah terjadinya kekerasan. Bahkan, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan bahwa Pemerintah berwenang menjadikan Ahmadiyah sebagai agama baru.
Solusi ini muskil, dan bahkan bertentangan dengan akal sehat kita, karena beberapa fakta.
Pertama, Pakistan justru adalah contoh buruk perlakuan terhadap warga Ahmadiyah. Meski dianggap kelompok minoritas tersendiri sejak 1974, dan dinyatakan sebagai non-muslim pada 1984, persekusi, kekerasan, dan pembunuhan terhadap warga Ahmadiyah tidak pernah surut. Kasus besar terakhir terjadi pada 28 Mei 2010 lalu, ketika 7 orang bersenjata senapan dan granat menyerang secara membabi buta dua masjid Ahmadiyah di Model Town dan Garishaw saat warga Ahmadiyah menjalankan salat Jumat. Serangan itu menewaskan lebih dari 90 orang warga Ahmadiyah.
Kebijakan Negara Pakistan itu sendiri sangat diskriminatif dalam sudut pandang kebebasan beragama karena kemudian dalam Undang-undang tahun 1984, menjalankan keimanan dianggap sebagai tindakan kriminal.
Kedua, di Indonesia sendiri sudah sangat jelas beberapa preseden di mana beragama sendiri bukanlah jaminan keselamatan dan jaminan tidak adanya kekerasan. Bahkan terhadap kelompok agama yang dianggap sebagai “agama resmi” di Indonesia saja sudah sangat nyata kekerasan itu terjadi. Kasus Temanggung, dan ratusan kasus penutupan dan perusakan gereja dan tempat ibadah lain menunjukkan itu. Kita juga memiliki preseden kasus agama-agama yang secara internasional sudah diakui dan dideklarasikan sebagai agama sendiri yang masih saja menerima perlakuan diskriminatif dan menjadi obyek kekerasan, seperti penganut agama Bahai, Sikh, Yahudi. Kita pun juga disodori fakta dihukumnya Lia Eden dan Abdurrahman yang sudah mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas di luar Islam.
Ketiga, jika Agama Ahmadiyah dideklarasikan, seperti halnya di Pakistan dan juga disebut-sebut oleh beberapa tokoh yang mengusulkan hal itu, sebagai konsekuensinya: tempat ibadah Ahmadiyah tidak boleh disebut Masjid, tidak boleh ada adzan, ibadahnya tidak boleh salat, dan seterusnya yang intinya: tidak boleh ada ajaran dan ritual yang “menyerupai” Islam, karena menyerupai berarti menodai. Logika ini yang menjerat Lia Eden karena menggunakan terma-terma Islam dalam ajarannya. Juga yang membuat Majelis Ulama Indonesia Losarang memfatwa sesat komunitas Suku Dayak Bumi Segandu Losarang karena salah satu ritualnya “menyerupai” perhelatan dalam tradisi Islam.
Ini juga tidak bisa diterima akal sehat karena lebih dari 200.000 pengikut Ahmadiyah justru harus meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, sebagai keyakinan yang menghubungkan mereka dengan Tuhan seru sekalian alam, sebagai jalan hidup mereka turun temurun, seperti halnya kita meyakini agama kita.
Keempat, nampaknya kita perlu melihat kembali bahwa satu-satunya perbedaan prinsipil antara Ahmadiyah dengan Islam lainnya adalah keyakinan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yang adalah Imam Mahdi yang dijanjikan. Jika dalam pandangan kaum Asy’ari umumnya Imam Mahdi yang dijanjikan adalah Nabi Isa AS (yang juga Nabi) yang akan turun di akhir zaman nanti, maka dalam pandangan Ahmadiyah, Imam Mahdi yang dijanjikan adalah Mirza Ghulam Ahmad, sambil perlu digarisbawahi bahwa Ahmadiyah juga meyakini bahwa saat inilah akhir zaman itu. Di luar perbedaan itu, tidak ada perbedaan prinsipil lainnya. Catatan lainnya adalah, dalam pandangan Ahmadiyah: posisi kenabian Mirza Ghulam Ahmad berbeda dengan posisi kenabian Nabi Muhammad SAW, karena Mirza Ghulam Ahmad tidak membawa syariat sendiri melainkan menegaskan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan kalimat Mirza Ghulam Ahmad yang sering dikutip warga Ahmadiyah adalah “Dibandingkan Nabi Muhammad SAW, aku tidak sebanding bahkan dengan setitik debu yang menempel di kaki Muhammad SAW”.
Kitapun perlu mengingat, bahwa Islam memiliki sejarah panjang perbedaan pandangan dan penafsiran, bahkan pada tingkat akidah yang sangat prinsipil. Sejarah polemik dan pengkafiran oleh dan terhadap Mu’tazilah, Khawarij, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan seterusnya sepeninggal Nabi Muhammad SAW dengan gamblang memberi pelajaran kepada kita tentang hal itu.
Kelima, kita juga perlu menegaskan kembali bahwa Indonesia bukan Negara agama, bukan Negara Islam, yang menggunakan ukuran kebenaran berdasarkan agama semata. Kita telah menyepakati membangun sebuah Negara yang tidak membenci agama, tapi tidak pula didasarkan pada ukuran satu agama (apalagi satu aliran agama) untuk membuat kebijakan. Negara ini membedakan antara dosa dan pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, Negara harus netral agama. Dan pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan penafsiran yang ini lebih benar daripada penafsiran yang itu.
Akhirnya, fakta-fakta kemuskilan di atas semestinya membawa kita untuk menengok kepastian lain: bahwa kekerasan adalah pelanggaran hukum, diskriminasi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, Negara ini harus mencari solusi untuk menjadikannya zero tolerance terhadap kekerasan. Dan saya kira dalam hal ini kita sepakat dengan kesimpulan Presiden SBY menanggapi kasus Cikeusik bahwa perangkat Negara sangat mencukupi untuk melakukan tindakan antisipatif dan preventif terhadap gejala kekerasan, dan bukan hanya menjadi pemadam kebakaran. Yang terakhir itupun terjadi hanya dalam beberapa kasus. Kebanyakan kasus lainnya, terjadi pembiaran demi pembiaran oleh aparat Negara, kalau tidak malah turut berada di barisan pelaku dan legitimator kekerasan.
Semoga beberapa pernyataan terakhir Presiden SBY untuk mengantisipasi dan melawan kekerasan adalah sebentuk komitmen, bukan sekadar pemanis bibir, atau juga pemadam kebakaran.[]
http://islamlib.com/id/artikel/agama-ahmadiyah
No comments:
Post a Comment