Mendengar pertanyaan itu, saya yang jadi pembicara diskusi di kalangan terbatas pemuda-pemudi muslim Jakarta yang militan tersebut agak rikuh menjawabnya. Maklum, pada saat itu, pembicaraan para hadirin lebih banyak tertuju pada Ahmadiyah yang sesat dan kenapa Pemerintah Indonesia tak segera melarang aliran yang merusak Islam itu.
Dalam kerikuhan itu, tiba-tiba saya teringat seorang dosen bahasa Inggris asal Amerika Serikat yang mengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dosen itu, Eddy Schurr, yang datang pada 1970-an ke Yogyakarta, pernah bercerita kepada saya dan teman-teman di Yogya.
“Ketika saya datang pertama kali ke Yogyakarta, karena saya ditugasi mengajar di sebuah universitas Katolik, saya pikir, mayoritas penduduk Yogya juga beragama Katolik. Ternyata mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan Islam dalam pikiran saya adalah pedang, kekerasan, poligami, dan ekstremisme. Itulah yang saya pahami tentang Islam karena informasi yang sampai kepada saya di Amerika tentang Islam, ya, seperti itu,” katanya. Lantas?
“Ketika saya mengontrak rumah di Demangan, sebelah barat IAIN Yogyakarta,” kata Eddy. “Saya kaget. Kenapa orang-orang Demangan dan tetangga saya ramah-ramah dan baik hati? Kenapa bapak-bapak di Demangan tidak melakukan poligami?” Sejak itu, tutur Eddy, “Saya mulai curiga bahwa apa yang saya pahami tentang Islam itu salah. Masyarakat Amerika, tempat saya dilahirkan, ternyata telah memutarbalikkan fakta tentang Islam dan ajaran-ajarannya.”
Karena penasaran, secara otodidak Eddy mempelajari Islam. Dibacanya ayat-ayat suci Al-Quran satu per satu, lalu dia pelajari buku-buku Islam yang lain. Hasilnya? “Islam itu luar biasa. Ajarannya tentang Tuhan Yang Esa dan tidak ada tandingan-Nya mudah dipahami. Orang-orang Islam ternyata ramah, toleran, dan menghargai perbedaan,” kata Eddy.
Singkat cerita, Eddy pun mengucapkan “syahadatain”. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Eddy resmi menjadi muslim dan mengganti namanya menjadi Muhammad Eddy Schurr Suryopercoyo Nurul Yaqin. Nama Muhammad dan Nurul Yaqin menjadi simbol bahwa ia benar-benar yaqin terhadap ajaran Nabi Muhammad, sedangkan Suryopercoyo ia pakai sebagai kenang-kenangan bahwa ia masuk Islam di sebuah kota pusat budaya Jawa, Yogyakarta. Istrinya pun mengikuti jejaknya.
Sejak menjadi muslim, Eddy rajin berceramah ke mana-mana, dan orang-orang tertarik oleh kisah-kisah Eddy di Amerika tentang Islam yang digambarkan sangat buruk dan bagaimana akhirnya dia memeluk Islam.
Anak-anak muda yang mayoritas berasal dari Universitas Indonesia dan jamaah Masjid Sunda Kelapa itu tampak terdiam. Mereka, saya pikir, kecewa karena tak mendapat jawaban yang keras dari saya terhadap pertanyaan Caroline.
“Coba bayangkan, Saudara-saudara. Seandainya orang-orang Yogya itu tukang buat onar, istrinya dua, dan sangar, mungkinkah Eddy masuk Islam?” tanya saya, sambil membayangkan sekelompok umat Islam yang marah dan merusak rumah-rumah orang-orang Ahmadiyah.
Orang-orang non-Islam –apa itu dari Cina, Amerika, atau Jepang– tak tahu apa itu Ahmadiyah. Mereka juga tidak peduli apa itu ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Yang mereka tahu, syahadat orang-orang Ahmadiyah sama dan salatnya pun sama dengan orang-orang Islam di masjid mana pun di seluruh dunia. Jika orang-orang non-Islam tahu, orang-orang yang syahadat dan salatnya sama tapi mengaku Ahmadiyah atau mendukung Ahmadiyah digebuki seperti di Monas, awal Juni lalu, dan rumah mereka dirusak seperti di Lombok dan Kuningan, Cirebon, lalu apa yang mereka pikirkan tentang Islam?
Ternyata cerita saya tentang rumah-rumah orang-orang Ahmadiyah yang dirusak di Lombok dan Kuningan itu mengusik perasaan Gayatri. Gadis Minang ini berkata, “Orang Islam di daerah saya tidak seperti itu. Saya lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat, di tanah kelahiran ulama besar Buya Hamka. Saya tak pernah sekali pun melihat orang Islam di Padang bertengkar dengan orang-orang Ahmadiyah. Masjid orang Ahmadiyah berdampingan dengan masjid orang Muhammadiyah dan orang NU. Mereka saling menghormati.”
Lalu Gayatri pun bertanya, kenapa orang-orang Islam di Padang tidak pernah mengusik orang-orang Ahmadiyah, dan mereka menghormatinya? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama.
Tapi, yang jelas, ulama sekaliber A. Hasan, Buya Hamka, dan Kiai Haji Wahid Hasyim, yang pernah berdialog dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah di zamannya dan tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, tidak pernah mengutuk dan tidak pernah menuntut pemerintah untuk melarang Ahmadiyah, yang sekarang pengikutnya ramai-ramai “digebuki” itu.
M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 12 Juni 2008]
No comments:
Post a Comment