Thursday, June 23, 2011

Ahmadiyah tanpa Negara


SEMAKIN lama semakin jelas terlihat betapa negara meninggalkan Jemaat Ahmadiyah. Pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu warga negara sah Republik Indonesia, menjalankan kewajiban seperti yang lain, tapi negara-yang diwakili pemerintah-tidak menjamin hak asasi mereka.

Sejak awal tahun lalu, terjadi 15 kali kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kejadian terakhir di Cikeusik, Pandeglang, Banten, menegaskan kenyataan ini: negara tak memberi perlindungan memadai ketika massa menyerang dan membunuh empat anggota Jemaat Ahmadiyah-tiga korban tewas di lokasi penyerbuan.

Didirikan pada 1928, hidup dalam masa damai yang panjang, justru di era yang disebut "reformasi" ini nasib Ahmadiyah lebih nista daripada penderita kusta. Begitu banyak hak asasi mereka yang dirampas. Mereka kehilangan hak memilih agama dan menjalankan ibadah, hak atas perlindungan, hak tidak diperlakukan diskriminatif, hak berkumpul, hak atas rasa aman, hak untuk tinggal. Di Cikeusik, bahkan hak hidup pengikut Ahmadiyah dicabut melalui pembunuhan sadistis.

Bila ditelusuri, gelombang anti-Ahmadiyah mulai tampak menjelang kejatuhan Orde Baru, dan terus meningkat pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Pada 1980, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah ajaran sesat. Pada 2005, MUI mengulangi fatwa itu. Pemeluk Islam yang mengikuti Ahmadiyah digolongkan murtad. Mereka yang telanjur masuk Ahmadiyah diserukan kembali ke "jalan yang benar"-entah apa yang dimaksud dengan "benar" dan "salah" dalam soal berkeyakinan ini. MUI meminta pemerintah mencegah penyebaran Ahmadiyah, membekukan organisasinya, menutup semua tempat kegiatannya.

Sangat disesalkan, pemerintah tidak berpijak pada konstitusi, yang menjamin hak Ahmadiyah memilih dan menjalankan keyakinannya. Bahkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri-Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung-tentang Ahmadiyah pada 2008 isinya segendang sepenarian dengan fatwa MUI.

Walaupun tidak eksplisit menyebut pembubaran Ahmadiyah, surat keputusan itu antara lain memerintahkan "penghentian kegiatan Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW". Surat keputusan itu tak hanya tidak membela hak dasar Ahmadiyah, tapi juga tidak melindungi jemaah itu dari kekerasan kelompok penentangnya.

Surat keputusan bersama itu sangat jelas mencerminkan kebimbangan pemerintah memandang Ahmadiyah. Menteri Agama Suryadharma Ali sudah lama setuju Ahmadiyah dibubarkan. Dalam tragedi Cikeusik pun Suryadharma masih berpandangan terjadi pelanggaran terhadap surat keputusan bersama oleh Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi lebih tertarik membahas soal-soal administratif. Menurut Gamawan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terakhir kali mendaftarkan diri sebagai ormas pada 2003, dan sesudahnya tak pernah memperbarui keanggotaan. Karena itu ia menyatakan Ahmadiyah tak terdaftar, karenanya tak bisa dibekukan. Sikap Gamawan itu terdengar seperti "melempar bola panas" ke tangan orang lain. Menteri Gamawan menyatakan menolak mengeluarkan surat keterangan terdaftar seandainya Ahmadiyah mendaftar ulang. Kalau hal ini benar dilaksanakan, Gamawan jelas menabrak undang-undang dasar, yang menjamin kebebasan berserikat.

Beragam tanggapan menteri kabinet itu menunjukkan pemerintah tak punya sikap politik jelas tentang hubungan pemerintah dengan kelompok seperti Ahmadiyah. Kebingungan bersikap terang ini boleh jadi ada tali-temalinya dengan kepentingan politik praktis pemerintah. Di antara barisan koalisi pendukung pemerintah, misalnya, berdiri PPP dan PKS, yang tak bisa menerima kehadiran Ahmadiyah. Bahkan ada yang mengajukan solusi agar Ahmadiyah menyatakan diri bukan Islam.

Bila mengikuti saran absurd itu, selain soal ini akan menjadi lebih pelik, pemerintah akan semakin jauh terseret dalam pelanggaran hak berkeyakinan warga negara. Pemerintah, MUI, atau lembaga mana pun tak memiliki otoritas menentukan label Islam atau bukan Islam bagi Ahmadiyah. Setiap bentuk pemaksaan dalam berkeyakinan dan menjalankan keyakinan merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi.

Pemerintah Yudhoyono tak boleh mengorbankan konstitusi demi kepentingan politik praktisnya. Selain menindak tegas pelaku pembunuhan di Cikeusik, Presiden harus memastikan kabinetnya sanggup menjamin hak kaum minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah. Bila Menteri Agama tak beranjak dari sikapnya yang tak netral memandang Ahmadiyah, sebaiknya dia diberhentikan segera.

Presiden Yudhoyono perlu meniru sikap Presiden Amerika Serikat dalam menghormati konstitusi negaranya. Ketika pecah demonstrasi menentang rencana pendirian masjid di Ground Zero, Presiden Obama memilih membela konstitusi. Dia mendukung hak minoritas mendirikan masjid.

Bila seorang presiden sudah tak sanggup menghormati konstitusi negerinya, sekuat-kuatnya rakyat perlu mengupayakan impeachment baginya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/02/14/OPI/mbm.20110214.OPI135916.id.html (Accessed 6/23/2011)

No comments:

Post a Comment