Thursday, June 23, 2011

Nasib Ahmadiyah, Simalakama Ahmadiyah


SEKITAR dua ratus demonstran dari kelompok Umat Islam Indonesia (UII), Jumat pekan lalu, kembali menyatroni kampus Mubarok di Parung, Bogor. Tanpa mempedulikan pita plastik kuning bertuliskan police line, mereka menerobos ke kampus milik Jemaah Ahmadiyah itu. Sambil meneriakkan kalimat Laa ilaha ilallah, demonstran yang mengenakan sorban itu memeriksa tiap pojok gedung yang kosong melompong. Tak kurang dari 100 polisi dan 30 anggota Satpol Pamong Praja hanya menonton aksi massa. "Kami harus memastikan Ahmadiyah yang sesat bubar," ujar Abdurrahman Assegaf, Ketua UII. "Kalau Ahmadiyah jual, kami akan borong."

Ahmadiyah memang sedang jadi topik polemik panas. Pelbagai mailing list di ranah Internet selama sepekan ini ramai membicarakan organisasi yang berasal dari Pakistan ini. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Amidhan, meminta pemerintah segera turun tangan. KH Amidhan mengatakan MUI tetap berpegang pada fatwa tahun 1980 yang menyebut Ahmadiyah sebagai "jemaah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan". Dalam fatwa itu juga disebutkan MUI akan menyerahkan nasib Ahmadiyah ke pemerintah. "Sekarang tugas pemerintah segera membubarkan aliran yang sesat itu," ujar Amidhan.

Menghadapi pelbagai serangan, Ahmadiyah melakukan perlawanan. Adnan Buyung Nasution, pengacara Ahmadiyah, memastikan akan menempuh langkah hukum untuk menggugat aksi penyerbuan ke kampus Mubarok di Bogor. Buyung menilai penyerbuan yang anarkis itu sudah masuk ke pelanggaran pidana yang berat. Soal tuntutan pembubaran Ahmadiyah oleh MUI, Buyung justru mempertanyakan status hukum fatwa MUI. "Mana yang lebih tinggi: UUD 45 yang menjamin kebebasan beragama, atau fatwa MUI," kata Buyung Nasution, yang mengaku bukan penganut Ahmadiyah.

Memang, sungguh tak mudah bagi pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamendemen jelas menjamin kebebasan setiap warga untuk memeluk keyakinan masing-masing. Ini berbeda dengan di era masa otoriter, ketika pemerintah dapat membubarkan organisasi keagamaan yang dianggap sesat dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1965. Itu pun harus melalui prosedur yang panjang dan hati-hati.

Apalagi dalam menilai aliran yang diciptakan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, India itu. Ajaran tersebut kini memiliki 200 juta pengikut setia di seluruh dunia. Di Indonesia, jumlahnya diperkirakan tak kurang dari 500 ribu Ahmadie-sebutan untuk penganut aliran Ahmadiyah. Persoalan makin rumit karena Ahmadiyah terpecah menjadi Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Kelompok pertama tetap menganggap Mirza sebagai "nabi yang tak membawa syariat". Tapi, kelompok Lahore lebih bersikap moderat karena menganggap Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan menilai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai tokoh pembaharu (mujadid).

Di Indonesia, aliran Ahmadiyah Qadian memang lebih berkembang. Kampus Mubarok di Bogor merupakan pusat penyebaran Ahmadiyah Qadian di Indonesia. Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore mendirikan organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang berpusat di Yogyakarta. Ir Haryana M. Arch, mantan Pembantu Rektor III UGM, tercatat pernah memimpin JAI Yogyakarta. Beberapa intelektual, antara lain Prof Dr Rika Haryana (guru besar Fakultas Kedokteran UGM), Prof Dr Muchlisah (guru besar Fakultas MIPA UNS), Munawar Ahmad, M.Si (dosen UIN Yogyakarta), terang-terangan menjadi anggota JAI.

Upaya membahas aliran Ahmadiyah sebenarnya sudah dilakukan pemerintah. Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) pada 18 Januari 2005 dan 12 Mei 2005 melangsungkan rapat maraton di Kejaksaan Agung. Pertemuan penting itu dihadiri wakil dari Badan Intelijen Negara, Polri, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, dan MUI. Amin Djamaluddin, yang mewakili MUI dalam pertemuan, mengatakan rapat sudah berhasil mencapai mufakat. "Ahmadiyah dan buku-bukunya diusulkan dinyatakan terlarang," ujar Amin Djamaluddin. "Sekarang tinggal presiden mengeksekusi keputusan tersebut."

Tapi, Menteri Agama Maftuh Basuni mengatakan tak bisa bertindak gegabah. Maftuh mengaku pemerintah sedang membahas persoalan Ahmadiyah secara serius. Soal tuntutan agar pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah, "Kami harus hati-hati. Ini sensitif," ujar Maftuh Basuni kepada Ami Afriatni dari Tempo.

Sikap hati-hati pemerintah ini didukung oleh Prof Dr Azyumardi Azra. Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta ini bahkan meminta MUI supaya meninjau ulang fatwa tentang Ahmadiyah. Menurut Azyumardi, konteks sosial-politik saat fatwa dikeluarkan pada tahun 1980 dan kini sudah jauh berbeda. Guru besar bidang sejarah Islam ini juga menegaskan, perkembangan Islam selalu diwarnai perbedaan tafsir atas kitab suci Al-Quran. Jadi, "Kita harus menghormati tafsir Ahmadiyah soal nabi mereka," katanya.

Setiyardi, Deffan Purnama (Bogor), dan Syaiful Amin (Yogyakarta)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/07/25/NAS/mbm.20050725.NAS116080.id.html (Accessed on 6/23/2011)

No comments:

Post a Comment