"Ahmadiyah dan SKB yang Cacat Hukum [Ahmadiyah and a Defective Joint Ministerial Decree]," Koran Jakarta 12 June 2008.
oleh: Ismatu Ropi
Ph.D Candidate Australian National University (ANU) Canberra
Dosen UIN Jakarta/Peneliti PPIM UIN Jakarta
Setelah sekian lama menjadi kontroversi dalam penantian, jabang bayi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri RI akhirnya keluar juga pada 9 Juni 2008. Terlepas apakah munculnya regulasi ini sebagai akibat dari tekanan dari kelompok tertentu di tanah air yang emoh dengan kehadiran Ahmadiyah, kita tentu bisa mengapresiasi bahwa munculnya SKB ini sebagai bagian dari keinginan negara untuk mengikuti prosedur tertib hukum.
Namun penting sekali lagi ditekankan bahwa bukan berarti dengan munculnya SKB ini, Ahmadiyah secara otomatis terlarang. Tak ada poin klausul keputusan dalam SKB itu yang menyatakan bahwa JAI adalah terlarang di Republik ini. SKB ini hanya ‘langkah awal’ dari sebuah prosedur hukum yang harus dilalui negara sebelum akhirnya, jika memang poin-poin yang berisi peringatan dan perintah ada dalam SKB itu tidak diindahkan oleh JAI, maka dalam prosedural hukum dalam UU PNPS No. 1/tahun 1965, hanya Presiden yang dapat membubarkan dan menyatakan suatu organisasi atau aliran sebagai terlarang sesuai dengan Pasal 2 Ayat 2 UU itu. Itupun dengan syarat bahwa penyelewengan yang dilakukan oleh aliran atau organisasi itu mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas UU tadi.
Cacat Hukum dan Implikasi SKB
Terdapat beberapa catatan atas SKB yang baru dikeluarkan ini. Pertama, SKB yang berisikan perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini berisi 6 poin secara kasat mata jelas-jelas hanya bersandar pada UU PNPS No. 1/1965 (juncto Undang-Undang No. 5/1969) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Memang terdapat 16 regulasi lain dikutip (selain UU No. 1/1965 tadi), jelas bahwa regulasi-regulasi itu diperlakukan sebatas ‘referensi pelengkap’ yang sayangnya tidak ditelaah atau dirujuk secara saksama dalam pembuatan SKB ini. Ini tentu cukup memilukan untuk tidak mengatakan memalukan. Betapapun sampai detik ini UU yang kontroversial itu (karena semangatnya yang sangat hegemonik untuk kepentingan negara) belum pernah dicabut oleh Presiden dan DPR, secara substansial materi hukum yang ada didalamnya sudah ‘kadaluarsa’ dengan munculnya UU lain yang baru seperti UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Materi hukumnya secara substansial sudah termansukh (terhapus) oleh aturan-aturan sejajar yang dikeluarkan sesudahnya. Ia juga secara eksplisit ‘berseberangan’ dengan semangat penghormatan terhadap keyakinan individual dan kelompok yang dikandung dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945 hasil Amandemen yang posisinya lebih tinggi dari UU itu. Nurani kita tentu akan bertanya-tanya sebenarnya untuk kepentingan siapa UU No.1965 ini tetap dipertahankan?
Kedua, dengan menggunakan istilah ‘SKB’ dalam regulasi ini, maka dalam tertib perundangan, peraturan ini terlihat memiliki ‘cacat bawaan’. Sebab semenjak UU No. 10/2004 diundangkan, istilah SKB sudah tidak lagi digunakan dalam tertib aturan hukum di negara kita. Yang ada adalah Peraturan Menteri atau Peraturan Bersama Menteri. Karena itu berdasarkan tertib hukum yang baru adalah jelas bahwa penggunaan istilah SKB dalam menyebabkan regulasi ini cacat dan kehilangan pijakan dasar sebagai norma hukum untuk diberlakukan.
