Tuesday, June 7, 2011

Potret Minoritas Ahmadiyah Manislor yang Didiskriminasi

Senin, 17 Desember 2007 13:45

Oleh Basyir Ahmad Suwarto*
Kamis, 13 Desember 2007 menjelang tutup tahun, menjadi hari kelabu bagi upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama terkait kebebasan untuk beribadah dan berkeyakinan. Jerit tangis ratusan ibu-ibu berjilbab, disertai doa khusyuknya, tak mampu membendung langkah satuan Pamong Praja Kab. Kuningan untuk menyegel mesjid-mesjid milik Jemaah Ahmadiyah di Desa Manislor.

Ahmadiya

Kenekadan aparat negara, dalam hal ini Pemerintah Kab. Kuningan untuk menyegel dan menutup mesjid-mesjid milik Jemaah Ahmadiyah tak bisa dipahami oleh akal ibu-ibu itu dan ratusan Jemaah Ahmadiyah di sana. Mereka masih tetap merasa sebagai bagian dari anak ibu pertiwi. Dalam benak mereka, ada keyakinan bahwa negara akan melindungi hak-hak sipil mereka. Namun mereka tak habis pikir, hak mereka untuk berkeyakinan dan beribadah justru diinjak-injak, bahkan dirampas oleh negera itu sendiri. Apalagi alasan yang dipakai Pemerintah Kab. Kuningan hanya didasarkan pada sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Muspida, Pimpinan DPRD, MUI dan Ormas Kabupaten Kuningan.

Keberadaan SKB pelarangan Ahmadiyah di Kab. Kuningan, menurut para ahli hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Tapi kenapa Pemkab Kuningan berani mengambil tindakan hanya dengan berpijak pada SKB? Berpijak pada SKB itu, mereka lantas mengemukakan alasan keamanan. Dan atas nama keamanan inilah mereka membatasi kebebasan Jemaah Ahmadiyah Manislor untuk beribadah dan berkeyakinan.

Logika apa yang mereka pakai? Menurut mereka, situasi akan aman dan terkendali jika ada pembatasan terhadap aktivitas keagamaan Jemaah Ahmadiyah di sana. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, ketidakamanan apa sesungguhnya yang terjadi ketika Jemaah Ahmadiyah Manislor menikmati hak-hak sipil mereka dalam beribadah dan berkeyakinan?

Kehadiran Jemaah Ahmadiyah di Manislor telah ada sejak 1954 alias setengah abad lebih. Selama rentang waktu itu, mereka hidup normal dan proses sosial berjalan sangat baik. Adanya fakta ini, mestinya aparat bisa melihat bahwa eksistensi Jemaah Ahmadiyah Manislor bukanlah faktor penyebab ketidakamanan di Kuningan. Mereka tidak pernah membuat huru-hara dan mereka selalu taat pada pemerintah. Tapi kenapa Pemkab Kuningan gegabah dengan menerbitkan SKB dan dilanjutkan menyegel mesjid Jemaah Ahmadiyah? Pemkab Kuningan mestinya jujur menjawab pertanyaan ini.

Fakta di lapangan menunjukkan, tiga minggu sebelum penyegelan terjadi, Jemaah Ahmadiyah Manislor mendapat surat bernada teror dan ancaman dari mereka yang mengaku sebagai komponen masyarakat Kuningan. Mereka mengancam akan melakukan tindak kekerasan, jika sampai batas waktu yang ditetapkan, Jemaah Ahmadiyah tidak menanggalkan pengakuannya sebagai muslim. Bahkan mereka menghalalkan darah Jemaah Ahmadiyah. Aksi teror ini dibarengi pemasangan spanduk bernada provokasi di sepanjang gerbang menuju Desa Manislor.

Melihat hal itu, Jemaah Ahmadiyah Manislor tidak melakukan upaya perlawanan. Mereka hanya bisa meminta perlindungan pada aparat kepolisian, karena serangkaian teror itu menyebabkan kehidupan sosial mereka terganggu. Tidak ada lagi rasa aman. Kegelisahan dan ketakutan pada kebenaran ancaman itu terus membayangi mereka. Merespon ketakutan Jemaah Ahmadiyah Manislor ini, aparat pemerintah justeru melakukan tindakan di luar nalar sehat. Untuk kedua kalinya, dalam lima tahun terakhir, aparat menyegel dan menutup mesjid-mesjid yang biasa digunakan Jemaah Ahmadiyah Manislor.

Fakta ini adalah potret kelabu kebebasan beragama di Indonesia. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayannya itu.” Tapi ternyata, pihak pemerintah sendiri yang justru melanggar isi UUD 1945 yang seharusnya menjadi pedoman hidup di negeri ini.

Dengan demikian, Jemaah Ahmadiyah Manislor telah diberlakukan tidak adil dan diskriminatif. Padahal Bab X Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimantif”. Pedoman inipun tak dijalankan.

Sebagai bukti misalnya, Jemaah Ahmadiyah Manislor yang ingin menikah di desanya harus menyimpan mimpi itu dalam-dalam. Ini karena pegawai pencacat nikah di sana tidak mau menikahkan mereka, selama calon mempelai tidak meninggalkan kepercayaan dan keyakinannya sebagai Ahmadiyah. Selama lima tahun terakhir (2002-2007), tercatat 140 pasang mempelai yang terpaksa menikah di luar Manislor, demi mempertahankan akidah yang diyakininya. Belum lagi mereka yang berkeinginan naik haji ke Tanah Suci Makkah, yang terpaksa harus berangkat dari luar Kab. Kuningan. Semua itu menunjukkan dengan kasat mata, bahwa aparat telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya dengan melakukan tindakan diskrimanif bagi pelayanan publik terhadap Jemaah Ahmadiyah Manislor.

Mendapati perlakukan diskriminatif itu, Jemaah Ahmadiyah Manislor hanya bisa pasrah. Belum lagi kekerasan dan teror yang mereka alami pada 2002 dan 2005 belum hilang dalam ingatan mereka. Bahkan sebagian dari mereka mengalami trauma hebat. Tahun 2005 misalnya, saat Jemaah Ahmadiyah menjalankan shalat Shubuh, tiba-tiba tempat shalat jemaah wanita dilempar bola api. Kontan, mereka panik dan ketakutan. Bahkan banyak rumah Jemaah Ahmadiyah yang rusak berat akibat dihancurkan kelompok yang tidak bertanggungjawab.

Tak hanya wanitanya, anak-anak pun menjadi korban. Penutupan dan penyegalan pada pertengahan Desember 2007 lalu, mengakibatkan anak-anak tidak bisa mengikuti kegiatan madrasah yang biasa dilaksanakan di mesjid. Akhirnya, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, dengan sendirinya telah direnggut aparat pemerintah.

Pertanyaannya, ketika aparat tidak lagi mampu melindungi, bahkan justru turut merampas hak-hak asasi Jemaah Ahmadiyah Manislor, ke mana lagi dan kepada siapa mereka akan mendapatkan keadilan? Adakah tempat lain di bumi pertiwi tercinta ini, yang mampu memberi rasa aman dan menjamin kebebasan beragama, tanpa harus takut ancaman dari kelompok lain yang terus memaksa mereka melepas keyakinan yang telah dianutnya selama ini?[]

*Humas Pengurus Pusat Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia (PPMKAI/Pemuda Ahmadiyah).

Retrieved from: http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=112/hl=id/Potret_Minoritas_Ahmadiyah_Manislor_Yang_Didiskriminasi

No comments:

Post a Comment