Majalah Time misalnya pernah menulis bahwa di beberapa tempat di sana “satu orang masuk Kristen dan 10 orang masuk Ahmadiyah” — sebagai perbandingan. Sampai-sampai sambutan yang diterima Hafiz Mirza Nazir Ahmad (yang oleh orang Qadian dianggap Khalifah ke-III Nabi Mirza Ghulam Ahmad) ketika tokoh ini datang ke sana pada 1970, boleh mengherankan orang-orang di luar. Bagai menyambut Paus layaknya, kepala-kepala negara bahkan menunggu kedatangannya di lapangan terbang.
Boleh ditambahkan bahwa di Afrika, konon Ahmadiyah juga dikenal sebagai perkumpulan sosial. Beberapa rumahsakit dan sekolah misalnya mereka dirikan — walaupun di hampir tiap negeri anggotanya tetap saja merupakan kelompok minoritas.
Tetapi kebesaran syi’ar seperti itu sudah tentu tidak pernah dialami golongan Lahore. Pertama karena, setelah kelompok ini tidak mengakui Ghulam Ahmad sebagai Nabi — dan dengan demikian juga tidak punya khalifah, ia pun pada dasarnya tidak merupakan organisasi yang ketat. Di tiap-tiap negeri hanya terdapat perkumpulan-perkumpulan yang relatif bebas, yang hubungannya dengan Presidennya di Lahore semata-mata sekedar korespondensi — mereka misalnya menerima kiriman majalah The Light, karena berlanganan. Bahkan hanya satu-dua orang, dari tokoh-tokohnya di Indonesia sekarang yang sudah pernah melihat kota di Pakistan itu — berbeda dengan jemaat Qadiani, yang bahkan untuk tabligh masih tetap memakai tenaga-tenaga Pakistan.
Kolonel II. Sutjipto SH, Sekjen PB GAI (Lahore), menerangkan kedudukan organisasinya seperti ini: “Bukan onderbouw apa-apa. Kami ini muslim, dan menjadi muslim juga tidak berarti kami onderbouw Arab. Jadi kami memang tidak organisasi-sentris, tapi lslam-sentris. Kapan saja tidak diperlukan menyebut organisasi, dan cukup Islam saja, itupun bagi kami tidak menjadi soal”. Bahkan akhirnya: “Ada atau tidak ada GAI, bagi kami sendiri sebenarnya tidak penting. Tidak ada pun tidak apa”, katanya.
Kalau sudah begitu? bisalah difahami mengapa da’wah (dalam arti memperbanyak anggota resmi) bukan yang paling penting bagi mereka. Sebab yang paling penting ialah. “bagaimana fikiran-fikiran kami dapat diterima sebanyak-banyak orang, seluruhnya atau sebagiannya”, kata Sutjipto. Dan untuk itulah diadakan GAI dan dilakukan da’wah — tentu saja, menurut jalan yang mereka tempuh sejak pertama, melalui buku-buku dan brosur-brosur. Harus diakui bahwa dari segi ini mereka sudah mencapai hasil.
Tafsir Muhammad Ali yang telah dibicarakan itu sendiri boleh diambil sebagai contoh pertama. Terjemahannya ke bahasa Melayu yang dikerjakan Tjokroaminoto memang tidak terkenal akhirnya, selain juga tidak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi De Hedige Qoeran, terjemahannya ke bahasa Belanda oleh Sudewo — bersama pengantarnya — boleh dicari di semua rumah tokoh-tokoh Islam intelektuil angkatan sehelum perang. Dan boleh dipastikan mereka menyimpan itu kitab. Demikian pula buku Muhammad Ali, Mohammad De Profeet (Sukabumi 1932) atau buku Khwaja Kamaluddin et Geheim van Het hetaat of Het Evangelie van De Daal (Yogya 1939). Kedua-duanya juga terjemahan (dari bahasa Inggeris) oleh Sudewo.
Mengapa buku-buku tersebut begitu terkenal? Antara lain karena tokoh-tokoh Muhammadiyah tahun 20-an itu, yakni sayap intelektuilnya yang berpendidikan Barat, juga menjadi anggota Jong Islamieten Bond yang bersejarah. Sudewo misalnya banyak mengisi majalah JIB yang bernama HetLicht dengan ajaran Ghulam Ahmad versi Lahore yang dia terima dari Mirza Wali Ahmad Baig. Tak heran bila semangat intelektuil seperti itu, apa lagi diyakini bersumber dari Islam, banyak memikat kaum terpelajar yang memang sedang berada dalam kegandrungan untuk “memadukan antara reliied an wetenschap ” — istilahnya waktu itu.
Lebih lagi, mengingat banyaknya kaum intelektuil Islam yang masih berada di luar JIB, yakni tokoh-tokoh yang dinilai “tipis agamanya” — pada waktu itu didirikan pula di Yogyakarta perkumpulan Muslim Broederschap di bawah asuhan Djojosugito dan Moh Husni. Di sini misalnya berkumpul Mustopo, Sjamsuridjal, Sudewo, Mohammad Kusban — dan menerbitkan sebuah majalah berbahasa Belanda pula bernama Correspondentie Blad. Perkumpulan ini boleh dibilang hanyalah wadah lain bagi Ahmadiyah Lahore selain (atau sebelum adanya) Ahmadijah Beweging.
Tidak berlebihan bila misalnya Jusuf Wibisono SH, orang tua yang juga anggota Muhammadiyah dan salah-seorang dari banyak rekan-rekannya yang dahulu aktif dalam JIB, mengatakan bahwa “aliran Lahore banyak sekali meninggalkan karya monumental”. Ia sendiri mengaku, meskipun tidak pernah menjadi anggota gerakan tersebut, “ikut mempropagandakan agar buku-buku mereka dibaca banyak orang lain” Mengapa? “Karena bisa menenteramkan fikiran”. Lihatlah misalnya: De Heilige Qoeran sendiri dahulu sudah habis dipesan dari pelosok-pelosok, umumnya kaum terpelajar, sebelum percetakannya sendiri selesai. Karena itu tak heran pula bila, di masa sebagian intelektuil Islam berpendidikan Barat merasa kikuk karena agama yang mereka peluk dianggap “begitu buruk”, Ir. Soekarno sendiri tidak absen dalam mengejar buku-buku Ahmadiyah — sampai-sampai sebuah koran di Jakarta memberitakannya sebagai telah membentuk cabang gerakan Ahmadiyah di tempat pembuangannya di Endeh.
Soekarno misalnya, seperti juga Jusuf Wibisono dan boleh dipastikan banyak yang lain, menyatakan secara jelas bahwa buku Khwaja Kamaluddin, Het Cehebn van Het Bestaan itu — yang di belakang hari diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Rahasia Hidup, sebagai sebuah karya brilliant.[]
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/09/21/AG/mbm.19740921.AG65421.id.html
No comments:
Post a Comment