Ketiga, siapa sebenarnya yang menjadi ‘obyek’ dari regulasi ini, apakah khusus JAI atau juga masyarakat umum? Dari 6 poin yang menjadi keputusan dalam SKB ini hanya ada 2 poin yang jelas-jelas mengacu pada JAI. Sisanya yakni 4 poin uniknya ditujukan kepada warga masyarakat umum. Apalagi dalam Poin Kempat juga disebutkan peringatan dan perintah kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum utamanya terhadap JAI. Artinya, SKB yang sama juga bisa diberlakukan sebagai peringatan dan perintah kepada organisasi-organisa si lain yang dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban hukum seperti yang terjadi pada insiden penyerangan di Monas beberapa waktu lalu. Jika pada gilirannya Presiden memang mengeluarkan Surat Keputusan yang membekukan JAI, maka berdasarkan SKB ini secara mutatis mutandis, ia juga harus memiliki keberanian yang sama untuk membekukan organisasi yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban itu karena jelas organisasi itu memang nyata-nyata mengganggu ketertiban umum dan melakukan penyerangan fisik yang bisa dijerat oleh pasal-pasal dalam KUHP.
Keempat, secara substansial materi yang termaktub dalam Poin Kedua yakni peringatan dan perintah kepada JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW terlalu bersayap dan multi makna. Apa yang dimaksud dengan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang itu dan dalam bentuk apa? Seandainya seseorang meyakini sesuatu (yang mungkin dianggap menyimpang dari keyakinan umum) apakah keyakinan dan ekspresi dari keyakinan itu menjadikannya entry point bagi kriminalisasi di mata hukum. Bagaimana mengukurnya? Ini sangat penting untuk dapat dibuktikan di muka hukum dalam proses pengadilan yang fair agar pengambilan keputusan itu memang mempertimbangkan bukti dan bukan opini.
Kelima adalah dampak dari SKB. SKB ini diduga menjadi amunisi baru bagi konflik horisontal di akar rumput. Setelah sebelumnya muncul fatwa MUI yang memberikan justifikasi religius terhadap ‘penyimpangan’ Ahmadiyah yang berujung pada gerakan masif dan terorganisir untuk merusak properti milik kelompok itu, maka SKB ini diduga akan juga ampuh sebagai justifikasi hukum positif bagi ‘pemberhangusan’ kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan mainstream. Dalam perspektif ini, bukan tidak mungkin SKB ini menjadi sarana efektif ‘mengeksekusi’ kelompok lain lintas agama yang ditengarai menyimpang atau ‘menodai’. Kembali ke SKB, betapapun dalam regulasi baru ini jelas termaktub JAI sebagai aliran yang mendapat perintah dan peringatan keras dari negara untuk menghentikan kegiatan, bisa diduga dalam prakteknya di lapangan kelompok lain dalam Ahmadiyah yakni Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang memiliki pandangan berbeda dengan JAI akan mendapat imbas perlakuan diskriminatif yang sama baik oleh aparatur negara maupun masyarakat umum. Sebab menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan orang ‘kurang tertarik’ (termasuk didalamnya para politisi dan pemuka agama) menelisik perbedaaan substansial ajaran JAI dan GAI. Yang terjadi nantinya mungkin gerakan sporadis; bubarkan Ahmadiyah apapun kelompoknya seperti yang kita lihat dari Fatwa MUI.
Agaknya akan terlihat nanti bahwa SKB ini justru lebih banyak mudharat ketimbang manfaat bagi kehidupan bernegara kita. Kita tentu berusaha memahami ‘bola panas’ yang dipegang oleh pemerintah dewasan ini berkenaan dengan pelarangan atau pembubaran suatu kegiatan keagamaan dengan kuatnya tekanan yang dilakukan oleh banyak kalangan baik politisi maupun agamawan. Seperti buah simalakama. Memang diperlukan keberanian dan sikap kenegaraan yang kuat dalam pengambilan keputusan yang mungkin sangat tidak populer di mata kebanyakan, namun sangat baik untuk kemaslahatan jangka panjang. Sikap seperti ini sayangnya sangat langka di Republik yang kita cintai ini. ****
No comments:
Post a Comment